Maaf kalo kluar dari jalur, hanya sedikit mengutip dan bermaksud untuk bertanya
“Kembali ke Rp. versus Rb.: apabila redenominasi jadi diberlakukan, maka negara Indonesia akan memiliki 2 versi mata uang pada saat masa transisi diberlakukan BI. Selama beberapa tahun ke depan, Rp.1.000,- (baca: seribu Rupiah) akan sama nilainya dengan Rb.1,- (baca: satu Rupiah Baru). Kedua mata uang tersebut akan berlaku sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah hukum Indonesia, sampai masa transisi dinyatakan selesai oleh BI.” Rp dan Rb sama2 akan menjadi alat pembayaran yang sah di NKRI, nah gmn dengan permen…. secara gw sering bgt yang harus nya belanja kembali Rp. 100 tp malah di kasih permen…. hehehe…. sekali lagi maaf karena gw tau ini OOT bgt…. tapi mungkin suatu saat topic ini juga bisa diperbincangkan lebih lanjut. Best Regards, Arman From: Forum-Pembaca-Kompas@yahoogroups.com [mailto:forum-pembaca-kom...@yahoogroups.com] On Behalf Of Muhammad Ihsan Sent: Monday, August 09, 2010 12:06 AM To: Ihsan Kusasi Subject: [Forum-Pembaca-KOMPAS] Rp. vs Rb. ------ Part I ------ Sudah seminggu terakhir ini ada wacana yang cukup sensitif dilempar ke masyarakat oleh Bank Indonesia (BI). Media massa pun menangkap lemparan tersebut dengan berbagai pengertian, yang sayangnya menurut gue, ada beberapa yang salah tangkap. Sebuah headline media ibukota menulis bahwa “Rupiah akan dipotong”. Hah?! Binatang kurban kalee… hihihi… Wacana tersebut, yang memakai jargon “redenomisasi”, adalah sebuah rencana untuk merubah angka Rp.1.000,- menjadi Rp.1,- tanpa merubah nilai hakikinya. Pengertian yang gue pahami, pernah gue ekspresikan pada status facebook gue awal minggu ini: “…is ‘redenominasi’ kan cuma merubah angka Rp.1000 menjadi Rp.1… tidak merubah ‘value’ nya… yang pegang uang Rp.1000 tuker ke bank jadi uang baru Rp.1… yang dulu beli pisang goreng pake uang Rp.1000 trus jadi pake uang baru Rp.1 tetap dapat pisang goreng yang sama… kok pada ribut?” Banyak sekali tanggapan dari teman-teman atas status facebook gue di atas. Kesimpulan awal gue — semoga gue gak salah — kebanyakan masih terjebak pada pengertian bahwa uang Rupiah akan “menyusut” nilainya sebanyak “seribu” kali. Sebelum dilanjutkan, ada beberapa disclaimer yang ingin gue sampaikan sehubungan note yang gue tulis ini: pertama, gue gak hebat di bidang ilmu ekonomi secara dulu kuliah ambil jurusan teknik elektro, dan secara ekonomi gue juga biasa-biasa aja (apa neh maksudnya yang terakhir..? hihihi…). Kedua, untuk membedakan Rupiah sekarang dan nanti apabila redenominasi jadi diberlakukan, gue bedakan istilah mata uang Indonesia yang berlaku saat ini yaitu “Rupiah” (disingkat Rp.) dan setelah redenominasi menjadi “Rupiah Baru” (disingkat Rb.)…. Oops… maaf Pak Gubernur BI, gue gak bermaksud melakukan fait-accompli… hihihi…. Istilah baru untuk mata uang bukanlah hal yang tabu di dunia Internasional. Pada pertengahan tahun 1990an, saat gue mendapat tugas ke negara Taiwan, gue dapati mata uang mereka adalah NT$ atau New Taiwan Dollar. Intermezo: Sudah menjadi kebiasaan gue — sebelum ke luar negeri untuk jangka waktu lama — gue akan cari buku tentang negara tersebut untuk mengetahui adat istiadat, kebiasaan, dan sopan santun masyarakat di sana (dulu belum ada Internet boow… apalagi iBook di iPad… hihihi…). Sebelum berangkat ke Taiwan, gue sudah harus tahu DOs dan DON’Ts sebelum berbaur pada lingkungan baru atau masyarakat lokal. Kembali ke New Taiwan Dollar: kalau kita mendengar istilah “New”, rasa penasaran pasti akan mengarah pada “…apa dunk kalo gitu yang Old?”. Buku yang gue baca tentang negara Taiwan menjelaskan, bahwa New Taiwan Dollar memang untuk menggantikan Taiwan Dollar yang “Old”. Begini ceritanya: Bank of Taiwan (BI-nya negara Taiwan) pada tanggal 15 Juni 1949, mengganti mata uang T$40,000 (baca: empat puluh ribu Taiwan Dollar) menjadi NT$1 (baca: satu New Taiwan Dollar). Selain Taiwan, Turki pada tahun 2005 juga melakukan redominasi mata uang Lira-nya. Bahkan angkanya lebih hebat lagi: 1.000.000TL (baca: satu juta Turkish Lira) menjadi 1YTL (baca: satu New Turkish Lira). Wow! Alasan redominasi mata uang negara Taiwan dan Turki sama yaitu hiper-inflasi. Rencana redenominasi oleh BI saat ini kondisinya berbeda dengan Taiwan dan Turki, karena inflasi negara Indonesia masih sebesar single-digit. Official Website BI melaporkan bahwa inflasi Indonesia pada bulan Juli 2010 selama setahun terakhir adalah 6,22%. Walaupun negara Taiwan dan Turki melakukan redominasi karena mereka saat itu sedang mengalami hiper-inflasi, namun yang ingin gue sampaikan adalah: sejatinya tidak tabu merubah angka dan istilah mata uang pada sebuah negara, selama lebih banyak manfaatnya alih-alih mudharatnya. Kembali ke Rp. versus Rb.: apabila redenominasi jadi diberlakukan, maka negara Indonesia akan memiliki 2 versi mata uang pada saat masa transisi diberlakukan BI. Selama beberapa tahun ke depan, Rp.1.000,- (baca: seribu Rupiah) akan sama nilainya dengan Rb.1,- (baca: satu Rupiah Baru). Kedua mata uang tersebut akan berlaku sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah hukum Indonesia, sampai masa transisi dinyatakan selesai oleh BI. Lalu bagaimana dengan uang yang nilainya di bawah Rp.1.000,-? Ini pertanyaan yang sama dengan komentar teman gue terhadap status facebook di atas: “…Kalo beli permen Rp.500,- jadi Rp.0,5 gt ya San ? aneh bener..kalo Rp.200,- jadi Rp.0,2 he he…” Sebenarnya gak ada yang aneh. Sejarah telah mencatat, Indonesia pernah memiliki uang dengan satuan di bawah Rp.1,-. Maka, apabila redenominasi terjadi, bisa jadi akan ada Rb.0,50 yang berarti “50 sen Rupiah Baru” senilai Rp.500,00; dan akan ada Rb.0,20 yang berarti “20 sen Rupiah Baru” senilai Rp.200,00. Uang sen Rupiah yang dikeluarkan pada saat Presiden Soekarno berkuasa, rupanya mudah dilupakan oleh putrinya sendiri. Minggu ini Megawati Soekarnoputri, mengeluarkan pertanyaan pada Rakornas 3 Pilar Partai yang Beliau pimpin di Sentul, Kabupaten Bogor, Rabu lalu, 4 Agustus 2010: “Sekarang contoh konkret bagaimana menghitung mereka yang satuannya tidak tiga angka. Uang receh kita kan masih ada 50 perak kan? Silakan saja kalau mau tukar tempe?” Beliau mungkin lupa, bahwa Ayahandanya sendiri saat menjadi Presiden RI pernah menerbitkan uang di bawah nilai Rp.1,- yaitu uang sen Rupiah. Jadi 50 perak itu (Rp.50,00) sesuai pertanyaan Beliau, nanti saat redenominasi diberlakukan oleh BI, akan menjadi Rb.0,05 atau “lima sen Rupiah Baru”. Dengan uang baru segitu, tempe tetap kebeli oleh wong cilik. Ada lagi komentar teman gue terhadap status facebook di atas: “…kalau redominasi jalan beneran, maka Rp 1,- = ¥ 10,- artinya nilai tukar rupiah 10x lebih tinggi dari Yen. Wow …. besar betul bohongnya … ;D” Well, kalo yang ini penjelasannya agak panjang…. Soalnya ini ada hubungannya dengan junk food McDonald. Lho?! …bersambung ke Part II… HM Ihsan Kusasi Aug 6, 2010 ------- Part II ------- Sedikit refesh dari Part I, awal minggu lalu gue tulis status facebook berikut: “…is ‘redenominasi’ kan cuma merubah angka Rp.1000 menjadi Rp.1… tidak merubah ‘value’ nya… yang pegang uang Rp.1000 tuker ke bank jadi uang baru Rp.1… yang dulu beli pisang goreng pake uang Rp.1000 trus jadi pake uang baru Rp.1 tetap dapat pisang goreng yang sama… kok pada ribut?” Dan seorang teman gue memberikan komentar berikut: “…kalau redominasi jalan beneran, maka Rp 1,- = ¥ 10,- artinya nilai tukar rupiah 10x lebih tinggi dari Yen. Wow …. besar betul bohongnya … ;D” Well, penjelasannya mungkin rada njelimet bikin mumet… hihihi…. Sejatinya perhitungan nilai tukar mata uang antar dua negara dipengaruhi banyak faktor: nilai ekspor dan impor barang, jasa, dan modal antara kedua negara tersebut, serta faktor makro ekonomi lainnya. Memang benar, apabila redenominasi diberlakukan oleh BI saat ini, maka Rb.1,- (baca: satu Rupiah Baru) akan memiliki nilai tukar mata uang Jepang ¥10 (baca: sepuluh Japan Yen). Tapi bukan berarti orang Indonesia lebih kaya 10 kali lipat dari orang Jepang. Besar kecilnya “angka” dalam nilai tukar mata uang tidak ada pengaruhnya terhadap “value” dari barang atau jasa atau modal di negara-negara masing-masing. Penjelasan lebih mudah adalah dengan memakai pendekatan “Big Mac Theory”: seperti kita ketahui, Big Mac adalah salah satu menu hamburger di kedai McDonald, dan kedai tersebut tersebar ke segala penjuru dunia, dengan standar bahan baku, cara masak, dan rasa yang sama. Memiliki “value” yang sama, melalui standarisasi dan pengawasan yang ketat dari kantor pusat McDonald. Pada bulan September 1986, seorang wanita bernama Pam Woodall jurnalis majalah The Economist, menciptakan “Big Mac Index” untuk menentukan purchasing power parity (mahluk apaan lagi neh..? bikin tambah njelimet aja… hihihi…). Dengan index ini, orang yang awam ekonomi seperti gue, bisa dengan mudah secara kasar menentukan nila tukar mata uang negara lain. Tidak bikin mumet dengan perhitungan ekspor dan impor dan faktor makro ekonomi lainnya. Pada tabel Big Mac Index tahun 2007 di akhir note ini, kita bisa tahu harga Big Mac di Indonesia (Rp.15.900,-) dan di Jepang (¥280). Orang Indonesia dan orang Jepang, dengan memakai uang negaranya masing-masing, akan mendapatkan Big Mac yang sama pada harga di masing-masing negara. Artinya: “value” yang didapat adalah barang yang sama, baik rasa, komposisi, maupun beratnya. Andaikan, pada tahun 2007, dilakukan redenominasi oleh BI, maka harga Big Mac di Indonesia adalah Rb.15,90 (baca: lima belas Rupiah Baru sembilan puluh sen) dan di Jepang ¥280 (baca: dua ratus delapan puluh Japan Yen). Kalo kita bagi angka 280 dengan 15,9 maka nilai tukar mata uang Jepang berada pada kisaran Rb.1,- = ¥17. Nilai tukar di atas bukan berarti tahun 2007 kita lebih kaya 17 kali dari warga Jepang. Toh dengan nilai uang tersebut, sama-sama akan mendapatkan Big Mac di masing-masing negara dengan “value” yang sama. Tidak ada yang lebih kaya atau lebih miskin. Kemarin sambil jalan-jalan sekeluarga mencicipin sebuah mall yang sedang soft opening di Jakarta Selatan, gue coba mencuri-curi foto sebuah kedai donat dan kopi. Sama seperti yang gue dapati setahun terakhir ini, beberapa restoran dan kedai makan sudah mulai membuang tiga angka “ribuan” di daftar menu mereka. Juga selama setahun terakhir, gue gak pernah dapati pengunjung yang protes atau bahkan membayar sesuai yang tertulis tanpa angka ribuan. Misalkan tertulis menu Nasi Goreng Rp.10, tidak pernah benar-benar orang membayar “sepuluh Rupiah” untuk sepiring Nasi Goreng, secara sepuluh Rupiah saat ini mungkin cuma bisa mendapatkan tiga butir beras… hihihi… Penduduk Indonesia yang miskin baik di kota maupun desa, berdasarkan data Biro Pusat Statistik bulan Maret 2007, adalah sebanyak 16,58%. Siapa seh yang temasuk miskin? Tetangga gue yang kerja di kelurahan, pernah cerita: kalo ada keluarga yang mangajukan surat kemiskinan ke Kantor Kelurahan, kemudian begitu dilakukan survey dan keluarga tersebut kedapatan memiliki televisi di rumahnya, maka gugurlah status “miskin” pada keluarga tersebut. Dengan data statistik di atas, saat ini gue bisa katakan bahwa 50% lebih penduduk Indonesia adalah “jutawan”. Secara harga televisi 14″ paling murah adalah Rp.1.000.000,- (baca: satu juta Rupiah), maka penduduk Indonesia yang memiliki televisi, atau kulkas, atau sepeda, atau motor, sudah akan masuk kategori “jutawan”: suatu sebutan yang tidak mencerminkan kondisi sesungguhnya, karena “jutawan” masih diasosiasikan sebagai kondisi yang mapan, kaya, atau berlebih. Dengan rencana redenominasi oleh BI, maka sebutan “jutawan” akan kembali ke asosiasi aslinya. Keluarga yang hanya memiliki sebuah motor bebek seharga Rp.13.000.000,- (baca: tiga belas juta Rupiah), saat redenominasi nanti tidak akan menjadi jutawan lagi, karena harga motor bebeknya menjadi Rb.13.000,- (baca: tiga belas ribu Rupiah Baru). Tidak perlu gengsi status jutawannya tercabut karena redenominasi, secara keluarga yang hanya memiliki sebuah motor bebek memang belum bisa diasosiasikan keluarga mapan, kaya, atau berlebih. Tapi siapa yang tidak ingin mapan, kaya, atau berlebih secara ekonomi? Mau? Mau? Mau? Semua manusia gue yakin mau. Namun itu semua secara “value” manusia tidak berarti apa-apa, kecuali dia mapan iman, kaya hati, dan berlebih dalam bersedekah. Selamat menjadi “jutawan” di bulan puasa Ramadhan besok… HM Ihsan Kusasi Aug 8, 2010 – tiga hari sebelum Ramadhan 1431 http://ihsankusasi.wordpress.com/ [Non-text portions of this message have been removed] _______________________________________________ DISCLAIMER: This message contains confidential information and is intended only for the individual named. If you are not the named addressee you should not disseminate, distribute or copy this e-mail. Please notify the sender immediately by e-mail if you have received this e-mail by mistake and delete this e-mail from your system. E-mail transmission cannot be guaranteed to be secure or error-free as information could be intercepted, corrupted, lost, destroyed, arrive late or incomplete, or contain viruses. The sender therefore does not accept liability for any errors or omissions in the contents of this message, which arise as a result of e-mail transmission. If verification is required please request a hard-copy version. PT Tugu Pratama Indonesia [Non-text portions of this message have been removed]