Saya setuju dengan pendapat BH Jo
PP 32/1996
TenagaKesehatanadalahsetiaporangyang 
mengabdikandiridalambidangkesehatansertamemilikipengetahuandan/atauketerampilanmelaluipendidikandibidangkesehatanyang
 untukjenistertentumemerlukankewenanganuntukmelakukanupayakesehatan;
jadi setiap jenis ada wewenangnya sendiri-sendiri



________________________________
 From: B.H. Jo <b...@yahoo.com>
To: desentralisasi-kesehatan@yahoogroups.com 
Sent: Saturday, September 7, 2013 3:17 AM
Subject: Re: [des-kes] Fwd: Dunia Kesehatan Indonesia Hanya Milik Dokter
 


  
Sedikit info utk. wawasan saja ttg. hubungan dokter dan apoteker di LN, di 
North America pd. khususnya:

Dokter di North America mempunyai interprofessional teamwork yg. cukup baik 
dgn. apoteker. Pada umumnya apoteker masih tidak bisa/tidak boleh menulis resep 
di Kanada. Menurut pendapat saya, konsep ini adalah konsep yg. benar pd. waktu 
ini. Kita mengetahui bahwa membuat diagnose yg. benar adalah tidak gampang. Dan 
membuat terapi yg. benar (alias menulis resep) adalah juga tidak gampang dimana 
tidak cuma tergantung dari diagnose saja tetapi juga tergantung dari banyak 
faktor2 lain. Utk. penyakit yg. gampang saja, misalnya, pasien dgn. infeksi 
dari kandung kencing yg. telah ter-diagnose/terbukti dgn. urine analysis & 
culture dan bakterinya juga telah diketahui. Dan sensifitas dari bakteri thd. 
beberapa antibiotika juga telah di-test dan diketahui. Misalnya, bakteri ini 
sensitif thd. 4 antibiotika (A, B, C dan D). Antibiotika A, C dan D di 
metabolisme di hati/liver. Sedangkan B metabolisme-nya di ginjal. Misalnya, 
sensifitas yg. terbaik adalah terhadap B. 
 Tetapi pasien mempunyai  funksi ginjal yg. agak berkurang dimana antibiotika B 
bisa menimbulkan efek samping yg. signifikan karena metabolismenya diginjal. 
Jadi terapi "yg. terbaik"  harus diputuskan bedasarkan medical history, 
laboratory test (funksi ginjal dan hati yg. ada) dll. Dan bukan cuma 
berdasarkan diagsose saja. SEDANGKAN apoteker  tidak mempunyai medical history, 
clinical examination dan laboratory results (apoteker bekerja diluar RS) sebab 
data pasien ini dilindngi. Dokter adalah seperti "captain of the ship" mulai 
dari rekam medik, diagnose dan terapi. Apakah dokter berani bertanggung jawab 
kalau terapi diserahkan kpd. apoteker dan terapinya tidak tepat? Ini baru 
contoh dari terapi yg. gampang. Bagaimana  dgn terapi yg. lebih sulit. 
Misalnya, kalau kita telah mendapat diagnose dari seorang pasien dgn. kanker 
payudara, stadium I (T1 N0 M0), premenopausal, estrogen receptor positif, 
progesteron receptor negatif, Her-2/neu (mutation) positif,
 Ki-67 > 60%. Stadium I bisa memerlukan terapi tambahan selain operasi dan 
radioterapi, yaitu adjuvant drug therapy (kemoterapi, bisa hormon terapi, bisa 
ke-dua2-nya plus/minus terapi thd. Her2/neu gene mutation). Juga bisa tidak 
memerlukan adjuvant drug therapy/"obat" sama sekali tergantung dari faktor2 
tsb. sebelumnya. Jadi keputusan pemberian"obat"/ terapi akan melalui proses yg. 
kompleks. Dan terapi macamnya tidak sedikit dan juga tergantung dari "setiap" 
faktor2 tersebut sebelumnya. Yg. cuma bisa dilakukan oleh medical oncologist  
dgn. optimal (yg. tidak bisa dikuasai oleh surgical oncologist atau radiation 
oncologist walaupun mereka juga oncologist). Bagaimana seorang apoteker bisa 
membuat resep apalagi dgn. pengetahuan dan data dari pasien yg. sangat terbatas 
(jauh lebih terbatas dari surgical oncologist atau radiation oncologist dimana 
oncologist2 ini tidak bisa/boleh membuat resep utk. drug therapy utk. kanker 
pasien?

Disini "tugas apoteker utama" adalah dispensing obat. Dan juga mengecek kalau 
ada kesalahan resep dokter (misalnya: indikasi, dosis),  kalau ada drug 
interaction dgn. obat lain yg. dipakai oleh pasien, counselling ttg. pemaikan 
obatnya (Catatan: dokter di North America tidak boleh meng-dispensing obat 
karena bisa/gampang terjadi conflict of interest dan pelayan mediknya dianggap 
juga tidak optimal karena tidak ada yg. meng-double check dosis, drug 
interaction dan tidak ada counselling yg. bisa memakan waktu lama). 

Di provinsi tertentu, misalnya, apoteker boleh counselling ttg. management dari 
diabetes(termasuk diet-nya), hypertension, cara berhenti merokok. Tetapi 
apoteker ybs. harus telah mengambil/lulus training tertentu, misalnya, utk. 
diabetes. Jadi tidak bisa otomatis terus bisa counselling utk. hypertension 
atau perokok tanpa lulus training dulu. Di provinsi ini, apoteker cuma boleh 
meng-dispense obat (memberi resep terbatas) yaitu utk. obat yg. telah dipakai 
oleh pasien secara rutin (obat utk. chronic disease seperti diabetes, 
hypertension) dan utk. waktu yg. terbatas. Contoh: pasien dgn. hypertensi telah 
mendapat resep utk. hypertensi dari dokternya  utk. 6 bulan.  Misalnya, 
berlakunya resep ini telah habis dan pasien belum bisa mendapat resep baru dari 
dokternya (family physician) dan pasien telah kehabisan obatnya. Pada situasi 
tertentu ini, apoteker boleh meng-dispense "obat yg. sama" (jadi obat tertentu 
telah diputuskan oleh dokternya) dan cuma utk. 1
 bulan saja tanpa ada resep dokter yg. masih berlaku. Dalam waktu sebulan ini 
pasien harus mendapat resep baru dari dokternya. Kalau tidak, pasien tidak bisa 
mendapat obat lagi dari apoteker. JADI: apoteker mempunyai  wewenang  utk. 
membuat resep tetapi harus sama dgn. resep dokter yg. ada di file dan cuma 
berlaku utk. 1 bulan. Jadi apoteker tidak bisa membuat resep tanpa ada 
batasnya. 

Barangkali di provinsi lain, peraturannya lain. Dan peraturan yg. ada, dipatuhi 
oleh apoteker/apotik.  Jadi konsep umum: "dokter yg. membuat diagnose dan 
apoteker yg. membuat terapi/menulis resep adalah tidak ada di North America"

Dari informasi2 yg. saya telah baca bahwa di Indonesia, "dokter mau 
meng-dispensing obat (yg. bukan bidang utamanya) dan sekarang sebaliknya 
apoteker mau menulis resep (yg. juga bukan bidangnya)". Barangkali apoteker 
berpikir: "If you take what is mine (dispensing drug), I will take what is 
yours (writing prescription)?" Apakah ini tidak menambah kepusingan dan 
ke-optimalan kalau ter/di-campur aduk? Tentunya ada pengecualian utk. 
Indonesia, misalnya, ditempat yg. terpencil yg. tidak ada apotiknya dan dokter 
boleh men-dispending obat dalam situasi seperti ini.

BH Jo

--- In desentralisasi-kesehatan@yahoogroups.com, triharnoto@... wrote:
>
> Dear all,
> Bagus juga kalo apoteker yang membuat resep, bisa meringankan tugas dokter. 
> Dokter mendiagosis saja, lalu apoteker yg meresepi.
> 
> Misalnya dirumah sakit, dokter memerksa, membuat diagnosis. Sdetelah itu 
> penulisan resep dan pengobatan diserahka apoteker. 
> Selanjutnya dokter visit, buat diagnosis sesuai perkembangan. Apoteker lagi 
> yg membuat resep dan pengobatannya.
> Contoh, pasien sesak nafas setelah diperiksa, keyemu diagnosis sbb; gagal 
> jantung grade 3, DM hiperglikemia. Sepsis dan asidosis metabolik.
> Nah dokter cukjup membuat diagnosis, kemudian apoteker visit, dan $embuat 
> resep atas dasar diagnosis itu.
> 
> Bila bisa begitu, tugas dokter lbh ringan..
> 
> Mau dicoba?
> Boleh, ide baik saya kira.
> Powered by Telkomsel BlackBerry®
> 
> -----Original Message-----
> From: syrl51@...
> Sender: desentralisasi-kesehatan@yahoogroups.com
> Date: Wed, 4 Sep 2013 21:41:31 
> To: Desentralisasi  kes<desentralisasi-kesehatan@yahoogroups.com>
> Reply-To: desentralisasi-kesehatan@yahoogroups.com
> Subject: Re: [des-kes] Fwd: Dunia Kesehatan Indonesia Hanya Milik Dokter
> 
> Judul diskusi besarnya adalah, reform dalam pelayanan kes oleh Org profesi 
> kes di berbagai tingkatan, mengingat semakin kompleknya pemsalahan kes,  
> ...jd semua profesi kes(seperti yg ada dlm pp 32),memiliki peran nyata dan 
> mendapat imbalan professional terkait apa yg dpt diberikan oleh profesi 
> tersebut, perlu kesetaraan, termasuk profesi pemberian pelayan obat 
> tradisional(misalnya),jika profesi pemberi pelayan obat tradisonal ini dapat 
> berjalan secara massif dan dilandasi dg niat luhur u kemandirin bangsa,maka 
> cukup banyak devisa yg dpt dihemat. Guna memberikan pelayanan kpd masy 
> profesi kes hendaknya dapat ber-cemistry sbagai tim dan dpt memberikan 
> kontribusi sesuai dg peran masing2, tdk ada superior lagi, hilangkan ego 
> profesi dan keadilan pula dalam jasa pelayanan yg diberikan, tujuan akhir 
> hidup manuia apa sih yg dicari, salah satu diantranya adalah kepuasan bathin, 
> jadi bukan semata materi. Jk masy mampu mendapatkan pengobatan sendiri dg 
> benar dan
 dg penetahuan dari profesi kes, itu juga merupakan bagian dr pelayanan o 
profesi kes, pelayan lainnya o kerjasama tim baik di RS, 
Puskesmas,klinik,praktek pribadi dst . Banyak langhak yg direkomendasikan, 
salah satu langkah awalnya segera reform sist pendidikan di poltek menjadi 
institute, sehingga keluaran anak didiknya  dalam melayani masy dilapangan dpt 
lebih setara, dosen2nya dpt menjadi DR bahkan professor (menndapat imbalan 
speti sejawatnya di PTN dan PTS)shingga mampu memberikan pengajaran yg setara 
pula u memberikan bekal agar dpt melakukan kerjasama tim dlm memberikan 
pelayanan diberbgai tingkatan, dg SOP dan standar2 yg disepakti bersma. 
"Lanjutan perdebatan secara konstruktif dalam rangka menciptakan kesetaraan 
profesi", indahnya berbagi dan semoga berkenan
> Sent from my BlackBerry®
> powered by Sinyal Kuat INDOSAT
> 
> -----Original Message-----
> From: pauline watofa <watofa_pauline@...>
> Sender: desentralisasi-kesehatan@yahoogroups.com
> Date: Thu, 5 Sep 2013 00:02:32 
> To: 
> desentralisasi-kesehatan@yahoogroups.com<desentralisasi-kesehatan@yahoogroups.com>
> Reply-To: desentralisasi-kesehatan@yahoogroups.com
> Subject: Re: [des-kes] Fwd: Dunia Kesehatan Indonesia Hanya Milik Dokter
> 
> sejawat sesama tenaga kesehatan 
> setuju sependapat bahwa tulisan ini ditulis untuk tidak mewakili profesi 
> apoteker 
> 
> 
> ________________________________
>  From: Panji Hadisoemarto <hadisoemartopanji@...>
> To: desentralisasi-kesehatan@yahoogroups.com 
> Sent: Tuesday, 3 September 2013 5:59 PM
> Subject: Re: [des-kes] Fwd: Dunia Kesehatan Indonesia Hanya Milik Dokter
> 
> 
> 
>   
> Kalau feeling saya sih ya, tulisan ini tidak merepresentasikan pendapat 
> profesi apoteker secara keseluruhan. Nggak perlu dibahas sampai 
> berkerut-kerut.
> 
> Panji
> 
> wendy nugraha <wendyfreely@...> wrote:
> 
>   
> Pernyataan bahwa penulisan resep oleh dokter merupakan perampasan profesi 
> apoteker membuat saya tertegun
> Sudah sejauh inikah cara pandang profesi lain terhadap profesi dokter?
> Isu kesetaraan profesi menjadi senjata untuk menekan para dokter
> Dibutuhkan kebersamaan para dokter difasilitasi organisasi profesi untuk 
> mendudukan masalah sebenarnya.
> 
> Salam,
> WF 
> 
> 
> 
> 
> ________________________________
>  From: Billy N. <billy@...>
> To: 
> Sent: Monday, September 2, 2013 10:05 PM
> Subject: [des-kes] Fwd: Dunia Kesehatan Indonesia Hanya Milik Dokter
> 
> 
> http://rakyatsulsel.com/dunia-kesehatan-indonesia-hanya-milik-dokter.html
> Dunia Kesehatan Indonesia Hanya Milik Dokter
> Muh Irwan (Alumnus Fakultas Farmasi)
> 
> Masih terbesik dibenak kita kasus puyer pada tahuun 2007 silam yg
> menewaskan seorang bayi. Pada saat itu dokter angkat bicara soal
> puyer, padahal itu bukaan rana dokter, farmasis lah yg mempunyai
> wewenang. Penulisan resep oleh dokter yang dinilai sebagai perampasan
> profesi oleh apoteker.
> Pada tahun 2007 silam Menteri Kesehatan Siti Fadila Supari menggagas
> sebuah konsep farmaceutical care, dimana semua stockholder Kesehatan
> di Indonesia perpegang teguh pada
>  profesinya masing masing. Untuk
> menyembuhkan seorang pasien, maka diperlukan semua element kesehatan
> yaitu Dokter, Apoteker, Perawat, Bidan, Analisis kesehatan bekerja
> pada profesinya masing masing.
> Dokter tugasnya mendiagnosa, Apoteker yabg meresepkan obat serta
> perawat yabg merawat pasien itu hingga sembuh, tapi apa yabg terjadi
> di Negeri ini.? Dokter menulis resep, memberi resep dll, sehingga
> muncul paradigma baru di masyarakat bahwa apoteker dan perawat adalah
> babu dokter
> Wajar saja jika perawat menjerit memintah keadilan lewaat pengesahan
> UU keperawatan, wajar saja jika farmasis meminta kesetaraan profesi.
> Dokter dicetak dengan nominal rupiah yang banyak.
> Kami menyadari kesemuanya ini terjadi dikarenakan dunia pendidikan
> Kesehatan Indonesia yang semakin mahal, mau jadi dokter siapkan modal
> minimal Rp 200 Juta, sehingga muncul paradigma kapitalis di Dunia
> Kesehatan.
> Sebuah keresahan atas permasalahan
>  pendidikan dan dunia kesehatan
> indonesia, Dunia Kesehatan yang didominasi oleh kerja kerja kedokteran
> sehingga melupakan esensi stockholder Kesehatan yang lain. Apa yang
> dituntut oleh Apoteker dan perawat itu sah sah Saja karena perilaku
> dokter yang tidak bekerja profesional dan merampas hak Profesi lain.
> Tentu Semua masyarakat pernah melihat iklan obat yang ada di media,
> diakhir iklan ada tulisan: “jika sakit berlanjut hubungi dokterâ€.
> Jika kita sadar konteks, maka iklan tersebut mempertegas kalau di
> Indonesia Dunia kesehatan hanya milik dokter. Padahal jika sakit kita
> berlanjut dan ketika harus ke dokter akan menambah beban biaya lagi
> buat pasien.
> Mahalnya biaya pendidikan Kedokteran di indonesia membuat para dokter
> menghilangkan esensi UUD negara ini yaitu memberi kan rasa keadilan
> sosial untuk semua masyarakat indonesia tanpa terkecuali.
> Tentunya pahaman masyarakat juga harus diubah “Kesehatan
>  gratisâ€
> Pejabat di indonesia sudah merumuskan konsep Kesehatan gratis dengan
> hitungan matematik yang pas.
> Sulawesi Selatan menjadi percontohan konsep ini, tapi definisi gratis
> dipahamani pejabat tidak sejalan dengan definisi pahaman orang awam,
> buktinya Rumah Sakit-Rumah Sakit di MAKASSAR milik pemerintah masih
> tetap saja membuyarkan harapan masyarakat miskin.
> 
> 
> ------------------------------------
> 
> Archives terdapat di http://www.yahoogroups.com/group/desentralisasi-kesehatan
> Situs web terkait http://www.desentralisasi-kesehatan.net
> 
> 
> Yahoo! Groups Links
>


 

Kirim email ke