mq:
> Saya kuatir mas bahwa masalahnya mungkin tidak sesederhana itu. pihak
> sekolah biasanya juga 'terpaksa' melakukan semuanya itu karena ada
'tekanan'
> dari pihak yang lebih berkuasa: depdikbud. Karena nampaknya semuanya itu
> fulus mas fulus......makin banyak mata pelajaran, makin banyak proyek
> pengadaan buku, makin banyak perijinan itu dan ini. Buntutnya
apalagi sih
> kalau bukan duit, duit and duit.....


bisa begitu pak mungki,
tapi saat ini penerapan di tiap2 sekolah benar2 beragam.
saya pernah lihat kurikulum sekolah international di jakarta,
yg bener-bener 'ramping'. sebalinya ada sekolah kristen
favorit yg memberi beban yg hemat saya benar2 tidak proporsional.
ada juga cerita teman yg setiap kali melihat ransel sekolah
anaknya (SD), spt ia melihat orang mau kemping saja, setiap hari,
saking tebalnya.

istri saya pernah cerita -dari ortu siswa lain-, sampai 
ada sebuah bimbingan belajar di jakarta timur yg membuat 
brosur, Utk Sekolah ...... disediakan kurkulum kursus
tersendiri. intinya: siswa tsb bisa dibantu mengerjakan PR
dan tugas2 lain di bimbingan belajar, karena sekolah tsb
dikenal banjir PR.

yg terbayang. pagi belajar di sekolah, sore belajar di kursus, 
malam (di rumah)apakah masih hrs belajar? kalau sampai tidak ini 
jelas menanamkan habit yg tidak baik. tapi kalau masih harus
belajar. waduh... makan tuh buku pelajaran!

yg saya soroti, respon dan ekspektasi masyarakat sendiri thd
pendidikan sering sangat keblinger. jadi ada persoalan di masyarakat
-selain di orang tua- selain masalah kurikulum (yg setahu saya
sudah cukup berubah dibanding KBK sebelumnya)

seperti kasus orang tua siswa teman anak saya itu, anaknya dilesin
bukan hanya supaya nilainya tinggi, tapi harus paling tinggi.
jadi nilai bagus masih kurang, inginnya paling bagus. 

saya pernah lihat demo anak berhitung sempoa, 3th sudah bisa
menghitung mencongak perkalian bilangan 3 digit. bahkan lebih
cepat dari orang dewasa pencet kalkulator. luar biasa, semua
penonton tepuk tangan. dalam hati: sekali-kali saya tidak akan
pernah membawa anak saya kursus sempoa. saya bener2 gak mudeng
apakah mereka masih bisa melihat matematika sebagai alat bantu.
atau sudah menjadi tujuan bahkan sekedar "ketrampilan".

sedikit nyimpang,
disekitar perumahan kami saja saat ini ada banyak kursus membaca
dan menulis anak balita. saya tidak benar2 yakin anak balita
bisa membaca, yg bisa dilakukan adalah "mengeja". membaca
dalam pengertian yg sesungguhnya  memerlukan kematangan
berfikir, daya konsentrasi dan kemampuan cerna yg baik.

kenyataan semacam ini yg turut membentuk ekspektasi yg berlebihan
thd pendidikan formal sekolah.

HBM 




> Kasus lain yang saya temui adalah uas (ulangan akhir semester). Ada
sekolah
> yang menyelenggarakan uas 2 kali tiap akhir semester, satu uas
sekolah, yang
> lain uas pemerintah (mbuh namanya apa, pokoknya semacam ujian Negara
gitu
> loh). Saya menanyakan ke salah seorang pengurus yayasan sekolah
Kristen yang
> berada di bawah naungan gki di solo, mengapa ada sekolah yang bisa tidak
> mengikuti uas pemerintah. Jawabnya: sekolah itu sebenarnya tidak
sepenuhnya
> berani, nanti pada uas yang berikutnya (akhir tahun ajaran) pasti
akan ikut
> uas pemerintah. Memang betul uas pemerintah itu tidak wajib, tapi
biasanya
> kalau sekolah-sekolah 'berani' tidak mengikuti, para pejabat di
debdikbud
> (daerah) dengan enteng akan mengatakan "nggak ikut ya nggak apa-apa kok,
> tapi nanti kalau ada perlu apa-apa ya jangan minta bantuan ke pemerintah
> donk". Gila khan kalau kita punya pejabat seperti ini. Lha sekolah
mana yang
> mau mengambil resiko seperti itu. nah inilah contoh kekuatan
eksternal yang
> seringkali menekan pihak sekolah sehingga sulit untuk mandiri. Secara
> finansial bisa saja sekolah Kristen itu kuat, nggak butuh bantuan dari
> pemerintah, begitu juga pengadaan tenaga guru, sekolah Kristen bisa
mandiri.
> Tapi yang namanya pemerintah, barang apa sih yang tidak bisa dibikin
sulit?
> Pemerintah bisa bikin macam-macam aturan bahkan yang paling gila dan
tidak
> masuk akal sekalipun yang bertujuan mempersulit sekolah-sekolah 'bandel'
> yang berani melawan pemerintah. Cilakak khan kalau sudah begini.
> 
> 
> Mungki
> 
> 
> > ......di sebuah SLTP Katolik yang 
> > cukup terpandang di daerah Jakarta Timur. Akan tetapi semenjak dua-
> > tiga bulan terakhir, kata "sekolah" dan "belajar" baginya telah 
> > menjadi hantu yang sangat membebani pikiran dan perasaannya. 
> 
> > Hasilnya sudah dapat diduga, akan tetapi tetap mengejutkan bagi saya 
> > sebagai orangtua. Pertama-tama dia berkeluh kesah tentang begitu 
> > banyak mata pelajaran yang harus dia telan mentah-mentah, tanpa dia 
> > tahu untuk apa dan mengapa dia harus menelannya.
> 
> > tetap saja setiap sekolah akan berusaha 
> > memenuhi standar kurikulum yang dibuat Depdiknas, agar tidak 
> > dinilai "ketinggalan" dari sekolah-sekolah "favorit". Apalagi, dalam 
> > sistem KBK, faktor pendidikan guru sebagai "fasilitator" 
> > (perhatikan: bukan sebagai guru tradisional, sumber-segala-sumber 
> > ilmu pengetahuan!) akan sangat menentukan. KBK mengasumsikan 
> > tersedianya sumber-sumber ilmu pengetahuan yang terbuka, seperti 
> > internet, fasilitas perpustakaan, lingkungan yang memadai, dan 
> > seterusnya, serta kemampuan guru mengolah mata pelajaran tanpa harus
> > membebek pada standar kurikulum. Kedua asumsi itu, pada praktiknya,
> > merupakan kemewahan yang tidak dimiliki oleh sekolah-sekolah pada 
> > umumnya. 
> 
> > Alhasil, sistem "telan mentah-mentah" kembali merajalela. Mari saya 
> > beri contoh konkret. Seorang siswa SLTP di Jakarta, seperti anak 
> > saya, paling tidak harus "menelan" 16 mata pelajaran (mata pelajaran 
> > umum, ilmiah, dan khas daerah), mulai dari Agama, PPKN, Fisika, 
> > Ekonomi sampai Komputer dan PLKJ (Pendidikan Lingkungan Kehidupan 
> > Jakarta - untuk siswa di Jakarta). Itu berarti, setiap siswa 
> > harus "menelan mentah-mentah" setidaknya 15 buku - saya 
> > mengasumsikan Matematika tidak menghafal! - 
> 
> > mendalam: siswa SLTP kelas II harus memahami perbedaan antara 
> > Diapedesis dengan Fibrinogen, gambar penampang kulit lengkap (Anda 
> > tahu Globmerulus dan di mana letak Kapsul Bowman?), gambar hubungan 
> > antarsel saraf (mana bagian Akson, Dendrit, Vesikel Sinapsis?), dan 
> > seterusnya. Karena itu, tidak heran jika seorang dosen biologi di 
> > sebuah universitas berkomentar, "Kalau SLTP sudah sejauh ini, apa 
> > lagi yang perlu diajarkan di Universitas?"
> 
> > Perlukah saya menunjukkan materi PLKJ, mata pelajaran khusus untuk 
> > siswa yang (kebetulan) tinggal di Jakarta, kepada Bapak Menteri? 
> > Seorang siswa SLTP kelas II di Jakarta harus menghafal mati pasal-
> > pasal mana dalam KUHP yang dipakai untuk menghukum "perkelahian 
> > pelajar secara per orangan yang mengakibatkan satu pihak luka atau 
> > mati", pasal-pasal mana untuk "perkelahian pelajar secara 
> > berkelompok", dan pasal-pasal mana yang dipakai jika "pelajar 
> > menyerang guru"!
> > 
> > Juga, jangan lupa, pasal-pasal KUHP mana yang dipakai jika "pelajar 
> > mabuk-mabukan, minum-minuman keras", atau jika terjadi "pemerasan 
> > oleh pelajar", atau "pencurian di kalangan pelajar", atau "pelajar 
> > membawa senjata api atau senjata tajam"...
> > 
> > Bapak Menteri yang terhormat. Sengaja saya menguraikan secara rinci 
> > beban mata pelajaran yang harus ditanggung anak saya setiap hari saat 
> > ia pergi ke sekolah, dan khususnya saat ia menghadapi ujian kenaikan 
> > kelas. Menurut saya, hanya anak jenius saja yang mampu menanggung 
> > semua beban itu tanpa masalah berarti. Dan, saya harus akui dengan 
> > jujur, anak saya bukan anak yang jenius, seperti juga anak-anak pada 
> > umumnya.
> > 
> > Jumlah mata pelajaran yang begitu banyak, dan kandungan informasi 
> > yang sangat padat tanpa memperhitungkan kesiapan mental maupun 
> > kognitif anak sesuai tahap-tahap perkembangannya, membuat guru tidak 
> > memiliki cara lain kecuali kembali pada sistem kuno: Telan Mentah-
> > mentah! Jangan Tanya, Hafal Saja! Itu pula yang dituntut oleh soal-
> > soal ulangan umum. Mungkin di permukaan, cara itu kelihatannya 
> > berhasil. Tetapi, jika dipandang dari sudut pendidikan, sesungguhnya 
> > kita telah gagal total! Kita telah ikut berpartisipasi menjadikan 
> > kata "sekolah" dan "belajar" momok yang sangat menakutkan bagi anak-
> > anak didik - mereka yang akan menggantikan kita di masa depan.
> > 
> > Seorang teman anak saya bahkan hampir bunuh diri, karena frustrasi
> > menghafal mata pelajaran Biologi. Saya tidak mau peristiwa itu terjadi
> > pada anak saya. Karena itu, Bapak Menteri, tolonglah! Anak saya bukan 
> > anak jenius! Dan jutaan anak Indonesia juga bukan anak jenius! *
> > 
> > ***
> > Penulis adalah Direktur Eksekutif MADIA (Masyarakat Dialog Antar 
> > Agama), Jakarta
> 
> 
> 
> 
> _____________________________________________
> Situs milis    http://groups.yahoo.com/group/cyber-gki
> Situs laci     http://www.cybergki.net
> Moderator      [EMAIL PROTECTED], [EMAIL PROTECTED]
> Administrator  [EMAIL PROTECTED], [EMAIL PROTECTED]
> 
> Klik alamat sesuai maksud, kosongkan subject dan body.
> posting    cyber-gki@yahoogroups.com
> nonaktif   [EMAIL PROTECTED]
> aktif lagi [EMAIL PROTECTED]
> berhenti   [EMAIL PROTECTED]
> digest     [EMAIL PROTECTED]
> daftar     [EMAIL PROTECTED]
>  
> Yahoo! Groups Links




_____________________________________________
Situs milis    http://groups.yahoo.com/group/cyber-gki
Situs laci     http://www.cybergki.net
Moderator      [EMAIL PROTECTED], [EMAIL PROTECTED]
Administrator  [EMAIL PROTECTED], [EMAIL PROTECTED]

Klik alamat sesuai maksud, kosongkan subject dan body.
posting    cyber-gki@yahoogroups.com
nonaktif   [EMAIL PROTECTED]
aktif lagi [EMAIL PROTECTED]
berhenti   [EMAIL PROTECTED]
digest     [EMAIL PROTECTED]
daftar     [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/cyber-gki/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke