A wang

Terima kasih kanggo sisindiranna,
dilagukeun-na nganggo kinanti atanapi pangkur ?

Eh, dimana bisa
beli itu buku ?

Si Abah 

________________________________________________________________________
> Abah,
> 
>   Mungkiwn saja Ajip akeliru,
kemnungkinan itu sudah diakuinya seperti
> ditulisnya di kata
pengantar bukunya pada halaman 4,
> 
>   "Akhirnya
saya memohon maaf kalau ternyata ingatan yang saya tulis dalam
>
otobiografi ini membangunkan macan tidur, tidak mustahil karena ingatan
> saya keliru, tetapi mungkin karena mengenai sesuatu kejadian yang
kita
> alami bersama, masing-masing akan mempunyai kesan dan
kenangan yang
> berbeda.Yang tersaji dalam otobiografi ini adalah
kesan dan ingatan yang
> ada pada saya.Orang lain yang juga
mengalami peristiwa yang sama dengan
> saya mungkin mempunyai
kesan dan ingatan yang berbeda."
> 
>   Sebenarnya
sisi paling menarik dari buku ini adalah bukan soal sekolah
> atau
gelar, tetapi pengalaman Ajip semasa Ali Sadikin jadi gubernur DKI
> (saat Ajip hampir saja diangkat jadi menteri tetapi kemudian
"disikut"),
> saat Ajip bersama sahabat2nya, pengalaman
Ajip sebagai orang Indonesia
> di Jepang, pengalaman Ajip
mengamati reformasi, dan masih banyak lagi
> peristiwa yang
menyangkut tokoh2 yang kita kenal yang dia tulis dengan
> lugas
apa adanya (maka Ajip menulis di kata pengantar, mohon maaf kalau
> sampai membangunkan macan tidur). Mungkin ada/banyak orang akan
> tersinggung dengan tulisan Ajip ini, bisa saja nanti ada
otobiografi
> tandingan he2..(seperti Habibie lawan Prabowo).
> 
>   Gaya penulisan buku ini mirip puisi Sunda seperti di
bawah, ditulis apa
> adanya, tanpa berseni, tanpa emosi, tanpa
perasaan, hanya menceritakan
> fakta dan peristiwa.
> 
>   "Ngebul curug Cikapundung,
> cai tiguling teu
eling,
>   seahna ayeuh-ayeuhan,
>   cai mulang cai
malik,
>   leumpang laun reureundeuheun
>   taya kalali
kaeling"
> 
>   Hasan Mustopa (1852-1830)
>

>   salam,
>   awang
> 
> "yanto
R.Sumantri" <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
> 
> 
> 
>> Rekan rekan
> 
> Saya jadi
tergelitik ingin memberikan
> komentar mengenai orang Sunda yang
uar biasa ini.
> Ayip adalah manusia
> angka yang
mempunyai keteguhan daam memegang prinsip dalam menjalani
>
profesinya sebagai sastrawan.
> 
> Tapi ada  yang agak
> menjadikan pertanyaan bagi Si Abah >
> 
>
Benarkah Ayip tidak
> menamatkan SMA- nya , karena dia meihat 
PADA Masa ITU BEGITU
> MUDAHNYA ORANG MENYOGOK , MENCARI BAHAN
UJIAN  agar dapat  lulus
> ?
> 
> Saya lebih muda
enam atau tujuh tahun dari Ayip , jadi kira
> kira Ayip menamatkan
SMA-nya pada tahun 1956 / 57 .
> Setahu saya
> sistim
ujian SMA yang nasional sangat tertib , dan angka kelulusan tidak
> pernah ada yang 100 % atau sangat jarang.
> Ditempat saya
di Bandung
> SMA yang "terkemuka " seperti SMA III , St
Aleysus  pun
> tidak 100 %.
> Saya tidak pernah mendengar
pada saat saya SMA ada
> bahan ujian bocor , atau nyogok guru dsb 
untuk lulus
> Pada saat
> itu guru guru kita hormati ,
walaupun saya termasuk murid yang bandel ,
> Kepala Sekolah saya
di SMP waktu itu mempunyai rumah di jaan Sultan
> Tirtayasa ,
daerah utara yyang merupakann tempat tinggal penggede di
>
Bandung. Hal yang sama juga berlaku bagi Kepsek SMA II , SMAIII , jadi
> waktu itu kelihatannya hidup mereka lebih dari umayan.
>

> Saya
> tidak tahu apakah memor Ayip agak terganggu .dan
agak tercampurkan antara
> kejadian tempo doeloe dia dengan dengan
kejadian saat ini dimana memang
> sering terjadi skandal mengenai
ujian nasional ? Ataukah ini hanya dialami
> oleh Ayip sendiri 
?
> Mungkin pak Awang bisa menjawab .
> 
> Memang
"nobody is perfect .
> 
> Si Abah
> 
> 
> 
> 
> 
>    Ada seorang putra
Indonesia yang tak
> punya gelar akademik sama sekali,
>> bahkan ijazah SMA pun tak
> punya karena ia tidak
menamatkan SMA-nya, tetapi
>> ia diangkat
> sebagai
gurubesar di tiga perguruan tinggi di Jepang.
>> Bagaimana
> bisa ?
>>
>> Kita barangkali akan sulit
meneladani tokoh
> yang satu ini, bukannya
>> tidak
mampu, tetapi kesempatan yang ada
> pada masa kita hidup saat
ini
>> sudah jauh berbeda dengan
> kesempatan yang
lebar terbuka pada saat
>> dahulu. Orang harus
> mampu,
dan ada kesempatan untuk menunjukkannya, maka
>> ia akan
> sukses. Memang kesempatan bisa diciptakan, tetapi belum tentu
>>
> selalu menjadi terbuka. Ini cerita tentang seseorang,
barangkali ada
>> manfaatnya, paling tidak menekankan : no pain
no gain !
>>
> 
>> Sebuah buku baru
diterbitkan Pustaka Jaya, Januari 2008.
> Tebalnya
>>
setebal bantal, 1364 halaman, dicetak di kertas HVS.
> Meskipun
tebal dan
>> cetakannya bagus, harganya murah untuk buku
> setebal ini, Rp 95.000
>> (bandingkan dengan buku seri
Harry Potter
> terakhir, Deadly Hollows,
>> tebal 1008
halaman, berkertas dengan
> kualitas di bawah HVS, berharga Rp
>> 175.000). Saat mengetahui
> harganya, saya cukup kaget
juga, buku-buku
>> yang dicetak biasa
> (bukan deluks)
dengan tebal sekitar 200-300 halaman
>> kini harga
>
rata-ratanya sekitar Rp 35.000-50.000, dengan harga rata2 itu
>>
> maka buku tebal Pustaka Jaya ini mestinya berharga
sekitar Rp 250.000.
>> Bagaimana buku setebal 1364 halaman ini
harganya hanya Rp 95.000
> ?
>>
>> Saya
mendapatkan jawabannya pada halaman 1329 di
> buku ini dalam
&rdquo;Ucapan
>> Terimakasih&rdquo;. Buku yang akan
>
saya ceritakan ini memang harga seharusnya
>> adalah sekitar
Rp
> 300.000. Tetapi, siapa yang mau membeli buku setebal
>> 1364
> halaman dengan harga Rp 300.000 ? Kata Rosihan
Anwar, wartawan dan
>> penulis senior itu, tebal buku maksimal
yang masih menarik untuk
> dibaca
>> orang-orang
Indonesia adalah sekitar 300-400 halaman.
> Memang Rosihan
>> Anwar menganjurkan penulis buku ini untuk
> memotong
bukunya sampai
>> menjadi maksimal 400 halaman saja,
>
tetapi penulisnya merasa sayang
>> memotong manuskripnya yang
sudah
> sampai 1000 halaman, jadi ia tak
>> memotongnya
sama sekali, maka
> akhirnya menjadi 1364 halaman. Harganya ?
>> Ada sekitar 100 orang,
> sebagian di antaranya
tokoh-tokoh terkenal
>> Indonesia dan Manca
> Negara
dari berbagai latar belakang, dari seniman
>> sampai
>
birokrat, dari ilmuwan sampai jenderal, yang bersedia membeli
>>
> buku ini dengan harga edisi khusus dan terjadilah
subsidi silang
>>
> sehingga
>> masyarakat
umum dapat membelinya Rp 95.000. Sebuah ide
> bagus !
>>
>> Baik, saya ceritakan saja buku ini.
>
Judulnya adalah &rdquo;Hidup Tanpa Ijazah
>> : Yang Terekam
dalam
> Kenangan&rdquo;, sebuah otobiografi Ajip Rosidi,
>> sastrawan dan
> budayawan Indonesia. Buku ini ditulis
dalam waktu kurang
>> dari
> setahun, ditulis atas
anjuran teman-teman Ajip dan mengejar waktu
>> agar telah
terbit saat Ajip berusia 70 tahun pada 31 Januari 2008.
> Buku
>> ini ditulis oleh Ajip sendiri, jadi bukan otobiografi
>
pesanan seperti
>> banyak dipesankan oleh para tokoh politik
dan
> militer (namanya
>> otobiografi ya harusnya
ditulis sendiri dong,
> kalau dituliskan orang
>> lain
ya namanya biografi). Walaupun buku
> ini mulai ditulis tahun
2006,
>> Ajip dapat merekam dengan cukup
> detail
peristiwa2 puluhan tahun
>> sebelumnya sejak Ajip anak-anak,
> remaja, pemuda, dewasa muda, dewasa,
>> sampai usianya
sekarang (70
> tahun). Pasti Ajip biasa menulis jurnal
>> kegiatan harian sehingga
> ia bisa menuliskan kembali
peristiwa
>> sehari-hari puluhan tahun
> ke
belakang.
>>
>> Mengapa Ajip memberi judul buku
ini
> &rdquo;Hidup Tanpa Ijazah&rdquo; ? Karena Ajip
>>
tak punya ijazah
> apa-apa, ijazah SMA pun tidak, sebab ia keluar
sebelum
>> ujian
> akhir SMA (Taman Madya). Ajip tidak
pernah kuliah, bukan sarjana,
>> tentu bukan master, apalagi
doktor. Ia hanya seorang otodidaktis
> (pelaku
>>
otodidak) tulen. Tetapi, lihat karya, sepak terjang, dan
>
pengakuannya.
>> Itu semua melebihi pencapaian rata-rata
sarjana,
> master, doktor, dan
>> profesor pada
umumnya.
>>
>>
> Saya tidak akan
menceritakan dengan detail isi buku ini, untuk yang
>> berminat
silakan membelinya saja. Saya ingin menyoroti mengapa
> Ajip
>> keluar sekolah, tidak mau meneruskan sekolahnya,
>
otodidaknya, dan karya,
>> sepak terjang, serta
pengakuannya.
> Dengan sikap dan kiprahnya seperti
>>
itu Ajip adalah manusia
> langka, bukan hanya di Indonesia, di
dunia pun
>> jarang yang
> seperti dia.
>>
>> Ajip lahir di Jatiwangi, Kabupaten
>
Majalengka, wilayah yang banyak
>> menghasilkan genteng dan
kecap
> itu, pada 31 Januari 1938. Menempuh
>>
pendidikan hanya sampai
> setingkat SMA yaitu di Taman Madya,
Taman Siswa
>> Jakarta, itu pun
> tidak tamat.Tahun
1956 dia dengan sengaja keluar dari
>> sekolahnya
>
seminggu sebelum ujian akhir dimulai. Pendidikan formalnya
>>
> berakhir 52 tahun yang lalu. Tetapi, ia tidak pernah
berhenti belajar.
>> Pendidikan dan belajar tak harus di satu
tempat. Pendidikan harus
> di
>> sekolah, belajar bisa
di mana saja.
>>
>>
> Saat Ajip mau menempuh
ujian nasional, ramai terjadi kebocoran
> soal-soal
>>
ujian, orang tak segan mengeluarkan uang dalam jumlah
> banyak
untuk
>> membeli soal ujian, guru-guru pun bisa disogok. Di
> koran-koran timbul
>> polemik tentang manfaat ujian.
Dipertanyakan
> tentang keabsahan ujian
>> untuk
menilai prestasi murid yang
> sebenarnya. Ajip muda (16 tahun)
>> berkesimpulan : orang tidak
> segan melakukan perbuatan
hina, membeli soal
>> ujian atau menyogok
> guru, demi
lulus ujian. Untuk apa lulus ujian ?
>> Untuk dapat
>
ijazah. Untuk apa ijazah ? Untuk melamar kerja. Untuk apa
>>
kerja
> ? Untuk dapat hidup. Kalau begitu, hidup berarti
bergantung kepada
>> secarik kertas bernama ijazah ! Ajip
terkejut sendiri dengan
>> kesimpulannya. Ia saat itu telah
empat tahun berkarya (Ajip
> mulai
>> mengirimkan
tulisan2 cerita dan puisi dan dimuat di
> koran2 dan majalah2
>> sejak tahun 1952 saat umurnya masih 14
> tahun) dan
telah merasa bisa
>> hidup cukup mandiri dengan
>
honorariumnya. Ajip bertanya, apakah seorang
>> pengarang
>>
> membutuhkan ijazah untuk bisa hidup ? Tidak.
>>
>> Ajip
> memutuskan bahwa hidupnya tidak
akan digantungkan kepada selembar
>> ijazah. Prestasinya tidak
akan bergantung kepada selembar
> ijazah.
>> Menurutnya
tak ada sekolah atau universitas yang dapat
> menuntunnya
>> menjadi seorang pengarang yang baik, apalagi ia
> punya
pengalaman bahwa
>> guru2 bahasa Indonesianya semasa di SMP
> dan SMA harus lebih banyak
>> membaca daripada
dirinya.
>>
> 
>> &rdquo;Aku akan dapat
meningkatkan pengetahuan dan
> kemampuanku dalam bidang
>> sastra dan penulisan dengan banyak
> membaca. Dan
membaca tidak usah di
>> sekolah. Tidak usah juga
>
bersekolah tinggi karena aku sudah mengenal
>> huruf-huruf.
> Buku-buku dapat dibeli, atau dipinjam dari perpustakaan.
>> Dalam
> membaca aku dapat melampaui kebanyakan orang
yang punya ijazah
>>
> lebar. Dengan kian luasnya
bacaanku, maka tulisanku akan lebih
> berbobot.
>>
Kalau tulisanku berbobot, niscaya orang-orang akan
> menghargaiku
sebagai
>> pengarang. Akhirnya yang penting dalam
>
hidup adalah prestasi yang diakui
>> oleh masyarakat. Berapa
banyak
> orang yang mempunyai ijazah tinggi dan
>>
menduduki jabatan penting
> dalam masyarakat tetapi tidak
pernah
>> memperlihatkan prestasi
> pribadi ? Mereka
akan lenyap dari ingatan
>> masyarakat kalau
> mereka
sudah pensiun atau setelah meninggal. Aku ingin
>> tetap
> dikenang orang walaupun aku sudah meninggalkan dunia yang fana
>>
> ini. Dan hal itu hanya dapat dicapai dengan berkerja
keras, dengan
>> mencipta
>> karya yang bagus. Orang
akan tetap mengingat
> namaku kalau karya-karya
>> yang
kutulis bermutu&rdquo; begitu
> tulis Ajip Rosidi di dalam buku
ini halaman
>> 167-168.
>>
> 
>>
Dan, keluarlah Ajip dari sekolah alias drop out, dia menulis
>
surat
>> kepada gurunya di atas kartu pos, &rdquo;saya tidak
jadi
> ikut ujian nasional
>> karena saya akan
membuktikan bahwa saya
> dapat hidup tanpa ijazah&rdquo; Luar
>> biasa keputusan anak
> remaja ini, keputusan sendiri,
tanpa memberi tahu
>> orang tuanya
> di Jatiwangi.
>>
>> Dan puluhan tahun berikutnya adalah
>
puluhan tahun pembuktian bahwa Ajip
>> bisa hidup tanpa
ijazah.
> Sebuah bakat yang ditekuni secara luar biasa
>> akan berhasil luar
> biasa juga. Setahun sebelum ia
keluar dari SMA, buku
>> pertamanya
> telah terbit
ketika umurnya masih 17 tahun, berjudul
>>
>
&rdquo;Tahun-Tahun Kematian&rdquo; (kumpulan cerpen). Itu adalah buku
> pertama yang
>> mengawali sebanyak lebih dari 110 judul
buku
> berikutnya selama puluhan
>> tahun kemudian.
Ajip menulis buku-buku
> baik kumpulan cerpen, kumpulan
>> puisi, roman, drama, penulisan
> kembali cerita rakyat,
cerita wayang,
>> bacaan anak-anak, kumpulan
> humor,
esai dan kritik, polemik, memoar,
>> bunga rampai, buku
> terjemahan, biografi (ada 10 halaman daftar lengkap
>>
karya Ajip
> di buku otobiografi ini). Ajip menulis baik dalam
bahasa
>> Sunda
> maupun bahasa Indonesia. Banyak
karyanya diterjemahkan oleh
>>
> penerbit internasional
ke dalam bahasa-bahasa asing Belanda, Cina,
>> Hindi, Inggris,
Jepang, Jerman, Kroasia, Prancis, Rusia, Thai,
> dan
>>
lain-lain.
>>
>> Sepak terjang Ajip tak
>
hanya dalam dunia penulisan sastra dan
>> sekitarnya. Ia
adalah
> redaktur dan Pemimpin majalah Suluh Pelajar
>>
(1953-1955) saat
> Ajip masih duduk di SMP dan SMA. Juga ia
menjadi
>> pemimpin
> redaksi Majalah Sunda
(1965-1967), Budaya Jaya (1968-1979), dan
>>
>
Cupumanik (sejak 2005).
>>
>> Ajip juga adalah
redaktur,
> pendiri dan pemimpin usaha2 penerbitan. Ia
>> adalah seorang
> redaktur Balai Pustaka (1955-1956).
Tahun 1962 mendirikan
>>
> Penerbit Kiwari, tahun
1964-1969 mendirikan dan memimpin Penerbit
>> Tjupumanik di
Jatiwangi. Tahun 1971 mendirikan Penerbit Pustaka
> Jaya dan
>> menjadi pemimpinnya. Tahun 1981 mendirikan Penerbit
>
Girimukti Pusaka,
>> Tahun 2000 ia mendirikan dan memimpin
Penerbit
> Kiblat Buku Utama di
>> Bandung. Usaha
penerbitannya ada yang terus
> berjalan sampai Sekarang
>> (Pustaka Jaya), ada juga yang telah
> lama berhenti.
>>
>> Ajip juga sangat giat dalam
>
berorganisasi, misalnya tahun 1954 (umur 16
>> tahun)
menjadi
> anggota Badan Musyawarat Kebudayaan Nasional. Tahun
1956
>> menjadi
> anggota Lembaga Bahasa dan Sastra
Sunda. Tahun 1972-1981 menjadi
>>
> ketua Dewan
Kesenian Jakarta (dewan ini juga dibentuk pada tahun 1968
>>
atas prakarsa Ajip. Tahun 1973-1979 sebagai ketua Ikatan
>
Penerbit
>> Indonesia (IKAPI). Tahun 1993 Ajip mendirikan
Yayasan
> Kebudayaan
>> Rancage, sebuah yayasan yang
mengapresiasi
> karya-karya sastra daerah
>> dalam
bahasa Sunda, Jawa, dan Bali.
>>
>> Ajip juga
menduduki banyak anggota badan-badan
> kehormatan. Tahun
>> 1960-1962 dia adalah anggota Badan
> Pertimbangan Ilmu
Pengetahuan bidang
>> Sastra dan Sejarah. Tahun
>
1978-1980 sebagai staf ahli menteri Pendidikan
>> dan
Kebudayaan,
> tahun 1979-1982 menjadi anggota Dewan Fim
Nasional,
>> tahun
> 1979-1980 menjadi anggota Dewan
Pertimbangan Pengembangan Buku
>>
> Nasional. Tahun
2002 diangkat menjadi anggota Akademi Jakarta.
>>
> 
>> Meskipun Ajip tak menamatkan SMA-nya, tak pernah kuliah,
> bukan sarjana,
>> tentu bukan master, apalagi doktor,
tahun 1967 ia
> diangkat sebagai dosen
>> luar biasa
pada Fakultas Sastra
> Universitas Padjadjaran di Bandung. Ajip
>> pun sering diundang
> memberikan kuliah umum di
berbagai perguruan tinggi
>> di seluruh
> Indonesia.
Dan, tahun 1981, Ajip diangkat sebagai Visiting
>>
>
Professor pada Osaka Gaikokugo Daigaku di Osaka, Jepang. Ajip mengajar
>> di Jepang sampai tahun 2003. Ajip pun diangkat sebagai
Gurubesar
> Luar
>> Biasa pada tahun 1983-1994 di Tenri
Daigaku di Tenri, Nara,
> Jepang.
>> Tahun 1983-1996
menjadi Gurubesar Luar Biasa pada Kyoto
> Sangyo Daigaku
>> di Kyoto. Pensiun sebagai guru besar, Ajip pulang
> ke
Indonesia pada
>> tahun 2003. Sekalipun Ajip berada di
Jepang
> selama 22 tahun, dia tetap
>> menulis buku2nya
dalam bahasa Sunda
> dan Indonesia, tetap berhubungan
>> dengan para penggiat sastra di
> Tanah Air, dan tetap
memantau serta
>> mengelola organisasi2 yang
> pernah
didirikannya dari jauh.
>>
>> Sebagai penggiat
> sastra, tentu Ajip pun banyak menjadi pembicara di
>>
berbagai
> simposium, seminar, kongres, konferensi atau lokakarya
mengenai
>>
> kebudayaan dan kesenian, terutama tentang
sastra dan bahasa, baik di
>> tingkat daerah, nasional,
regional, maupun internasional. Sebagai
> orang
>> yang
mumpuni dalam bidang sastra, Ajip pun kerap diminta
> sebagai
anggota
>> dewan juri dalam menilai berbagai perlombaan
> bidang sastra dan kesenian.
>>
>> Ajip dan
organisasinya
> pun beberapa kali mendapatkan dana nasional
>> maupun internacional
> untuk penelitian sastra dan
budaya. Tahun 1969-1972
>> Ajip
> mendirikan dan
memimpin proyek penelitian pantun dan folklor Sunda.
>> Tahun
1960-1967 Ajip mendapatkan dana dari the Toyota Foundation
>
untuk
>> meneliti kebudayaan Sunda dalam rangka penyusunan
> Ensiklopedi Sunda
>> (telah terbit pada tahun 2000).
Tahun
> 1960-1994 meneliti puisi Sunda,
>> dan hasilnya
dituliskan dalam
> tiga jilid buku dengan tabal total 1700
>> halaman (telah terbit
> dua jilid).
>>
>> Karena dedikasinya yang total lepada
> kesustraan dan
kebudayaan, Ajip
>> beberapa kali diganjar
>
penghargaan, yaitu 1957 : Hadiah Sastra Nasional
>> untuk
kumpulan
> puisinya, 1960 : Hadiah Sastra Nasional untuk buku
>> kumpulan
> cerpennya, 1974 : Cultural Award dari
Australia, 1993 : Hadiah
>>
> Seni, 1994 : penghargaan
sebagai salah satu dari 10 putra Sunda
> terbaik,
>>
1999 : penghargaan Order of the Sacred Treasure, Gold
> Rays with
Neck
>> Ribbon dari Jepang, 2003 : penghargaan Mastera
> dari Brunei, 2004 : Teeuw
>> Award dari Belanda.
>>
>> Demikian sekilas karya-karya dan
pencapaian-pencapai an Ajip.
> Ia
>> berkarya sejak
berumur 14 tahun sampai kini usianya 70 tahun,
> menekuni
>> sastra dan budaya Sunda dan sastra Indonesia selama 56
> tahun.
>>
>> Di dalam buku ini, yang berisi
23 bab, kita
> bisa mengetahui bahwa
>> pergaulan Ajip
begitu luas, baik dengan
> kalangan sesama sastrawan dan
>> budayawan, juga dengan banyak
> tokoh dari berbagai
bidang baik di
>> Indonesia maupun peneliti2
> asing
yang datang ke Indonesia untuk meneliti
>> sastra dan budaya
> Indonesia. Bagaimana pergaulan dan pandangan Ajip
>>
dengan tokoh2
> seperti Ali Sadikin, Mochtar Lubis, Taufik Ismail,
Asrul
>> Sani,
> Affandi, Gus Dur, Nurcholish Madjid,
dan masih banyak lagi bisa
>>
> dibaca di sini.
Pengamatannya tentang kejadian2 penting yang dialami
>>
Indonesia entah itu pertikaian politik, bencana, korupsi, dan lain2
> dari
>> tahun2 1940-an sampai sekarang bisa dibaca juga
di sini.
> Ajip juga
>> menceritakan pikiran dan
sikapnya tentang itu semua
> dan hal2 yang
>>
dialaminya, termasuk saat gempa Kobe di Jepang,
> sebagaimana
layaknya
>> sebuah otobiografi. Buku otobiografi
>
setebal 1364 halaman ini adalah
>> salah satu dari buku2
> otobiografi paling tebal yang pernah ditulis.
>>
>> Kata
> seorang pengamat, Ajip adalah seorang langka
dengan kelebihan yang
>> tidak dimiliki H.B. Jassin, Goenawan
Mohamad, dan Soebagio
> Sastrowardojo
>> (Dr. Faruk
dalam Kompas 31 Mei 2003).
>>
> 
>>
&ldquo;Mungkin ada orang yang membaca buku ini menuduh bahwa
>
buku ini
>> merupakan usaha Ajip untuk memamerkan
kehebatannya
> sebagai orang yang
>> &ldquo;kurang
sekolah&rdquo;, tetapi berhasil
> mencapai prestasi internasional.
Tentu
>> saja tuduhan itu sukar
> dibantah. Meskipun
tentunya sah-sah saja bagi
>> orang berprestasi
> untuk
memamerkan prestasinya, apalagi prestasi ini
>> dicapai
> melalui perjuangan dan usaha sendiri dengan kerja keras. Ajip
>>
> sudah merupakan seorang yang dihargai di Indonesia,
dia tak akan perlu
>> memamerkan diri lagi, buku ini ditulisnya
lebih kepada keinginan
> untuk
>> mengawetkan kenangan2
dan pikiran2-nya, berbagi pengalaman
> dengan orang
>>
lain&rdquo;, begitu tulis Arief Budiman dari
> Melbourne, teman
karib Ajip,
>> dalam kata pengantar otobiografi
>
ini.
>>
>> Satu hal yang sangat penting yang
merupakan
> pesan Ajip melalui buku ini
>> adalah :
meskipun pendidikan sangat
> penting, orang bisa juga berhasil
>> meskipun tidak atau kurang
> sekolahnya. Ajip telah
membuktikan kepada
>> kita semua bahwa ia
> bisa hidup
dan berhasil sampai punya reputasi
>> internasional
>
bahkan sampai menjadi gurubesar di tiga perguruan tinggi
>> di
luar
> negeri meskipun tak punya gelar akademik apa pun, bahkan
ijazah
>>
> SMA pun tak ia miliki, Ajip benar2 : hidup
tanpa ijazah.
>>
>> &ldquo;Ajip akan diterjang
kegelisahan yang luar biasa saat ia
> mandeg membaca
>>
dan gagap menulis&rdquo; (Maman S. Mahayana dalam
> Panji Mas,
Februari 2003).
>>
>>
>>
>>
> salam,
>> awang
>>
>>
>>
> ---------------------------------
>> Never
miss a thing. Make
> Yahoo your homepage.
> 
> 
> _______________________________________________
>
Nganyerikeun hate
> batur hirupna mo bisa campur, ngangeunahkeun
hate jalma hirupna pada
> ngupama , Elmu tungtut dunya siar Ibadah
kudu dilakonan.
> 
> 
> 
>
---------------------------------
> Looking for last minute
shopping deals?  Find them fast with Yahoo!
> Search.


_______________________________________________
Nganyerikeun
hate batur hirupna mo bisa campur, ngangeunahkeun hate jalma hirupna pada
ngupama , Elmu tungtut dunya siar Ibadah kudu dilakonan.

Kirim email ke