Wah, Pak Awang kok yha masih ingat Teuro Nakamura, serdadu Nipon yang bersembunyi selama 40 th di tengah hutan Morotai di Maluku Utara. Penduduk setempat sering menemukan jebakan-2 untuk menangkap binatang yang dibuatnya. Sayangnya dia segera bersembunyi begitu ada tanda-2 orang masuk hutan. Dia pikir perang belum usai. Ketika berita ini mulai terkuak maka didatangkan petugas Kedubes Jepang dari Jakarta untuk membujuknya supaya keluar; tentu saja dengan bahasa Jepang. Mungkin serdadu ini akan mengalami "shock" begitu tiba di Tokyo setelah 40 tahun ditinggalkannya. Saya punya buku sejarah yang memuat foto penyerahan kekuasaan Hindia Belanda kepada Dai Nipon. Sejumlah perwira Belanda dengan wajah sayu duduk mengelilingi meja besar berhadapan dengan bbrp perwira jepang yang bersepatu lars tinggi, bertopi dengan "ekor" di bagian belakang; sebilah samurai tergantung di pinggang kiri. Mereka menanda-tangani penyerahan kekuasaan di Hindia Belanda. Pendudukan Jepang yang begitu singkat (hanya seumur jagung, 3,5 th) sungguh membekas di daerah saya (5 km di timur-laut Bayat). Selain kelaparan, ada tinggalan "lapangan terbang" buatan Jepang yang meminta banyak korban. Ceritanya: Daerah yang agak berbukit rendah diratakan lalu disulap seperti lapangan terbang. Setiap hari ratusan Romusha dari berbagai desa dikerahkan kerja bakti. Ayah saya yang seorang pamong desa dijadikan Keibodan/ Seinendan (nggak tahu bagaimana ejaannya) untuk mengatur tenaga. Ketika "lapangan terbang" selesai (banyak memakan korban) maka dibuatlah bbrp "kapal terbang" dari anyaman bambu (gedek), dicat putih, dan diparkir rapi di apron. Rupanya ini hanya kamuflase atau akal-akalan Jepang saja. Selain itu warga diperintahkan untuk menanam jarak (minyaknya untuk pelumas), dan menyerahkan sebagian padi hasil panennya. Mereka memang banyak akalnya untuk "ngakali" Saudara Mudanya di Tanah jawa. Suatu saat saya sempat seharian di pulau Jefman (bandara Sorong), mandi di pantai dan berjalan keliling pulau yang tidak terlalu besar. Rupanya di sepanjang pantai banyak terdapat gua-2 persembunyian dan pengintaian yang dibuat Jepang. Belakangan ketika landasan pacu diadakan penggalian dan perbaikan sempat diketemukan dua bom sisa PD II peninggalan Jepang. Keruan saja kawan-2 yang akan pulang ke Jakarta setelah 2 minggu bekerja di KMT dan Salawati pada menggerutu karena bandara ditutup dua hari :( Trimakasih, ditunggu cerita berikutnya. Salam hangat, sugeng
________________________________ From: Awang Satyana [mailto:[EMAIL PROTECTED] Sent: Mon 9/22/2008 11:31 AM To: iagi-net@iagi.or.id; Forum HAGI; Geo Unpad; Eksplorasi BPMIGAS Subject: RE: [iagi-net-l] East Indies Episode (Fabricius, 1949) : Bumi Hanguskan Minyak ! Pak Sugeng, Terima kasih atas tambahan ceritanya. Rusak-merusak aset memang selalu terjadi dalam peperangan, dirusak sendiri agar tidak dikuasai musuh, atau punya musuh dirusakkan seperti Pak Sugeng ceritakan. Di Bandung pun terjadi seperti itu saat Belanda mau berkuasa kembali seperti pembakaran gedung-gedung pemerintahan Belanda oleh warga Bandung (peristiwa Bandung Lautan Api 24 Maret 1946), atau peledakan gudang senjata Belanda di Bandung Selatan oleh Mohammad Toha. Jepang memang benar2 melaksanakan blietzkrieg tetapi mereka juga "easy come easy go". Saat Tentara Sekutu pimpinan Amerika Serikat membalas Jepang tahun 1945, banyak tentara2 Jepang yang melarikan diri, termasuk jauh ke dalam hutan. Salah satunya adalah Teuro Nakamura yang pernah jadi berita heboh tahun 1980-an sebab ia tetap bersembunyi di dalam hutan Morotai di utara Ternate saat tahun 1945 Tentara Sekutu melibas Jepang. Hampir 40 tahun bersembunyi di hutan Morotai, dan baru keluar tahun 1980an karena ditemukan penduduk setempat. Buku "Perang Pasifik" tulisan Ong Peng Koen (Petrus Kanisius Ojong - pendiri Harian Kompas) (Star Weekly, 1958), diterbitkan ulang beberapa kali, edisi terakhir Februari 2008 oleh Kompas Gramedia Group sangat asyik diikuti bagaimana peristiwa-peristiwa 1941-1945 ini. salam, awang --- On Mon, 9/22/08, Sugeng Hartono <[EMAIL PROTECTED]> wrote: From: Sugeng Hartono <[EMAIL PROTECTED]> Subject: RE: [iagi-net-l] East Indies Episode (Fabricius, 1949) : Bumi Hanguskan Minyak ! To: iagi-net@iagi.or.id, "IAGI" <iagi-net@iagi.or.id>, "Geo Unpad" <[EMAIL PROTECTED]>, "Forum HAGI" <[EMAIL PROTECTED]>, "Eksplorasi BPMIGAS" <[EMAIL PROTECTED]> Date: Monday, September 22, 2008, 4:51 AM Pak Awang, Trimakasih ulasannya yang sangat menarik, seperti kuliah sejarah saja. Saya pernah membaca buku sejarah tua, bagaimana kilang-2 minyak di Balikpapan, Bunyu-Tarakan dibumi-hanguskan sebelum tentara Nipon datang. Teknik bumi hangus ini masih berlanjut ketika perang kemerdekaan melawan Belanda. Di daerah saya (sebelah timur Klaten) pabrik gula Manishardjo Pedan juga diledakkan oleh para pejuang. Anehnya tiga kali diledakkan, bom tetap saja tidak mau meledak (konon PG ini milik Kasunanan Surakarta) sehingga hanya disiram bensin dan dibakar, lalu semua isinya untuk rebutan masa. Beberapa jembatan yang nantinya akan dilalui tentara Belanda juga sempat diledakkan. Tentang kedatangan Jepang di Tanah Jawa, ini pernah diceritakan dengan detail dalam buku Komat-kamit Selo Sumardjan (biografi Prof. Selosumardjan). Di Yogyakarta terjadi kesibukan yang luar biasa. Belanda mengungsikan semua aset dan warganya ke Australia lewat Cilacap. Setelah itu, tentara Jepang mulai menguasai Jawa. Katanya tentara Jepang ini berbadan kecil sepatu dan pakaiannya jauh lebih sederhana dibanding tentara KNIL, tetapi daya tempur dan daya tahannya sungguh sangat luar biasa. Ketika kerja di Salawati saya berkenalan dengan Bapak asal Maluku yang bekerja sebagai radio operator di rig. Dia bercerita, ketika masih kecil di kotanya ada toko kelontong milik seorang bapak warga Jepan. Dia ini berbaur dengan warga biasa. Begitu Perang Pasifik meletus, dan bala tentara Jepang masuk Nusantara, bapak pemilik toko ini langsung berpakaian militer lengkap dengan pangkat-2 dan pedan Samurainya. Sejak itu (Maret 1942?) mulailah penderitaan rakyat Indonesia dibawah pemerintahan Jepang. Salam hangat dari Lubuklinggau. sugeng ________________________________ From: Awang Satyana [mailto:[EMAIL PROTECTED] Sent: Sun 9/21/2008 10:28 PM To: IAGI; Geo Unpad; Forum HAGI; Eksplorasi BPMIGAS Subject: [iagi-net-l] East Indies Episode (Fabricius, 1949) : Bumi Hanguskan Minyak ! "East Indies Episode" adalah judul sebuah buku tulisan Johan Fabricius tahun 1948. "Bumi Hanguskan Minyak !" adalah instruksi resmi Pemerintah Hindia Belanda dari Batavia ke seluruh lapangan minyak di Borneo, Sumatra, Papua dan Jawa pada 8 Desember tahun 1941 beberapa jam setelah pecahnya Perang Pasifik. Ada apa ini ? Buku berumur hampir 60 tahun ini tidak dijual untuk umum, sehingga mungkin akan sulit dicari saat ini, kecuali di Shell Belanda barangkali. Saya mendapatkan buku ini dari seorang kenalan berbangsa Belanda, sesama penggemar buku. Buku sangat menarik ini bercerita tentang bagaimana situasi saat Jepang akan datang ke Indonesia dan selama pendudukan Jepang di Indonesia tahun 1941-1945 serta hubungannya dengan perusakan banyak lapangan minyak, kilang, jalur transportasi minyak, dan pelabuhan agar tak jatuh ke tangan Jepang. Perusakan dilakukan oleh karyawan-karyawan BPM (Bataafsche Petroleum Maatschappij) sendiri atas perintah Pemerintah Pusat di Batavia. Tentu kita bisa merasakan bagaimana sakit hatinya bila rumah yang telah kita bangun bertahun-tahun, belasan, bahkan puluhan tahun lalu mesti kita hancurkan sendiri dalam beberapa hari saja karena mau diduduki musuh. Begitulah perasaan pimpinan dan karyawan BPM saat itu. Menemukan lapangan minyak, mengembangkannya, membangun fasilitasnya, dan memproduksinya kita tahu butuh waktu bukan setahun atau dua tahun, tetapi lima atau sepuluh tahun, bahkan lebih. Asap hitam minyak, kebakaran dari lapangan minyak, jalur pipa, kilang, dan pelabuhan membubung di seluruh Nusantara, dari Sumatra, Kalimantan, Jawa, dan Papua. Buku ini ditulis oleh Johan Fabricius, seorang penulis untuk BPM, berdasarkan laporan-laporan "perusakan lapangan" yang ditulis pimpinan dan karyawan BPM. Buku diberi kata pengantar oleh van Hasselt, direktur pelaksana BPM tahun 1949. Buku diterbitkan pada Januari 1949 oleh The Shell Petroleum Company Ltd., dicetak oleh Bosch & Zoon di Utrecht. Saya tak akan menceritakan seluruh episode perusakan lapangan dan fasilitas minyak di Hindia Timur ini dalam sekali tulisan sebab akan terlalu panjang. Saya akan memulai dengan mengapa perusakan terjadi dan perusakan paling pertama yang terjadi : lapangan-lapangan minyak di Northwest Borneo : Miri dan Seria (wilayah Brunei sekarang). Sejak Jepang merasa bahwa bangsanya telah terpilih untuk menguasai sekaligus melindungi Asia Timur, Jepang telah melihat bahwa kekayaan alam Netherlands East Indies (Indonesia sekarang) akan merupakan "hidup dan matinya", terutama lapangan-lapangan minyak di Kalimantan, Sumatra, Papua, dan Jawa. Minyak baginya akan merupakan kunci ke supremasi militer yang telah lama diimpikannya. Maka, dimulailah "Kobayashi Mission" baik dengan jalan damai maupun perang, untuk menguasai lapangan-lapangan minyak itu, menguasainya secepat mungkin melalui "Blietzkrieg" (perang kilat) sebelum ia berperang dengan Tentara Sekutu Inggris dan Amerika Serikat. Dari buku Ricklefs (2004 : Sejarah Indonesia Moderen) ditulis bahwa Jepang sudah lama mengingini sumber-sumber alam Indonesia berupa minyak, karet, bauksit, timah dan bahan-bahan strategis lainnya. Minyak dibutuhkan untuk bahan bakar angkatan perang Jepang yang bersama Jerman dan Italia membentuk persekutuan sejak September 1940. Ketika Jerman di Eropa mengalahkan Prancis, Belgia dan Belanda; Jepang meminta agar ia diizinkan masuk ke Indonesia, sebagaimana ia juga diizinkan masuk ke IndoChina yang semula di bawah kekuasaan Prancis. Maka, datanglah utusan-utusan Kekaisaran dan Pemerintah Jepang ke Batavia menemui Gubernur Jenderal van Mook. Jepang ingin membeli sebanyak 3.750.000 ton minyak, sebuah jumlah yang sangat besar sebab melebihi 6x lipat kapasitas kuota penjualan total yang bisa disediakan BPM dan NKPM (Nederlandsche Koloniale Petroleum Maatschappij) yaitu 600.000 ton minyak. Yang segera diperlukan Jepang adalah 1.100.000 ton minyak ringan untuk bahan bakar pesawat yang hanya 1/10-nya bisa dipenuhi Pemerintah Belanda. Perundingan-perundingan menemui jalan buntu dan Kobayashi kembali ke Jepang dengan farewell notes bahwa perundingan tak ada gunanya sebab terjadi perbedaan besar antara yang diminta dan yang bisa disediakan. Gagal membeli minyak, Jepang meminta lahan untuk eksplorasi dan eksploitasi. Sebuah nota bertanggal 29 Oktober 1940 dikirimnya ke Batavia, mendaftarkan area-area mana yang diminta : 1,3 juta hektare area Kariorang dan Kustai di Borneo (Jepang saat itu sudah punya konsesi di Sangkulirang dekat Mangkalihat), 14 juta hektare area di pantai tenggara dan pantai timurlaut Papua, 850 ribu hektare di Kepulauan Aru dan sekitarnya, 350 ribu hektar di kepulauan utara Papua, dan 165 ribu hektare di Sulawesi Timur. Total luas area yang diminta Jepang ini tak kurang dari 16 juta hektare atau sekitar 160.000 km2 (kalau sekarang luas WKP dibatasi maksimum 5000 km2, maka total area yang diminta Jepang sama dengan 32 WKP). Di samping lahan-lahan "frontier" ini, Jepang pun meminta dengan sangat area-area prospek di dekat wilayah produksi saat itu, mereka meminta : 7000 km2 area di sebelah tenggara Medan dan 3900 km2 area di seberang Tarakan. Perundingan-perundingan dagang selama akhir tahun 1940 sampai pertengahan tahun 1941 gagal, minyak tak didapat, area pun tak diperoleh. Ketika pada tanggal 27 Juni 1941 delegasi dagang Jepang meninggalkan Batavia dengan hati panas karena gagal berunding, di Eropa Adolf Hitler telah menginvasi Rusia, mengepung Rusia dari tiga jalan masuk : Leningrad, Moscw, dan Sungai Volga. Setahun sebelumnya, Hitler sebenarnya telah menjatuhkan Belanda dan Belgia. Jepang yang menjadi sekutu Jerman merasa mendapat angin untuk segera membalas Belanda di Indonesia. Jepang seperti mendapatkan momennya untuk segera menguasai Asia Timur. Pemerintah Belanda di Indonesia merasakan ketegangan itu pada paruh kedua tahun 1941, tentara-tentara ditempatkan di area-area minyak sebab mereka terancam oleh Jepang yang ingin menguasai kekayaan alam Indonesia. Pagi hari 8 Desember 1941, Pearl Harbour, pangkalan tentara sekutu Amerika Serikat-Inggris-Australia di Samudra Pasifik dibom angkatan udara Jepang. Pukul 7 pagi, Gubernur Jenderal mengumumkan melalui radio di seluruh Hindia Belanda bahwa Jepang akan segera menaklukkan Asia Timur dan Asia Tenggara. Hindia Belanda akan berperang melawan Kekaisaran Jepang. Genderang perang ditabuh ! Ketika perundingan dagang Belanda-Jepang berjalan panas dan alot di Batavia, hawa panas dan kondisi terancam telah ditularkan ke Northwest Borneo. Sarawak Oilfields Ltd. (S.O.L.) di Sarawak, perumahan di Miri, pengilangan minyak di Lutong, dan lapangan-lapangan minyak kepunyaan British Malayan Petroleum Company Ltd. di Brunei berada di garis depan serangan. Satuan garnisun tentara Belanda dan Inggris di sini hanya sedikit untuk melindungi minyak. Karyawan2 perminyakan harus segera merusakkan semua aset perminyakan sebelum Jepang datang dan menguasainya. Apa yang harus dilakukan ? Pembumihangusan Kilang Lutong dan pembakaran sumur-sumur minyak di lapangan-lapangan Miri dan Seria. Menjelang pukul 10 pagi pada 8 Desember 1941 setelah Jepang membom Pearl Harbour, manajer Lappangan Seria di Kuala Belait menerima instruksi melalui telepon dari Batavia agar segera menjalankan tindakan darurat berupa penghancuran semua aset perminyakan seperti telah direncanakan beberapa bulan sebelumnya. Setengah jam kemudian, "pasukan penghancur" (demolition squad) pun telah siap menjalankan aksinya yang telah direncanakan dan dilatih berbulan-bulan menyusul ketegangan Belanda-Jepang. Semua bahan bakar di Kuala Belait dihabiskan ditumpahkan ke tanah berpasir. Tangki-tangki penampungan minyak dan oli dibuka dan dialirkan ke tempat-tempat yang mudah terbakar. Kilang minyak Lutong dibakar ! Sumur-sumur produksi di Lapangan Seria disumbat dengan cara memompakan semen ke dasar dan puncak casing. Menjelang tengah hari, semua bahan peledak yang telah siap di kepala-kepala sumur diledakkan dan semua tubing heads sumur2 itu meledak. Sementara itu semua instalasi kompresor dan pompa telah dirusakkan juga. Hari besoknya, sebanyak 20 steam boilers dan feed-pumps di Lapangan Seria dihancurkan. Tangki-tangki penimbun minyak dikucurkan dan dibakar. Pipa-pipa dipotong dengan api oxy-acetylene yang berdaya besar. Selama dua hari 48 jam semua fasilitas pun rusak parah : kilang, jalur pipa, sumur-sumur minyak. Hanya dalam dua hari semua fasilitas yang dibangun bertahun-tahun itu, belum termasuk usaha eksplorasi menemukan lapangan-lapangan minyak di Seria dan Miri terhapus oleh asap hitam. Mereka membangun, mereka pula yang menghancurkannya - suatu hal yang tragis. Apa yang berdiri di atas tanah atau di dalam tanah sebisa mungkin dihancurkan, kecuali pompa-pompa air agar dapat dimanfaatkan penduduk setempat. Hari ketiga setelah Pearl Harbour dibom Jepang, terjadilah evakuasi besar-besaran orang Eropa karyawan perminyakan beserta keluarganya dari Miri. Mereka digaji dulu sampai sebulan ke depan. Sebelum meninggalkan Miri, mereka sempat membinasakan semua laporan-laporan eksplorasi dan produksi yang tersisa -punahlah sudah pekerjaan-pekerjaan geologi bertahun-tahun. Dengan tiga kapal mereka meninggalkan NW Borneo, kapal bernama Lipis, Maimuna, dan Chinhai. Tujuan ketiga kapal adalah Kuching kemudian Singapura. Tepat seperti dipikirkan, skuadron udara Jepang terbang di atas Miri dan Lutong dan menemukan bahwa lapangan minyak dan kilang ini telah dibumihanguskan. Maka, serentak mereka mengejar pelaku pembumihangusan itu. Setelah kapal-kapal itu berlayar sejauh 90 mil, mulailah bom-bom angkatan udara Jepang yang terkenal kejam dan berani mati itu (kamikaze) menjatuhi ketiga kapal yang sedang lari terbirit-birit meninggalkan amukan Jepang. Perang di atas laut pun terjadi antara angkatan laut Inggris dari mana kapal berasal melawan kamikaze Jepang. Tentu saja banyak yang gugur, terutama karyawan perminyakan S.O.L. Saat mereka berhasil merapat ke Kuching, sebagian karyawan lari ke dalam hutan dan tak pernah kembali. Begitulah, cerita berakhir di sini, tak terbayangkan tentu apa yang telah terjadi ini. Itu baru sebuah permulaan episode kengerian. Kengerian kemudian segera menjalar ke Sumatra, Papua, dan Jawa. Seperi di Miri dan Lutong, karyawan-karyawan BPM di sini membakar dan merusak aset-aset minyaknya sendiri, yang jauh dari laut bersembunyi ke dalam hutan, sampai menyeberang Barisan. Kita tahu, tanggal 1 Maret 1942 Jepang mendarat di Jawa, dan tanggal 8 Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah dan mulailah pendudukan Jepang di Indonesia. Angkatan Perang Jepang di darat, laut, dan udara menyerang tak tertahankan, merajalela di seluruh Asia Timur dan bagian barat Pasifik. Kalau saja Indonesia tidak punya minyak, Indonesia tidak akan berada dalam incaran mata asing siapa pun. Kekayaan minyak Indonesia adalah magnet yang sangat kuat, itu hidup dan matinya Jepang, begitu diakui Misi Kobayashi. Menurut sebuah catatan, saat Jepang datang, jumlah karyawan BPM tercatat 1506 orang staf Belanda. Dari jumlah ini 317 tewas saat melakukan evakuasi dari serbuan Jepang atau saat mereka ditawan di interniran (semacam kamp konsentrasi), jumlah ini masih ditambah oleh korban tewas sebanyak 40 orang anggota keluarga mereka. "It was the realisation of the outrage to the bounty of Nature; sorrow that in Borneo, Sumatra, New Guinea, and Java, the earth with its flowing riches should be torn and rent and destroyed in an ideological struggle between peoples." (Fabricius, 1949). Semoga sejarah kelam ini tidak terulang lagi. salam, awang