> Rekan rekan 

Saya jadi tergelitik ingin memberikan
komentar mengenai orang Sunda yang uar biasa ini.
Ayip adalah manusia
angka yang mempunyai keteguhan daam memegang prinsip dalam menjalani
profesinya sebagai sastrawan.

Tapi ada  yang agak
menjadikan pertanyaan bagi Si Abah >

Benarkah Ayip tidak
menamatkan SMA- nya , karena dia meihat  PADA Masa ITU BEGITU
MUDAHNYA ORANG MENYOGOK , MENCARI BAHAN UJIAN  agar dapat  lulus
?

Saya lebih muda enam atau tujuh tahun dari Ayip , jadi kira
kira Ayip menamatkan SMA-nya pada tahun 1956 / 57 . 
Setahu saya
sistim ujian SMA yang nasional sangat tertib , dan angka kelulusan tidak
pernah ada yang 100 % atau sangat jarang.
Ditempat saya di Bandung
SMA yang "terkemuka " seperti SMA III , St Aleysus  pun
tidak 100 %.
Saya tidak pernah mendengar pada saat saya SMA ada 
bahan ujian bocor , atau nyogok guru dsb  untuk lulus
Pada saat
itu guru guru kita hormati , walaupun saya termasuk murid yang bandel ,
Kepala Sekolah saya di SMP waktu itu mempunyai rumah di jaan Sultan
Tirtayasa , daerah utara yyang merupakann tempat tinggal penggede di
Bandung. Hal yang sama juga berlaku bagi Kepsek SMA II , SMAIII , jadi
waktu itu kelihatannya hidup mereka lebih dari umayan.

Saya
tidak tahu apakah memor Ayip agak terganggu .dan agak tercampurkan antara
kejadian tempo doeloe dia dengan dengan kejadian saat ini dimana memang
sering terjadi skandal mengenai ujian nasional ? Ataukah ini hanya dialami
oleh Ayip sendiri  ?
Mungkin pak Awang bisa menjawab .

Memang "nobody is perfect .

Si Abah 





   Ada seorang putra Indonesia yang tak
punya gelar akademik sama sekali,
> bahkan ijazah SMA pun tak
punya karena ia tidak menamatkan SMA-nya, tetapi
> ia diangkat
sebagai gurubesar di tiga perguruan tinggi di Jepang.
> Bagaimana
bisa ?
> 
>   Kita barangkali akan sulit meneladani tokoh
yang satu ini, bukannya
> tidak mampu, tetapi kesempatan yang ada
pada masa kita hidup saat ini
> sudah jauh berbeda dengan
kesempatan yang lebar terbuka pada saat
> dahulu. Orang harus
mampu, dan ada kesempatan untuk menunjukkannya, maka
> ia akan
sukses. Memang kesempatan bisa diciptakan, tetapi belum tentu
>
selalu menjadi terbuka. Ini cerita tentang seseorang, barangkali ada
> manfaatnya, paling tidak menekankan : no pain no gain !
>

>   Sebuah buku baru diterbitkan Pustaka Jaya, Januari 2008.
Tebalnya
> setebal bantal, 1364 halaman, dicetak di kertas HVS. 
Meskipun tebal dan
> cetakannya bagus, harganya murah untuk buku
setebal ini, Rp 95.000
> (bandingkan dengan buku seri Harry Potter
terakhir, Deadly Hollows,
> tebal 1008 halaman, berkertas dengan
kualitas di bawah HVS, berharga Rp
> 175.000). Saat mengetahui
harganya, saya cukup kaget juga, buku-buku
> yang dicetak biasa
(bukan deluks) dengan tebal sekitar 200-300 halaman
> kini harga
rata-ratanya sekitar Rp 35.000-50.000, dengan harga rata2 itu
>
maka buku tebal Pustaka Jaya ini mestinya berharga sekitar Rp 250.000.
> Bagaimana buku setebal 1364 halaman ini harganya hanya Rp 95.000
?
> 
>   Saya mendapatkan jawabannya pada halaman 1329 di
buku ini dalam ”Ucapan
> Terimakasih”. Buku yang akan
saya ceritakan ini memang harga seharusnya
> adalah sekitar Rp
300.000. Tetapi, siapa yang mau membeli buku setebal
> 1364
halaman dengan harga Rp 300.000 ? Kata Rosihan Anwar, wartawan dan
> penulis senior itu, tebal buku maksimal yang masih menarik untuk
dibaca
> orang-orang Indonesia adalah sekitar 300-400 halaman.
Memang Rosihan
> Anwar menganjurkan penulis buku ini untuk
memotong bukunya sampai
> menjadi maksimal 400 halaman saja,
tetapi penulisnya merasa sayang
> memotong manuskripnya yang sudah
sampai 1000 halaman, jadi ia tak
> memotongnya sama sekali, maka
akhirnya menjadi 1364 halaman. Harganya ?
> Ada sekitar 100 orang,
sebagian di antaranya tokoh-tokoh terkenal
> Indonesia dan Manca
Negara  dari berbagai latar belakang, dari seniman
> sampai
birokrat, dari ilmuwan sampai jenderal, yang bersedia membeli
>
buku ini dengan harga edisi khusus dan terjadilah subsidi silang
>
sehingga
>  masyarakat umum dapat membelinya Rp 95.000. Sebuah ide
bagus !
> 
>   Baik, saya ceritakan saja buku ini.
Judulnya adalah ”Hidup Tanpa Ijazah
> : Yang Terekam dalam
Kenangan”, sebuah otobiografi Ajip Rosidi,
> sastrawan dan
budayawan Indonesia. Buku ini ditulis dalam waktu kurang
> dari
setahun, ditulis atas anjuran teman-teman Ajip dan mengejar waktu
> agar telah terbit saat Ajip berusia 70 tahun pada 31 Januari 2008.
Buku
> ini ditulis oleh Ajip sendiri, jadi bukan otobiografi
pesanan seperti
> banyak dipesankan oleh para tokoh politik dan
militer (namanya
> otobiografi ya harusnya ditulis sendiri dong,
kalau dituliskan orang
> lain ya namanya biografi). Walaupun buku
ini mulai ditulis tahun 2006,
> Ajip dapat merekam dengan cukup
detail peristiwa2 puluhan tahun
> sebelumnya sejak Ajip anak-anak,
remaja, pemuda, dewasa muda, dewasa,
> sampai usianya sekarang (70
tahun). Pasti Ajip biasa menulis jurnal
> kegiatan harian sehingga
ia bisa menuliskan kembali peristiwa
> sehari-hari puluhan tahun
ke belakang.
> 
>   Mengapa Ajip memberi judul buku ini
”Hidup Tanpa Ijazah” ? Karena Ajip
> tak punya ijazah
apa-apa, ijazah SMA pun tidak, sebab ia keluar sebelum
> ujian
akhir SMA (Taman Madya). Ajip tidak pernah kuliah, bukan sarjana,
> tentu bukan master, apalagi doktor. Ia hanya seorang otodidaktis
(pelaku
> otodidak) tulen. Tetapi, lihat karya, sepak terjang, dan
pengakuannya.
> Itu semua melebihi pencapaian rata-rata sarjana,
master, doktor, dan
> profesor pada umumnya.
> 
> 
 Saya tidak akan menceritakan dengan detail isi buku ini, untuk yang
> berminat silakan membelinya saja. Saya ingin menyoroti mengapa
Ajip
> keluar sekolah, tidak mau meneruskan sekolahnya,
otodidaknya, dan karya,
> sepak terjang, serta pengakuannya.
Dengan sikap dan kiprahnya seperti
> itu Ajip adalah manusia
langka, bukan hanya di Indonesia, di dunia pun
> jarang yang
seperti dia.
> 
>   Ajip lahir di Jatiwangi, Kabupaten
Majalengka, wilayah yang banyak
> menghasilkan genteng dan kecap
itu, pada 31 Januari 1938. Menempuh
> pendidikan hanya sampai
setingkat SMA yaitu di Taman Madya, Taman Siswa
> Jakarta, itu pun
tidak tamat.Tahun 1956 dia dengan sengaja keluar dari
> sekolahnya
seminggu sebelum ujian akhir dimulai. Pendidikan formalnya
>
berakhir 52 tahun yang lalu. Tetapi, ia tidak pernah berhenti belajar.
> Pendidikan dan belajar tak harus di satu tempat. Pendidikan harus
di
> sekolah, belajar bisa di mana saja.
> 
>  
Saat Ajip mau menempuh ujian nasional, ramai terjadi kebocoran
soal-soal
> ujian, orang tak segan mengeluarkan uang dalam jumlah
banyak untuk
> membeli soal ujian, guru-guru pun bisa disogok. Di
koran-koran timbul
> polemik tentang manfaat ujian. Dipertanyakan
tentang keabsahan ujian
> untuk menilai prestasi murid yang
sebenarnya. Ajip muda (16 tahun)
> berkesimpulan : orang tidak
segan melakukan perbuatan hina, membeli soal
> ujian atau menyogok
guru, demi lulus ujian. Untuk apa lulus ujian ?
> Untuk dapat
ijazah. Untuk apa ijazah ? Untuk melamar kerja. Untuk apa
> kerja
? Untuk dapat hidup. Kalau begitu, hidup berarti bergantung kepada
> secarik kertas bernama ijazah ! Ajip terkejut sendiri dengan
> kesimpulannya. Ia saat itu telah empat tahun berkarya (Ajip
mulai
> mengirimkan tulisan2 cerita dan puisi  dan dimuat di
koran2 dan majalah2
> sejak tahun 1952 saat umurnya masih 14
tahun) dan telah merasa bisa
> hidup cukup mandiri dengan
honorariumnya. Ajip bertanya, apakah seorang
> pengarang
>
 membutuhkan ijazah untuk bisa hidup ? Tidak.
> 
>   Ajip
memutuskan bahwa hidupnya tidak akan digantungkan kepada selembar
> ijazah. Prestasinya tidak akan bergantung kepada selembar
ijazah.
> Menurutnya tak ada sekolah atau universitas yang dapat
menuntunnya
> menjadi seorang pengarang yang baik, apalagi ia
punya pengalaman bahwa
> guru2 bahasa Indonesianya semasa di SMP
dan SMA harus lebih banyak
> membaca daripada dirinya.
>

>   ”Aku akan dapat meningkatkan pengetahuan dan
kemampuanku dalam bidang
> sastra dan penulisan dengan banyak
membaca. Dan membaca tidak usah di
> sekolah. Tidak usah juga
bersekolah tinggi karena aku sudah mengenal
> huruf-huruf.
Buku-buku dapat dibeli, atau dipinjam dari perpustakaan.
> Dalam
membaca aku dapat melampaui kebanyakan orang yang punya ijazah
>
lebar. Dengan kian luasnya bacaanku, maka tulisanku akan lebih
berbobot.
> Kalau tulisanku berbobot, niscaya orang-orang akan
menghargaiku sebagai
> pengarang. Akhirnya yang penting dalam
hidup adalah prestasi yang diakui
> oleh masyarakat. Berapa banyak
orang yang mempunyai ijazah tinggi dan
> menduduki jabatan penting
dalam masyarakat tetapi tidak pernah
> memperlihatkan prestasi
pribadi ? Mereka akan lenyap dari ingatan
> masyarakat kalau
mereka sudah pensiun atau setelah meninggal. Aku ingin
> tetap
dikenang orang walaupun aku sudah meninggalkan dunia yang fana
>
ini.  Dan hal itu hanya dapat dicapai dengan berkerja keras, dengan
> mencipta
>  karya yang bagus. Orang akan tetap mengingat
namaku kalau karya-karya
> yang kutulis bermutu” begitu
tulis Ajip Rosidi di dalam buku ini halaman
> 167-168.
>

>   Dan, keluarlah Ajip dari sekolah alias drop out, dia menulis
surat
> kepada gurunya di atas kartu pos, ”saya tidak jadi
ikut ujian nasional
> karena saya akan membuktikan bahwa saya
dapat hidup tanpa ijazah”  Luar
> biasa keputusan anak
remaja ini, keputusan sendiri, tanpa memberi tahu
> orang tuanya
di Jatiwangi.
> 
>   Dan puluhan tahun berikutnya adalah
puluhan tahun pembuktian bahwa Ajip
> bisa hidup tanpa ijazah.
Sebuah bakat yang ditekuni secara luar biasa
> akan berhasil luar
biasa juga. Setahun sebelum  ia keluar dari SMA, buku
> pertamanya
telah terbit ketika umurnya masih 17 tahun, berjudul
>
”Tahun-Tahun Kematian” (kumpulan cerpen). Itu adalah buku
pertama yang
> mengawali sebanyak lebih dari 110 judul buku
berikutnya selama puluhan
> tahun kemudian. Ajip menulis buku-buku
baik kumpulan cerpen, kumpulan
> puisi, roman, drama, penulisan
kembali cerita rakyat, cerita wayang,
> bacaan anak-anak, kumpulan
humor, esai dan kritik, polemik, memoar,
> bunga rampai, buku
terjemahan, biografi (ada 10 halaman daftar lengkap
> karya Ajip
di buku otobiografi ini). Ajip menulis baik dalam bahasa
> Sunda
maupun bahasa Indonesia. Banyak karyanya diterjemahkan oleh
>
penerbit internasional ke dalam bahasa-bahasa asing Belanda, Cina,
> Hindi, Inggris, Jepang, Jerman, Kroasia, Prancis, Rusia, Thai,
dan
> lain-lain.
> 
>   Sepak terjang Ajip tak
hanya dalam dunia penulisan sastra dan
> sekitarnya. Ia adalah
redaktur dan Pemimpin majalah Suluh Pelajar
> (1953-1955) saat
Ajip masih duduk di SMP dan SMA. Juga ia menjadi
> pemimpin
redaksi Majalah Sunda (1965-1967), Budaya Jaya (1968-1979), dan
>
Cupumanik (sejak 2005).
> 
>   Ajip juga adalah redaktur,
pendiri dan pemimpin usaha2 penerbitan. Ia
> adalah seorang
redaktur Balai Pustaka (1955-1956). Tahun 1962 mendirikan
>
Penerbit Kiwari, tahun 1964-1969 mendirikan dan memimpin Penerbit
> Tjupumanik di Jatiwangi. Tahun 1971 mendirikan Penerbit Pustaka
Jaya dan
> menjadi pemimpinnya. Tahun 1981 mendirikan Penerbit
Girimukti Pusaka,
> Tahun 2000 ia mendirikan dan memimpin Penerbit
Kiblat Buku Utama di
> Bandung. Usaha penerbitannya ada yang terus
berjalan sampai Sekarang
> (Pustaka Jaya), ada juga yang telah
lama berhenti.
> 
>   Ajip juga sangat giat dalam
berorganisasi, misalnya tahun 1954 (umur 16
> tahun) menjadi
anggota Badan Musyawarat Kebudayaan Nasional. Tahun 1956
> menjadi
anggota Lembaga Bahasa dan Sastra Sunda. Tahun 1972-1981 menjadi
>
ketua Dewan Kesenian Jakarta (dewan ini juga dibentuk pada tahun 1968
> atas prakarsa Ajip. Tahun 1973-1979 sebagai ketua Ikatan
Penerbit
> Indonesia (IKAPI). Tahun 1993 Ajip mendirikan Yayasan
Kebudayaan
> Rancage, sebuah yayasan yang mengapresiasi
karya-karya sastra daerah
> dalam bahasa Sunda, Jawa, dan Bali.
> 
>   Ajip juga menduduki banyak anggota badan-badan
kehormatan. Tahun
> 1960-1962 dia adalah anggota Badan
Pertimbangan Ilmu Pengetahuan bidang
> Sastra dan Sejarah. Tahun
1978-1980 sebagai staf ahli menteri Pendidikan
> dan Kebudayaan,
tahun 1979-1982 menjadi anggota Dewan Fim Nasional,
> tahun
1979-1980 menjadi anggota Dewan Pertimbangan Pengembangan Buku
>
Nasional. Tahun 2002 diangkat menjadi anggota Akademi Jakarta.
>

>   Meskipun Ajip tak menamatkan SMA-nya, tak pernah kuliah,
bukan sarjana,
> tentu bukan master, apalagi doktor, tahun 1967 ia
diangkat sebagai dosen
> luar biasa pada Fakultas Sastra
Universitas Padjadjaran di Bandung. Ajip
> pun sering diundang
memberikan kuliah umum di berbagai perguruan tinggi
> di seluruh
Indonesia. Dan, tahun 1981, Ajip diangkat sebagai Visiting
>
Professor pada Osaka Gaikokugo Daigaku di Osaka,  Jepang. Ajip mengajar
> di Jepang sampai tahun 2003. Ajip pun diangkat sebagai Gurubesar
Luar
> Biasa pada tahun 1983-1994 di Tenri Daigaku di Tenri, Nara,
Jepang.
> Tahun 1983-1996 menjadi Gurubesar Luar Biasa pada Kyoto
Sangyo Daigaku
> di Kyoto. Pensiun sebagai guru besar, Ajip pulang
ke Indonesia pada
> tahun 2003. Sekalipun Ajip berada di Jepang
selama 22 tahun, dia tetap
> menulis buku2nya dalam bahasa Sunda
dan Indonesia, tetap berhubungan
> dengan para penggiat sastra di
Tanah Air, dan tetap memantau serta
> mengelola organisasi2 yang
pernah didirikannya dari jauh.
> 
>   Sebagai penggiat
sastra, tentu Ajip pun banyak menjadi pembicara di
> berbagai
simposium, seminar, kongres, konferensi atau lokakarya mengenai
>
kebudayaan dan kesenian, terutama tentang sastra dan bahasa, baik di
> tingkat daerah, nasional, regional, maupun internasional. Sebagai
orang
> yang mumpuni dalam bidang sastra, Ajip pun kerap diminta
sebagai anggota
> dewan juri dalam menilai berbagai perlombaan
bidang sastra dan kesenian.
> 
>   Ajip dan organisasinya
pun beberapa kali mendapatkan dana nasional
> maupun internacional
untuk penelitian sastra dan budaya. Tahun 1969-1972
> Ajip
mendirikan dan memimpin proyek penelitian pantun dan folklor Sunda.
> Tahun 1960-1967 Ajip mendapatkan dana dari the Toyota Foundation
untuk
> meneliti kebudayaan Sunda dalam rangka penyusunan
Ensiklopedi Sunda
> (telah terbit pada tahun 2000). Tahun
1960-1994 meneliti puisi Sunda,
> dan hasilnya dituliskan dalam
tiga jilid buku dengan tabal total 1700
> halaman (telah terbit
dua jilid).
> 
>   Karena dedikasinya yang total lepada
kesustraan dan kebudayaan, Ajip
> beberapa kali diganjar
penghargaan, yaitu 1957 : Hadiah Sastra Nasional
> untuk kumpulan
puisinya, 1960 : Hadiah Sastra Nasional untuk buku
> kumpulan
cerpennya, 1974 : Cultural Award dari Australia, 1993 : Hadiah
>
Seni, 1994 : penghargaan sebagai salah satu dari 10 putra Sunda
terbaik,
> 1999 : penghargaan Order of the Sacred Treasure, Gold
Rays with Neck
> Ribbon dari Jepang, 2003 : penghargaan Mastera
dari Brunei, 2004 : Teeuw
> Award dari Belanda.
> 
>   Demikian sekilas karya-karya dan pencapaian-pencapai an Ajip.
Ia
> berkarya sejak berumur 14 tahun sampai kini usianya 70 tahun,
menekuni
> sastra dan budaya Sunda dan sastra Indonesia selama 56
tahun.
> 
>   Di dalam buku ini, yang berisi 23 bab, kita
bisa mengetahui bahwa
> pergaulan Ajip begitu luas, baik dengan
kalangan sesama sastrawan dan
> budayawan, juga dengan banyak
tokoh dari berbagai bidang baik di
> Indonesia maupun peneliti2
asing yang datang ke Indonesia untuk meneliti
> sastra dan budaya
Indonesia. Bagaimana pergaulan dan pandangan Ajip
> dengan tokoh2
seperti Ali Sadikin, Mochtar Lubis, Taufik Ismail, Asrul
> Sani,
Affandi, Gus Dur, Nurcholish Madjid, dan masih banyak lagi bisa
>
dibaca di sini. Pengamatannya tentang kejadian2 penting yang dialami
> Indonesia entah itu pertikaian politik, bencana, korupsi, dan lain2
dari
> tahun2 1940-an sampai sekarang bisa dibaca juga di sini.
Ajip juga
> menceritakan pikiran dan sikapnya tentang itu semua
dan hal2 yang
> dialaminya, termasuk saat gempa Kobe di Jepang, 
sebagaimana layaknya
> sebuah otobiografi. Buku otobiografi
setebal 1364 halaman ini adalah
> salah satu dari buku2
otobiografi paling tebal yang pernah ditulis.
> 
>   Kata
seorang pengamat, Ajip adalah seorang langka dengan kelebihan yang
> tidak dimiliki H.B. Jassin, Goenawan Mohamad, dan Soebagio
Sastrowardojo
> (Dr. Faruk dalam Kompas 31 Mei 2003).
>

>   “Mungkin ada orang yang membaca buku ini menuduh bahwa
buku ini
> merupakan usaha Ajip untuk memamerkan kehebatannya
sebagai orang yang
> “kurang sekolah”, tetapi berhasil
mencapai prestasi internasional. Tentu
> saja tuduhan itu sukar
dibantah. Meskipun tentunya sah-sah saja bagi
> orang berprestasi
untuk memamerkan prestasinya, apalagi prestasi ini
> dicapai
melalui perjuangan dan usaha sendiri dengan kerja keras. Ajip
>
sudah merupakan seorang yang dihargai di Indonesia, dia tak akan perlu
> memamerkan diri lagi, buku ini ditulisnya lebih kepada keinginan
untuk
> mengawetkan kenangan2 dan pikiran2-nya, berbagi pengalaman
dengan orang
> lain”, begitu tulis Arief Budiman dari
Melbourne, teman karib Ajip, 
> dalam kata pengantar otobiografi
ini.
> 
>   Satu hal yang sangat penting yang merupakan
pesan Ajip melalui buku ini
> adalah : meskipun pendidikan sangat
penting, orang bisa juga berhasil
> meskipun tidak atau kurang
sekolahnya. Ajip telah membuktikan kepada
> kita semua bahwa ia
bisa hidup dan berhasil sampai punya reputasi
> internasional
bahkan sampai menjadi gurubesar di tiga perguruan tinggi
> di luar
negeri meskipun tak punya gelar akademik apa pun, bahkan ijazah
>
SMA pun tak ia miliki, Ajip benar2 : hidup tanpa ijazah.
> 
>   “Ajip akan diterjang kegelisahan yang luar biasa saat ia
mandeg membaca
> dan gagap menulis” (Maman S. Mahayana dalam
Panji Mas, Februari 2003).
> 
> 
> 
>  
salam,
>   awang
> 
> 
>
---------------------------------
> Never miss a thing.   Make
Yahoo your homepage.


_______________________________________________
Nganyerikeun hate
batur hirupna mo bisa campur, ngangeunahkeun hate jalma hirupna pada
ngupama , Elmu tungtut dunya siar Ibadah kudu dilakonan.

Kirim email ke