Hakikat Al-Wala’ wal Bara’


Memahami ajaran Islam secara menyeluruh adalah bagian dari manhaj Islam itu
sendiri. Kita diperintahkan untuk menyelami seluk-beluk Islam, mulai dari
hal yang sangat penting dan mendasar seperti akidah atau tauhid, hingga
masalah hukum, ibadah, muamalah, dan lain-lain. Allah berfirman:



“Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, tuhan yang
hak) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa)
orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat
kamu berusaha dan tempat kamu tinggal.” (Muhammad: 19)



“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu dan janganlah kamu
mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil
pelajaran (darinya).” (al-A’raf: 30)



Salah satu ajaran Islam yang dewasa ini nyaris ditinggalkan dan dianggap
tabu oleh sebagian orang, serta oleh sebagian lainnya digembar-gemborkan
secara membabi-buta tanpa bimbingan dan ketentuan syar’i, adalah al-muwalah
(sikap loyal/setia) dan al-mu’adah (permusuhan), atau yang diistilahkan
dengan al-wala’ wal bara’.



*Pengertian al-Wala’ wal Bara’*



Al-wala’ atau disebut juga al-walyu, secara bahasa mengandung arti
berdekatan. Seluruh arti dari kata al-wala’ pada prinsipnya kembali kepada
makna dasar ini, yaitu berdekatan. Kata al-wala’ dalam bahasa Arab
merupakan bentuk mashdar. Kata ini sering pula digunakan untuk memaknai
wujud pertolongan dan pembelaan. Adapun al-bara’ atau disebut juga bari’a
mengandung arti membebaskan atau melepaskan dan menjauh. Ini adalah salah
satu makna dasarnya, di samping makna dasar yang lain yaitu al-khalqu yang
berarti penciptaan. Oleh karena itu, salah satu nama Allah adalah al-Bari.



Para ulama menggunakan dua kata ini, al-wala’ wal bara’, dalam masalah
akidah atau keyakinan. Hal ini didasarkan pada dalil-dalil Al-Qur’an dan
As-Sunnah. Semua dalil, baik dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah, memaknai
kata al-wala’ dengan kecintaan dan pertolongan atau sikap loyal/setia.
Adapun al-bara’ adalah kebalikan dari keduanya.



Dengan demikian, al-wala’ secara istilah adalah kecintaan dan sikap loyal
kepada Allah, Rasul-Nya, dienul Islam, dan para pemeluknya dari kalangan
kaum muslimin. Adapun al-bara’ adalah membenci segala sesuatu yang
diibadahi selain Allah, membenci kekafiran berikut seluruh ajarannya, dan
membenci para pemeluknya serta menampakkan permusuhan kepada semua itu.



Inilah makna al-wala’ wal bara’ dalam Islam. Ia merupakan akidah atau
keyakinan dalam hati, yang harus tampak wujudnya melalui perbuatan yang
dilakukan oleh anggota badan, seperti keyakinan-keyakinan lainnya yang
tidak diakui keberadaannya dalam hati tanpa terlihat wujudnya dalam
perbuatan anggota badan.



Apabila semakin menguat wujud akidah ini dalam hati, semakin bertambah pula
bukti yang menunjukkan hal tersebut pada perbuatan seorang hamba.
Sebaliknya, jika akidah ini melemah, akan berkurang pula bukti
keberadaannya pada perbuatan seorang hamba. Selanjutnya, jika akidah ini
hilang sama sekali dari hati, hilanglah keimanan secara keseluruhan. Tidak
akan tampak wujud keimanan pada anggota badan.



Dengan demikian, kecintaan, pertolongan, dan sikap loyal yang merupakan
makna al-wala’, serta kebencian dan pemusuhan yang merupakan makna dari
al-bara’, berkaitan dengan hati.



*Dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah serta Ijma’ tentang Akidah al-Wala’
wal Bara’*



Sesungguhnya akidah al-wala’ wal bara’ adalah sesuatu yang harus diyakini
secara pasti, tidak boleh ada keraguan sedikit pun tentangnya. Berikut ini
dalil-dalil yang menjelaskan hal tersebut.



*Di antara dalil dari Al-Qur’an adalah firman Allah tentang al-wala’ wal
bara’ adalah sebagai berikut.*



”Sesungguhnya penolong kalian hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang
yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya tunduk
(kepada Allah). Barang siapa mengambil Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang
yang beriman menjadi penolongnya, sesungguhnya pengikut (agama) Allah
itulah yang pasti menang.” (al-Maidah: 55—56)



Ibnu Jarir ath-Thabari (wafat tahun 310 H) mengemukakan, “Wahai orang-orang
yang beriman, kalian tidak punya penolong selain Allah, Rasul-Nya, dan
orang-orang yang beriman. Adapun orang-orang Yahudi dan Nasrani—yang Allah
telah memerintahkan kalian untuk bara’ (berlepas diri) dari mereka dan
melarang kalian untuk menjadikan mereka sebagai penolong—bukanlah pemimpin
dan penolong kalian. Justru sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian
lainnya. Oleh karena itu, jangan sekali-kali kalian menjadikan mereka
sebagai pemimpin dan penolong.” (Tafsir ath-Thabari dalam Maktabah Syamilah)



Allah juga berfirman:



“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka
(adalah) penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan)
yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan
zakat, serta mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi
rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.”
(at-Taubah: 71)



Ibnu Jarir menerangkan, “Kaum mukminin dan mukminah adalah orang-orang yang
beriman kepada Allah, Rasul-Nya, ayat-ayat-Nya, serta beriman kepada
kitab-kitab-Nya. Ciri khas mereka adalah sebagiannya menjadi penolong bagi
sebagian yang lain.” (Tafsir ath-Thabari dalam Maktabah Syamilah)



Allah berfirman:



“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Oleh karena itu,
damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah
terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (al-Hujurat: 10)



Ayat yang mulia ini menjelaskan bahwa persaudaraan yang berlandaskan dien
akan melahirkan kecintaan, kasih sayang, pembelaan, dan saling menolong. Di
samping itu, ayat ini juga menerangkan hakikat hubungan antara kaum
mukminin yang menyamai atau bahkan terkadang melebihi hubungan nasab,
sehingga tidak ada ukhuwah (persaudaraan) sejati melainkan antara kaum
mukminin.



Kemudian tentang al-bara’, Allah berfirman:



“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali
(penolong) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat
demikian niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena
(siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah
memperingatkan kamu terhadap diri-Nya (untuk murka terhadap kalian). Dan
hanya kepada Allah kembali (kalian).” (Ali Imran: 28)



“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang
Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebagian mereka adalah
pemimpin bagi sebagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil
mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan
mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang
zalim.” (al-Maidah: 51)



Ibnu Jarir mengatakan, “Sesungguhnya Allah melarang seluruh kaum mukminin
untuk menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai penolong dan
pemimpin atas orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah
juga mengabarkan bahwa sebagian orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi
penolong bagi sebagian yang lain sehingga hendaklah sebagian kalian (orang
yang beriman) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Kemudian Allah
menegaskan bahwa barang siapa memberikan kecintaan kepada Yahudi dan
Nasrani, ia dicap sebagai bagian dari mereka.” (Tafsir ath-Thabari dalam
Maktabah Syamilah)



*Dalil-Dalil dari As-sunnah*



Dalil dari As-Sunnah tentang al-wala’ antara lain sabda Nabi:



“Seorang mukmin bagi mukmin lainnya ibarat sebuah bangunan, sebagiannya
menguatkan sebagian yang lain.” (HR. al-Bukhari no. 2446 dan Muslim no.
2585)



Rasulullah bersabda:



“Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, kalian tidak akan masuk surga
sampai kalian beriman dan kalian tidak akan beriman sampai kalian saling
mencintai. Maukah aku tunjukkan kepada kalian sesuatu yang kalau kalian
lakukan niscaya kalian akan saling mencintai? Yaitu, sebarkanlah salam di
antara kalian.” (HR. Muslim no.54)



Adapun dalil tentang al-bara’, di antaranya hadits Jarir bin Abdillah
al-Bajali, ketika dia datang untuk berbaiat kepada Nabi atas Islam. Nabi
bersabda, “Aku membaiatmu agar engkau beribadah kepada Allah dan tidak
menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun, menegakkan shalat, menunaikan
zakat, dan menasihati setiap muslim, serta memisahkan diri dari orang
musyrik.



Dalam riwayat lain:



“Berlepas diri (bara’) dari orang kafir.” (HR. Ahmad no. 19153, 19162,
19163, 19165, 19182, 19219, 19233 dan an-Nasai 7/147—148, no. 4175, 4176,
4177)



“Sesungguhnya cabang keimanan yang paling pokok adalah kamu mencintai
sesuatu karena Allah dan membenci juga karena Allah.” (HR. Ahmad no. 17793)



Rasulullah bersabda, “Janganlah kalian tinggal bersama orang-orang musyrik,
jangan pula bergabung dengan mereka. Barang siapa tinggal dan bergabung
bersama mereka, dia bagian dari mereka.” (HR. al-Hakim 2/141—142, dari
Samurah bin Jundub)



Masih banyak dalil lainnya yang menyebutkan perintah Rasulullah untuk
menyelisihi orang-orang kafir dalam banyak hal.



*Dalil Ijma’*



Ibnu Hazm mengatakan, “Memang benar bahwa firman Allah:



”Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin,
sesungguhnya dia termasuk golongan mereka….” (al-Maidah: 51)

itu sesuai dengan kenyataannya, yakni dihukumi kafir, masuk ke dalam
golongan orang-orang kafir. Masalah ini adalah sesuatu yang tidak ada
perselisihan pendapat, meski oleh dua orang dari kaum muslimin.”
(al-Muhalla, 11/138)



Allah berfirman:



“Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah
Engkau beri nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan
bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (al-Fatihah: 6—7)



Para ahli tafsir sepakat bahwa orang-orang yang dimurkai adalah Yahudi dan
orang-orang yang sesat adalah Nasrani.



Ini adalah doa yang dipanjatkan oleh setiap muslim pada tiap rakaat
shalatyang wajib dan sunnah. Ia memohon agar Allah k menunjukinya sehingga
dapat menempuh jalan orang-orang yang beriman dalam hal akidah, ucapan, dan
amalannya. Ia memohon pula agar dijauhkan dari jalan orang-orang Yahudi,
Nasrani, dan yang semisalnya.



Ini adalah jenis al-wala’ wal bara’ yang sangat jelas, karena mengandung
ketundukan kepada Allah agar dapat mewujudkannya dalam hati setiap muslim.
(Lihat al-Wala’ wal Bara’ baina as-Samahah wal Ghuluw)



*Hubungan al-Wala’ wal Bara’ dengan Landasan Iman*



Akidah al-wala’ wal bara’ dalam Islam berhubungan dengan wujud keislaman.
Selama di muka bumi ini ada seorang muslim, bertauhid, dan ada seorang
kafir atau musyrik, selama itu pula harus ada wujud al-wala’ wal bara’.
Oleh karena itu, al-wala’ wal bara’ adalah akidah, keyakinan, bahkan
tuntutan dari kalimat tauhid La Ilaha Ilallah.



Akidah al-wala’ wal bara’ mempunyai kedudukan yang tinggi, terkait dengan
dasar-dasar keimanan. Tidak seperti anggapan dan sikap sebagian orang yang
menganggapnya sebagai sesuatu yang tabu sehingga sengaja menolak dan
melupakannya. Padahal tidak akan tersisa iman seseorang tanpa ada al-wala’
wal bara’. Hilangnya al-wala’ wal bara’ berarti hilangnya keimanan. Allah
berfirman:



“Kamu melihat kebanyakan dari mereka tolong-menolong dengan orang-orang
yang kafir (musyrik). Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka sediakan
untuk diri mereka, yaitu kemurkaan Allah kepada mereka; dan mereka akan
kekal dalam siksaan. Sekiranya mereka beriman kepada Allah, kepada Nabi
(Musa), dan kepada apa yang diturunkan kepadanya (Nabi), niscaya mereka
tidak akan mengambil orang-orang musyrikin itu menjadi penolong-penolong,
tapi kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang fasik.” (al-Maidah:
80—81)



Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (wafat tahun 728 H) mengatakan, “Keimanan yang
ada harus mendorong seseorang untuk tidak menjadikan orang-orang kafir
sebagai pemimpin atau penolong, karena keimanan dan menjadikan mereka
sebagai penolong (adalah dua hal) yang tidak dapat bersatu dalam hati. Maka
dari itu, siapa pun yang menjadikan mereka sebagai pemimpin atau penolong
berarti belum mewujudkan keimanan yang seharusnya terhadap Allah, Nabi-Nya,
dan apa yang telah diturunkan kepadanya.” (Kitabul Iman hlm. 14)



Allah berfirman:



“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat,
saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan
Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, anak-anak,
saudara-saudara, ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang
Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka
dengan pertolongan yang datang dari-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam
surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya.
Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan
rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya
hizbullah (golongan Allah) adalah golongan yang beruntung.” (al-Mujadilah:
22)



Korelasi atau hubungan antara dasar keimanan dengan al-wala’ wal bara’
adalah sesuatu yang diakui oleh fitrah manusia. Oleh karena itu, Al-Qur’an
menegaskan bahwa nonmuslim menyimpan permusuhan dalam hatinya terhadap kaum
muslimin dan menanamkan kecintaan kepada sesamanya. Hal ini menuntut kaum
muslimin untuk memberikan kecintaan (wala’) kepada kaum mukminin dan
menanam kebencian (bara’) kepada orang-orang kafir. Allah berfirman:



“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman
kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak
henti-hentinya (menimbulkan) kemudaratan bagimu. Mereka menyukai apa yang
menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka dan apa yang
disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami
terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya. Beginilah kamu,
kamu menyukai mereka, padahal mereka tidak menyukai kamu, dan kamu beriman
kepada kitab-kitab semuanya. Apabila mereka menjumpai kamu, mereka berkata,
’Kami beriman’; dan apabila mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jari
lantaran marah bercampur benci terhadap kamu. Katakanlah (kepada mereka),
’Matilah kamu karena kemarahanmu itu.’ Sesungguhnya Allah mengetahui segala
isi hati.” (Ali-Imran: 118—119)



“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan
musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka
(berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang. Padahal sesungguhnya
mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir
Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Rabbmu. Jika
kamu benar-benar keluar untuk berjihad di jalan-Ku dan mencari keridhaan-Ku
(janganlah kamu berbuat demikian). Kamu memberitahukan secara rahasia
(berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang. Aku lebih
mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Dan barang
siapa di antara kamu yang melakukannya, maka sesungguhnya dia telah
tersesat dari jalan yang lurus. Jika mereka menangkap kamu, niscaya mereka
bertindak sebagai musuh bagimu dan melepaskan tangan dan lidah mereka
kepadamu dengan menyakiti(mu), serta mereka ingin supaya kamu (kembali)
kafir.” (al-Mumtahanah: 1—2)



Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu
mengikuti agama mereka. Katakanlah, ”Sesungguhnya petunjuk Allah itulah
petunjuk (yang benar).” Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka
setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi
pelindung dan penolong bagimu. (al-Baqarah: 120)



“Sebagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan
kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul)
dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka
maafkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya.
Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (al-Baqarah: 109)



“Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi
kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka). Maka janganlah kamu jadikan
di antara mereka penolong-penolong(mu), hingga mereka berhijrah pada jalan
Allah. Jika mereka berpaling (dari berhijrah), tawan dan bunuhlah mereka di
mana saja kamu menemuinya[1], dan janganlah kamu ambil seorang pun di
antara mereka menjadi pelindung, dan jangan (pula) menjadi penolong.”
(an-Nisa: 89)



Wallahu a’lam bish-shawwab.



Catatan Kaki:

[1] Ayat ini turun berkaitan dengan sekelompok orang yang mengaku masuk
Islam, namun kemudian bergabung dengan sebuah negeri kafir harbi karena
penentangannya. Ayat ini tidak berbicara tentang kaum munafik yang hidup
bersama kaum mukminin di Madinah. (Zubdatut Tafsir)



Sumber: http://asysyariah.com/

-- 
Anda menerima E-Mail ini karena Anda tergabung dalam  Google Groups yaitu 
"Media Muslim Group". (Group Situs  http://www.mediamuslim.info dan 
http://www.kisahislam.com). Kirim artikel, pendapat/opini, informasi dan 
lain-lainnya ke mediamusliminfo@googlegroups.com
------------------------------------------------------------------------------------------------------
Perhatian: Setiap Content ataupun Tulisan yang ada pada email ini bukanlah 
menggambarkan http://www.mediamuslim.info karena hal tersebut merupakan 
apresiasi setiap members groups yang tidak mungkin kami perhatian 
satu-per-satu. 
-------------------------------------------------------------------------------------------------------

Untuk Keterangan lebih lanjut kunjungi 
http://groups.google.com/group/mediamusliminfo
Dan jangan lupa kunjungi http://www.mediamuslim.info dan 
http://www.kisahislam.com

Kirim email ke