saya merasa masih terlalu dini mengaitkan antara kebijakan Jampersal dengan 
fenomena kenaikan AKI ini. seperti kita ketahui kebijakan Jampersal dikeluarkan 
pada pertengahan tahun 2011, masih banyak lagi daerah yang penerapannya mulai 
akhir tahun 2011.
sedang data AKI tersebut diproyeksi berdasarkan data SDKI yang diambil pada 
pertengahan tahun 2012. jadi saya rasa waktunya masih terlalu pendek untuk 
menjadikan data AKI tersebut sebagai bahan evaluasi Jampersal. 


 
-ADL-

“Ini tugas berat, tentu saja!karena itulah kita ada”


________________________________
 From: Adi Sasongko <adi.sason...@gmail.com>
To: milis desentralisasi kesehatan <desentralisasi-kesehatan@yahoogroups.com> 
Sent: Friday, September 27, 2013 8:57 AM
Subject: Re: [des-kes] AKI melonjak tinggi: Apa yang terjadi?
 


  
Seorang mahasiswa FKMUI membuat penelitian Jampersal di seluruh RB yang ada di 
Jakarta Utara tahun 2012. Terjadi lonjakan kunjungan persalinan yang besar 
antara sebelum dan sesudah Jampersal tapi pada saat yang sama tidak ada 
peningkatan yang berarti dalam hal SDM dan sarana kerja pendukung. Fenomena ini 
saya yakin juga terjadi di tempat-tempat lain. Bisa dipahami kalau akibatnya 
terjadi penurunan kualitas pelayanan persalinan......

Akibat lain dari Jampersal adalah tergusurnya berbagai upaya swadaya masyarakat 
seperti Tabulin (Tabungan ibu bersalin) yang sudah dibina dengan susah payah. 
Buat apa susah-susah menabung untuk biaya persalinan karena dengan Jampersal 
semuanya gratis.

Jampersal juga berdampak pada keberadaan klinik RB swasta. Pasien yang semula 
bersedia membayar lalu berduyun-duyun pindah ke Jampersal. Akibatnya kunjungan 
ke klinik swasta non jampersalpun menurun. 



AS




2013/9/27 <mohnuh2...@yahoo.com>

 
>  
>Asa beberapa kemungkinan:
>       1. Realisasi Jampersal tidak sesuai rencana. Bisa karena masyarakat 
> tidak tahu, bisa karena bidan tidak tahu, bisa karena “kreativitas” pejabat 
> dinkes/pemda yang melihat jampersal sebagai sumber dana yang dapat 
> diotak-atik sesuai keinginan sendiri.
>       2. Bidan di desa tidak “menjemput bola” tetapi menunggu bola. Menunggu 
> sesudah orang hamil datang ke dia, dan bukan dia berinisiatif mengunjungi 
> rumah bumil. Apalagi melakukan penyuluhan terhadap ibu baru atau calon ibu.
>       3. RS rujukan tidak siap dan tidak punya program utk itu.
>       4. Pemda/Kepala daerah tidak merasa terpanggil untuk ikut menurunkan 
> AKI.
>       5. Masalah geografi adalah “given factor” yang tidak dapat selalu 
> dijadikan alibi.
>       6. Masalah transportasi, terutama di luar Jawa akan teratasi jika Kepda 
> atau Pemda mempunyai komitmen. Kalau tidak ada sarana transportasi cepat, 
> pendekatan preventif dan deteksi dini harus menjadi prioritas. Sehingga bumil 
> dapat dirujuk jauh-jauh hari sebelum terjadi komplikasi.
> 
>Sent from Windows Mail
> 
>From: Laksono Trisnantoro
>Sent: Friday, September 27, 2013 8:14 AM
>To: desentralisasi-kesehatan@yahoogroups.com
>   
>Dear all.
>Ada berita menarik dari Sindonews. AKI meningkat tinggi. Mengapa terjadi, 
>perlu dibahas dengan detil. Kami dari Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan 
>akan membahas kasus ini secara sistematis. Kami mulai diskusi melalui 
>miling-list ini untuk khusus membahas kasus ini. SIlahkan berkomentar.
>
>Salam
>
>Laksono Trisnantoro
> 
>Berita kemarin
>
>Sindonews.com - Menteri Koordinator Kesejahteraan 
Rakyat (Menko Kesra) Agung Laksono mengatakan, hasil survei yang 
dilakukan Badan Kepala Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional 
(BKKBN), mengeluarkan hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 
(SDKI) 2012, dijamin akurasinya dan validitasnya.
>
>Agung 
menjelaskan, hal itu dikarenakan, survei tersebut berbeda dengan hasil 
survei yang dilakukan oleh lembaga politik yang belakangan sangat 
popular di Indonesia.
>
>“Survei politik cenderung tidak objektif, 
karena publikasi terhadap hasil survei lebih kepada tujuan untuk 
menaikkan popularitas dan elektabilitas tokoh tertentu,” kata Agung, 
saat ditemui di Peluncuran Hasil Survei Demografi dan Kesehatan 
Indonesia (SDKI) 2012, di Jakarta, Rabu 25 September 2013.
>
>Berdasarkan
 SDKI 2012, rata-rata angka kematian ibu (AKI) tercatat mencapai 359 per
 100 ribu kelahiran hidup. Rata-rata kematian ini jauh melonjak 
dibanding hasil SDKI 2007 yang mencapai 228 per 100 ribu.
>
>Dalam 
hal ini, fakta lonjaknya kematian ini tentu sangat memalukan 
pemerintahan yang sebelumnya bertekad akan menurunkan AKI hingga 108 per
 100 ribu pada 2015 sesuai dengan target MDGs.
>
>Salah satu pihak 
yang menolak mengakui hasil SDKI 2012 adalah Kementerian Kesehatan 
(Kemenkes). Sebelumnya Menteri Kesehatan (Menkes) Nafsiah Mboi berdalih,
 terjadi perbedaan metode perhitungan dalam SDKI 2012 sehingga angka 
kematian ibu melahirkan melonjak. Kontroversi angka kematian ibu inilah 
yang menyebabkan peluncuran SDKI 2012 selalu tertunda.
>
>Menurut 
Agung sangat masuk akal jika SDKI 2012 mencatat rata-rata AKI melonjak. 
Pasalnya, sejumlah program terobosan untuk menekan kematian ibu 
melahirkan seperti Jaminan Persalinan (Jampersal) diakui kurang 
berhasil.
>
>Selain itu, sejak otonomi daerah, dukungan pemerintah 
daerah pada program KB memang jauh menurun. Oleh sebab itu wajar saja, 
lanjut Agung, jika angka kematian ibu melonjak. “Pemakaian metode KB 
(Keluarga Berencana) jangka panjang hanya sebesar 10,6 persen. Dan ini 
menjadi pekerjan yang harus kita selesikan dimasa mendatang,” lanjut 
Agung.
>
>Berbagai persoalan di bidang kependudukan dan KB tersebut 
jelas Agung akan membawa implikasi pada pencapaian MDGs dan penetapan 
sasaran Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019.
>
>Para petugas survei juga melakukan pendataan tentang angka kematian ibu dan 
>balita, sehingga hasil survei jauh lebih lengkap dan sempurna.
> 
>
> 


-- 
Adi Sasongko

A good teacher teaches, a better teacher motivates, the best teacher inspires
 

Kirim email ke