Jangan-jangan Saddam (alm) dulu terinspirasi buku ini waktu membumi hanguskan 
ladang minyak di kuwait...:-).
 
Pak Awang,
saya lagi baca buku lama "Prize"...cape juga ya, udah tebel bukunya, tulisannya 
kecil-kecil lagi....tapi menarik sekali, jadi walau mata pegel ya susah 
lepasnya..


salam,

----- Original Message ----
From: Awang Satyana <[EMAIL PROTECTED]>
To: IAGI <iagi-net@iagi.or.id>; Geo Unpad <[EMAIL PROTECTED]>; Forum HAGI 
<[EMAIL PROTECTED]>; Eksplorasi BPMIGAS <[EMAIL PROTECTED]>
Sent: Sunday, September 21, 2008 11:28:26 PM
Subject: [iagi-net-l] East Indies Episode (Fabricius, 1949) : Bumi Hanguskan 
Minyak !

“East Indies Episode” adalah judul sebuah buku tulisan Johan Fabricius tahun 
1948. “Bumi Hanguskan Minyak !” adalah instruksi resmi Pemerintah Hindia 
Belanda dari Batavia ke seluruh lapangan minyak di Borneo, Sumatra, Papua dan 
Jawa pada 8 Desember tahun 1941 beberapa jam setelah pecahnya Perang Pasifik. 
Ada apa ini ?
 
Buku berumur hampir 60 tahun ini tidak dijual untuk umum, sehingga mungkin akan 
sulit dicari saat ini, kecuali di Shell Belanda barangkali. Saya mendapatkan 
buku ini dari seorang kenalan berbangsa Belanda, sesama penggemar buku.
 
Buku sangat menarik ini bercerita tentang bagaimana situasi saat Jepang akan 
datang ke Indonesia dan selama pendudukan Jepang di Indonesia tahun 1941-1945 
serta hubungannya dengan perusakan banyak lapangan minyak, kilang, jalur 
transportasi minyak, dan pelabuhan agar tak jatuh ke tangan Jepang. Perusakan 
dilakukan oleh karyawan-karyawan BPM (Bataafsche Petroleum Maatschappij) 
sendiri atas perintah Pemerintah Pusat di Batavia.
 
Tentu kita bisa merasakan bagaimana sakit hatinya bila rumah yang telah kita 
bangun bertahun-tahun, belasan, bahkan puluhan tahun lalu mesti kita hancurkan 
sendiri dalam beberapa hari saja karena mau diduduki musuh. Begitulah perasaan 
pimpinan dan karyawan BPM saat itu. Menemukan lapangan minyak, 
mengembangkannya, membangun fasilitasnya, dan memproduksinya kita tahu butuh 
waktu bukan setahun atau dua tahun, tetapi lima atau sepuluh tahun, bahkan 
lebih.
 
Asap hitam minyak, kebakaran dari lapangan minyak, jalur pipa, kilang, dan 
pelabuhan membubung di seluruh Nusantara, dari Sumatra, Kalimantan, Jawa, dan 
Papua. 
 
Buku ini ditulis oleh Johan Fabricius, seorang penulis untuk BPM, berdasarkan 
laporan-laporan “perusakan lapangan” yang ditulis pimpinan dan karyawan BPM. 
Buku diberi kata pengantar oleh van Hasselt, direktur pelaksana BPM tahun 1949. 
Buku diterbitkan pada Januari 1949 oleh The Shell Petroleum Company Ltd., 
dicetak oleh Bosch & Zoon di Utrecht.
 
Saya tak akan menceritakan seluruh episode perusakan lapangan dan fasilitas 
minyak di Hindia Timur ini dalam sekali tulisan sebab akan terlalu panjang. 
Saya akan memulai dengan mengapa perusakan terjadi dan perusakan paling pertama 
yang terjadi : lapangan-lapangan minyak di Northwest Borneo : Miri dan Seria 
(wilayah Brunei sekarang). 
 
Sejak Jepang merasa bahwa bangsanya telah terpilih untuk menguasai sekaligus 
melindungi Asia Timur, Jepang telah melihat bahwa kekayaan alam Netherlands 
East Indies (Indonesia sekarang) akan merupakan “hidup dan matinya”, terutama 
lapangan-lapangan minyak di Kalimantan, Sumatra, Papua, dan Jawa. Minyak 
baginya akan merupakan kunci ke supremasi militer yang telah lama diimpikannya. 
Maka, dimulailah “Kobayashi Mission” baik dengan jalan damai maupun perang, 
untuk menguasai lapangan-lapangan minyak itu, menguasainya secepat mungkin 
melalui “Blietzkrieg” (perang kilat) sebelum ia berperang dengan Tentara Sekutu 
Inggris dan Amerika Serikat. 
 
Dari buku Ricklefs (2004 : Sejarah Indonesia Moderen) ditulis bahwa Jepang 
sudah lama mengingini sumber-sumber alam Indonesia berupa minyak, karet, 
bauksit, timah dan bahan-bahan strategis lainnya. Minyak dibutuhkan untuk bahan 
bakar angkatan perang Jepang yang bersama Jerman dan Italia membentuk 
persekutuan sejak September 1940. Ketika Jerman di Eropa mengalahkan Prancis, 
Belgia dan Belanda; Jepang meminta agar ia diizinkan masuk ke Indonesia, 
sebagaimana ia juga diizinkan masuk ke IndoChina yang semula di bawah kekuasaan 
Prancis.
 
Maka, datanglah utusan-utusan Kekaisaran dan Pemerintah Jepang ke Batavia 
menemui Gubernur Jenderal van Mook. Jepang ingin membeli sebanyak 3.750.000 ton 
minyak, sebuah jumlah yang sangat besar sebab melebihi 6x lipat kapasitas kuota 
penjualan total yang bisa disediakan BPM dan NKPM (Nederlandsche Koloniale 
Petroleum Maatschappij) yaitu 600.000 ton minyak. Yang segera diperlukan Jepang 
adalah 1.100.000 ton minyak ringan untuk bahan bakar pesawat yang hanya 
1/10-nya bisa dipenuhi Pemerintah Belanda. Perundingan-perundingan menemui 
jalan buntu dan Kobayashi kembali ke Jepang dengan farewell notes bahwa 
perundingan tak ada gunanya sebab terjadi perbedaan besar antara yang diminta 
dan yang bisa disediakan.
 
Gagal membeli minyak, Jepang meminta lahan untuk eksplorasi dan eksploitasi. 
Sebuah nota bertanggal 29 Oktober 1940 dikirimnya ke Batavia, mendaftarkan 
area-area mana yang diminta : 1,3 juta hektare area Kariorang dan Kustai di 
Borneo (Jepang saat itu sudah punya konsesi di Sangkulirang dekat Mangkalihat), 
14 juta hektare area di pantai tenggara dan pantai timurlaut Papua, 850 ribu 
hektare di Kepulauan Aru dan sekitarnya, 350 ribu hektar di kepulauan utara 
Papua, dan 165 ribu hektare di Sulawesi Timur. Total luas area yang diminta 
Jepang ini tak kurang dari 16 juta hektare atau sekitar 160.000 km2 (kalau 
sekarang luas WKP dibatasi maksimum 5000 km2, maka total area yang diminta 
Jepang sama dengan 32 WKP). Di samping lahan-lahan “frontier” ini, Jepang pun 
meminta dengan sangat area-area prospek di dekat wilayah produksi saat itu, 
mereka meminta : 7000 km2 area di sebelah tenggara Medan dan 3900 km2 area di 
seberang Tarakan.
 
Perundingan-perundingan dagang selama akhir tahun 1940 sampai pertengahan tahun 
1941 gagal, minyak tak didapat, area pun tak diperoleh. Ketika pada tanggal 27 
Juni 1941 delegasi dagang Jepang meninggalkan Batavia dengan hati panas karena 
gagal berunding, di Eropa Adolf Hitler telah menginvasi Rusia, mengepung Rusia 
dari tiga jalan masuk : Leningrad, Moscw, dan Sungai Volga. Setahun sebelumnya, 
Hitler sebenarnya telah menjatuhkan Belanda dan Belgia. Jepang yang menjadi 
sekutu Jerman merasa mendapat angin untuk segera membalas Belanda di Indonesia. 
Jepang seperti mendapatkan momennya untuk segera menguasai Asia Timur. 
 
Pemerintah Belanda di Indonesia merasakan ketegangan itu pada paruh kedua tahun 
1941, tentara-tentara ditempatkan di area-area minyak sebab mereka terancam 
oleh Jepang yang ingin menguasai kekayaan alam Indonesia. Pagi hari 8 Desember 
1941, Pearl Harbour, pangkalan tentara sekutu Amerika Serikat-Inggris-Australia 
di Samudra Pasifik dibom angkatan udara Jepang. Pukul 7 pagi, Gubernur Jenderal 
mengumumkan melalui radio di seluruh Hindia Belanda bahwa Jepang akan segera 
menaklukkan Asia Timur dan Asia Tenggara. Hindia Belanda akan berperang melawan 
Kekaisaran Jepang. Genderang perang ditabuh !
 
Ketika perundingan dagang Belanda-Jepang berjalan panas dan alot di Batavia, 
hawa panas dan kondisi terancam telah ditularkan ke Northwest Borneo. Sarawak 
Oilfields Ltd. (S.O.L.) di Sarawak, perumahan di Miri, pengilangan minyak di 
Lutong, dan lapangan-lapangan minyak kepunyaan British Malayan Petroleum 
Company Ltd. di Brunei berada di garis depan serangan. Satuan garnisun tentara 
Belanda dan Inggris di sini hanya sedikit untuk melindungi minyak. Karyawan2 
perminyakan harus segera merusakkan semua aset perminyakan sebelum Jepang 
datang dan menguasainya. 
 
Apa yang harus dilakukan ? Pembumihangusan Kilang Lutong dan pembakaran 
sumur-sumur minyak di lapangan-lapangan Miri dan Seria. Menjelang pukul 10 pagi 
pada 8 Desember 1941 setelah Jepang membom Pearl Harbour, manajer Lappangan 
Seria di Kuala Belait menerima instruksi melalui telepon dari Batavia agar 
segera menjalankan tindakan darurat berupa penghancuran semua aset perminyakan 
seperti telah direncanakan beberapa bulan sebelumnya. 
 
Setengah jam kemudian, ”pasukan penghancur” (demolition squad) pun telah siap 
menjalankan aksinya yang telah direncanakan dan dilatih berbulan-bulan menyusul 
ketegangan Belanda-Jepang.  Semua bahan bakar di Kuala Belait dihabiskan 
ditumpahkan ke tanah berpasir. Tangki-tangki penampungan minyak dan oli dibuka 
dan dialirkan ke tempat-tempat yang mudah terbakar. Kilang minyak Lutong 
dibakar !
 
Sumur-sumur produksi di Lapangan Seria disumbat dengan cara memompakan semen ke 
dasar dan puncak casing. Menjelang tengah hari, semua bahan peledak yang telah 
siap di kepala-kepala sumur diledakkan dan semua tubing heads sumur2 itu 
meledak. Sementara itu semua instalasi kompresor dan pompa telah dirusakkan 
juga.
 
Hari besoknya, sebanyak 20 steam boilers dan feed-pumps di Lapangan Seria 
dihancurkan. Tangki-tangki penimbun minyak dikucurkan dan dibakar. Pipa-pipa 
dipotong dengan api oxy-acetylene yang berdaya besar. 
 
Selama dua hari 48 jam semua fasilitas pun rusak parah : kilang, jalur pipa, 
sumur-sumur minyak. Hanya dalam dua hari semua fasilitas yang dibangun 
bertahun-tahun itu, belum termasuk usaha eksplorasi menemukan lapangan-lapangan 
minyak di Seria dan Miri terhapus oleh asap hitam. Mereka membangun, mereka 
pula yang menghancurkannya – suatu hal yang tragis. Apa yang berdiri di atas 
tanah atau di dalam tanah sebisa mungkin dihancurkan, kecuali pompa-pompa air 
agar dapat dimanfaatkan penduduk setempat.
 
Hari ketiga setelah Pearl Harbour dibom Jepang, terjadilah evakuasi 
besar-besaran orang Eropa karyawan perminyakan beserta keluarganya dari Miri. 
Mereka digaji dulu sampai sebulan ke depan. Sebelum meninggalkan Miri, mereka 
sempat membinasakan semua laporan-laporan eksplorasi dan produksi yang tersisa 
–punahlah sudah pekerjaan-pekerjaan geologi bertahun-tahun. Dengan tiga kapal 
mereka meninggalkan NW Borneo, kapal bernama Lipis, Maimuna, dan Chinhai. 
Tujuan ketiga kapal adalah Kuching kemudian Singapura. 
 
Tepat seperti dipikirkan, skuadron udara Jepang terbang di atas Miri dan Lutong 
dan menemukan bahwa lapangan minyak dan kilang ini telah dibumihanguskan. Maka, 
serentak mereka mengejar pelaku pembumihangusan itu. 
 
Setelah kapal-kapal itu berlayar sejauh 90 mil, mulailah bom-bom angkatan udara 
Jepang yang terkenal kejam dan berani mati itu (kamikaze) menjatuhi ketiga 
kapal yang sedang lari terbirit-birit meninggalkan amukan Jepang. Perang di 
atas laut pun terjadi antara angkatan laut Inggris dari mana kapal berasal 
melawan kamikaze Jepang. Tentu saja banyak yang gugur, terutama karyawan 
perminyakan S.O.L. Saat mereka berhasil merapat ke Kuching, sebagian karyawan 
lari ke dalam hutan dan tak pernah kembali.
Begitulah, cerita berakhir di sini, tak terbayangkan tentu apa yang telah 
terjadi ini. Itu baru sebuah permulaan episode kengerian. Kengerian kemudian 
segera menjalar ke Sumatra, Papua, dan Jawa. Seperi di Miri dan Lutong, 
karyawan-karyawan BPM di sini membakar dan merusak aset-aset minyaknya sendiri, 
yang jauh dari laut bersembunyi ke dalam hutan, sampai menyeberang Barisan. 
 
Kita tahu, tanggal 1 Maret 1942 Jepang mendarat di Jawa, dan tanggal 8 Maret 
1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah dan mulailah pendudukan Jepang di 
Indonesia. Angkatan Perang Jepang di darat, laut, dan udara menyerang tak 
tertahankan, merajalela di seluruh Asia Timur dan bagian barat Pasifik.
 
Kalau saja Indonesia tidak punya minyak, Indonesia tidak akan berada dalam 
incaran mata asing siapa pun. Kekayaan minyak Indonesia adalah magnet yang 
sangat kuat, itu hidup dan matinya Jepang, begitu diakui Misi Kobayashi.
 
Menurut sebuah catatan, saat Jepang datang, jumlah karyawan BPM tercatat 1506 
orang staf Belanda. Dari jumlah ini 317 tewas saat melakukan evakuasi dari 
serbuan Jepang atau saat mereka ditawan di interniran (semacam kamp 
konsentrasi), jumlah ini masih ditambah oleh korban tewas sebanyak 40 orang 
anggota keluarga mereka. 
 
“It was the realisation of the outrage to the bounty of Nature; sorrow that in 
Borneo, Sumatra, New Guinea, and Java, the earth with its flowing riches should 
be torn and rent and destroyed in an ideological struggle between peoples.”  
(Fabricius, 1949).
 
Semoga sejarah kelam ini tidak terulang lagi.
 
salam,
awang


      

Kirim email ke