Dengan panjang lebar ibu menjelaskan, sebenarnya
sejak ada dalam kandungan aku telah dijodohkan dengan Raihana yang tak pernah
kukenal. “Ibunya Raihana adalah teman karib ibu waktu nyantri di pesantren
Mangkuyudan Solo dulu,” kata ibu.
“Kami pernah berjanji, jika dikarunia anak berlainan jenis akan besanan untuk
memperteguh tali persaudaraan. Karena itu ibu mohon keikhlasanmu,” ucap beliau
dengan nada mengiba.
Dalam pergulatan jiwa yang sulit berhari-hari, akhirnya aku pasrah. Aku menuruti
keinginan ibu. Aku tak mau mengecewakan ibu. Aku ingin menjadi mentari pagi di
hatinya, meskipun untuk itu aku harus mengorbankan diriku.
Dengan hati pahit kuserahkan semuanya bulat-bulat pada ibu. Meskipun
sesungguhnya dalam hatiku timbul kecemasan-kecemasan yang datang begitu saja dan
tidak tahu alasannya. Yang jelas aku sudah punya kriteria dan impian tersendiri
untuk calon istriku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa berhadapan dengan air mata
ibu yang amat kucintai. Saat khitbah (lamaran) sekilas kutatap wajah Raihana,
benar kata Aida adikku, ia memang baby face dan anggun. Namun garis-garis
kecantikan yang kuinginkan tak kutemukan sama sekali.
Adikku, tante Lia mengakui Raihana cantik, “Cantiknya alami, bisa jadi bintang
iklan Lux lho, asli !” kata tante Lia. Tapi penilaianku lain, mungkin karena aku
begitu hanyut dengan gadis-gadis Mesir titisan Cleopatra, yang tinggi semampai,
wajahnya putih jelita, dengan hidung melengkung indah, mata bulat bening khas
Arab, dan bibir yang merah. Di hari-hari menjelang pernikahanku, aku berusaha
menumbuhkan bibit-bibit cintaku untuk calon istriku, tetapi usahaku selalu
sia-sia.
Aku ingin memberontak pada ibuku, tetapi wajah teduhnya meluluhkanku. Hari
pernikahan datang. Duduk di pelaminan bagai mayat hidup, hati hampa tanpa cinta,
Pestapun meriah dengan empat group rebana. Lantunan shalawat Nabipun terasa
menusuk-nusuk hati. Kulihat Raihana tersenyum manis, tetapi hatiku terasa
teriris-iris dan jiwaku meronta. Satu-satunya harapanku adalah mendapat berkah
dari Allah SWT atas baktiku pada ibuku yang kucintai. Rabbighfir li wa
liwalidayya!
Layaknya pengantin baru, kupaksakan untuk mesra tapi bukan cinta, hanya sekedar
karena aku seorang manusia yang terbiasa membaca ayat-ayatNya. Raihana tersenyum
mengembang, hatiku menangisi kebohonganku dan kepura-puraanku.
***
Tepat dua bulan Raihana kubawa ke kontrakan dipinggir kota Malang. Mulailah
kehidupan hampa. Aku tak menemukan adanya gairah. Betapa susah hidup berkeluarga
tanpa cinta. Makan, minum, tidur, dan shalat bersama dengan makhluk yang bernama
Raihana, istriku, tapi Masya Allah bibit cintaku belum juga tumbuh. Suaranya
yang lembut terasa hambar, wajahnya yang teduh tetap terasa asing.
Memasuki bulan keempat, rasa muak hidup bersama Raihana mulai kurasakan, rasa
ini muncul begitu saja. Aku mencoba membuang jauh-jauh rasa tidak baik ini,
apalagi pada istri sendiri yang seharusnya kusayang dan kucintai. Sikapku pada
Raihana mulai lain. Aku lebih banyak diam, acuh tak acuh, agak sinis, dan tidur
pun lebih banyak di ruang tamu atau ruang kerja. Aku merasa hidupku ada lah
sia-sia, belajar di luar negeri sia-sia, pernikahanku sia-sia, keberadaanku
sia-sia.
Tidak hanya aku yang tersiksa, Raihanapun merasakan hal yang sama, karena ia
orang yang berpendidikan, maka diapun tanya, tetapi kujawab, “tidak apa-apa koq
mbak, mungkin aku belum dewasa, mungkin masih harus belajar berumah tangga.”
Ada kekagetan yang kutangkap di wajah Raihana ketika kupanggil ‘mbak’, “Kenapa
Mas memanggilku mbak, aku kan istrimu, apa Mas sudah tidak mencintaiku,”
tanyanya dengan guratan wajah yang sedih.
“Wallahu a’lam,” jawabku sekenanya. Dengan mata berkaca-kaca Raihana diam
menunduk, tak lama kemudian dia terisak-isak sambil memeluk kakiku, “Kalau Mas
tidak mencintaiku, tidak menerimaku sebagai istri, kenapa Mas ucapkan akad
nikah?”
“Kalau dalam tingkahku melayani Mas masih ada yang kurang berkenan, kenapa Mas
tidak bilang dan menegurnya, kenapa Mas diam saja, aku harus bersikap bagaimana
untuk membahagiakan Mas, kumohon bukalah sedikit hatimu untuk menjadi ruang bagi
pengabdianku, bagi menyempurnakan ibadahku di dunia ini,” Raihana mengiba penuh
pasrah.
Aku menangis menitikkan air mata, bukan karena Raihana tetapi karena
kepatunganku. Hari terus berjalan, tetapi komunikasi kami tidak berjalan. Kami
hidup seperti orang asing tetapi Raihana tetap melayaniku, menyiapkan segalanya
untukku.
***
Suatu sore aku pulang mengajar dan kehujanan, sampai di rumah habis maghrib,
bibirku pucat, perutku belum kemasukkan apa-apa kecuali segelas kopi buatan
Raihana tadi pagi. Memang aku berangkat pagi karena ada janji dengan teman.
Raihana memandangiku dengan khawatir.
“Mas tidak apa-apa,” tanyanya dengan perasaan kuatir. “Mas mandi dengan air
panas saja, aku sedang menggodoknya, lima menit lagi mendidih,” lanjutnya. Aku
melepas semua pakaian yang basah. ”Mas airnya sudah siap,” kata Raihana. Aku tak
bicara sepatah katapun, aku langsung ke kamar mandi, aku lupa membawa handuk,
tetapi Raihana telah berdiri di depan pintu membawa handuk. ”Mas aku buatkan
wedang jahe.” Aku diam saja. Aku merasa mulas dan mual dalam perutku tak bisa
kutahan.
Dengan cepat aku berlari ke kamar mandi dan Raihana mengejarku dan memijit-mijit
pundak dan tengkukku seperti yang dilakukan ibu. “Mas masuk angin. Biasanya
kalau masuk angin diobati pakai apa, pakai balsam, minyak putih, atau jamu?”
tanya Raihana sambil menuntunku ke kamar. ”Mas jangan diam saja dong, aku kan
tidak tahu apa yang harus kulakukan untuk membantu Mas”.
“Biasanya dikerokin,” jawabku lirih. “Kalau begitu kaos mas dilepas ya, biar
Hana kerokin,” sahut Raihana sambil tangannya melepas kaosku. Aku seperti anak
kecil yang dimanja ibunya. Raihana dengan sabar mengeroki punggungku dengan
sentuhan tangannya yang halus.
Setelah selesai dikerokin, Raihana membawakanku semangkok bubur kacang hijau.
Setelah itu aku merebahkan diri di tempat tidur. Kulihat Raihana duduk di kursi
tak jauh dari tempat tidur sambil menghafal Al Quran dengan khusyu. Aku kembali
sedih dan ingin menangis, Raihana manis tapi tak semanis gadis-gadis Mesir
titisan Cleopatra.
Dalam tidur aku bermimpi bertemu dengan Cleopatra, ia mengundangku untuk makan
malam di istananya. “Aku punya keponakan namanya Mona Zaki, nanti akan aku
perkenalkan denganmu,” kata Ratu Cleopatra. “Dia memintaku untuk mencarikannya
seorang pangeran, aku melihatmu cocok dan berniat memperkenalkannya denganmu.”
Aku mempersiapkan segalanya. Tepat pukul 07.00 aku datang ke istana, kulihat
Mona Zaki dengan pakaian pengantinnya, cantik sekali. Sang ratu mempersilakan
aku duduk di kursi yang berhias berlian.
Aku melangkah maju, belum sempat duduk, tiba-tiba “Mas, bangun, sudah jam
setengah empat, mas belum sholat Isya,” kata Raihana membangunkanku. Aku
terbangun dengan perasaan kecewa. “Maafkan aku Mas, membuat Mas kurang suka,
tetapi Mas belum sholat Isya,” lirih Hana sambil melepas mukenanya, mungkin dia
baru selesai sholat malam.

read more



      

Kirim email ke