Mengenal Sifat Yahudi dan Nashara

لَتَجِدَنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَدَاوَةً لِّلَّذِيْنَ آمَنُوا الْيَهُوْدَ
وَالَّذِيْنَ أَشْرَكُواْ وَلَتَجِدَنَّ أَقْرَبَهُمْ مَّوَدَّةً لِّلَّذِيْنَ
آمَنُوا الَّذِيْنَ قَالُوَاْ إِنَّا نَصَارَى ذَلِكَ بِأَنَّ مِنْهُمْ
قِسِّيْسِيْنَ وَرُهْبَانًا وَأَنَّهُمْ لاَ يَسْتَكْبِرُوْنَ

“Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya
terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang
musyrik. Dan sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persahabatannya
dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata:
‘Sesungguhnya kami ini orang Nasrani.’ Yang demikian itu disebabkan karena
di antara mereka itu (orang-orang Nasrani) terdapat pendeta-pendeta dan
rahib-rahib, (juga) karena sesungguhnya mereka tidak menyombongkan diri.”
(Al-Ma`idah: 82)

*Penjelasan Beberapa Mufradat Ayat
*
لَتَجِدَنَّ

“Sesungguhnya kamu dapati”.

Huruf lam yang terdapat pada awal kata ini sebagai jawaban dari sumpah,
yang memberi faedah penekanan atas kalimat tersebut. Demikian pula nun pada
akhir kata yang di-tasydid, memberi penekanan yang sangat kuat akan
kebenaran berita yang disebutkan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

قِسِّيْسِيْنَ

Bentuk jamak dari qissis, yang berasal dari kata qassa, yang berarti
mencari sesuatu dan menelitinya.

Al-Qissis maknanya adalah seorang alim. Adapun dalam ayat ini, yang
dimaksud adalah orang-orang yang mengikuti para ulama dan ahli ibadah.
Adapun bentuk jamak qissis dalam bentuk jamak taksir adalah qasawisah (
قَسَاوِسَة). Lafadz ini ada kemungkinan berasal dari bahasa Arab yang asli
dan ada kemungkinan pula berasal dari bahasa Romawi di mana kemudian orang
Arab menyerapnya sehingga menjadi bahasa mereka. Sebab dalam Al-Qur`an
tidak ada bahasa lain kecuali bahasa Arab. (lihat Tafsir Al-Qurthubi)

وَرُهْبَانًا

Bentuk jamak dari rahib, yang berarti ahli ibadah. Tarahhub berarti
beribadah di kuil peribadatan. (lihat Tafsir Al-Qurthubi dan Tafsir
Al-Alusi)

*Penjelasan Makna Ayat*


Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan kepada Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa
sallam:

“Engkau –wahai Muhammad– pasti akan mendapati manusia yang paling keras
permusuhannya terhadap orang-orang yang membenarkanmu, mengikutimu, dan
membenarkan apa yang engkau bawa kepada pemeluk Islam, adalah orang-orang
Yahudi dan orang-orang musyrik, para penyembah berhala yang menjadikan
berhala-berhala tersebut sebagai sesembahan yang mereka sembah selain Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Dan engkau mendapati orang yang paling dekat
kecintaannya kepada orang-orang yang beriman yang membenarkan Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
adalah orang-orang yang mengatakan: ‘Kami adalah Nashara’, sebab di antara
mereka ada yang mengikuti para ulama dan ahli ibadah, dan mereka tidak
menyombongkan diri dari menerima kebenaran dan mengikutinya, serta tunduk
kepadanya”. (Tafsir Ath-Thabari)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman untuk menjelaskan salah satu dari dua
kelompok yang paling dekat dengan kaum muslimin dalam sikap loyal dan
kecintaan mereka, dan kelompok yang paling jauh dari mereka: “Engkau pasti
mendapati bahwa manusia yang paling keras permusuhannya terhadap
orang-orang yang beriman adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik”.

Dua kelompok ini adalah manusia yang paling keras permusuhannya secara
mutlak terhadap Islam dan kaum muslimin serta yang paling sering
mendatangkan kemudaratan bagi mereka, disebabkan sikap kesombongan, dengki,
menentang dan kekufuran mereka.

Dan “Engkau pasti mendapati bahwa manusia yang paling dekat kecintaannya
kepada orang-orang beriman adalah orang-orang yang berkata: ‘Kami adalah
Nashara’.” Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan beberapa sebab tentang hal
itu. Antara lain, adanya para ulama yang zuhud dan para ahli ibadah di
kuil-kuil peribadatan mereka.

Ilmu yang dibarengi sifat zuhud dan semangat ibadah merupakan perkara yang
melembutkan hati dan meluluhkannya, serta menghilangkan sikap kasar dan
keras. Oleh karenanya tidak ditemukan pada mereka sikap keras orang Yahudi
dan kekasaran orang-orang musyrikin.

Dan di antaranya pula bahwa mereka tidak menyombongkan diri. Tidak terdapat
pada mereka kesombongan dan congkak dari mengikuti kebenaran. Hal tersebut
menyebabkan dekatnya mereka kepada kaum muslimin dan menimbulkan rasa
cinta. Karena orang yang bersikap tawadhu’ (merendah diri) itu lebih dekat
kepada kebaikan daripada orang yang sombong. (Taisir Al-Karimirrahman)

Dan pada ayat yang setelahnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan
tentang kelunakan hati mereka untuk menerima kebenaran yang diturunkan
Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Dan apabila mereka mendengar apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad),
kamu melihat mata mereka mengucurkan air mata disebabkan kebenaran
(Al-Qur`an) yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri),
seraya berkata: “Ya Rabb kami, kami telah beriman, maka catatlah kami
bersama orang-orang yang menjadi saksi) atas kebenaran Al-Qur`an dan
kenabian Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam”. (Al-Ma`idah: 83)

*Siapakah Nashara yang Dimaksud Ayat Ini?*


Terjadi perselisihan di kalangan para ulama tentang siapa yang dimaksud
dengan kaum Nashara yang tersebut di dalam ayat ini.

Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa mereka adalah Raja Najasyi dan
para sahabatnya yang telah masuk Islam, tatkala kaum muslimin berhijrah
pertama kali ke Habasyah dalam rangka menghindari gangguan kaum musyrikin.
Ini merupakan pendapat Sa’id bin Jubair, Mujahid, Ibnu ‘Abbas, As-Suddi,
dan yang lainnya.

Adapula yang mengatakan bahwa mereka adalah kaum yang beriman kepada
syariat Nabi Isa ‘alaihissalam, yang setelah diutusnya Muhammad bin
Abdillah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mereka lalu beriman dan mengikuti
beliau. Di antara yang berpendapat seperti ini adalah Qatadah. Ia berkata:
“Mereka adalah beberapa orang dari kalangan ahli kitab yang dahulu berada
di atas syariat yang benar yang dibawa oleh Isa ‘alaihissalam. Mereka
beriman dan merujuk kepadanya. Tatkala Allah Subhanahu wa Ta’ala telah
mengutus Nabi-nya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka mereka
membenarkan dan mengimaninya, serta meyakini bahwa apa yang beliau bawa
adalah kebenaran, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala pun memuji mereka.”
(Tafsir Ath-Thabari)

Namun At-Thabari rahimahullahu menguatkan bahwa ayat ini bersifat umum,
meliputi setiap kaum Nashara yang luluh hatinya setelah sampai kebenaran
kepadanya. Beliau mengatakan:

“Pendapat yang benar menurutku dalam hal ini adalah Allah Subhanahu wa
Ta’ala menyebutkan sifat satu kaum yang mereka mengatakan: ‘Kami adalah
Nashara, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapati mereka sebagai
manusia yang paling dekat kecintaannya kepada orang-orang yang beriman
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, dan Allah tidak menyebut
nama-nama mereka. Sehingga ada kemungkinan yang dimaksud adalah para
pengikut Najasyi, dan ada kemungkinan pula yang dimaksud adalah satu kaum
yang mereka dahulu di atas syariat ‘Isa, lalu mereka menemukan Islam (yang
dibawa oleh Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen.). Mereka kemudian
masuk Islam tatkala mendengar Al-Qur`an dan meyakini bahwa itu adalah
kebenaran, dan mereka tidak menyombongkan diri”.

Dan pendapat ini juga dikuatkan oleh Al-Alusi rahimahullahu dalam
tafsirnya. (Tafsir Ath-Thabari, Tafsir Al-Alusi)

*Antara Kesombongan Yahudi dan Kebodohan Nashara[1]*


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu menjelaskan tentang sifat
sombong yang menyebabkan kaum Yahudi melampaui batas dalam menolak
kebenaran:

“Telah diketahui bahwa Ibrahim Al-Khalil ‘alaihissalam adalah pemimpin ahli
tauhid kaum muslimin setelahnya, sebagaimana (Allah Subhanahu wa Ta’ala)
menjadikannya sebagai pemimpin dan imam. serta para rasul dari keturunan
beliau datang setelahnya. Maka orang Yahudi dan Nashara pun membuat
berbagai macam bid’ah yang menyebabkan mereka keluar dari agama Allah
Subhanahu wa Ta’ala yang mereka diperintahkan untuk mengikutinya, yaitu
Islam dalam arti umum (yakni agama para rasul). Oleh karenanya kita
diperintahkan untuk mengatakan:

“Tunjukilah kami jalan yang lurus, yaitu jalannya orang-orang yang engkau
beri nikmat atas mereka, bukan jalan orang yang dimurkai dan bukan pula
yang sesat.” (Al-Fatihah: 6-7)

Dan telah shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau
bersabda:

“Yahudi itu dimurkai dan kaum Nashara adalah orang-orang yang sesat”. (HR.
Tirmidzi dari ‘Adi bin Hatim radhiyallahu 'anhu, dishahihkan Al-Albani
rahimahullahu dalam Shahih Al-Jami’ no 8202)

Masing-masing dari dua umat ini (Yahudi dan Nashara) telah keluar dari
Islam. Dan salah satu dari dua lawan Islam (yaitu kesombongan dan
kesyirikan) lebih mendominasi mereka. Orang Yahudi lebih didominasi sifat
sombong dan sedikit kesyirikan pada mereka, sedangkan orang-orang Nashara
didominasi perbuatan kesyirikan dan sedikit kesombongan pada mereka.
Sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan hal itu dalam
kitab-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang Yahudi:

“Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu):
Janganlah kamu menyembah selain Allah.” (Al-Baqarah: 83)

Dan ini merupakan pokok keislaman. Hingga firman-Nya:

“Dan telah Kami berikan bukti-bukti kebenaran (mukjizat) kepada ‘Isa putera
Maryam dan Kami memperkuatnya dengan Ruhul Qudus. Apakah setiap datang
kepada kalian seorang rasul membawa sesuatu (pelajaran) yang tidak sesuai
dengan keinginan kalian lalu kalian angkuh; maka beberapa orang (di antara
mereka) kalian dustakan dan beberapa orang (yang lain) kalian bunuh?”
(Al-Baqarah: 87)

Lafadz yang berbentuk pertanyaan ini adalah sikap mengingkari perbuatan
mereka dan celaan atas mereka, dan mereka dicela atas apa yang telah mereka
lakukan. Setiap kali datang seorang rasul kepada mereka yang tidak sesuai
dengan hawa nafsunya, mereka pun menyombongkan diri. Bahkan mereka membunuh
sebagian nabi dan mendustakan sebagian yang lain, Inilah keadaan orang yang
sombong yang tidak mau menerima sesuatu yang tidak sesuai dengan hawa
nafsunya, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menafsirkan
sombong dalam hadits yang shahih dengan makna menolak kebenaran dan
merendahkan manusia. Dalam Shahih Muslim dari hadits Abdullah bin Mas’ud
radhiyallahu 'anhu, dia berkata: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:

“Tidaklah masuk neraka orang yang terdapat dalam hatinya seberat semut dari
keimanan dan tidaklah masuk surga orang yang dalam hatinya ada seberat
semut dari kesombongan.”

Lalu ada seseorang bertanya: “Wahai Rasulullah, seseorang menyukai
pakaiannya indah dan sandalnya bagus, apakah itu termasuk kesombongan?”
Maka beliau menjawab: “Bukan. Sesungguhnya Allah itu Maha Indah dan
menyukai keindahan, akan tetapi kesombongan itu adalah menolak kebenaran
dan merendahkan manusia.”

Bathar kebenaran artinya mengingkari dan menolaknya; dan ghamt terhadap
manusia artinya menghinakan dan merendahkan mereka. Demikian pula Allah
Subhanahu wa Ta’ala menyebut kesombongan tersebut dalam firman-Nya:

“Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi
tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku. Mereka, jika melihat
tiap-tiap ayat (Ku), tidak beriman kepadanya. Dan jika mereka melihat jalan
yang membawa kepada petunjuk, mereka tidak mau menempuhnya, tetapi jika
mereka melihat jalan kesesatan, mereka terus menempuhnya.” (Al-A'raf: 146)

Dan inilah keadaan orang yang tidak mengamalkan ilmunya bahkan mengikuti
hawa nafsunya. Dialah orang yang menyimpang, sebagaimana firman-Nya:

“Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan
kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al-Kitab), kemudian dia
melepaskan diri dari ayat-ayat itu lalu dia diikuti oleh setan (sampai dia
tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. Dan jika Kami
menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat) nya dengan ayat-ayat
itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang
rendah.” (Al-A'raf: 175-176)

Dan ini seperti keadaan para ulama jahat. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah
berfirman tatkala Musa ‘alaihissalam kembali kepada mereka:

“Sesudah amarah Musa menjadi reda, lalu diambilnya (kembali) luh-luh
(Taurat) itu; dan dalam tulisannya terdapat petunjuk dan rahmat untuk
orang-orang yang takut kepada Rabbnya.” (Al-A'raf: 154)

Maka orang-orang yang takut kepada Rabb-nya, berbeda keadaannya dengan
orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya, sebagaimana firman-Nya:

“Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabbnya dan menahan
diri dari keinginan hawa nafsunya maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal
(nya).” (An-Nazi’at: 40-41)

Maka orang-orang sombong yang mengikuti hawa nafsunya, dipalingkan dari
ayat-ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala sehingga mereka tidak mengilmui dan
memahaminya. Tatkala mereka meninggalkan pengamalan terhadap apa yang telah
mereka ketahui disebabkan kesombongan dan mengikuti hawa nafsu, maka mereka
diberi hukuman dengan dihalangi dari ilmu dan pemahaman. Sebab ilmu akan
memerangi orang yang bersikap sombong sebagaimana aliran air meninggalkan
tempat yang tinggi.

Adapun orang-orang yang takut kepada Rabbnya, mereka mengamalkan apa yang
mereka ketahui. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kepada mereka
ilmu dan rahmat. Sebab barangsiapa mengamalkan apa yang dia ketahui maka
Allah Subhanahu wa Ta’ala mewariskan kepadanya ilmu yang dia tidak ketahui.
Oleh karenanya, tatkala Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan sifat kaum
Nashara bahwa di antara mereka terdapat ahli ibadah dan orang yang berilmu,
juga bahwa mereka tidak menyombongkan diri, maka mereka lebih dekat dengan
orang-orang yang beriman (lalu beliau menyebutkan ayat di atas).

Tatkala pada mereka terdapat rasa takut dan tidak sombong, maka mereka
lebih mendekati hidayah. Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan keadaan
orang yang telah menjadi muslim di antara mereka:

“Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul
(Muhammad), kamu melihat mata mereka mengucurkan air mata disebabkan
kebenaran (Al-Qur`an) yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka
sendiri); seraya berkata: Ya Rabb kami, kami telah beriman, maka catatlah
kami bersama para saksi (atas kebenaran Al-Qur`an dan kenabian Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam)”. (Al-Ma`idah:83)

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma berkata:


“Bersama para saksi” yaitu bersama Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan umatnya. Sebab, kaum Nashara memiliki sikap sederhana dan ibadah, namun
mereka tidak punya ilmu dan persaksian. Oleh karenanya, meskipun
orang-orang Yahudi lebih jahat dari mereka -disebabkan kesombongan yang
lebih besar, rasa takut yang sedikit, serta hati yang lebih keras- namun
sesungguhnya kaum Nashara lebih jahat dari mereka, dari sisi bahwa mereka
lebih besar kesesatannya dan lebih dominan kesyirikannya, serta lebih jauh
dari sikap mengharamkan apa yang diharamkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
Rasul-Nya. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyifati mereka dengan
perbuatan syirik yang mereka ada-adakan sebagaimana (Allah Subhanahu wa
Ta’ala) menyifati kaum Yahudi dengan kesombongan hawa nafsunya. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Mereka menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan
selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al-Masih putera Maryam,
padahal mereka hanya disuruh menyembah Ilah Yang Maha Esa, tidak ada Ilah
(yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka
persekutukan”. (At-Taubah: 31)

Dan firman-Nya:

Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman: “Hai ‘Isa putera Maryam, adakah kamu
mengatakan ke pada manusia: ‘Jadikanlah aku dan ibuku dua orang tuhan
selain Allah.’?” ‘Isa menjawab: “Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagiku
mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). Jika aku pernah
mengatakannya maka tentulah Engkau telah mengetahuinya. Engkau mengetahui
apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada
diri-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara-perkara ghaib.”
(Al-Ma`idah: 116)

hingga firman-Nya:

“Yaitu: ‘Sembahlah Allah, Rabbku dan Rabb kalian’.” (Al-Ma`idah: 117)

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyebutkan ucapan mereka bahwa Al-Masih
bin Maryam itu adalah satu di antara tiga (sesembahan), juga ucapan mereka
bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengangkat seorang anak: dalam banyak
tempat dalam kitab-Nya. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan besarnya
kedustaan dan cercaan mereka terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala serta
ucapan mungkar mereka yang hampir saja langit-langit pecah, bumi terbelah,
dan gunung-gunung menjatuhi mereka. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa
Ta’ala mengajak mereka dalam banyak tempat dalam firman-Nya agar tidak
menyembah kecuali hanya kepada sesembahan yang satu. Seperti firman-Nya:

“Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan
janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya
Al-Masih, `Isa putera Maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan
dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan)
roh dari-Nya. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan
janganlah kamu mengatakan: ‘(Tuhan itu) tiga’, berhentilah (dari ucapan
itu). (Itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah sesembahan Yang Maha Esa,
Maha Suci Allah dari mempunyai anak, segala yang di langit dan di bumi
adalah kepunyaan-Nya. Cukuplah Allah sebagai Pemelihara. Al-Masih
sekali-kali tidak enggan menjadi hamba bagi Allah dan tidak (pula enggan)
malaikat-malaikat yang terdekat (kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala).
Barangsiapa yang enggan dari menyembah-Nya dan menyombongkan diri, nanti
Allah akan mengumpulkan mereka semua kepada-Nya.” (An-Nisa`: 171-172)

Hal ini karena orang-orang yang menyekutukan-Nya dengan makhluk baik berupa
manusia atau selainnya, maka mereka (yang disembah) menjadi musyrikin. Dan
jadi sombonglah orang-orang yang mereka jadikan sekutu bagi-Nya dari
kalangan jin dan manusia. Sebagaimana firman-Nya:

“Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta
perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu
menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.” (Al-Jin: 6)

Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan bahwa hamba-hamba-Nya tidak
menyombongkan diri dari beribadah kepada-Nya, walaupun kaum musyrikin
menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan diri mereka.

Demikian pula Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Maka mengapa mereka tidak bertaubat kepada Allah dan memohon ampun
kepada-Nya? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Al-Masih putera
Maryam hanyalah seorang Rasul yang sesungguhnya telah berlalu sebelumnya
beberapa rasul dan ibunya seorang yang sangat benar, kedua-duanya biasa
memakan makanan. Perhatikan bagaimana Kami menjelaskan kepada mereka (ahli
Kitab) tanda-tanda kekuasaan (Kami), kemudian perhatikanlah bagaimana
mereka berpaling (dari memerhatikan ayat-ayat Kami itu).” (Al-Ma`idah:
74-75)

dan firman-Nya:

“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: ‘Sesungguhnya Allah
adalah Al-Masih putera Maryam’, padahal Al-Masih (sendiri) berkata: ‘Hai
Bani Israil, sembahlah Allah Rabbku dan Rabb kalian’. Sesungguhnya orang
yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, niscaya Allah mengharamkan
kepadanya surga dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang
zalim itu seorang penolongpun.” (Al-Ma`idah:72)

Diterangkan oleh-Nya, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada mereka
dengan tauhid dan mencegah mereka dari menyekutukan-Nya, seperti apa yang
mereka (Nashara) lakukan. Karena asal dari agama Yahudi adalah kesombongan
maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menghukum mereka dengan kehinaan.
Dicampakkan kepada mereka kehinaan di manapun mereka berada.

Dan karena asal dari agama Nashara kesyirikan disebabkan mereka menempuh
banyak jalan menuju Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka Allah Subhanahu wa
Ta’ala pun menyesatkan mereka. Masing-masing dari kedua umat itu pun
mendapatkan hukuman atas dosa yang mereka lakukan, berupa lawan dari tujuan
mereka. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala tidaklah berbuat zalim terhadap
hamba-hamba-Nya. Sebagaimana yang terdapat dalam hadits:

“Orang-orang yang congkak dan sombong akan dikumpulkan pada hari kiamat
nanti dalam bentuk semut-semut kecil, yang diinjak-injak oleh manusia
dengan kaki mereka.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi dari Abdullah bin ‘Amr
radhiyallahu 'anhuma, dihasankan Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih
Al-Jami’ no. 8040)

Demikian pula terdapat dalam hadits dari Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu
'anhu secara mauquf dan marfu’:

“Tidak seorang pun melainkan di kepalanya terdapat hikmah. Jika dia
merendahkan diri (tawadhu’), maka dikatakan kepadanya: ‘Terangkatlah
engkau, Allah telah mengangkat (derajatmu)’. Dan jika dia mengangkat
kepalanya (sombong), maka dikatakan kepadanya: ‘Merugilah engkau, Allah
telah merendahkan kamu’.”[2]

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:

“Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan
masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.” (Ghafir: 60)

Dan firman-Nya:

‘(Bukan demikian) sebenarnya telah datang keterangan-keterangan-Ku kepada
kamu lalu kamu mendustakannya dan kamu menyombongkan diri dan adalah kamu
termasuk orang-orang yang kafir. Dan pada hari kiamat kamu akan melihat
orang-orang yang berbuat dusta terhadap Allah, mukanya menjadi hitam.
Bukankah dalam neraka Jahannam itu ada tempat bagi orang-orang yang
menyombongkan diri? Dan Allah menyelamatkan orang-orang yang bertakwa
karena kemenangan mereka, mereka tiada disentuh oleh azab (neraka dan tidak
pula) mereka berduka cita.” (Az-Zumar: 59-61)

Oleh karenanya, mereka berhak mendapatkan kemarahan dan murka-Nya.
Sedangkan kaum Nashara tatkala mereka memasuki pintu bid’ah, maka Allah
Subhanahu wa Ta’ala sesatkan mereka dari jalan-Nya. Sehingga mereka menjadi
sesat dan menyesatkan orang banyak, serta mereka semakin tersesat dari
jalan yang lurus. Dan sesungguhnya mereka melakukan bid’ah tersebut dengan
tujuan mendekatkan diri kepada-Nya dan menyembah-Nya, maka Allah Subhanahu
wa Ta’ala menjauhkan mereka dari-Nya dan menyesatkan mereka, sehingga
mereka menyembah selain-Nya. Maka camkanlah ini, semoga Allah Subhanahu wa
Ta’ala memberikan kepada kita petunjuk kepada jalan-Nya yang lurus. Jalan
orang-orang yang Allah Subhanahu wa Ta’ala beri nikmat kepada mereka, bukan
jalan orang-orang yang dimurkai dan bukan pula jalan orang-orang yang
sesat. (Lihat Majmu’ Al-Fatawa li Syaikhil Islam, 7/628)

Footnote:
[1] Nashara dalam bahasa Arab adalah bentuk jamak dari kata Nashrani.
[2] HR. Ath-Thabarani dari sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma, dan
riwayat Al-Bazzar dan Al-Baihaqi dalam Syu'abul Iman dari sahabat Abu
Hurairah radhiyallahu 'anhu. Dihasankan Al-Albani rahimahullahu dalam
Shahih Al-Jami' no. 5675, dengan lafadz yang agak berbeda. Adapun riwayat
‘Umar radhiyallahu 'anhu dengan lafadz tersebut di atas, kami belum
mendapatkannya. Wallahu a'lam.

 Sumber: http://asysyariah.com

-- 
Anda menerima E-Mail ini karena Anda tergabung dalam  Google Groups yaitu 
"Media Muslim Group". (Group Situs  http://www.mediamuslim.info dan 
http://www.kisahislam.com). Kirim artikel, pendapat/opini, informasi dan 
lain-lainnya ke mediamusliminfo@googlegroups.com
------------------------------------------------------------------------------------------------------
Perhatian: Setiap Content ataupun Tulisan yang ada pada email ini bukanlah 
menggambarkan http://www.mediamuslim.info karena hal tersebut merupakan 
apresiasi setiap members groups yang tidak mungkin kami perhatian 
satu-per-satu. 
-------------------------------------------------------------------------------------------------------

Untuk Keterangan lebih lanjut kunjungi 
http://groups.google.com/group/mediamusliminfo
Dan jangan lupa kunjungi http://www.mediamuslim.info dan 
http://www.kisahislam.com

Kirim email ke