RE: [assunnah]Tanya puasa tarwiyah tgl 8 dzulhijjah

2013-10-12 Terurut Topik Abu Harits
From: rendymulyono...@gmail.com
Date: Fri, 11 Oct 2013 15:00:23 +0700
Assalamu alaikum warohmatullohi wabarokatuh
Mohon maaf jika Sudah pernah ditanyakan pada milis ini. 

Saat khutbah jumat tadi khotib menyampaikan amalan bulan dzulhijjah salah 
satunya adalah puasa tarwiyah pada tgl 8 dzulhijjah.

Apakah puasa ini ada sunahnya atau tidak, mohon penjelasan beserta dalilnya . 

Walaikum salam warohmatullohi wabarokatuh

Rendy 




Puasa sunnah di sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah adalah :


1. Berpuasa Pada Sembilan Hari Pertama Bulan Dzulhijjah.

Mulai dari awal bulan Dzulhijjah, ternyata telah ada amalan yang 
disunnahkan untuk kita kerjakan. Diriwayatkan dari sebagian isteri Nabi ,
 mereka berkata:



كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ تِسْعَ 
ذِي الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ 
شَهْرٍ أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنْ الشَّهْرِ وَالْخَمِيسَ



Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada sembilan 
hari bulan Dzulhijjah, hari ‘Asyura, tiga hari pada setiap bulan, dan 
hari Senin pertama awal bulan serta hari Kamis.[7]



Hadits ini menganjurkan kita berpuasa pada sembilan hari bulan 
Dzulhijjah. Dan ini merupakan pendapat jumhur ulama. Adapun hadits 
‘Aisyah Radhiyallahu anhuma berikut ini:



مَارَاَيْتُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَا ئِمًا فِيْ 
الْعَشْرِ قَطٌّ



Aku tidak pernah sekali pun melihat Rasulullah berpuasa pada sepuluh hari 
pertama bulan Dzulhijjah.[8]
Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/3740/slash/0/keutamaan-sepuluh-hari-pertama-bulan-dzulhijjah/


2. Adapun pengkhususan puasa pada tanggal 8 Dzulhijjah (hari Tarwiyah), 
haditsnya maudhu



DERAJAT HADITS PUASA HARI TARWIYAH

Oleh

Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat

http://almanhaj.or.id/content/2303/slash/0/derajat-hadits-puasa-hari-tarwiyah/


Sudah terlalu sering saya ditanya tentang puasa pada hari tarwiyah 
(tanggal delapan Dzulhijjah) yang biasa diamalkan oleh umumnya kaum 
muslimin. Mereka berpuasa selama dua hari yaitu pada tanggal delapan dan
 sembilan Dzulhijjah (hari Arafah). Dan selalu pertanyaan itu saya jawab
 : Saya tidak tahu! Karena memang saya belum mendapatkan haditsnya yang 
mereka jadikan sandaran untuk berpuasa pada hari tarwiyah tersebut.



Alhamdulillah, pada hari ini (3 Agustus 1987) saya telah menemukan haditsnya 
yang lafadznya sebagai berikut.



صَوْمُ يَوْمِ التَّرْوِيَةِ كَفَّارَةُ سَنَةٍ، وَصَوْمُ يَوْمِ عَرفَةَ 
كَفَّارَةُ سَنَتَيْنِ



“Artinya : Puasa pada hari tarwiyah menghapuskan (dosa) satu tahun, dan puasa 
pada hari Arafah menghapuskan (dosa) dua tahun”.



Diriwayatkan oleh Imam Dailami di kitabnya Musnad Firdaus (2/248) dari jalan :



1. Abu Syaikh dari :

2. Ali bin Ali Al-Himyari dari :

3. Kalbiy dari :

4. Abi Shaalih dari :

5. Ibnu Abbas marfu’ (yaitu sanadnya sampai kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa 
sallam)



Saya berkata : Hadits ini derajatnya maudlu’. 



Sanad hadits ini mempunyai dua penyakit.



Pertama.

Kalbiy (no. 3) yang namanya : Muhammad bin Saaib Al-Kalbiy. Dia ini 
seorang rawi pendusta. Dia pernah mengatakan kepada Sufyan Ats-Tsauri, 
“Apa-apa hadits yang engkau dengar dariku dari jalan Abi Shaalih dari 
Ibnu Abbas, maka hadits ini dusta” (Sedangkan hadits di atas Kalbiy 
meriwayatkan dari jalan Abi Shaalih dari Ibnu Abbas).



Imam Hakim berkata : “Ia meriwayatkan dari Abi Shaalih hadits-hadits 
yang maudlu’ (palsu)” Tentang Kalbiy ini dapatlah dibaca lebih lanjut di
 kitab-kitab Jarh Wat Ta’dil.



1. At-Taqrib 2/163 oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar

2. Adl-Dlu’afaa 2/253, 254, 255, 256 oleh Imam Ibnu Hibban

3. Adl-Dlu’afaa wal Matruukin no. 467 oleh Imam Daruquthni

4. Al-Jarh Wat Ta’dil 7/721 oleh Imam Ibnu Abi Hatim

]. Tahdzibut Tahdzib 9/5178 oleh Al-Hafizd Ibnu Hajar



Kedua : Ali bin Ali Al-Himyari (no. 2) adalah seorang rawi yang majhul (tidak 
dikenal).



Kesimpulan

1. Puasa pada hari tarwiyah (8 Dzulhijjah) adalah hukumnya bid’ah. 
Karena hadits yang mereka jadikan sandaran adalah hadits palsu/maudlu’ 
yang sama sekali tidak boleh dibuat sebagai dalil. Jangankan dijadikan 
dalil, bahkan membawakan hadits maudlu’ bukan dengan maksud menerangkan 
kepalsuannya kepada umat, adalah hukumnya haram dengan kesepakatan para 
ulama.



2. Puasa pada hari Arafah (tanggal 9 Dzulhijjah) adalah hukumnya sunat 
sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di bawah ini.



صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ اَحْتَسِبُ عَلَى اللّهِ اَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ
 الَّتِيْ قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِيْ بَعْدَهُ، وَصِيَامُ يَوْمِ 
عَاشُوْرَاءَ اَحتَسِبُ عَلَى اللّهِ اَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِيْ 
قَبْلَهُ



“Artinya : … Dan puasa pada hari Arafah –aku mengharap dari Allah- 
menghapuskan (dosa) satu tahun yang telah lalu dan satu tahun yang akan 
datang. Dan puasa pada hari ‘Asyura’ (tanggal 10 Muharram) –aku 
mengharap dari Allah menghapuskan (dosa) satu tahun yang telah lalu”. 



[Shahih riwayat Imam Muslim (3/168), Abu Dawud (no. 2425), Ahmad (5/297, 308, 
311), 

RE: [assunnah]Hukum Berkurban atas nama PT or Organisasi

2013-10-12 Terurut Topik Abu Harits
From: didik.kurnia...@gmail.com
Date: Sat, 12 Oct 2013 01:10:42 +
ikhwah fillah




Mohon postingan dalil / hukumnya berkurban atas nama PT/Organisasi or instansi.






Bagaimana hukumnya?




Jazzakallah khairan




Powered by Telkomsel BlackBerry



1. Ibadah kurban itu dibebankan kepada kaum muslimin yang mampu, bukan kepada 
instansi ; perusahaan(PT), sekolahan, organisasi. Penjelasannya silakan baca di
http://almanhaj.or.id/content/2013/slash/0/kurban-dan-pensyariatannya/
http://almanhaj.or.id/content/1844/slash/0/wajibkah-melaksanakan-ibadah-kurban/


2. Penjelasan kurban atas nama instansi (sekolah, perusahaan, organisasi)
IURAN KURBAN DI SEKOLAH


Oleh


Syaikh Masyhur bin Hasan Salman


http://almanhaj.or.id/content/2290/slash/0/iuran-kurban-di-sekolah-pahala-qurban-untuk-yang-sudah-wafat/






Pertanyaan


Syaikh Masyhur bin Hasan Salman ditanya : Menjelang Idul Adha tiba, ada
beberapa masalah yang senantiasa mengemuka dan perlu mendapat perhatian.
 Diantara masalah tersebut, yaitu penyembelihan hewan kurban di
sekolah-sekolah. Kegiatan ini sangat marak, karena memang digalakkan
oleh beberapa sekolah, baik swasta maupun negeri. Dimana sekolah-sekolah
 tersebut mengharuskan siswanya untuk mengeluarkan dana dengan jumlah
tertentu sesuai dengan keputusan sekolah masing-masing. Dana yang
terkumpul kemudian digunakan untuk membeli hewan kurban sapi atau
kambing. Anggapan yang kemudian timbul, bahwa kegiatan sejenis ini
termasuk dalam kategori pelaksanaan ibadah yang sah. Bagaimanakah
pendapat ini ? Alasan yang melatar belakangi perbuatan ini, yaitu untuk
melatih siswa melaksanakan ibadah.






Jawaban


Mengenai penyembelihan kurban di sekolah, ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan, baik oleh pihak sekolah ataupun pihak wali murid atau
orang tua.






1. Jika seseoraang melaksanakan ibadah kurban dengan cara yang benar dan
 memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan syari’at, maka ibadah
kurbannya tersebut sah dan cukup untuk dirinya dan anggota keluarganya
yang lain, baik yang masih hidup atau yang sudah meninggal. Namun tidak
disyari’atkan bila dikhususkan untuk orang yang sudah meninggal.






Sehingga, jika seorang siswa sudah melaksanakan ibadah kurban di sekolah
 atau di tempat lainnya dengan cara yang benar, maka syari’at kurban
menjadi gugur atas anggota keluarga lainnya. Dalam hal ini, berarti ia
mendapatkan limpahan wewenang dari orang tuanya.






Yang harus mendapat perhatian penuh, yaitu pelaksanaan sunnah yang
berkaitan dengan ibadah kurban. Diantara sunnah-sunnah itu ialah ; bagi
orang yang berkurban dan anggota keluarganya, disunnahkan untuk
menyaksikan penyembelihannya, orang yang berkurban disunnahkan untuk
mengkonsumsi sebagian daging hewan yang dikurbankan. Sunnah-sunnah ini,
kadang kala terabaikan ketika seseorang berkurban di sekolah






2. Pihak sekolah tidak berhak mengharuskan siswanya untuk berkurban di
sekolah. Yang berhak untuk menentukan tempat berkurban atau melimpahkan
urusan kurban kepada orang lain adalah pemilik kurban, dalam hal ini
wali siswa atau bapaknya. Pihak sekolah hanya berkewajiban untuk
mengajarkan, melatih dan memotivasi siswanya untuk melaksanakan
amalan-amalan ta’at dengan cara yang benar. Jika pihak sekolah
mengharuskan siswanya untuk menyembelih hewan kurbannya di sekolah,
berarti pihak sekolah telah melakukan sesuatu yang bukan wewenangnya.






3. Adapun masalah iuran untuk kurban, jika memenuhi ketentuan syari’at,
maka perbuatan ini sah dan ibadah kurbannya sah. Yaitu satu sapi atau
unta untuk tujuh orang. Jika menyalahi ketentuan ini, maka ibadah
kurbannya tidak sah.






Khusus mengenai iuran kurban yang dikenakan kepada para siswa sebanyak
lima ribu, sepuluh ribu atau beberapa ribu rupiah, kemudian dana yang
terkumpul digunakan untuk membeli kambing atau sapi, dan kemudian mereka
 namakan perbuatan ini sebagai ibadah kurban, maka demikian ini
merupakan perbuatan yang keliru. Hal ini, dilihat dari beberap segi:






A. Penyembelihan yang mereka namakan ibadah kurban ini menyelisihi yang
telah menjadi ketetapan syari’at. Yaitu seekor kambing untuk satu orang
dan seekor sapi untuk tujuh orang. Sedangkan ibadah kurban mereka ini,
satu sapi atau kambing untuk puluhan orang, bahkan mungkin ratusan
orang. Ini jelas menyelisihi ketetapan syari’at. Karena menyelisihi,
maka iuran kurban yang seperti ini tidak bisa dinamakan sebagai ibadah 

kurban. Dengan kata lain, ibadah kurban seperti ini tidak sah.






B. Ibadah kurban hanya dibebankan kepada kaum muslimin yang mampu. Jika
mampu, hendaknya ia berkurban. Dan jika tidak mampu, maka kewajiban
syari’at tidak akan dibebankan kepada orang yang tidak mampu.






C. Selanjutnya kami [1], memberi saran, bila beralasan untuk melatih
para siswa melakukan perbuatan ta’at, ini tujuan yang sangat mulia.
Namun tujuan mulia ini, bukan berarti kemudian boleh dicapai dengan cara
 yang tidak dibenarkan. Mungkin ada cara lain yang bisa ditempuh untuk
mencapai tujuan ini, yaitu dengan memotivasi para 

RE: [assunnah]Daging kurban berlebihan, bolehkah di bagikan ke non muslim

2013-10-11 Terurut Topik Abu Harits
From: henny_...@ag.co.id
Date: Fri, 11 Oct 2013 13:28:05 +0700
Assalamu'alaikum warahmatullahi
wabarakatuh

Setiap hari raya qurban masjid di perumahan
kami kebanjiran daging kurban sehingga sangat berlebih meskipun telah
dibagi-bagikan ke banyak orang. Utk menghabiskannya pihak panitia masjid membagi
daging kurban tsb ke semua warga di perumahan yg sdh pasti banyak beragam agama
yg dipeluknya. Dan yg pasti warga perumahan kami tsb banyak yg menyerahkan hewan
kurban, shg menerima kembali daging kurban tsb, meski pd waktu penyerahan ke
takmir berpesan agar diberikan kepada yg berhak/memerlukan
saja.
Pertanyaan saya : apakah ada kriteria
bagaimana masalah tsb dapat diatasi dng berdasar pd nash2 Al Quran dan Sunnah?
Atas segala perhatiannya diucapkan terima
kasih


Wassalamualaikum Warahmatullahi
wabarakatuh


SIAPAKAH ORANG YANG BERHAK MENERIMA DAGING HEWAN KURBAN?

Pertanyaan.

Al-Lajnatud Dâimah Lil Buhûtsil Ilmiyyah Wal Iftâ`ditanya : Siapakah 
yang berhak menerima daging binatang kurban dan apa hukum memberikan 
daging hewan kurban kepada yang menyembelih?

Jawaban.

Orang yang melakukan ibadah kurban boleh mengkonsumsi daging hewan 
kurbannya, sebagiannya boleh diberikan kepada orang-orang fakir untuk 
mencukupi kebutuhan mereka pada hari itu, diberikan kepada kerabat untuk
 menyambung silaturrahim, diberikan kepada tetangga sebagai bantuan dan 
boleh juga diberikan kepada teman-teman untuk mengokohkan ikatan 
persaudaraan.



Menyegerakan pembagian hewan kurban pada hari raya lebih baik daripada 
hari kedua dan seterusnya, sebagai penghibur bagi mereka pada hari itu. 
Berdasarkan keumuman firman Allah Azza wa Jalla :



وَسَارِعُوا إِلَىٰ مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ 
وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ



Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu dan kepada surga yang 
luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang 
bertakwa.[Ali Imrân/3:133]



فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ



Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan.[al-Baqarah/2:148]



Dan daging kurban boleh juga diberikan kepada tukang sembelih, tapi bukan 
sebagai upah.
Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/2520/slash/0/siapakah-orang-yang-berhak-menerima-daging-hewan-qurban/

DAGING KURBAN UNTUK ORANG KAFIR

Lajnah Da’imah ketika ditanya masalah ini menjawab [1]: Boleh memberikan
 daging kurban untuk orang kafir mu’ahid (orang kafir yang mengikat 
perjanjian damai dengan kaum muslimin) dan tawanan yang masih kafir, 
baik karena mereka miskin, kerabat, tetangga, atau sekedar melunakkan 
hati mereka, karena ibadah kurban itu intinya adalah menyembelihnya 
untuk mendekatkan diri kepada Allah dan ibadah kepada-Nya.



Adapun dagingnya, maka yang paling afdhal adalah dimakan pemiliknya 
sepertiga, diberikan kepada kerabat, tetangga dan sahabatnya sepertiga, 
kemudian disedekahkan buat fakir miskin sepertiga.



Seandainya pembagiannya tidak rata, atau sebagian yang lain merasa cukup
 (sehingga yang lain tidak mendapatkan daging kurban) maka tidak mengapa
 ; di dalam permasalahan ini ada keluasan. Akan tetapi , daging kurban 
tidak boleh diberikan kepada orang kafir harbi (yang memerangi Islam) 
karena yang wajib (bagi orang Islam) adalah menghinakan dan melemahkan 
mereka, bukan menelongnya atau menguatkan mereka dengan pemberian 
(sedekah) ; demikian pula hukumnya sama dalam sedekah yang bersifat 
sunnah, sebagaimana keumuman firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.



لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ 
وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا 
إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ﴿٨﴾إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ
 اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ 
دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَىٰ إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ ۚ وَمَنْ
 يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ



Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap 
mereka yang tidak memerangimu karena agama (mu) dan yang tidak 
mengusirmu dari tempatmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang 
berlaku adil. Allah hanya melarang kamu untuk menjadikan mereka yang 
memerangimu, mengusirmu dari tempatmu, dan membantu orang lain 
mengusirmu sebagai kawanmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai 
kawan, maka mereka adalah orang-orang yang zalim. [al-Mumtahanah/60: 
8-9]



Dan juga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh Asma binti 
Abi Bakar Radhiyallahu anhuma untuk selalu menyambunga (silaturahmi) 
dengan ibunya dengan memberinya harta, padahal ibunya masih musyrik saat
 masih dalam perjanjian damai [2]
Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/3741/slash/0/daging-kurban-untuk-orang-kafir/

Wallahu Ta'ala A'lam






 









  

RE: [assunnah]Hukum pernikahan dengan Sepupu

2013-10-09 Terurut Topik Abu Harits
From: msj.product...@leighton.co.id
Date: Mon, 7 Oct 2013 13:59:11 +0800
Assalamu'alaikum apa hukumnya  Pernikahan dengan adik sepupu atau anak dari 
paman


Pernikahan dengan sepupu diperbolehkan karena sepupu tidak termasuk mahram 
(orang yang haram menikah dengannya)

1. Wanita Yang Dihalalkan Dan Yang DIharamkan (Untuk Dinikahi)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:



حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ 
وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ 
وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ 
الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي 
حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ 
تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ 
أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ 
الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا 
رَحِيمًا ﴿٢٣﴾ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ 
أَيْمَانُكُمْ ۖ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ ۚ وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا 
وَرَاءَ ذَٰلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ 
مُسَافِحِينَ ۚ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ 
أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً 



Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan;
 saudara-saudaramu yang perempuan; saudara-saudara bapakmu yang 
perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan 
dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari 
saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusuimu; saudara 
perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu 
yang ada dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, 
tetapi jika kamu belum bercampur dengan isterimu itu (dan sudah kamu 
ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu)
 isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam 
perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi 
pada masa lampau sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. 
Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali 
budak-budak yang kamu miliki. (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai
 ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagimu selain yang demikian 
(yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini, bukan untuk
 berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara
 mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai 
suatu kewajiban... [An-Nisaa'/4: 23-24]



Al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahiihnya dari Ibnu ‘Abbas, Tujuh 
(golongan yang) dihalalkan untuk dinikahi karena alasan nasab, dan tujuh
 (golongan) karena alasan mushaharah (semenda/ ikatan perkawinan). 
Kemudian dia membaca, حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ “Diharamkan 
atas kamu (mengawini) ibu-ibumu...”[1] 



Al-Hafizh berkata dalam al-Fat-h: Dalam riwayat ath-Thabrani dari jalur
 selain maula Ibnu 'Abbas, dari Ibnu 'Abbas, disebutkan di akhir hadits 
tersebut, ‘... kemudian dia membaca: حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ
 ‘Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibu-mu,’ hingga ayat: وَبَنَاتُ 
اْلأَخِ وَبَنَاتُ اْلأُخْتِ ‘Anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu 
yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang 
perempuan.’ Kemudian mengatakan: ‘Inilah senasab.’ Kemudian membaca, 
وَأُمَّهَاتُكُمُ الَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ ‘Ibu-ibumu yang menyusuimu, 
saudara perempuan sepersusuan,’ hingga ayat, وَأَن تَجْمَعُوا بَيْنَ 
اْلأُخْتَيْنِ ‘Dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang 
bersaudara,’ dan membaca: وَلاَ تَنكِحُـوا مَـا نَكَحَ ءَ ابَآؤُكُم 
مِّنَ النِّسَآءِ ‘Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah 
dikawini oleh ayahmu.’ (An-Nisaa'/4: 22), lalu mengatakan, ‘Inilah 
semenda.’[2]\
Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/3561/slash/0/wanita-yang-dihalalkan-dan-yang-diharamkan-untuk-dinikahi/

2. Definisi Mahram

Definisi mahram bagi wanita adalah orang yang haram (selamanya-Red) menikah 
dengannya, karena nasab, pernikahan atau susuan.



a. Mahram karena nasab seperti: anak laki-lakinya, saudara laki-lakinya,
 bapaknya, paman dari bapaknya, paman dari ibunya, kakeknya, anak 
saudara laki-lakinya (keponakannya), anak saudara perempuannya 
(keponakannya), sama saja baik saudara seayah seibu, saudara seayah, 
atau seibu.



b. Mahram karena pernikahan seperti: suami putrinya (menantu), suami 
cucu dari putrinya (terus keturunannya kebawah), putra suaminya (anak 
tiri), anak-anak dari putra suaminya, anak-anak dari putri suaminya 
(terus kebawah), baik dari istri sebelum dia, sesudah dia atau 
bersamanya, ayah atau kakek suami (terus ke atas), baik dari pihak ayah 
suami atau ibu suami.



c. Mahram karena susuan sama seperti mahram karena nasab berdasarkan sabda 
rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :



يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعِ مَا يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ 



Penyusuan itu mengharamkan sebagaimana yang diharamkan karena nasab. 
[HSR Imam Bukhari, Muslim, Abu Daud, 

RE: [assunnah]Doa anak yatim

2013-10-09 Terurut Topik Abu Harits



From: tdragos...@gmail.com
Date: Mon, 7 Oct 2013 09:37:12 +0700















 



  



  
  
  Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuhBelakangan ana menyaksikan 
fenomena dimana orang-orang jika mempunyai hajat lalu mengundang anak-anak 
yatim untuk disantuni lalu meminta anak-anak yatim tersebut mendoakan hajat 
yang dimintakan oleh orang yang mengundang. Ana ingin menanyakan jikalau ada 
akhi atau ukhti yang insya Allah dirahmati Allah, mengetahui tentang dalil 
maqbulnya doa anak yatim. 
Jazakumullahu khair


Yang diperintahkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap anak yatim 
adalah menyantuninya,  bukan meminta do'a dari mereka (anak yatim).

KEUTAMAAN MENYANTUNI ANAK YATIM

Oleh

Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA



عَنْ سَهْلِ بَْنِ سَعْدٍ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُولَ اَللَّهِ صلى
 الله عليه وسلم : أَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيمِ فِى الْجَنَّةِ هكَذَ، 
وَأَشَارَ بِالسَّبَّابَةِ وَالْوُسطَى وَفَرَّجَ بَيْنَهُمَا شَيْئاً 



Dari Sahl bin Sa’ad Radhiallahu ‘anhu dia berkata: Rasulullah 
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Aku dan orang yang menanggung 
anak yatim (kedudukannya) di surga seperti ini”, kemudian beliau 
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan jari telunjuk dan jari 
tengah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta agak merenggangkan 
keduanya.[HR al-Bukhari no. 4998 dan 5659]



Hadits yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan dan pahala orang 
yang meyantuni anak yatim, sehingga imam al-Bukhari rahimahullah 
mencantumkannya dalam bab: Keutamaan Orang Yang Mengasuh Anak Yatim.



Beberapa faidah penting yang terkandung dalam hadits ini:



• Makna hadits ini: orang yang menyantuni anak yatim di dunia akan 
menempati kedudukan yang tinggi di surga dekat dengan kedudukan 
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam [1].



• Arti “menanggung anak yatim” adalah mengurusi dan memperhatikan semua 
keperluan hidupnya, seperti nafkah (makan dan minum), pakaian, mengasuh 
dan mendidiknya dengan pendidikan Islam yang benar [2].



• Yang dimaksud dengan anak yatim adalah seorang anak yang ditinggal oleh 
ayahnya sebelum anak itu mencapai usia dewasa [3].



• Keutamaan dalam hadits ini berlaku bagi orang yang meyantuni anak 
yatim dari harta orang itu sendiri atau harta anak yatim tersebut jika 
orang itu benar-benar yang mendapat kepercayaan untuk itu [4].



• Demikian pula, keutamaan ini berlaku bagi orang yang meyantuni anak 
yatim yang punya hubungan keluarga dengannya atau anak yatim yang sama 
sekali tidak punya hubungan keluarga dengannya [5].
Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/3364/slash/0/keutamaan-menyantuni-anak-yatim/

Anak yatim adalah anak-anak yang kehilangan ayahnya karena meninggal 
sedang mereka belum mencapai usia baligh. Batasan ini mencakup yatim 
yang masih ada hubungan kekerabatan dengan si pemeliharanya, ataupun 
dari orang lain yang tidak memiliki hubungan kekerabatan. Sebagaimana 
yang dikatakan oleh Syaikh Salim bin Id Al Hilali hafizhahullah ketika 
mengomentari hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berikut: 



كَافِلُ الْيَتِيمِ لَهُ أَوْ لِغَيْرِهِ أَنَا وَهُوَ كَهَاتَيْنِ فِي 
الْجَنَّةِ وَأَشَارَ الرَّاوِيُ وَهُوَ مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ 
بِالسَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى 



Pemelihara anak yatim, baik dari kerabatnya atau orang lain, aku dan 
dia (kedudukannya) seperti dua jari ini di surga nanti.” Dan perawi, 
yaitu Malik bin Anas berisyarat dengan jari telunjuk dan jari 
tengahnya. [1]

Banyak nash-nash syar’i yang menegaskan keutamaan menyantuni anak yatim 
dan menjanjikan balasan yang agung bagi para pemelihara anak yatim. Di 
antaranya ialah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:



وَيَسْئَلُونَكَ عَنِ الْيَتَامَى قُلْ إِصْلاَحُُ لَّهُمْ خَيْرُُ وَإِن 
تُخَالِطُوهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ 



Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakanlah:”Mengurusi 
urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu menggauli mereka, 
maka mereka adalah saudaramu. [al Baqarah : 220].



Dalam menafsirkan ayat di atas, Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di 
rahimahullah berkata: Ketika turun ayat 



إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ 
فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرً 



Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zhalim, 
sebenarnya mereka menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke 
dalam api yang menyala-nyala. [an Nisa’: 10].



Ayat tersebut terasa berat bagi para sahabat. (Sehingga para sahabat) 
segera memisahkan makanan mereka dari makanan anak yatim, karena 
khawatir akan memakan harta mereka, meskipun sebelumnya mereka terbiasa 
menggabungkan harta mereka dengan harta anak yatim (yang berada dalam 
kepengasuhannya, Pen).



Mereka kemudian bertanya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam 
tentang hal itu, maka Allah memberi khabar kepada mereka, bahwa maksud 
(ayat tersebut) adalah berbuat ishlah dalam masalah harta anak yatim, 
dengan cara menjaga harta tersebut dan mengembangkannya dalam 

RE: [assunnah]Hukum bila tidak menyimak bacaan Al Quran

2013-10-08 Terurut Topik Abu Harits
From: purb...@yahoo.co.id
Date: Mon, 7 Oct 2013 09:14:24 +0800 







Bismillah

Bagaiman hukumnya bila tidak menyimak bacaan Al Qur'an, yang di dengar dari 
pengeras suara di masjid?

muliaman purba

 
DALAM PERTEMUAN DIPERDENGARKAN BACAAN AL-QUR'AN AKAN TETAPI YANG HADIR TIDAK 
MENYIMAK, SIAPAKAH YANG BERDOSA ?
Oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
http://almanhaj.or.id/content/346/slash/0/dalam-pertemuan-diperdengarkan-bacaan-al-quran-dan-yang-hadir-tidak-menyimak-siapakah-yang-berdosa/

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya : Apabila dalam suatu majelis 
(perkumpulan) diperdengarkan kaset murattal (bacaan Al-Qur'an) tetapi 
orang-orang yang hadir dalam perkumpulan tersebut kebanyakan mengobrol dan 
tidak menyimak (mendengarkan) bacaan Al-Qur'an yang keluar dari kaset tersebut. 
Siapakah dalam hal ini yang berdosa ? Yang mengobrol atau yang memasang kaset 
itu ?

Jawaban.
Apabila majelis tersebut memang majelis zikir dan ilmu yang di dalamnya ada 
tilawah Al-Qur'an maka siapaun yang hadir dalam majelis tersebut wajib diam dan 
menyimak bacaan tersebut. Dan berdosa bagi siapa saja yang sengaja mengobrol 
dan tidak menyimak bacaan tersebut.

Dalilnya adalah surat Al-A'raf/7 : 204.

وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ 
تُرْحَمُونَ

Apabila dibacakan Al-Qur'an, maka dengarkanlah dan diamlah agar kalian 
mendapat rahmat

Adapun jika majelis tersebut bukan majelis ilmu dan zikir serta bukan majelis 
tilawah Al-Qur'an akan tetapi hanya kumpul-kumpul biasa untuk mengobrol, 
diskusi, bekerja, belajar atau pekerjaan lain-lain, maka dalam suasana seperti 
ini tidak boleh kita mengeraskan bacaan Al-Qur'an baik secara langsung ataupun 
lewat pengeras suara (kaset), sebab hal ini berati memaksa orang lain untuk 
ikut mendengarkan Al-Qur'an, padahal mereka sedang mempunyai kesibukan lain dan 
tidak siap untuk mendengarkan bacaan Al-Qur'an. Jadi dalam keadaan seperti ini 
yang salah dan berdosa adalah orang yang memeperdengarkan kaset murattal 
tersebut.

Di dalam masalah ini ada sebuah contoh : Misalnya kita sedang melewati sebuah 
jalan, yang jalan tersebut terdengar suara murattal yang keras yang berasal 
dari sebuah toko kaset. Begitu kerasnya murattal ini sehingga suaranya memenuhi 
jalanan.

Apakah dalam keadaan seperti ini kita wajib diam untuk mendengarkan bacaan 
Al-Qur'an yang tidak pada tempatnya itu ? Jawabannya tentu saja tidak. Dan 
kita tidak bersalah ketika kita tidak mampu untuk menyimaknya.

Yang bersalah dalam hal ini adalah yang memaksa orang lain untuk 
mendengarkannya dengan cara memutar keras-keras murattal tersebut dengan tujuan 
untuk menarik perhatian orang-orang yang lewat agar mereka tertarik untuk 
membeli dagangannya.

Dengan demikian mereka telah mejadikan Al-Qur'an ini seperti seruling 
(nyanyian) sebagaimana telah di-nubuwah-kan (diramalkan) dalam sebuah hadits 
shahih [Ash-Shahihah No. 979]. Kemudian mereka itu juga menjual ayat-ayat Allah 
dengan harga yang rendah sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi dan 
Nasrani, hanya caranya saja yang berbeda.

اشْتَرَوْا بِآيَاتِ اللَّهِ ثَمَنًا قَلِيلًا

Mereka menukar ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit [At-Taubah/9 : 9]
 
MEMBACA AL-QUR’AN ATAU MEMUTAR KASET BACAAN AL-QUR’AN MELALUI PENGERAS SUARA 
SEBELUM SHALAT JUM’AT
Oleh
Wahid bin ‘Abdis Salam Baali.
http://almanhaj.or.id/content/2161/slash/0/membaca-al-quran-atau-memutar-kaset-bacaan-al-quran-melalui-pengeras-suara-sebelum-shalat-jumat/

Di banyak masjid seorang qari’ akan duduk sebelum shalat Jum’at sekitar 
setengah jam sambil membaca al-Qur’an dengan suara keras sampai waktu adzan 
tiba. Dan ini jelas salah, dengan dua alasan:

Pertama: Perbuatan ini adalah bid’ah yang diada-adakan. Tidak pernah ditegaskan 
bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan seorang Sahabat 
yang memiliki suara yang merdu, seperti Abu Musa al-Asy’ari, ‘Abdullah bin 
Mas’ud, dan lain-lainnya untuk membaca al-Qur’an sebelum shalat Jum’at 
sementara orang-orang mendengarkannya. Seandainya hal tersebut baik, pastilah 
mereka (Salafush Shalih) akan mendahului kita untuk melakukan hal itu.

Kedua: Hal itu akan mengganggu orang-orang yang shalat, membaca al-Qur’an, 
berdzikir, dan berdo’a.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang sebagian jama’ah shalat untuk 
saling mengeraskan suara dalam membaca al-Qur’an atas sebagian yang lain. Imam 
Malik dan Imam Ahmad رحمهما الله telah meriwayatkan dengan sanad yang shahih 
dari al-Bayadhi radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa 
sallam pernah keluar menemui orang-orang yang sedang mengerjakan shalat, 
sementara suara mereka terdengar keras membaca al-Qur’an, maka beliau bersabda:

إِنَّ الْمُصَلِّيَ يُنَاجِي رَبَّهُ فَلْيَنْظُرْ بِمَا يُنَاجِيهِ بِهِ وَلاَ 
يَجْهَرْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ بِالْقُرْآنِ.

“Sesungguhnya orang yang shalat itu bermunajat kepada Rabb-nya, karenanya 
hendaklah dia memperhatikan dengan apa dia bermunajat. Dan janganlah 

RE: [assunnah]Amalan mempunyai keturunan

2013-10-08 Terurut Topik Abu Harits
From: nsya...@yahoo.com
Date: Sun, 6 Oct 2013 19:14:04 +
Assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh.






Alhamdulilah sudah 2 tahun ini saya mendapatkan banyak pencerahan tntng sunnah, 
yg mana dahulu kala dalam beribadah masih belum punya tuntunan terutama mslh 
tauhid. 

Sekarang ini kami ingin sekali mmpunyai keturunan, mohon bantuan kiat 2 amalan 
apa saja yg dapat kami lakukan yg sesuai dengan syariat.  





Jazakallahu khoriran, mohon jawabannya
 Dikirim dari ponsel cerdas BlackBerry 10 saya.



 

APABILA BELUM DIKARUNIAI ANAK
Allah Yang Maha Berkuasa atas segala sesuatu, Mahaadil, Maha Mengetahui, dan 
Mahabijaksana menganugerahkan anak kepada pasangan suami isteri, dan ada pula 
yang tidak diberikan anak. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

وَفِي رَوَايَةٍ : اقْسِمُوا الْمَالَ بَيْنَ أَهْلِ الْفَرَائِضِ عَلَ كِتَابِ 
اللَّهِ فَمَا تَرَكَتِ الْفَرَائِضُ فَئلأَوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ لِلَّهِ مُلْكُ 
السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ ۚ يَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ 
إِنَاثًا وَيَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ الذُّكُورَ أَوْ يُزَوِّجُهُمْ ذُكْرَانًا 
وَإِنَاثًا ۖ وَيَجْعَلُ مَنْ يَشَاءُ عَقِيمًا ۚ إِنَّهُ عَلِيمٌ قَدِيرٌ 

“Milik Allah-lah kerajaan langit dan bumi; Dia menciptakan apa yang Dia 
kehendaki, memberikan anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki, dan 
memberikan anak laki-laki kepada siapa yang Dia kehendaki, atau Dia 
menganugerahkan jenis laki-laki dan perempuan, dan menjadikan mandul siapa yang 
Dia kehendaki. Dia Maha Mengetahui, Mahakuasa.” [Asy-Syuuraa : 49-50]

Apabila sepasang suami isteri sudah menikah sekian lama namun ditakdirkan oleh 
Allah belum memiliki anak, maka janganlah ia berputus asa dari rahmat Allah 
‘Azza wa Jalla. Hendaklah ia terus berdo’a sebagaimana Nabi Ibrahim ‘alaihis 
salaam dan Zakariya ‘alaihis salaam telah berdo’a kepada Allah sehingga Allah 
‘Azza wa Jalla mengabulkan do’a mereka.

Do’a mohon dikaruniai keturunan yang baik dan shalih terdapat dalam Al-Qur-an, 
yaitu:

رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ

“Ya Rabb-ku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang 
yang shalih.” [Ash-Shaaffaat : 100]

رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ 
وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا 

“...Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami 
sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang 
yang bertaqwa.” [Al-Furqaan : 74]

رَبِّ لَا تَذَرْنِي فَرْدًا وَأَنْتَ خَيْرُ الْوَارِثِينَ 

“...Ya Rabb-ku, janganlah Engkau biarkan aku hidup seorang diri (tanpa 
keturunan) dan Engkau-lah ahli waris yang terbaik.” [Al-Anbiyaa' : 89]

رَبِّ هَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً ۖ إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ

“...Ya Rabb-ku, berilah aku keturunan yang baik dari sisi-Mu, sesungguhnya 
Engkau Maha Mendengar do’a.” [Ali ‘Imran : 38]

Suami isteri yang belum dikaruniai anak, hendaknya ikhtiar dengan berobat 
secara medis yang dibenarkan menurut syari’at, juga menkonsumsi obat-obat, 
makanan dan minuman yang menyuburkan. Juga dengan meruqyah diri sendiri dengan 
ruqyah yang diajarkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan terus menerus 
istighfar (memohon ampun) kepada Allah atas segala dosa. Serta senantiasa 
berdo’a kepada Allah di tempat dan waktu yang dikabulkan. Seperti ketika thawaf 
di Ka’bah, ketika berada di Shafa dan Marwah, pada waktu sa’i, ketika wuquf di 
Arafah, berdo’a di sepertiga malam yang akhir, ketika sedang berpuasa, ketika 
safar, dan lainnya.[10]

Apabila sudah berdo’a namun belum terkabul juga, maka ingatlah bahwa semua itu 
ada hikmahnya. Do’a seorang muslim tidaklah sia-sia dan Insya Allah akan 
menjadi simpanannya di akhirat kelak.

Janganlah sekali-kali seorang muslim berburuk sangka kepada Allah! Hendaknya ia 
senantiasa berbaik sangka kepada Allah. Apa yang Allah takdirkan baginya, maka 
itulah yang terbaik. Allah Maha Mengetahui, Maha Penyayang kepada 
hamba-hamba-Nya, Mahabijaksana dan Mahaadil.

Bagi yang belum dikaruniai anak, gunakanlah kesempatan dan waktu untuk berbuat 
banyak kebaikan yang sesuai dengan syari’at, setiap hari membaca Al-Qur-an dan 
menghafalnya, gunakan waktu untuk membaca buku-buku tafsir dan buku-buku lain 
yang bermanfaat, berusaha membantu keluarga, kerabat terdekat, 
tetangga-tetangga yang sedang susah dan miskin, mengasuh anak yatim, dan 
sebagainya.

Mudah-mudahan dengan perbuatan-perbuatan baik yang dikerjakan dengan ikhlas 
mendapat ganjaran dari Allah di dunia dan di akhirat, serta dikaruniai 
anak-anak yang shalih.

Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/2318/slash/0/hak-dan-kewajiban-suami-isteri-menurut-syariat-islam-yang-mulia/

 

Wallahu Ta'ala A'lam 






  

RE: [assunnah]Bekas Cukuran Rambut Bayi

2013-10-06 Terurut Topik Abu Harits
From: cacun.sopia...@pzcussons.com
Date: Fri, 4 Oct 2013 10:18:39 +0700
 Assalaamu'alaykum warahmatullaahi wabarakaatuh.
Afwan mau tanya, adakah hadist yang menjelaskan tentang ditimbangnya bekas 
cukuran rambut bayi ? dan dibuang kemana bekas cukurannya?syukron
6. Mencukur rambut pada hari ketujuh dan bersedekah.

Disunnahkan mencukur rambut secara merata, yaitu digundul (dibotak), 
lalu bersedekah senilai dengan perak seberat rambutnya. Rasulullah 
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Fathimah.



اِحْلِقِى رَأْسَهُ وَتَصَدَّقِى بِوَزْنِ شَعْرِهِ فِضَّةً عَلَى الْمَسَاكِيْنِ.



“Cukurlah rambutnya dan bersedekahlah dengan perak seberat rambutnya kepada 
orang-orang miskin.” [14]__[14]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ahmad 
(VI/390, 392) dan al-Baihaqi 
(IX/304). Lihat Irwaa-ul Ghaliil (no. 1175) dan Tuhfatul Mauduud (hal. 
159-163).
Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/1191/slash/0/ketika-si-buah-hati-hadir/
Wallahu Ta'ala A'lam








 









  

RE: [assunnah]Istri kurban apakah terkena larangan memotong kuku

2013-10-06 Terurut Topik Abu Harits
From: anak_minya...@yahoo.com
Date: Thu, 3 Oct 2013 17:11:51 -0700
Nasehatkan kepada kami, apakah istri-istri yg membeli dan berkuraban atas nama 
mereka sendiri (walaupun dana membeli qurban berasal dari suami), terkena 
larangan juga untuk memotong kuku-rambut..?BarokAllohu fikum atas ilmu 
agamanyaabu zizan


Yang tidak boleh mengambil rambut dan kuku adalah orang yang hendak berkurban 
(yaitu istri).

Diriwayatkan dari Ummu Salamah Radhiyallahu ‘anha dari Nabi Shallallahu ‘alaihi 
wa sallam beliau bersabda.



إِذَا دَخَلَتِ الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلاَ يَمَسَّ مِنْ 
شَعْرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئًَا



“Artinya : Apabila sepuluh hari pertama (Dzulhijjah) telah masuk dan 
seseorang di antara kamu hendak berkurban, maka janganlah menyentuh 
rambut dan kulitnya sedikitpun” [Riwayat Muslim]



Ini adalah nash yang menegaskan bahwa yang tidak boleh mengambil rambut 
dan kuku adalah orang yang hendak berkurban, terserah apakah kurban itu 
atas nama dirinya atau kedua orang tuanya atau atas nama dirinya dan 
kedua orang tuanya. Sebab dialah yang membeli dan membayar harganya. 
Adapun kedua orang tua, anak-anak dan istrinya, mereka tidak dilarang 
memotong rambut atau kuku mereka, sekalipun mereka diikutkan dalam 
kurban itu bersamanya, atau sekalipun ia yang secara sukarela membelikan
 hewan kurban dari uangnya sendiri untuk mereka. Adapun tentang menyisir
 rambut, maka perempuan boleh melakukannya sekalipun rambutnya 
berjatuhan karenanya, demikian pula tidak mengapa kalau laki-laki 
menyisir rambut atau jenggotnya lalu berjatuhan karenanya.



Barangsiapa yang telah berniat pada pertengahan sepuluh hari pertama 
untuk berkurban, maka ia tidak boleh mengambil atau memotong rambut dan 
kuku pada hari-hari berikutnya, dan tidak dosa apa yang terjadi sebelum 
berniat. Demikian pula, ia tidak boleh mengurungkan niatnya berkurban 
sekalipun telah memotong rambut dan kukunya secara sengaja. Dan juga 
jangan tidak berkurban karena alasan tidak bisa menahan diri untuk tidak
 memotong rambut atau kuku yang sudah menjadi kebiasan setiap hari atau 
setiap minggu atau setiap dua minggu sekail. Namun jika mampu menahan 
diri untuk tidak memotong rambut atu kuku, maka ia wajib tidak 
memotongnya dan haram baginya memotongnya.

Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/2300/slash/0/hukum-memotong-rambut-atau-kuku-bagi-yang-akan-berkurban-memberikan-daging-kepada-yang-menyembelih/

Wallahu Ta'ala A'lam





 









  

RE: [assunnah]Perihal Madzi

2013-09-25 Terurut Topik Abu Harits

From: sabdo.rac...@yahoo.com
Date: Mon, 23 Sep 2013 11:25:41 +0800 







Assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh,
Ana mw bertanya, Ana termasuk orang yg gampang keluar madzi,
pertanyaannya:
1.Bagaimana jika ana sedang shalat tiba-tiba keluar madzi apakah
shalat ana harus ana ulang dgn membersihkan madzi dan berwdhu seperti
biasa lalu shalat kembali.
2.Apakah membersihkan madzi cukup dipercikan saja sampai terlihat
basah dicelana dalam kita tanpa perlu mengganti celananya.
Jazakallahu khoriran, mohon jawabannya

 
Madzi, yaitu cairan putih (bening), encer, dan lengket yang keluar ketika 
naiknya syahwat. Dia tidak keluar dengan syahwat, tidak menyembur, dan tidak 
pula diikuti lemas. Terkadang keluar tanpa terasa. Dialami pria maupun 
wanita.[11]

Madzi adalah najis. Oleh karena itulah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam 
menyuruh membasuh kemaluan darinya. 

‘Ali Radhiyallahu anhu berkata, “Aku adalah laki-laki yang sering keluar madzi. 
Aku malu menanyakannya pada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam karena kedudukan 
puteri beliau. Lalu kusuruh al-Miqdad bin al-Aswad untuk menanyakannya.

Beliau lantas bersabda: 

يَغْسِلُ ذَكَرَهُ وَيَتَوَضَّأُ.

‘Dia harus membasuh kemaluannya dan berwudhu.’” [12]

Sedangkan wadi adalah cairan putih (bening) dan kental yang keluar setelah 
kencing.[13]

Wadi adalah najis.

Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Mani, wadi, dan madzi. Adapun 
mani, maka wajib mandi. Sedangkan untuk wadi dan madzi, beliau (Nabi 
Shallallahu 'alaihi wa sallam) bersabda:

اِغْسِلْ ذَكَرَكَ أَوْ مَذَاكِيْرَكَ وَتَوَضَّأْ وُضُوْءَكَ لِلصَّلاَةِ.

‘Basuhlah dzakar atau kemaluanmu dan wudhulah sebagaimana engkau berwudhu untuk 
shalat.’” [14]
__
[11]. Syarh Muslim, karya an-Nawawi (III/213).
[12]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih Muslim (I/247 no. 303)], ini adalah lafazhnya. 
Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/230 no. 132), Mukhtashar.
[13]. Fiqhus Sunnah (I/24).
[14]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 190)], dan al-Baihaqi (I/115).
Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/1438/slash/0/air-an-najaasaat/
 
Menyucikan pakaian yang terkena madzi
Dari Sahl bin Hunaif, dia berkata, Aku mengalami kesulitan karena madzi. Aku 
sering mandi karenanya. Kuadukan masalahku ini kepada Rasulullah Shallallahu 
'alaihi wa sallam. Beliau bersabda, Cukuplah bagimu wudhu. Aku berkata, 
Wahai Rasulullah, bagaimana dengan yang mengenai pakaian saya? Beliau 
bersabda:

يَكْفِيْكَ أَنْ تَأْخُذَ كَفًّا مِنْ مَاءٍ فَتَنْضَحُ بِهِ ثَوْبَكَ، حَيْثُ 
تَرَى أَنَّهُ قَدْ أَصَابَ مِنْهُ.

Cukup ambil segenggam air lalu guyurkan (percikkan) pada pakaianmu yang 
terkena olehnya. [8]
Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/1002/slash/0/cara-membersihkan-najis/
 
Agar shalat menjadi sah, disyaratkan hal-hal berikut :
...
C. Kesucian Baju, Badan, dan Tempat yang Digunakan Untuk Shalat..
Adapun dalil bagi disyaratkannya kesucian badan adalah sabda Nabi Shallallahu 
'alaihi wa sallam kepada 'Ali. Dia menanyai beliau tentang madzi dan berkata:

تَوَضَّأْ وَاغْسِلْ ذَكَرَكَ.

Wudhu' dan basuhlah kemaluanmu. [3]
 
Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/936/slash/0/syarat-syarat-sahnya-shalat/
 
Wallahu Ta'ala A'lam
 




  

RE: [assunnah]Umroh Atau Rumah

2013-09-25 Terurut Topik Abu Harits
From: abujmuham...@yahoo.com.au
Date: Wed, 25 Sep 2013 00:25:52 -0700 






Assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh

Adakah ikhwan / akhwat yang bisa menjawab pertanyaan ana , mana yg lebih di 
utamakan melaksanakan umroh terlebih dahulu atau membangun rumah dahulu , 
sedang kan ana sudah melaksanakan haji beberapa th yg lalu alhamdulillah.

Mohon pencerahan nya.



Jazakallahu kheir.



Abu Muhammad (Australia)



 

Apabila sudah melaksanakan haji beserta umrah, yang lebih diutamakan adalah 
membangun/membeli rumah sebagai tempat tinggal, karena diantara salah satu 
kewajiban suami terhadap istri dan anak-anaknya adalah menyediakan tempat 
tinggal. Selengkpanya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/2623/slash/0/jika-suami-tidak-memberi-nafkah/

 

1. Haji Beserta Umrah Adalah Kewajiban Yang Dilakukan Sekali Dalam Seumur Hidup.

Haji Beserta Umrah Adalah Kewajiban Yang Dilakukan Sekali Dalam Seumur Hidup, 
Bagi Setiap Muslim, Baligh, Berakal, Merdeka Serta Mampu

Firman Allah Ta’ala:

إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكًا وَهُدًى 
لِّلْعَالَمِينَ فِيهِ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ مَّقَامُ إِبْرَاهِيمَ ۖ وَمَن دَخَلَهُ 
كَانَ آمِنًا ۗ وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ 
إِلَيْهِ سَبِيلًا ۚ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ

“Sesungguhnya rumah yang pertama kali dibangun untuk (tempat beribadah) manusia 
ialah Baitullah yang berada di Bakkah (Makkah) yang diberkahi dan menjadi 
petunjuk bagi seluruh manusia. Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di 
antaranya) maqam Ibrahim; barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) men-jadi 
amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu 
(bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa 
mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Mahakaya (tidak 
memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” [Ali ‘Imran: 96-97]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu 
'alaihi wa sallam berkhutbah di tengah-tengah kami, beliau bersabda:

أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ فَرَضَ اللهُ عَلَيْكُمُ الْحَجَّ فَحُجُّوْا، فَقَالَ 
رَجُلٌ: أَكُلَّ عَامٍ، يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ فَسَكَتَ، حَتَّىٰ قَالَهَا ثَلاَثاً، 
ثُمَّ قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَوْ قُلْتُ نَعَمْ، لَوَجَبَتْ، 
وَلَمَا اسْتَطَعْتُمْ. ثُمَّ قَالَ: ذَرُوْنِي مَا تَرَكْتُكُمْ، فَإِنَّمَا 
هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِكَثْرَةِ سُؤَالِهِمْ وَاخْتِلاَفِهِمْ عَلَىٰ 
أَنْبِيَائِهِمْ، فَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا 
اسْتَطَعْتُمْ، وَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَدَعُوْهُ.

“Telah diwajibkan atas kalian ibadah haji, maka tunaikanlah (ibadah haji 
tersebut).” Lalu ada seorang berkata, “Apakah setiap tahun, wahai Rasulullah?” 
Lalu beliau diam sampai orang tersebut mengatakannya tiga kali, kemudian 
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Andaikata aku menjawab ya, 
niscaya akan menjadi suatu kewajiban dan niscaya kalian tidak akan mampu 
(melaksanakannya).” Kemudian beliau bersabda, “Biarkanlah aku sebagaimana aku 
membiarkan kalian. Sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian 
ialah banyak bertanya dan banyak berselisih dengan Nabi mereka. Apabila aku 
memerintahkan sesuatu kepada kalian, maka laksanakanlah semampu kalian. Dan 
apabila aku melarang sesuatu, maka tinggalkanlah.” [5]
Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/1538/slash/0/keutamaan-haji-dan-umrah/

 

2. Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin ditanya : Saya telah melaksanakan 
haji wajib dan sekarang mampu pergi haji lagi. Manakah yang lebih utama 
menyedekahkan dana untuk haji yang kedua ataukah saya berangkat haji?

Jawab
Jika kamu mempunyai keluasan dalam harta dan memungkinkan sedekah di samping 
pergi haji, maka lebih utama bagimu untuk melaksanakan keduanya. Tetapi jika 
tidak dapat melakukan kedua hal tersebut sedangkan disekitarmu terdapat 
orang-orang miskin yang sangat membutuhkan bantuan atau kegiatan-kegiatan 
kebaikan yang memerlukan dana, maka memberikan dana haji kamu kepada mereka 
adalah lebih utama dari pada haji sunnah. Tetapi jika disana tidak ada 
kebutuhan yang sangat perlu, maka haji lebih utama.

Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/2386/slash/0/memilih-haji-sunnah-ataukah-sedekah-untuk-membiayai-para-pejuang/

 

Wallahu Ta'ala A'lam 





  

RE: [assunnah]Wanita Qurban Biaya Sendiri

2013-09-23 Terurut Topik Abu Harits
From: ferry6...@yahoo.com
Date: Sat, 21 Sep 2013 16:00:24 +0800 







Assalamu'alaykum..
Ikwahfillah sekalian,
Saya ingin bertanya mengenai pelaksanaan qurban
1.Apakah ada dalilnya dibolehkan seorang istri melaksanakan qurban dengan biaya 
sendiri   (diluar dr uang pemberian suami) meskipun suami akan  berniat 
untuk melaksanakan qurban juga??


Demikianlah. Terima kasih sebelumnya.
Wassalamu'alaykum.

 
Para Ulama berbeda pendapat mengenai apakah ibadah kurban itu wajib ataukah 
tidak ? menjadi dua pendapat.[2] Diantara para Ulama, ada yang mengatakan bahwa 
ibadah kurban ini hukumnya wajib bagi yang mampu, karena ada perintah (dari 
Allâh) untuk melakukannya dalam al-Qur'an. Yaitu dalam firman Allah Azza wa 
Jalla :

إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu; dan berkorbanlah. [al-Kautsar/108:1-2]

Juga berdasarkan perintah dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pada orang 
yang melakukannya sebelum shalat 'Id agar dia menyembelih hewan kurban lagi 
setelah shalat.[3] Juga berdasarkan riwayat :

مَنْ وَجَدَ سَعَةً وَلَمْ يُضَحِّ فَلاَ يَقْرَبَنَّ مُصَلاَّنَا

Barangsiapa memiliki kemampuan tapi dia tidak melakukan ibadah kurban, maka 
janganlah dia mendekati masjid kami. [4]

Oleh karena itu, tidak selayaknya bagi orang yang mampu meninggalkan ibadah 
ini. Hendaklah dia berkurban dengan satu hewan (kambing) atas nama dia dan 
keluarganya. Dan tidak sah dua orang atau lebih bersekutu dalam kepemilikan 
seekor kambing kurban. Sedangkan pada sapi atau unta, maka itu boleh ada tujuh 
orang bersekutu dalam kepemilikannya. Sekali lagi, ini dalam kepemilikan. 
Adapun bersekutu dalam pahala, maka tidak apa-apa seseorang berkurban dengan 
satu kambing atas nama dirinya dan keluarganya, meskipun jumlahnya banyak. 
Bahkan dia boleh berkurban atas nama dirinya dan seluruh Ulama Islam atau yang 
serupa dengan itu, (misalnya) atas nama banyak orang sampai tidak ada yang bisa 
menghitungnya kecuali Allah Azza wa Jalla.
Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/1844/slash/0/wajibkah-melaksanakan-ibadah-kurban/
 
APAKAH BOLEH WANITA MENYEMBELIH KURBAN
Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : Apakah boleh wanita menyembelih hewan dan 
apakah boleh kita memakan hasil sembelihannya?

Jawaban
Dibolehkan bagi wanita menyembelih hewan sebagaimana laki-laki berdasarkan 
beberapa hadits shahih. Dan dibolehkan juga memakan dagingnya, dengan syarat 
wanita tersebut muslimah atau ahlul kitab dan dia melakukan penyembelihan 
tersebut secara syar’i walaupun laki-laki yang mampu menyembelih ada, sebab 
tidak adanya laki-laki bukan menjadi syarat halalnya sembelihan wanita tersebut.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berfatwa dalam hal ini sebagai berikut:

Dibolehkan bagi wanita menyembelih hewan kurban dan semisalnya, sebab dalam 
urusan ibadah wanita sama halnya dengan laki-laki, kecuali ada dalil yang 
membedakan antara keduanya. Hal teresebut berdasarkan kisah seorang wanita 
budak pengembala kambing kemudian ada serigala yang menerkam kambingnya lalu 
budak tersebut mengambil batu yang tajam untuk menyembelih kambing tersebut, 
lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk memakan 
sembelihan tersebut.

[Kitab Fatawa Dakwah Syaikh Ibnu Baz Juz 2/183. As’ilah wa Ajwibah fi Shalatil 
Idaini, 32-33]
Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/2301/slash/0/mana-yang-lebih-baik-untuk-berkurban-cara-menyembelih-kurban-wanita-menyembelih-hewan-kurban/
 
Wallahu Ta'ala A'lam

 




  

RE: [assunnah]Sumpah demi kebaikan?

2013-09-22 Terurut Topik Abu Harits
 From: nea_...@yahoo.com
 Date: Tue, 17 Sep 2013 11:23:23 +
 Assalamu'alaikum warahmatullohi wabarakatuh.. 
 Dgn segala kerendahan hati, saya ingin btanya :). Bolehkah seseorang 
 menyumpahi muslimin lainnya untuk suatu kebaikan? Contohnya Jangan keluar 
 naek motor dgn anak-anak krn bahaya terluka. Jika dilanggar maka kalian akan 
 jungkir balik.
 Mhn masukannya..
 Trimakasih
 Sent from my BlackBerry®

MENDOAKAN KEJELEKAN ATAS ANAK KETIKA BERBUAT SALAH
Oleh
Syaikh Abdullah bin Jibrin

Pertanyaan.
Syaikh Abdullah bin Jibrin ditanya : Banyak orang tua yang merespon kesalahan 
dan kekeliruan anak-anak mereka dengan laknat dan kutukan. Mohon penjelasannya 
untuk mereka (para orang tua) dalam masalah ini!

Jawaban.
Kami berpesan agar orang tua memaafkan dan memaklumi kekurangan anak-anak di 
masa kecil, bersabar dari ucapan atau kekurang ajaran mereka, karena akal 
mereka belum matang sehingga terkadang masih sering melakukan kesalahan dalam 
ucapan maupun tingkah laku. Orang tua yang arif akan memaafkannya dan mengajari 
etika dengan lemah lembut, mengasihi dan menasehati sehingga akan lebih 
diterima dan merubah moralnya.

Akan tetapi sebagian orang tua terjebak dalam kesalahan fatal, yaitu mendo’akan 
anak-anak dengan kematian, penyakit, bencana dan malapetaka, dan ini sering 
dilakukan. Tetapi begitu kemarahannya mereda, ia hanya bisa menyesal dan sadar 
kalau ia keliru, serta mengikuti kebenciannya terhadap sumpah serapah yang 
buruk tersebut. Sebenarnya orang tua tidak menginginkannya karena rasa sayang 
dan kasih yang tertanam pada hatinya kepada anak. Faktor pemicunya hanyalah 
kemarahan yang sangat. Padahal Allah Maha Memaafkan. Dia berfirman.

وَلَوْ يُعَجِّلُ اللَّهُ لِلنَّاسِ الشَّرَّ اسْتِعْجَالَهُمْ بِالْخَيْرِ 
لَقُضِيَ إِلَيْهِمْ أَجَلُهُمْ

Dan kalau sekiranya Allah menyegerakan kejahatan bagi manusia seperti 
permintaan mereka untuk menyegarakan kebaikan, pastilah diakhiri umur mereka. 
[Yunus/10 : 11]

Kewajiban orang tua adalah sabar dan menahan diri terhadap (perilaku) anak-anak 
dan memberikan sanksi terhadap mereka dengan pukulan yang menyebabkannya jera, 
karena anak-anak akan terpengaruh dengan pukulan lebih banyak daripada hanya 
sekedar arahan dan ucapan.

Adapun menyumpahi anak, maka hal itu tidak akan member manfaat kepadanya. 
Seorang anak kecil tidak akan mengerti apa yang diucapkan padanya (dari cacian 
dan sumpah serapah), sumpah orang tua (ketika terucap) telah tercatat sebagai 
amal buruknya, sementara sang anak tidak akan mendapatkan manfaat darinya.

[Fatawa Islamiyah 4/141]
Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/1677/slash/0/keistimewaan-mendidik-anak-mendoakan-kejelakan-atas-anak-ketika-berbuat-salah/
 
 
  

RE: [assunnah]Pemakaian jam tangan di tangan kanan

2013-09-22 Terurut Topik Abu Harits
From: pungk...@yahoo.com
Date: Fri, 20 Sep 2013 11:05:26 +
​السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ 
Ikhwan fillah 
Mohon pencerahan ttg hal tsb, apak ada dalil shahih yg menyebutkannya ? 
وَ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ 
Pungky Heru Prabowo 


MEMAKAI JAMAN TANGAN DENGAN TANGAN KANAN
Oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
http://almanhaj.or.id/content/1781/slash/0/memakai-jam-tangan-dengan-tangan-kanan/

 

Pertanyaan
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya : Kami melihat sebagian orang 
memakai jam tangan di tangan kanan, dan mereka berkata bahwa yang demikian itu 
sunnah, ada dalilnya?

Jawaban
Kami berpegang teguh dalam masalah ini dengan kaidah umum yang terdapat dalam 
hadits Aisyah di dalam Ash-Shahih, ia berkata.

كَانَ رَسُوْلُ اللَّهِ يُحِبُّ التَّيَمُّنَ فِي كُلِّ شَيْىءِ فِي تَرَجُّلِهِ 
وَفِي تَنَعُّلِهِ وَفِي تَطَهُّرِهِ وَفِي شَأْنِهِ كُلِّهِ

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyukai menggunakan (mendahulukan) 
kanan dalam segala sesuatu, yaitu ketika bersisir, bersuci, dan dalam setiap 
urusan

Dan kami tambahkan dalam hal ini, hadits lain yang diriwayatkan dalam 
Ash-Shahih, bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

إِنَّ الْيَهُوْدَ وَ النَّصَارَى لاَيَصْبِغُوْنَ شُعُوْرَهُمْ فَخَالِفُوْهُمْ

Sesungguhnya Yahudi tidak mencelup (menyemir) rambut-rambut mereka, karena itu 
berbedalah dengan mereka, dengan cara menyemir rambut kalian.

Juga hadits yang lain yang di dalamnya terdapat perintah untuk berbeda dengan 
musyrikin.

Maka dari hadits-hadits tersebut dapat kami simpulkan bahwa disunnahkan bagi 
seorang muslim untuk bersemangat dalam membedakan diri dengan orang-orang kafir.

Dan sepatutnyalah untuk kita ingat bahwa membedakan diri dari orang kafir, 
mengandung arti bahwa kita dilarang mengikuti adat kebiasaan mereka. Maka tidak 
boleh bagi seorang muslim untuk menyerupai orang kafir, dan sudah selayaknya 
bagi kita untuk selalu tampil beda dengan orang-orang kafir.

Di antara adat kebiasaan orang kafir adalah memakai jam tangan di tangan kiri, 
padahal kita mendapatkan pintu yang teramat luas di dalam syari'at untuk 
menyelisihi adat ini. Walhasil mengenakan jam tangan di tangan kanan merupakan 
pelaksanaan kaidah umum, yaitu (mendahulukan) yang kanan [1], dan juga kaidah 
umum yang lain yaitu membedakan diri dengan orang-orang kafir.

[Disalin dari buku Majmu'ah Fatawa Al-Madina Al-Munawarah, Edisi Indonesia 
Fatwa-Fatwa Albani, Penulis Muhammad Nashiruddin Al-Albani Hafidzzhullah, 
Penerjemah Adni Kurniawan, Penerbit Pustaka At-Tauhid]
___
Footnote
[1]. Yaitu di dalam hal-hal yang baik dan mulia, sebagai pemuliaan anggota 
tubuh bagian kanan

 

HUKUM MENGENAKAN CINCIN PERAK ? APAKAH DIKENAKAN DI TANGAN KIRI ATAU TANGAN 
KANAN ?
Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Kami menanyakan hukum 
mengenakan cincin perak. Kalau memang boleh, apakah dikenakan di tangan kanan 
atau tangan kiri ?

Jawaban
Tidak ada salahnya mengenakan cincin perak bagi kaum lelaki ataupun wanita. 
Juga boleh dikenakan di tangan kanan atau tangan kiri. Namun lebih baik di 
tangan kanan, karena itu lebih mulia, dan karena Nabi juga mengenakan cincin di 
tangan kanan, dan sesekali di tangan kiri. Beliau adalah panutan sekaligus suri 
tauladan.

Adapun cincin emas dan jam emas, tidak boleh dikenakan oleh kaum lelaki, namun 
hanya khusus bagi kaum wanita saja, berdasarkan riwayat dalam hadits-hadits 
shahih dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang menunjukkan 
diharamkannya emas dan sutra bagi kaum lelaki, namun tidak diharamkan bagi kaum 
wanita. Hanya Allah yang dapat taufiq.

Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/1042/slash/0/hukum-mengenakan-cincin-perak-apakah-dikenakan-di-tangan-kiri-atau-tangan-kanan/

 

Wallahu Ta'ala A'lam 

 






  

RE: [assunnah]Hukum Transfer Gaji Melalui Bank

2013-09-22 Terurut Topik Abu Harits
From: akhmad.ni...@rekindworleyparsons.com
Date: Wed, 18 Sep 2013 09:36:28 +0800


Assalaamu'alaykum, 
Mohon penjelasan mengenai hukum menyimpan Uang di Bank, Bermula dari Perusahaan 
untuk uang Gajian bulanan akan ditransfer ke Bank dan tidak dibayarkan secara 
Cash ? 






 Syukron,jazakumullah khair.
Wassalaamu'alaykum.
Abu Nazri

HUKUM MENTRANSFER UANG MELALUI BANK-BANK RIBA
Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
http://almanhaj.or.id/content/1583/slash/0/hukum-mentransfer-uang-melalui-bank-bank-riba/

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Kami adalah para pegawai Turki 
yang bekerja di kerajaan Saudi Arabia. Negara kami Turki, sebagaimana yang kita 
maklumi, adalah negara yang menjadikan sekulerisme sebagai hukum dan 
undang-undang. Riba demikian memasyrakat di negeri kami dalam aplikasi yang 
aneh sekali, hingga mencapai 50% dalam satu tahunnya. Kami disini terpaksa 
mentransfer uang kepada keluarga kami di Turki melalui jasa bank-bank tersebut, 
yang jelas merupakan sumber dan biangnya riba.

Kami juga terpaksa menyimpan uang kami di bank karena khawatir dicuri, hilang 
atau bahaya-bahaya lain. Dengan dasar itu, kami mengajukan dua pertanyaan 
penting bagi kami. Tolong berikan penjelasan dalam persoalan kami ini, semoga 
Allah memberi kan pahala terbaik bagi anda.

Pertama : Bolehkah kami mengambil bunga dari bank-bank riba tersebut lalu kami 
sedekahkan kepada fakir miskin atau membangun sarana umum, daripada dibiarkan 
menjadi milik mereka ?

Kedua : Kalau memang tidak boleh, apakah boleh menyimpan uang di bank-bank 
tersebut dengan alasan darurat untuk menjaga uang itu agar tidak tercuri atau 
hilang, tanpa mengambil bunganya ? Harus dimaklumi, bahwa pihak bank akan 
memanfaatkan uang tersebut selama masih ada didalammnya.

Jawaban
Kalau memang terpaksa mentransfer uang melalui bank riba, tidak ada masalah, 
insya Allah, berdasarkan firman Allah Ta'ala.

وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ

Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkanNya 
atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya.. [Al-An'am/6 : 119]

Tidak diragukan lagi, bahwa mentransfer uang melalui bank-bank itu termasuk 
bentuk kedaruratan umum pada masa sekarang ini, demikian juga menyimpan uang 
didalamnya tanpa harus mengambil bunganya. Kalau diberi bunga tanpa ada 
kesepakatan sebelumnya atau tanpa persyaratan, boleh saja diambil untuk 
dioperasikan di berbagai kebutuhan umum, seperti membantu fakir miskin, 
menolong orang-orang yang terlilit hutang dan lain sebagainya.

Namun bukan untuk dimiliki dan digunakan sendiri. Keberadaannya bahkan 
berbahaya bagi kaum muslimin bila ditinggalkan begitu saja, walaupun dari usaha 
yang tidak diperbolehkan. Maka lebih baik digunakan untuk yang lebih bermanfaat 
bagi kaum muslimin, daripada dibiarkan menjadi milik orang-orang kafir sehingga 
justru digunakan untuk hal-hal yang diharamkan oleh Allah.

Namun bila mungkin mentransfer melalui bank-bank Islam atau melalui cara yang 
diperbolehkan, maka tidak boleh mentransfer melalui bank-bank riba. Demikian 
juga menyimpan uang, bila masih bisa dilakukan di bank-bank Islam atau di 
badan-badan usaha Islam, tidak boleh menyimpannya di bank-bank kafir berbasis 
riba, karena hilangnya unsur darurat. Hanya Allah yang bisa memberikan 
taufiqNya.





  

RE: [assunnah]Menghadiri acara Walimatul safar

2013-09-20 Terurut Topik Abu Harits
From: arunafa...@gmail.com
Date: Fri, 20 Sep 2013 01:04:40 +000
Assalammualaikum...


Afwan, jadi hukumnya gimana?










Powered by Telkomsel BlackBerry®


Walimatul safar , hukumnya mubah.

Walimah-walimah yang disebutkan oleh para ulama di atas, hukum asalnya adalah 
mubah, karena walimah termasuk urusan keduniaan. Yaitu urusan yang biasa 
dilakukan oleh manusia karena bermanfaat di dunia ini. Karena hukumnya mubah, 
maka jangan sampai dianggap sunnah, apalagi wajib, sehingga orang yang 
meninggalkannya dicela. Atau menganggapnya makruh atau haram, sehingga orang 
yang melakukannya dicela. Kecuali walimah yang diperintahkan atau dianjurkan 
oleh agama, sehingga menjadi ibadah wajib atau mustahab. Atau walimah yang 
dilarang, sehingga manjadi haram atau makruh.


Diantara walimah-walimah di atas, yang diperintahkan atau dianjurkan oleh 
syari’at yaitu : Walimatul ‘Ursy (walimah pernikahan) dan Walimah Aqiqah pada 
hari ke tujuh kelahiran bayi.
Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/2442/slash/0/macam-macam-walimah-apakah-makanan-acara-bidah-haram/

ACARA OPEN HOUSE CALON JEMAAH HAJI
Oleh
Ustadz DR Muhammad Arifin Badri MA


Pertanyaan
Ustadz, di daerah tempat saya tinggal, jika ada yang mau naik haji, sehari 
sebelum keberangkatan biasanya yang bersangkutan mengadakan open house seharian 
dari pagi sampai malam. Tetangga berdatangan, katanya untuk medo’akan yang mau 
naik haji semoga hajinya mambur. Hal yang sama dilakukan sepulangnya yang 
bersangkutan dari naik haji, tetangga berdatangan untuk mengucapkan selamat dan 
menerima oleh-oleh dari tanah suci. Apakah hal ini riya’ bagi yang naik haji? 
Dan apakah kegiatan seperti ini bid’ah?


Jawaban
Ini merupakan budaya yang sudah merebak. Budaya ini perlu diwaspadai, karena 
belakangan budaya ini seakan sudah menjadi rangkain ritual ibadah haji. Budaya 
ini jika dirutinkan secara syari’at bermasalah, karena kalau dirutinkan, maka 
dapat memunculkan suatu keyakinan bahwa ibadah haji itu harus diawali dan 
diakhiri dengan open haouse. Namun apakah dengan sebab ini, serta merta budaya 
itu bisa dihukumi haram? Ini juga tidak bisa. Karena dahulu para ulama mengenal 
yang namanya walimatus safar (walimah yang di lakukan ketika hendak melakukan 
perjalan jauh). Walimah safar ini digolongkan kedalam acara-acara yang mubah, 
juga sedekah dan syukuran.


Misalnya, sepulang dari menunaikan ibadah haji anda ingin bersedekah dengan 
mengundang tetangga untuk jamuan makan malam, selama tidak meyakininya sebagai 
rangkaian dari ibadah haji, insya Allah tidak mengapa. Karena disebutkan dalam 
al-Mughni oleh Ibnu Qudamah rahimahullah ada beberapa macam walimah, 
diantaranya adalah walimah safar, walimah khitan dan lain sebagainya, tapi itu 
semua bersifat mubah, terkait dengan tradisi masyarakat setempat. Asalkan tidak 
dianggap sebagai hal yang diharuskan atau bagian dari ritual ibadah haji. 
Terutama para tokoh masyarakat dan para ulama, mereka memiliki peran penting 
untuk mejelaskan kepada masyarakat dengan lisannya atau menjelaskannya dengan 
prakteknya, misalnya dengan sesekali meninggalkan budaya tersebut agar 
masyarakat tahu bahwa itu bukan hal yang disunnahkan apalagi diwajibkan. 
Wallahu a’lam
Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/3369/slash/0/syariat-ibadah-haji/

Wallahu Ta'ala A'lam





From: Abu Harits abu_har...@hotmail.com
Sender: assunnah@yahoogroups.com
Date: Fri, 20 Sep 2013 00:51:11 +
Subject: RE: [assunnah]Menghadiri acara Walimatul safar
From: luluko...@yahoo.co.id
Date: Thu, 12 Sep 2013 18:34:21 -0700












Assalammualaikum...
Ana dapat undangan untuk menghadiri acara walimatul safar, pertanyaannya, 
apakah dengan menghadiri acara tersebut sesuai dengat syariat..?
Mohon pencerahannya.
Jazakumulloh khairan katsiran atas jawabannya.


Walimah, adalah setiap makanan yang dibuat karena acara pernikahan atau lainnya.


Imam Syafi’i dan sahabat-sahabat beliau menyatakan, bahwa walimah setiap 
undangan (makan) diadakan, disebabkan karena adanya kejadian yang menyenangkan, 
baik pernikahan atau lainnya. Namun yang masyhur, jika disebut walimah saja, 
maka yang dimaksud adalah walimah pernikahan. Adapun untuk lainnya, disebutkan 
dengan secara khusus, seperti walimah khitan atau lainnya. [1]

• An naqii’ah, walimah karena kepulangan orang yang bepergian. Ada yang 
menyatakan, an naqii’ah adalah walimah yang dibuat oleh orang yang datang (dari 
safar). Sedangkan walimah yang dibuatkan untuknya dinamakan at tuhfah.

• Walimah haji, jika itu dilakukan setelah pulangnya, maka termasuk An-Naqii’ah 
atau At-Tuhfah. Jika itu dilakukan sebelum keberangkatannya, maka mungkin 
termasuk al ma’dubah. Tetapi kami tidak mengetahui kebiasaan ini dilakukan oleh 
Salafush Shalih.

Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/2442/slash/0/macam-macam-walimah-apakah-makanan-acara-bidah-haram/

Wallahu Ta'ala A'lam

















  

RE: [assunnah]Menghadiri acara Walimatul safar

2013-09-19 Terurut Topik Abu Harits
From: luluko...@yahoo.co.id
Date: Thu, 12 Sep 2013 18:34:21 -0700










Assalammualaikum...
Ana dapat undangan untuk menghadiri acara walimatul safar, pertanyaannya, 
apakah dengan menghadiri acara tersebut sesuai dengat syariat..?
Mohon pencerahannya.
Jazakumulloh khairan katsiran atas jawabannya.








Walimah, adalah setiap makanan yang dibuat karena acara pernikahan atau lainnya.


Imam Syafi’i dan sahabat-sahabat beliau menyatakan, bahwa walimah setiap 
undangan (makan) diadakan, disebabkan karena adanya kejadian yang menyenangkan, 
baik pernikahan atau lainnya. Namun yang masyhur, jika disebut walimah saja, 
maka yang dimaksud adalah walimah pernikahan. Adapun untuk lainnya, disebutkan 
dengan secara khusus, seperti walimah khitan atau lainnya. [1]





• An naqii’ah, walimah karena kepulangan orang yang bepergian. Ada yang 
menyatakan, an naqii’ah adalah walimah yang dibuat oleh orang yang datang (dari 
safar). Sedangkan walimah yang dibuatkan untuknya dinamakan at tuhfah.





• Walimah haji, jika itu dilakukan setelah pulangnya, maka termasuk An-Naqii’ah 
atau At-Tuhfah. Jika itu dilakukan sebelum keberangkatannya, maka mungkin 
termasuk al ma’dubah. Tetapi kami tidak mengetahui kebiasaan ini dilakukan oleh 
Salafush Shalih.





Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/2442/slash/0/macam-macam-walimah-apakah-makanan-acara-bidah-haram/





Wallahu Ta'ala A'lam









  

RE: [assunnah]Tanya Aqiqah laki-laki dg satu Kambing

2013-09-19 Terurut Topik Abu Harits
From: shalehawann...@yahoo.com
Date: Thu, 19 Sep 2013 10:40:06 +
Assalamu'alaykum..
Ikwahfillah sekalian,
Saya ingin bertanya mengenai pelaksanaan aqiqah.
Apakah benar paling lambat harus dilakukan di hari ke-7 bayi lahir?
Apabila belum mampu membeli 2 ekor kambing (seandainya anak lelaki), bolehkan 
dicicil 1 kambing dahulu, dan kalo sudah mampu nanti memotong 1 kambing lagi? 
Berapa lama batas waktunya?
Apakah 2 ekor kambing (seandainya anak lelaki) harus di-aqiqah-kan di tempat yg 
sama? Apakah boleh 1 kambing di kota A dan 1 lagi di kota B?
Demikianlah. Terima kasih sebelumnya.
Wassalamu'alaykum..
-Muslimah S-


 

1. WAKTU AQIQAH PADA HARI KETUJUH
Berdasarkan hadist no.2 dari Samurah bin Jundab. Para ulama berpendapat dan 
sepakat bahwa waktu aqiqah yang paling utama adalah hari ketujuh dari hari 
kelahirannya. Namun mereka berselisih pendapat tentang bolehnya melaksanakan 
aqiqah sebelum hari ketujuh atau sesudahnya. Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah 
berkata dalam kitabnya “Fathul Bari” (9/594) :

“Sabda Rasulullah pada perkataan ‘pada hari ketujuh kelahirannya’ (hadist 
no.2), ini sebagai dalil bagi orang yang berpendapat bahwa waktu aqiqah itu 
adanya pada hari ketujuh dan orang yang melaksanakannya sebelum hari ketujuh 
berarti tidak melaksanakan aqiqah tepat pada waktunya. bahwasannya syariat 
aqiqah akan gugur setelah lewat hari ketujuh. Dan ini merupakan pendapat Imam 
Malik. Beliau berkata : “Kalau bayi itu meninggal sebelum hari ketujuh maka 
gugurlah sunnah aqiqah bagi kedua orang tuanya.”

Sebagian membolehkan melaksanakannya sebelum hari ketujuh. Pendapat ini dinukil 
dari Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam kitabnya “Tuhfatul Maudud” hal.35. Sebagian 
lagi berpendapat boleh dilaksanakan setelah hari ketujuh. Pendapat ini dinukil 
dari Ibnu Hazm dalam kitabnya “al-Muhalla” 7/527.

Sebagian ulama lainnya membatasi waktu pada hari ketujuh dari hari 
kelahirannya. Jika tidak bisa melaksanakannya pada hari ketujuh maka boleh pada 
hari ke-14, jika tidak bisa boleh dikerjakan pada hari ke-21. Berdalil dari 
riwayat Thabrani dalm kitab “As-Shagir” (1/256) dari Ismail bin Muslim dari 
Qatadah dari Abdullah bin Buraidah : 

“Kurban untuk pelaksanaan aqiqah, dilaksanakan pada hari ketujuh atau hari 
ke-14 atau hari ke-21.” [Penulis berkata : “Dia (Ismail) seorang rawi yang 
lemah karena jelek hafalannya, seperti dikatakan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar 
dalam ‘Fathul Bari’ (9/594).” Dan dijelaskan pula tentang kedhaifannya bahkan 
hadist ini mungkar dan mudraj]

 

2. BOLEH AQIQAH BAYI LAKI-LAKI DENGAN SATU KAMBING
Berdasarkan hadist no. 4 dari Ibnu Abbas. Sebagian ulama berpendapat boleh 
mengaqiqahi bayi laki-laki dengan satu kambing yang dinukil dari perkataan 
Abdullah bin ‘Umar, ‘Urwah bin Zubair, Imam Malik dan lain-lain mereka semua 
berdalil dengan hadist Ibnu Abbas diatas.

Tetapi al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahulloh berkata dalam kitabnya “Fathul Bari” 
(9/592) : “…..meskipun hadist riwayat Ibnu Abbas itu tsabit (shahih), tidaklah 
menafikan hadist mutawatir yang menentukan dua kambing untuk bayi laki-laki. 
Maksud hadist itu hanyalah untuk menunjukkan bolehnya mengaqiqahi bayi 
laki-laki dengan satu kambing….”

Sunnah ini hanya berlaku untuk orang yang tidak mampu melaksanakan aqiqah 
dengan dua kambing. Jika dia mampu maka sunnah yang shahih adalah laki-laki 
dengan dua kambing.

Selengkapnya baca di http://almanhaj.or.id/content/856/slash/0/ahkamul-aqiqah/

 

3. ’Aqiqah
Kemudian pada hari ketujuh, disunnahkan bagi kedua orang tua untuk meng’aqiqahi 
anaknya, mencukur rambutnya dan diberikan nama.

Diriwayatkan dari Samurah bin Jundub radhiyallaahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah 
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

كُلُّ غُلاَمٍ رَهِيْنَةٌ بِعَقِيْقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ 
وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى.

“Setiap anak tergadai dengan ‘aqiqahnya. Disembelih (kambing) untuknya ada hari 
ketujuh, dicukur rambutnya, dan diberikan nama.”[4]

‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam 
meng’aqiqahi al-Hasan dan al-Husain pada hari ketujuh.” [5]

‘Aqiqah hanya boleh dengan kambing. Bagi anak laki-laki disembelih dua ekor 
kambing, sedangkan bagi anak perempuan disembelih seekor kambing.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

عَنِ الْغُلاَمِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ وَعَنِ الْجَارِيَةِ شَاةٌ.

“Bayi laki-laki di’aqiqahi dengan dua ekor kambing dan bayi perempuan dengan 
seekor kambing.”[6]

Bagi orang tua yang tidak mampu, maka tidak mengapa ber’aqiqah dengan seekor 
kambing untuk anak laki-laki. Hal ini sebagaimana riwayat dari Ibnu ‘Abbas 
radhiyallaahu ‘anhuma:

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَقَّ عَنِ الْحَسَنٍ 
وَالْحُسَيْنِ كَبْشًا كَبْشًا.

“Bahwasanya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam meng’aqiqahi al-Hasan 
dengan seekor kambing dan al-Husain dengan seekor kambing.” [7]

Hadits ini shahih. Dari hadits ini, ada ulama yang berpendapat bahwa ‘aqiqah 
anak laki-laki adalah dengan seekor kambing sebagaimana 

RE: [assunnah]Ibadah Qurban-berserikat-

2013-09-18 Terurut Topik Abu Harits
From: slukitas...@gmail.com
Date: Tue, 17 Sep 2013 09:11:49 -0700










Bismillah.




Assalaamu'alaikum warahmatullaah wabaarakaatuh.
Ikhwahfillah, ana insyaa Allaah sudah faham tentang berserikat membeli seekor 
sapi adalah untuk 7 orang yang berserikat. Namun bolehkah jika yang berserikat 
hanya 2 orang? Jadi 1 orang berserikat 5/7 bagian, sisa yang 2/7 menjadi bagian 
ikhwan yang lain.
Mohon bantuan antum yang faham.
Jazaakumullaahu khairan.


Dr Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar : Boleh berserikat tujuh orang atau kurang 
dari itu dalam satu unta atau sapi.


Seekor kambing tidak bisa untuk dua orang atau lebih yang keduanya membeli dan 
menyembelih kurban tersebut, karena hal itu tidak terdapat dalam dalam 
Al-Qur’an dan As-Sunnah, sebagaimana tidak bolehnya berserikat lebih dari tujuh 
orang dalam satu unta atau satu sapi, karena ibadah itu tauqifiyah (semata 
bersandar kepada wahyu). Yang benar dan boleh hanyalah berserikat tujuh orang 
atau kurang dari itu dalam satu unta atau sapi. Hukum ini berlaku tidak pada 
permasalahan pahalanya, karena tidak ada batasan jumlah berserikat dalam 
pahalanya, karena keutamaan Allah itu sangat luas sekali.
Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/1703/slash/0/berserikat-dalam-kurban-dan-bershadaqah-dengan-nilainya/

Wallahu Ta'ala A'lam










  

RE: [assunnah]Tanya: Menjama' Qashar

2013-09-18 Terurut Topik Abu Harits
From: milis.dediguna...@gmail.com
Date: Wed, 18 Sep 2013 09:18:18 +0700












Kalau jamak qosor dibolehkan tidak?


Jadi tidak hanya menggabungkan namun sekaligus juga meringkas.








Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam selalu melakukan jama' 
sekaligus qashar apabila dalam perjalanan dan belum sampai tujuan





JAMA' DAN SEKALIGUS QASHAR.
Tidak ada kelaziman antara jama' dan qashar. Musafir di sunnahkan mengqashar 
shalat dan tidak harus menjama', yang afdhal bagi musafir yang telah 
menyelesaikan perjalanannya dan telah sampai di tujuannya adalah mengqashar 
saja tanpa menjama' sebagaimana dilakukan Rasulullah shallallahu alaihi wa 
sallam ketika berada di Mina pada waktu haji wada', yaitu beliau hanya 
mengqashar saja tanpa menjama,[30] dan beliau shallallahu alaihi wa'ala alihi 
wa sallam pernah melakukan jama'sekaligus qashar pada waktu perang Tabuk.[31] 
Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam selalu melakukan jama' 
sekaligus qashar apabila dalam perjalanan dan belum sampai tujuan.[32] Jadi 
Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam sedikit sekali menjama' 
shalatnya karena beliau shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam melakukannya 
ketika diperlukan saja.[33]


MUSAFIR SHALAT DI BELAKANG MUKIM.
Shalat berjama'ah adalah wajib bagi orang mukim ataupun musafir, apabila 
seorang musafir shalat di belakang imam yang mukim maka dia mengikuti shalat 
imam tersebut yaitu empat rakaat, namun apabila dia shalat bersama-sama musafir 
maka shalatnya di qashar (dua raka'at). Hal ini di dasarkan atas riwayat sahih 
dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma. Berkata Musa bin Salamah: Suatu ketika kami 
di Makkah (musafir) bersama Ibnu Abbas, lalu aku bertanya: Kami melakukan 
shalat empat raka'at apabila bersama kamu (penduduk Mekkah), dan apabila kami 
kembali ke tempat kami (bersama-sama musafir) maka kami shalat dua raka'at ? 
Ibnu Abbas radhiallahu anhuma menjawab: Itu adalah sunnahnya Abul Qasim 
(Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasalla”[34]


MUSAFIR MENJADI IMAM ORANG MUKIM.
Apabila musafir dijadikan sebagai imam orang-orang mukim dan dia mengqashar 
shalatnya maka hendaklah orang-orang yang mukim meneruskan shalat mereka sampai 
selesai (empat raka'at), namun agar tidak terjadi kebingungan hendaklah imam 
yang musafir memberi tahu makmumnya bahwa dia shalat qashar dan hendaklah 
mereka (makmum yang mukim) meneruskan shalat mereka sendiri-sendiri dan tidak 
mengikuti salam setelah dia (imam) salam dari dua raka'at. Hal ini pernah di 
lakukan Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam ketika berada di 
Makkah (musafir) dan menjadi imam penduduk Mekkah, beliau shallallahu alaihi 
wa'ala alihi wasallam berkata: Sempurnakanlah shalatmu (empat raka’at) wahai 
penduduk Mekkah ! Karena kami adalah musafir.[35] Beliau shallallahu alaihi 
wa'ala alihi wasallam shalat dua-dua (qashar) dan mereka meneruskan sampai 
empat raka'at setelah beliau salam.[36]


Apabila imam yang musafir tersebut khawatir membingungkan makmumnya dan dia 
shalat empat raka'at (tidak mengqashar) maka tidaklah mengapa karena hukum 
qashar adalah sunnah mu'akkadah dan bukan wajib.[37]


Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/1336/slash/0/seputar-hukum-shalat-jama-dan-qashar/





Wallahu Ta'ala A'lam










  

RE: [assunnah]Suami tidak menafkahi istri dan anak

2013-09-17 Terurut Topik Abu Harits
From: ari_ham...@yahoo.com

Date: Sat, 14 Sep 2013 13:58:45 +





اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ
Ana mau tanya, bagaimana hukumnya jika ada seorang suami yang sudah sekitar 4 
tahun tidak menafkahi istri dan anak?

وَ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Powered by Telkomsel BlackBerry®



JIKA SUAMI TIDAK MEMBERI NAFKAH
Oleh
Ustadz Abu Ismail Muslim Al-Atsari
http://almanhaj.or.id/content/2623/slash/0/jika-suami-tidak-memberi-nafkah/

Sesungguhnya rasa kasih-sayang di antara suami-isteri hampir-hampir tidak 
ditemui bandingannya. Dua jenis manusia, pada mulanya tidak saling mengenal, 
kemudian Allah mempertemukan keduanya, sehingga terjalin hubungan yang melebihi 
seorang saudara dengan saudaranya, seorang kawan dengan kawannya. Maka ini 
termasuk salah satu tanda kekuasaan Allah yang mengagumkan. Allah Subhanahu wa 
Ta'ala berfirman:

وَمِنْ ءَايَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا 
إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لأَيَاتٍ 
لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ 

Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah, Dia menciptakan untukmu 
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram 
kepadanya, dan dijadikanNya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya 
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang 
berpikir. [ar Ruum / 30:21]

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Seandainya Allah Subhanahu wa Ta'ala 
menjadikan Bani Adam (manusia) semuanya laki-laki, dan menjadikan wanita-wanita 
(isteri-isteri) mereka dari jenis selain mereka, mungkin dari jin atau 
binatang, maka tidak akan terjadi persatuan antara mereka dengan isteri-isteri 
mereka. Bahkan pasti akan terjadi keengganan, seandainya isteri-isteri itu 
bukan dari jenisnya. Kemudian, di antara kesempurnaan rahmat Allah terhadap 
Bani Adam, bahwa Dia menciptakan isteri-isteri mereka dari jenis mereka 
sendiri, dan menjadikan di antara mereka rasa kasih, yaitu kecintaan, dan 
rahmat, yaitu sayang. Karena seorang laki-laki menahan isterinya, kemungkinan 
kecintaannya kepada isterinya, atau karena sayangnya, karena dia telah memiliki 
anak darinya, atau karena dia membutuhkan nafkah darinya, atau karena keakraban 
antara keduanya, atau lainnya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar 
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.[1]

Oleh karena itulah, kasih-sayang yang telah tumbuh di antara pasangan 
suami-isteri itu, selayaknya dijaga dan dikembangkan, sehingga tidak layu dan 
akhirnya sirna. Dari sini kita mengetahui keagungan syari’at Allah Azza wa 
Jalla yang menerangkan hak dan kewajiban suami-isteri. 

Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ 
دَرَجَةٌ وَاللهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ 

Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara 
yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan 
daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.[al Baqarah / 
2:228]

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Yaitu, mereka (para isteri) memiliki 
hak yang menjadi kewajiban para laki-laki (suami), maka hendaklah setiap satu 
dari keduanya menunaikan kewajibannya kepada yang lain dengan baik”.[2] 

NAFKAH BAGI ISTERI DAN ANAK
Di antara hak terbesar wanita yang menjadi kewajiban suaminya adalah nafkah. 
Nafkah, secara bahasa adalah, harta atau semacamnya yang diinfaqkan 
(dibelanjakan) oleh seseorang. Adapun secara istilah, nafkah adalah, apa yang 
diwajibkan atas suami untuk isterinya dan anak-anaknya, yang berupa makanan, 
pakaian, tempat tinggal, perawatan, dan semacamnya.[3] 

Nafkah bagi isteri ini hukumnya wajib berdasarkan al Kitab, as Sunnah, dan 
Ijma'.

Disebutkan dalam al Qur`an : 

وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لاَ 
تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلاَّ وُسْعَهَا

Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang 
ma'ruf [al Baqarah / 2:233]

Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, : “Dan kewajiban ayah si anak 
memberi nafkah (makan) dan pakaian kepada para ibu (si anak) dengan ma’ruf 
(baik), yaitu dengan kebiasaan yang telah berlaku pada semisal para ibu, dengan 
tanpa israf (berlebihan) dan tanpa bakhil (menyempitkan), sesuai dengan 
kemampuannya di dalam kemudahannya, pertengahannya, dan kesempitannya” [4]. 

لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِ وَمَن قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنفِقْ 
مِمَّآ ءَاتَاهُ اللهُ لاَيُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ مَآءَاتَاهَا

Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang 
disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah 
kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) 
apa yang Allah berikan kepadanya [ath Thalaq / 65:7]

Menjelaskan ayat ini, Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah 
berkata : “Ini sesuai dengan hikmah dan rahmat Allah Ta’ala. Dia menjadikan 
(kewajiban) 

RE: [assunnah]Tanya: Menjama' sholat

2013-09-17 Terurut Topik Abu Harits
From: purb...@yahoo.co.id
Date: Sun, 15 Sep 2013 12:03:27 +0800







Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakaatuh

Tanya, bagaimana cara menjama' sholat yang benar?

Syuukron

muliaman purba


JAMA'.
Menjama' shalat adalah mengabungkan antara dua shalat (Dhuhur dan Ashar atau 
Maghrib dan 'Isya') dan dikerjakan dalam waktu salah satunya. Boleh seseorang 
melakukan jama'taqdim dan jama'ta'khir.[19]

Jama' taqdim adalah menggabungkan dua shalat dan dikerjakan dalam waktu shalat 
pertama, yaitu; Dhuhur dan Ashar dikerjakan dalam waktu Dhuhur, Maghrib dan 
'Isya' dikerjakan dalam waktu Maghrib. Jama' taqdim harus dilakukan secara 
berurutan sebagaimana urutan shalat dan tidak boleh terbalik.

Adapun jama' ta'khir adalah menggabungkan dua shalat dan dikerjakan dalam waktu 
shalat kedua, yaitu; Dhuhur dan Ashar dikerjakan dalam waktu Ashar, Maghrib dan 
'Isya'dikerjakan dalam waktu, Isya', Jama' ta'khir boleh dilakukan secara 
berurutan dan boleh pula tidak berurutan akan tetapi yang afdhal adalah 
dilakukan secara berurutan sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah 
shallallahuhu alaihi wa'ala alihi wasallam.[20]

Menjama' shalat boleh dilakukan oleh siapa saja yang memerlukannya - baik 
musafir atau bukan- dan tidak boleh dilakukan terus menerus tanpa udzur, jadi 
dilakukan ketika diperlukan saja.[21]

Termasuk udzur yang membolehkan seseorang untuk menjama' shalatnya dalah 
musafir ketika masih dalan perjalanan dan belum sampai di tempat tujuan[22] , 
turunnya hujan [23] , dan orang sakit.[24]

Berkata Imam Nawawi rahimahullah:Sebagian imam (ulama) berpendapat bahwa 
seorang yang mukim boleh menjama' shalatnya apabila di perlukan asalkan tidak 
di jadikan sebagai kebiasaan.[25]

Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma berkata, bahwasanya Rasulullah shallallahu 
alaihi wa'ala alihi wasallam menjama antara dhuhur dengan ashar dan antara 
maghrib dengan isya' di Madinah tanpa sebab takut dan safar (dalam riwayat 
lain; tanpa sebab takut dan hujan). Ketika ditanyakan hal itu kepada Ibnu Abbas 
radhiallahu anhuma beliau menjawab: Bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala 
alihi wasallam tidak ingin memberatkan ummatnya.[26]
Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/1336/slash/0/seputar-hukum-shalat-jama-dan-qashar/

.Menjama' Dua Shalat
Sebab-sebabnya:

1. Safar
Dari Anas Radhiyallahu anhu, dia berkata, Jika Rasulullah Shallallahu 'alaihi 
wa sallam bepergian sebelum matahari tergelincir, beliau akhirkan Zhuhur hingga 
waktu 'Ashar. Beliau turun dari kendaraannya lalu menjama' keduanya. Dan jika 
matahari sudah tergelincir sebelum melakukan perjalanan, maka beliau shalat 
Zhuhur lalu naik kendaraan. [11]

Dari Mu'adz Radhiyallahu anhu: Saat terjadinya perang Tabuk, jika Nabi 
Shallallahu 'alaihi wa salalm bepergian sebelum matahari tergelincir, beliau 
akhirkan Zhuhur sampai waktu 'Ashar. Kemudian beliau menjama' kedua shalat 
tersebut. Jika bepergian sesudah matahari tergelincir, beliau menjama' shalat 
Zhuhur dengan 'Ashar lalu berangkat. Bila bepergian sebelum Maghrib, beliau 
akhirkan Maghrib hingga menjama'nya dengan 'Isya. Bila bepergian setelah 
Maghrib, beliau mengawalkan waktu 'Isya dan menjama'nya dengan Maghrib. [12]

Masih dari Mu’adz: Para Sahabat pernah bepergian bersama Rasulullah 
Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika perang Tabuk. Rasulullah Shallallahu 
'alaihi wa sallam menjama' shalat Zhuhur dengan 'Ashar, dan shalat Maghrib 
dengan 'Isya'. Dia berkata lagi: Pada suatu hari beliau mengakhirkan shalat. 
Beliau keluar lalu shalat Zhuhur dan 'Ashar dengan dijama'. Setelah itu beliau 
masuk. Tak lama kemudian beliau keluar lagi lalu shalat Maghrib dan 'Isya 
dengan dijama'.[13]

2. Hujan
Dari Nafi' Radhiyallahu anhu, Jika 'Abdullah Ibnu 'Umar Radhiyallahu anhuma 
mengumpulkan para amir (gubernur) antara Maghrib dan 'Isya' ketika hujan, maka 
dia menjama' shalat bersama mereka.

Dari Hisyam bin 'Urwah: Ayahnya -'Urwah-, Sa'id bin al-Musayyib, dan Abu Bakar 
bin 'Abdurrahman bin al-Harits bin Hisyam bin al-Mughirah al-Makhzumi pernah 
menjama' shalat Maghrib dengan 'Isya' pada suatu malam ketika hujan turun. 
Mereka menjama' kedua shalat tersebut tanpa ada yang mengingkari. [14]

Dari Musa bin 'Uqbah, Ketika turun hujan, ‘Umar bin 'Abdul 'Aziz pernah 
menjama' shalat Maghrib dengan 'Isya' di akhir waktu. Sedangkan Sa'id bin 
al-Musayyib, 'Urwah bin az-Zubair, Abu Bakar bin 'Abdurrahman, beserta para 
ulama zaman itu bermakmum di belakangnya. Namun, mereka tidak mengingkari 
perbuatan tersebut. [15]

Dari Ibnu 'Abbas Radhiyallahu anhuma, dia berkata, Rasulullah Shallallahu 
'alaihi wa sallam pernah menjama' shalat Zhuhur dengan 'Ashar, dan shalat 
Maghrib dengan 'Isya', tidak dalam keadaan takut maupun safar.[16]

Dia juga berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menjama' 
shalat Zhuhur dengan 'Ashar dan shalat Maghrib dengan 'Isya di Madinah, tidak 
dalam keadaan takut maupun hujan. [17]

Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma memberikan indikasi bahwa menjama' shalat 
ketika hujan 

RE: [assunnah] Larangan memakai cadar ketika ihram

2013-09-17 Terurut Topik Abu Harits
From: siti_marwa...@yahoo.co.id
To: assunnah@yahoogroups.com
Date: Tue, 17 Sep 2013 16:34:07 +0800
Bismillah,
Assalamu 'alaykum warahmatullahi wabarakatuh,
 Salah satu larangan dalam berihram bagi wanita adalah memakai cadar dan sarung 
tangan. lantas bagaimana cara kami menutupi wajah kami dari pria ajnabi ? 
apakah larangan memakai cadar juga berlaku ketika sholat di hadapan pria ajnabi 
spt di masjid ?


 

Adapun sebagai ganti cadar bagi wanita ketika sedang ihram adalah dia dapat 
menutup wajahnya dengan kerudung dan yang sepertinya ketika dia berhadapan 
laki-laki.

 

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apa hukum ihram dengan memakai 
kaos kaki dan kaos tangan ? Dan apa dalilnya tentang hal tersebut ?

Jawaban
Bagi laki-laki ketika ihram tidak boleh memakai kaos kaki dan khuf (sepatu 
slop) kecuali jika tidak mendapatkan sandal berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 
'alaihi wa sallam.

وَمَنْ لَمْ يَجِد نَعْلَيْنِ فَلْيَلْبَسِ الْخُفَّيْنِ،وَمَنْ لَمْ 
يَجِدْإِزَارًا فَلْيَلْبَسِ السِّرَاوِيْلَ

Dan barangsiapa yang tidak mendapatkan sandal, maka dia boleh memakai khuf, 
dan siapa yang tidak mendapatkan kain, maka dia memakai celana panjang 
[Muttafaqun 'Alaih]

Adapun bagi wanita, maka diperbolehkan memakai kaos kaki dan sepatu khuf, 
karena kaki wanita adalah aurat. Dan jika seorang wanita menjulurkan bajunya 
hingga menutup kedua kakinya maka cukup baginya dari kaos kaki dan khuf dalam 
shalat dan yang lainnya. Adapaun kaos tangan maka bagi laki-laki mupun 
perempuan tidak diperbolehkan memakainya ketika sedang ihram. Sebab Nabi 
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda tentang wanita yang sedang ihram.

لاَتَنْتَقِبُ الْمَرْأَةَ وَلاَ تَلْبِسُ الْقُفَّازَيْنِ

Janganlah wanita bercadar, dan janganlah dia memakai kaos tangan [Hadits 
Riwayat Bukhari dalam shahihnya]

Jika memakai kaos tangan, maka haram bagi perempuan, lebih-lebih lagi bagi 
laki-laki. Karena itu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda tentang 
laki-laki yang meninggal ketika dia sedang ihram.

إِغْسِلُوْهُ بِمَاءٍ وَسِدْر،ٍ وَكَفَّنُوْهُ فِيثَوْبَيْهِ، وَلاَتُحَنِّطُوْهُ 
وَلاَ تَخَمِّرُوْا رَأسَهُ وَوَجْهَهُ فَإِنَهُ يَبْعَثً يَوْمَ الْقِيَامَةِ 
مُلبَيَا

Mandikanlah dia dengan air dan bidara, kafankan dia dengan dua baju 
(ihram)nya, jangan kamu berikan dia parfum, dan jangan kamu tutup kepala dan 
mukanya, sebab dia akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan berihram 
[Muttafaqun 'alaih dan redaksinya bagi Muslim]

Adapun sebagai ganti cadar bagi wanita ketika sedang ihram adalah dia dapat 
menutup wajahnya dengan kerudung dan yang sepertinya ketika dia berhadapan 
laki-laki. Demikian ini berdasarkan riwayat dari Aisyah Radhiallahu 'anha, ia 
berkata.

كَانَ الرُّكْبَانُ يَمُرُّوْنَ بِنَا وَنَحْنُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ 
عَلَيْهِ وَسَلّم فََإِذَا حَاذَوْنَا سَدَلَتْ إِحْدَانَا جِِلْبَابَهَا مِنْ 
رَاسِهَا عَلَى وَجْهِهَا فَإِذَا جَاوَزُوْنَا كَشَفْنَاهُ 

Adalah rombongan laki-laki melewati kami dan kami bersama Rasulullah 
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ketika mereka berpapasan dengan kami. setiap 
orang diantara kami mejulurkan jilbabnya dari kepala ke mukanya, dan jika 
mereka telah melewati kami, maka kami membukanya [Hadits Riwayat Abu Dawud dan 
Ibnu Majah]

Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/1262/slash/0/jenis-pakaian-wanita-ketika-ihram-ihram-memakai-kaos-kaki-dan-kaos-tangan-pakaian-ihram-waktu-lama/

 

Wallahu Ta'ala A'lam 







  

RE: [assunnah]Tanya : Pakaian Ihram

2013-09-17 Terurut Topik Abu Harits
From: hani_...@yahoo.co.uk
Date: Sun, 15 Sep 2013 04:56:04 +0100
Assalamu'alaikum...










Seperti yg kita ketahui bahwa pakaian ihram tidak boleh diberi wewangian. 
Bagaimana dengan pemakaian deterjen ketika pencucian, yg mana di kain yg dicuci 
menyisakan wangi...?
Jazakumullah khair.

 
HUKUM PEWANGI PAKIAN BAGI WANITA

Oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani

السائل: هل يجوز غسل ملابس المرأة أو يديها بصابون معطَّر، ثم تخرج بهذه الرائحة 
من بيتِها أمامَ الأجانب؟

Pertanyaan, “Bolehkahkan mencuci pakaian perempuan atau perempuan membasuh 
kedua tangannya dengan sabun wangi kemudian perempuan tersebut keluar rumah 
dengan membawa wangi yang semerbak melewati para laki-laki yang bukan mahramnya?

الشيخ الألباني: إذا كانت الرائحة فائحة؛ ما يجوز طبعًا.

Jawaban Syaikh Al Albani, “Jika muncul wangi yang semerbak dari diri si wanita 
maka tentu saja tidak diperbolehkan.

السائل: حُكم العطر.

Penanya, “Sebagaimana hukum wewangian?”

الشيخ الألباني:آه [أي: نعم].

Jawaban Syaikh al Albani, “Ya” 
[Kaset Silsilah al Huda wan Nur no 814 detik 56:09 dst].

إذا لم تتعطر المرأة عند خروجها من بيتها ولكنها عطرت طفلها المصاحب لها فيشملها 
النهي لوجود الرائحة الفاتنة

Syaikh Abu Said al Jazairi dalam bukunya Taujih an Nazhar ila Ahkam al Libas 
waz Zinah wan Nazhar hal 75 mengatakan, “Jika seorang muslimah tidak mengenakan 
parfum ketika keluar rumah namun anak yang dia gendong diberi parfum maka 
muslimah tersebut telah melakukan hal yang terlarang karena munculnya wangi 
yang semerbak dari arah dirinya”.

قال [ابن حجر العسقلاني ]: ويلحق بالطيب ما في معناه لأن سبب المنع منه ما فيه من 
تحريك داعية الشهوة

Ibnu Hajar al Asqalani mengatakan, “Dianalogkan dengan minyak wangi [yang 
terlarang dipakai oleh muslimah ketika hendak keluar rumah, pent] segala hal 
yang semisal dengan minyak wangi [sabun wangi dll, pent] karena sebab 
dilarangnya wanita memakai minyak wangi adalah adanya sesuatu yang menggerakkan 
dan membangkitkan syahwat” [Fathul Bari 2/349]
Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/3296/slash/0/tabarruj-dalam-berpakaian/
 
HAL-HAL YANG TERLARANG KETIKA IHRAM
Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi

Diharamkan bagi seseorang yang telah berihram melakukan hal-hal sebagai berikut:

1. Memakai pakaian yang dijahit
Berdasarkan hadits Ibnu ‘Umar:

أَنَّ رَجُلاً قَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَا يَلْبَسُ الْمُحْرِمُ مِنَ 
الثِّيَابِ؟ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لاَ يَلْبَسُ 
الْقُمُصَ وَلاَ الْعَمَائِمَ وَلاَ السَّرَاوِيْلاَتِ وَلاَ الْبَرَانِسَ وَلاَ 
الْخِفَافَ، إِلاَّ أَحَدٌ لاَ يَجِدُ نَعْلَيْنِ فَلْيَلْبَسْ خُفَّيْنِ 
ولْيَقْطَعْهُمَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ، وَلاَ تَلْبَسُوْا مِنَ الثِّيَابِ 
شَيْئًا مَسَّهُ زَعْفَرَانٌ أَوْ وَرْسٌ.

“Bahwa seseorang bertanya, ‘Wahai Rasulullah, pakaian apa yang boleh dipakai 
oleh orang yang berihram?’ Beliau bersabda, ‘Tidak boleh memakai baju, surban, 
celana, penutup kepala dan sepatu kecuali seseorang yang tidak memiliki sandal, 
ia boleh menggunakan sepatu, namun hendaknya ia memotong bagian yang lebih 
bawah dari mata kaki. Dan hendaknya jangan memakai pakaian yang diolesi minyak 
Za’faran dan Wars.’” [1]

Bagi orang yang tidak mempunyai pakaian kecuali celana dan sepatu diberi 
keringanan memakai celana dan sepatu tanpa dipotong, berdasarkan hadits Ibnu 
‘Abbas, ia berkata:

سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ بِعَرَفَاتٍ: مَنْ 
لَمْ يَجِدِ النَّعْلَيْنِ فَلْيَلْبَسِ الْخُفَّيْنِ، وَمَنْ لَمْ يَجِدْ 
إِزَارًا فَلْيَلْبَسْ سَرَاوِيْلَ لِلْمُحْرِمِ.

“Aku mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkhutbah di ‘Arafah, 
‘Barangsiapa yang tidak mempunyai sandal hendaknya ia memakai sepatunya dan 
barangsiapa yang tidak mempunyai izar (kain ihram) hendaknya ia memakai celana, 
bagi orang yang berihram.’” [2]

2. Menutup wajah dan kedua tangan bagi wanita
Berdasarkan hadits Ibnu ‘Umar, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam 
bersabda:

لاَ تَنْتَقِبُ الْمَرْأَةُ الْمُحْرِمَةُ وَلاَ تَلْبَسُ الْقُفَّازَيْنِ.

“Bagi wanita yang berihram tidak boleh memakai niqab (penutup muka/cadar) dan 
kaos tangan.” [3]

Ia boleh menutup mukanya jika ada laki-laki yang lewat, berdasarkan hadits 
Hisyam bin ‘Urwah dari Fatimah binti al-Mundzir, ia berkata, “Kami menutup muka 
kami sedangkan kami tengah berihram dan bersama kami Asma’ binti Abi Bakar 
ash-Shiddiq.” [4]

3. Menutup kepala bagi laki-laki baik dengan surban atau yang lainnya
Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits Ibnu 
‘Umar:

لاَ يَلْبَسُ الْقُمُصَ وَلاَ الْعَمَائِمَ.

“Tidak boleh memakai baju dan surban.” [5]

Namun boleh berteduh dalam kemah atau yang lainnya, berdasarkan hadits Jabir 
yang lalu, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan untuk 
mendirikan kemah, maka didirikan untuk beliau kemah di Namirah, kemudian beliau 
mampir di kemah tersebut.”

4. Memakai minyak wangi
Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits Ibnu 
‘Umar:

وَلاَ تَلْبَسُوْا مِنَ الثِّيَابِ شَيْئًا 

RE: [assunnah]Tanya : Dapatkah menikah kmbali dengan dengn istri yg sdh dicerakan

2013-09-10 Terurut Topik Abu Harits
From: purb...@yahoo.co.id
To: assunnah@yahoogroups.com
Date: Mon, 9 Sep 2013 15:54:37 +0800 







Bismillah

Bolehkah menikah kembali dengan istri yang baru diceraikan oleh suaminya.

Bagaimana dengan hukum yang menyatakan bahwa si perempuan harus menikah dahulu 
dan tidur semalam lalu bercerai dan menikah kembali dengan suami yang pertama.

Syukron

muliaman purba

 
1. Istri yang ditalak satu atau dua dan setelah itu rujuk, bagaimanakah tata 
cara rujuk yang syar'i? Apabila masa 'iddah belum habis, apakah harus membuat 
akad nikah baru? Apabila masa 'iddah telah habis, bagaimanakah cara rujuk yang 
sesuai syar'i? 
 
Jawaban.
Agama Islam sangat menjaga keutuhan biduk rumah tangga kaum muslimin. Hal ini 
bisa dilihat dalam pengaturan tentang perceraian (talak). Bahwasanya, Islam 
tidak menjadikan talak hanya sekali, namun sampai tiga kali. Disebutkan dalam 
firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ ۖ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ

Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara 
yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. [al-Baqarah/2:229]. 

Juga adanya pensyariatan 'iddah. Yaitu masa menunggu bagi yang ditalak, seperti 
tersebut dalam firman-Nya:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ 
لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ ۖ لَا 
تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ 
بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ

Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu, maka hendaklah kamu 
ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) 'iddahnya (yang wajar), 
dan hitunglah waktu 'iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Rabbmu. Janganlah 
kamu keluarkan mereka dari rumah mereka, dan janganlah mereka (diizinkan) ke 
luar, kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. 
[ath-Thalâq/65:1].

Dengan demikian, seorang suami yang menceraikan istrinya satu kali, ia masih 
memungkinkan untuk memperbaiki kembali bila dirasa hal itu perlu dan baik bagi 
keduanya. Semua ini menunjukkan perhatian Islam yang sangat besar dalam 
pembangunan rumah tangga yang kokoh dan awet. Adapun syarat sahnya rujuk, di 
antaranya:

a). Rujuk setelah talak satu dan dua saja, baik talak tersebut langsung dari 
suami atau dari hakim.
b). Rujuk dari istri yang ditalak dalam keadaan pernah digauli. Apabila istri 
yang ditalak tersebut sama sekali belum digauli, maka tidak ada rujuk. Demikian 
menurut kesepakatan ulama.
c). Rujuk dilakukan selama masa 'iddah. Apabila telah lewat masa 'iddah 
-menurut kesepakatan ulama fikih- tidak ada rujuk.

Dalam rujuk, tidak disyaratkan keridhaan dari wanita. Sedangkan bila masih 
dalam masa 'iddah, maka anda lebih berhak untuk diterima rujuknya, walaupun 
sang wanita tidak menyukainya. Dan bila telah keluar (selesai) dari masa 'iddah 
tetapi belum ada kata rujuk, maka sang wanita bebas memilih yang lain. Bila 
wanita itu kembali menerima mantan suaminya, maka wajib diadakan nikah baru. 
Allah menyatakan dalam firman-Nya.

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ ۚ وَلَا 
يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ 
كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ 
بِرَدِّهِنَّ فِي ذَٰلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا ۚ وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي 
عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ ۗ وَاللَّهُ 
عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. 
Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, 
jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak 
merujuknya dalam masa menanti itu jika mereka (para suami) itu menghendaki 
ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut 
cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan 
daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. [al-Baqarah/2 
ayat 228].

Di dalam Fathul Bâri, Ibnu Hajar mengatakan: Para ulama telah bersepakat, 
bahwa bila orang yang merdeka mencerai wanita yang merdeka setelah berhubungan 
suami istri, baik dengan talak satu atau dua, maka suami tersebut lebih berhak 
untuk rujuk kepadanya, walaupun sang wanita tidak suka. Apabila tidak rujuk 
sampai selesai masa iddahnya, maka sang wanita menjadi orang asing (ajnabiyah), 
sehingga tidak halal baginya, kecuali dengan nikah baru.[1] 

Cara untuk rujuk, ialah dengan menyampaikan rujuk kepada istri yang ditalak, 
atau dengan perbuatan. Rujuk dengan ucapan ini disahkan secara ijma’ oleh para 
ulama, dan dilakukan dengan lafazh yang sharih (jelas dan gamblang), misalnya 
dengan ucapan saya rujuk kembali kepadamu atau dengan kinayah (sindiran), 
seperti ucapan sekarang, engkau sudah seperti dulu. Kedua ungkapan ini, bila 
diniatkan untuk rujuk, maka sah. Sebaliknya, bila tanpa diniatkan untuk rujuk, 
maka tidak sah. 

Sedangkan rujuk dengan perbuatan, para ulama masih 

RE: [assunnah]Asuransi syari'ah (asuransi Ta'awun)

2013-09-05 Terurut Topik Abu Harits
From: edwar_hu...@yahoo.com.hk
Date: Sun, 25 Aug 2013 06:49:02 +0800


Mohon Pencerahannya





Tentang prinsip asuransi syariah yang diperbolehkan? apakah ada asuransi 
syariah diindonesia yang memang menggunakan prinsip syariah yang di perbolehkan?
Asuransi yang diperlukan diperuntukan  untuk kendaraan roda empat, tidak 
asuransi jiwa

Salam
Husni


PERBEDAAN ANTARA ASURANSI TA'AWUN DAN ASURANSI KONVENSIONAL[14]
Dari karekteristik diatas dan definisi yang disampaikan para ulama kontemporer 
tentang asuransi ta'awun dapat dijelaskan perbedaan antara asuransi ini dengan 
yang konvensional. Diantaranya:

1. Asuransi ta'awun termasuk akad tabarru yang tujuannya murni takaful dan 
ta'awun (saling tolong-menolong) dalam menutup kerugian yang timbul dari bahaya 
dan musibah. Sehingga premi dari anggotanya bersifat hibah (tabarru).
Ini berbeda dengan asuransi konvensional yang memiliki maksud mencari 
keuntungan berdasarkan akad al-mu'awwadhah al-ihtimaliyah (bisnis oriented dan 
bersifat spekulatif).

2. Pemberian ganti rugi atas (pertanggungan) resiko bahaya dalam asuransi 
ta'awun, diambil dari jumlah premi yang ada di dalam shunduq (simpanan) 
asuransi. Apabila tidak mencukupi, maka adakalanya meminta tambahan dari 
anggotanya, atau mencukupkan hanya dengan menutupi sebagian kerugian saja. 
Sehingga tidak ada keharusan menutupi seluruh kerugian yang ada bila anggota 
tidak sepakat menutupi seluruhnya.

Adapun dalam asuransi konvensional yang mengikat diri untuk menutupi seluruh 
kerugian yang ada (sesuai kesepakatan) sebagai ganti premi asuransi yang 
dibayar tertanggung. Hal ini menyebabkan perusahaan asuransi mengikat diri 
untuk menanggung semua resiko sendiri tanpa adanya bantuan dari nasabah 
lainnya. Oleh karena itu, tujuan akadnya ialah mencari keuntungan, namun 
keuntungannya tidak bisa untuk kedua belah pihak. Bahkan apabila perusahaan 
asuransi tersebut memperoleh keuntungan, maka nasabah (tertanggung) merugi. 
Begitu pula sebaliknya, bila nasabah (tertanggung) memperoleh keuntungan, maka 
perusahaan (pihak penanggung) itulah yang merugi. Yang demikian ini termasuk 
dalam kategori memakan harta dengan cara batil, karena keuntungan yang 
diperoleh oleh salah satu pihak berada di atas kerugian pihak lainnya.

3. Dalam asuransi ta'awun, seluruh nasabah tolong-menolong menunaikan ganti 
rugi yang harus dikeluarkan, dan pembayaran ganti rugi sesuai dengan dana yang 
tersedia, dan juga dari peran para anggotanya.

Adapun menurut asuransi konvensional, bisa jadi perusahaan asuransi tidak mampu 
membayar ganti rugi (pertanggungan) kepada nasabahnya apabila melewati batas 
ukuran (jumlah) yang telah ditetapkan perusahaan untuk dirinya.

4. Asuransi ta'awun tidak dimaksudkan untuk mencari keuntungan dari selisih 
premi yang dibayar dari ganti rugi yang dikeluarkan. Bahkan bila ada selisih 
(sisa) dari pembayaran klaim, maka dikembalikan kepada anggota (tertanggung). 
Sedangkan dalam perusahaan asuransi konvensional, sisa tersebut menjadi milik 
perusahaan asuransi (penanggung).

5. Penanggung (al-Mu`ammin) dalam asuransi ta'awun adalah tertanggung 
(al-Mu`ammin lahu) sendiri. Sedangkan dalam asuransi konvensional, penanggung 
(al-Mu`ammin) adalah pihak luar.

6. Dalam asuransi ta'awun, premi yang dibayarkan tertanggung digunakan untuk 
kebaikan mereka seluruhnya. Karena tujuan asuransi ta'awun bukan untuk mencari 
keuntungan, namun dimaksudkan untuk menutupi ganti kerugian dan biaya 
operasinol perusahaan asuransi saja.

Sedangkan dalam asuransi konvensional, premi tersebut digunakan untuk 
kemaslahatan perusahaan dan mendapatkan keuntungan. Karena tujuan dari usaha 
asuransi ini untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dari pembayaran 
premi para nasabahnya.

7. Asuransi ta'awun terbebas dari riba, spekulasi, dan perjudian serta gharar 
yang terlarang.
Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/2590/slash/0/perbedaan-antara-asuransi-taawun-dan-asuransi-konvensional/

Wallahu Ta'ala A'lam








  

RE: [assunnah]Tanya mandi wajib

2013-09-03 Terurut Topik Abu Harits
From: pramana_djo...@yahoo.com
To: assunnah@yahoogroups.com
Date: Tue, 3 Sep 2013 20:56:22 +0700
Mohon share ilmunya mengenai mandi wajib.
Berdasarkan keterangan dari para ulama, bagaimana tata cara mandi yg diajarkan 
Rasulullah sholallahu'alaihi wasallam.?
Sedikit dari pengetahuan ana, ada pendapat ulama, bahwasanya cukup mengalirkan 
air keseluruh tubuh. Namun bagaimana menurut ulama tersebut,sah kah jika shalat 
setelah mandi tanpa wudhu lagi.?
Atas jawabannya, ana ucapkan jazakumullahu khoir.



 

KITAB THAHARAH (PERIHAL BERSUCI)
Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
http://almanhaj.or.id/content/679/slash/0/mandi/


3. Mandi
a. Hal-Hal Yang Mewajibkannya:
1. Keluar mani, baik saat terjaga ataupun tidur
Berdasarkan sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam :

إِنَّمَا الْمَاءُ مِنَ الْمَاءِ.

“Sesungguhnya air (mandi) itu disebabkan air (keluarnya mani)” [1]

Dari Ummu Salamah Radhiyallahu anhuma, Ummu Sulaim Radhiyallahu anhuma, 
berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu terhadap kebenaran. 
Apakah seorang wanita wajib mandi jika mimpi bersetubuh?” Beliau berkata, “Ya, 
jika dia melihat air.” [2]

Khusus dalam keadaan terjaga disyaratkan adanya syahwat, sedangkan pada tidur 
tidak disyaratkan.

Berdasarkan sabda beliau:

إِذَا حَذَفَتِ الْمَاءَ فَاغْتَسِلْ مِنَ الْجَنَابَةِ, فَإِذَا لَمْ تَكُنْ 
حَاذِفًا فَلاَ تَغْتَسِلْ.

“Jika engkau memancarkan air (mani), maka mandilah karena junub. Jika tidak 
memancarkannya, maka engkau tidak wajib mandi.”[3]

Asy-Syaukani berkata, [4] Memancarkan adalah melontarkan. Hal ini tidak 
mungkin terjadi kecuali disebabkan syahwat. Karena itulah penulis berkata, Di 
sini terdapat peringatan terhadap apa yang keluar dengan tidak disertai 
syahwat. Mungkin karena sakit atau hawa dingin, yang semua itu tidak mewajibkan 
mandi.

Barangsiapa mimpi bersetubuh dan tidak melihat adanya air mani, maka dia tidak 
wajib mandi. Dan barangsiapa melihat air mani, sedangkan dia tidak ingat apakah 
dia mimpi bersetubuh, maka dia tetap wajib mandi.

Dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi 
wa sallam ditanya tentang seorang laki-laki yang mendapati basah (bekas air 
mani) sedangkan dia tidak ingat apakah ia mimpi bersetubuh. Beliau menjawab, 
'Dia wajib mandi.' Dan tentang seorang laki-laki yang mimpi bersetubuh namun 
tidak mendapati basah (bekas air mani). Beliau menjawab, 'Dia tidak wajib 
mandi'. [5]

2. Jima’, walaupun tidak keluar air mani
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, 
beliau bersabda:

إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا اْلأَرْبَعِ، ثُمَّ جَهَدَهَا فَقَدْ وَجَبَ 
الْغُسْلُ وَإِنْ لَمْ يُنْزِلْ.

“Jika ia telah duduk di antara keempat cabang istrinya, kemudian ia membuatnya 
kepayahan (kiasan untuk bersetubuh), maka ia wajib mandi. Meskipun tidak keluar 
air mani. [6]

3. Masuk Islamnya orang kafir
Dari Qais bin 'Ashim, ia menceritakan bahwa ketika masuk Islam, Nabi 
Shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruhnya mandi dengan air dan bidara. [7]

4. Terputusnya haidh dan nifas
Berdasarkan hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma. Nabi Shallallahu 'alaihi wa 
sallam berkata kepada Fathimah binti Abi Khubaisy:

إِذَا أَقْبَلَتِ الْحَيْضَةُ فَدَعِـي الصَّلاَةَ، وَإِذَا أَدْبَرَتْ 
فَاغْتَسِلِيْ وَصَلِّي.

“Jika datang haidh, maka tinggalkanlah shalat. Dan jika telah lewat, maka mandi 
dan shalatlah.” [8]

Nifas dan haidh dihukumi sama secara ijma'.

5. Hari Jum'at
Dari Abu Sa'id al-Khudri, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

غُسْلُ يَوْمِ الْجُمُعَةِ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ.

“Mandi hari Jum'at wajib bagi setiap orang yang telah baligh.” [9]

b. Rukun-Rukunnya:
1. Niat
Berdasarkan hadits:

إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ.

“Sesungguhnya perbuatan itu tergantung pada niatnya.”

2. Meratakan air pada sekujur badan.

c. Tata Cara Yang Disunnahkan Ketika Mandi
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Dahulu, jika Rasulullah 
Shallallahu 'alaihi wa sallam hendak mandi janabah (junub), beliau memulainya 
dengan membasuh kedua tangannya. Kemudian menuangkan air dari tangan kanan ke 
tangan kirinya lalu membasuh kemaluannya. Lantas berwudhu sebagaimana berwudhu 
untuk shalat. Lalau beliau mengambil air dan memasukkan jari-jemarinya ke 
pangkal rambut. Hingga jika beliau menganggap telah cukup, beliau tuangkan ke 
atas kepalanya sebanyak tiga kali tuangan. Setelah itu beliau guyur seluruh 
badannya. Kemudian beliau basuh kedua kakinya. [10]

Catatan:
Tidak wajib bagi seorang wanita mengurai rambutnya ketika mandi janabah 
(junub). Namun wajib dilakukan ketika mandi sehabis haidh.

Dari Ummu Salamah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Aku berkata, ‘Wahai 
Rasulullah, sesungguhnya aku adalah wanita berkepang dengan kepangan yang sulit 
diurai. Apakah aku harus mengurainya ketika mandi janabah? Beliau berkata:

لاَ، إِنَّمَا يَكْفِيْكِ أَنْ تَحْثِيَ عَلَى رَأْسِكِ ثَلاَثَ حَثَيَاتٍ ثُمَّ 
تَفِيْضِيْنَ عَلَيْكِ الْمَاءَ فَتَطْهُرِيْنَ.

“Tidak, cukuplah engkau tuangkan 

RE: [assunnah]Jarak berapa KM dikatakan musafir?

2013-09-02 Terurut Topik Abu Harits
From: nea_...@yahoo.com
To: assunnah@yahoogroups.com
Date: Sun, 1 Sep 2013 06:38:54 +





Assalamu'alaikum warahmatullohi wabarakatuh
... Tentang menjamak (mengumpulkan shalat) : jika dia dalam keadaan berjalan 
(naik kendaraan) yang lebih utama adalah menjamak antara dhuhur dan ashar, 
antara maghrib dan isya, bisa dengan jama taqdim maupun jama takhir, melihat 
mana yang lebih mudah baginya, segala hal yang lebih mudah adalah lebih utama.
Jika dia dalam keadaan berhenti (tinggal di suatu daerah) yang lebih utama 
adalah tidak menjamak shalat, jika dia tetap menjamak maka tidak mengapa ; 
berdasarkan pengesahan dua hal itu dari Rasulullah Shallallahu alaihi wa 
sallam


Yangingin saya tanyakan adalah jarak brp KM bisa dikatakan musafir?
Trimakasih




Jawaban.
Banyak pertanyaan seperti ini. Permasalahannya kembali kepada ketentuan dan 
batasan safar, serta kapan seseorang dianggap telah bermukim dan menjadikan 
tempat tinggalnya tersebut sebagai negerinya.

Para ulama berselisih tentang batasan jarak safar. Dan yang râjih, yaitu 
kembali kepada anggapan dan kebiasaan umumnya, tanpa batasan waktu tertentu.

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah berkata: Al-Qur`an dan as-Sunnah tidak 
mengkhususkan satu jenis safar untuk mengqashar shalat, berbuka puasa dan 
tayammum. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam juga tidak membatasi jarak safar 
yang boleh qashar dengan batasan waktu dan tempat tertentu. Juga tidak mungkin 
hal itu dapat dibatasi dengan batasan yang shahîh, karena bumi tidak bisa 
diukur dengan ukuran yang baku dalam keumuman safar. Demikian juga gerak 
musafir berbeda-beda. Barang siapa yang membagi safar dengan safar dekat dan 
jauh, dan mengkhususkan sebagian hukum safar dengannya, dan sebagian lain 
dengan yang lain, serta menjadikannya berhubungan dengan safar yang jauh, maka 
ia tidak memiliki hujjah yang wajib dirujuk.

Sedangkan Ibnul-Qayyim berkata: Semua yang diriwayatkan dari beliau 
Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang pembatasan safar dengan satu hari, dua 
hari atau tiga hari, maka tidak ada yang shahîh sedikitpun darinya.

Oleh karena itu Syaikh Masyhur Salman berkata: Musafir mengqashar shalat 
selama tidak ada negeri (daerah) yang dijadikannya sebagai tempat muqîm 
(mauthin), dan ada dalam niatnya kembali ke negeri tersebut, baik ia sedang 
dalam perjalanan atau telah menetap di negeri lain dalam waktu tertentu, yang 
ia ketahui selama tidak menjadikannya sebagai mauthin, atau tidak mengetahui 
lamanya, dan dalam dirinya mengatakan 'sekarang saya bisa pergi atau besok saya 
akan pergi'.

Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin di dalam Syarhul-Mumti' (4/546) 
menjelaskan, bahwa iqâmah (bermukim) dibagi menjadi dua, yaitu iqâmah mutlak 
dan iqâmah muqayyad (terbatas).

Pengertian iqâmah mutlak, yaitu berniat mukim menetap selama tidak ada sebab 
yang mengharuskannya meninggalkan tempat tersebut. Di antaranya para duta 
besar. Sudah pasti pada asalnya mereka menetap dengan iqâmah mutlak, sehingga 
tidak meninggalkannya kecuali bila diperintahkan. Berdasarkan hal ini, maka ia 
wajib menyempurnakan (tidak mengqashar), puasa Ramadhan, dan dalam mengusap 
khauf tidak lebih dari sehari semalam. Karena iqâmah mutlak, sehingga ia 
mengambil hukum mustauthin (warga yang mukim tetap).

Kemudian Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin mengatakan, iqâmah muqayyadah 
ada dua. Yaitu yang terikat dengan waktu, dan terikat dengan pekerjaan. Orang 
yang berniat iqâmah muqayyad disebabkan oleh pekerjaannya, maka ia tetap 
mengqashar shalatnya, walaupun waktunya lama.
Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/2214/slash/0/bacaan-amin-setelah-al-fatihah-musfir-atau-bukan-menggabung-dua-ijtihd/










SHALAT ORANG YANG MELAKUKAN SAFAR
B. Batasan Jarak Shalat Qashar
Para ulama memiliki banyak pendapat yang berbeda dalam menentukan batasan jarak 
diperbolehkannya mengqashar shalat. Sampai-sampai Ibnu al-Mundzir dan yang 
lainnya menyebutkan lebih dari dua puluh pendapat dalam masalah ini. Yang rajih 
(kuat) adalah, Pada dasarnya, tidak ada batasan jarak yang pasti. Kecuali yang 
disebut safar dalam bahasa Arab, yaitu bahasa yang digunakan Nabi Shallallahu 
'alaihi wa sallam saat berkomunikasi dengan mereka (orang-orang Arab). Jika 
memang safar mempunyai batasan selain dari apa yang baru saja kami kemukakan, 
tentu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak akan lupa menjelaskannya. Para 
Sahabat pun tidak akan lalai menanyakan hal tersebut pada beliau Shallallahu 
'alaihi wa sallam. Mereka juga tidak akan bersepakat untuk mengabaikan 
penukilan riwayat yang menjelaskan batasan tersebut kepada kita. [6]

C. Tempat Diperbolehkannya Mengqashar Shalat
Mayoritas ulama berpendapat bahwa, disyari'atkan mengqashar shalat ketika telah 
meninggalkan tempat mukim dan keluar dari daerah tempat tinggal. Ini adalah 
syarat. Dan tidaklah disempurnakan shalat (4 raka’at) sampai memasuki rumah 
pertama (di dalam tempat tinggalnya). Ibnul Mundzir berkata, Aku tidak 
mengetahui bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa 

RE: [assunnah]Hukum Ruqyah Center

2013-08-31 Terurut Topik Abu Harits
From: hchandral...@gmail.com
To: assunnah@yahoogroups.com
Date: Sat, 31 Aug 2013 18:54:03 +0700







Assalamu’alaikum wa rahmatullah wa baraktuh

Mohon ilmunya mengenai:
Bagaimana hukumnya tentang ruqyah center ya?
Jazaakallah khoir--
Chandra Abu Maryam
Depok


TIDAK BOLEH MEMBUKA TEMPAT PRAKTEK PEMBACAAN RUQYAH
Pertanyaan
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan ditanya : Apa pendapat Syaikh tentang orang 
yang membuka praktek pengobatan dengan bacaan ruqyah?

Jawaban
Ini tidak boleh dilakukan karena ia membuka pintu fitnah, membuka pintu usaha 
bagi yang berusaha melakukan tipu muslihat. Ini bukanlah perbuatan As-Salafush 
Shalih bahwa mereka membuka rumah atau membuka tempat-tempat untuk tempat 
praktek. Melebarkan sayap dalam hal ini akan menimbulkan kejahatan, kerusakan 
masuk di dalamnya dan ikut serta di dalamnya orang yang tidak baik. Karena 
manusia berlari di belakang sifat tamak, ingin menarik manusia kepada mereka, 
kendati dengan melakukan berbagai hal yang diharamkan. Dan tidak boleh 
dikatakan. “Ini adalah orang shalih”, karena manusia mendapat fitnah, semoga 
Allah memberi perlindungan. Walaupun dia seorang yang shalih maka membuka pintu 
itu tetap tidak boleh.
[Al-Muntaqa min Fatawa Alu Fauzan, Jilid II hal. 148]
Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/2280/slash/0/beberapa-sifat-dan-adab-orang-yang-meruqyah-tidak-boleh-membuka-tempat-praktek-pembacaan-ruqyah/

Seandainya mengkhususkan diri untuk meruqyah dan menjadikannya sebagai 
pekerjaan tetap (profesi) serta menyebarkannya di kalangan masyarakat adalah 
suatu kebaikan, tentu para sahabat akan melakukannya lebih dahulu daripada kita.

Sebenarnya yang membuat para tukang ruqyah pada zaman kita ini lebih terkenal 
ialah, karena mereka menyediakan tempat-tempat khusus untuk menemui mereka 
kapan mereka suka, sebagaimana yang dilakukan para dokter, pedagang atau 
pemilik perusahaan lainnya.

Seandainya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah membuka tempat khusus untuk meruqyah 
-tentu akan banyak yang datang, dan kemudian beliau sibuk hanya untuk menemui 
mereka kapan mereka mau- tentu beliau tidak akan dapat mengajarkan ilmu syar’i, 
dan juga tidak dapat menjelaskan tentang kebenaran agama Islam kepada umat. 
Terlebih lagi pada zaman yang diliputi kejahilan seperti saat ini serta 
merebaknya kebodohan dan khurafat, ketergantungan kepada selain Allah, kepada 
wali-wali setan, para syaikh dan kepada tokoh tertentu.
Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/2692/slash/0/hukum-mengkhususkan-diri-untuk-meruqyah-dan-menjadikannya-sebagai-pekerjaan-tetap/

Wallahu Ta'ala A'lam





  

RE: [assunnah]Takbir 3x sesudah salam (Dzikir Setelah Shalat)

2013-08-31 Terurut Topik Abu Harits
 From: fariz.jericho...@gmail.com
 To: assunnah@yahoogroups.com
 Date: Fri, 30 Aug 2013 22:55:45 +
 Assalaamu'alaykum warahmatullaahi wabarakaatuh.
 Afwan mau tanya dalil takbir 3x sesudah salam...karena ada yang mempraktekkan 
 seperti itu...yang umum diketahui, sesudah salam adalah membaca istighfar 3x 
 lalu membaca Allahumma antassalaam..
 Powered by Telkomsel BlackBerry®

 
Dzikir Dan Do’a yang Disyari'atkan Setelah Shalat
http://almanhaj.or.id/content/607/slash/0/dzikir-dan-doa-yang-disyariatkan-setelah-shalat/
1. Dari Tsauban Radhiyallahu anhu, dia berkata, Jika Rasulullah Shallallahu 
'alaihi wa sallam selesai shalat, beliau beristighfar tiga kali dan mengucap:

اَللّهُمَّ أَنْتَ السَّلاَمُ وَمِنْكَ السَّلاَمُ تَبَـارَكْتَ يَا ذَا 
الْجَلاَلِ وَاْلإِكْرَام.

Ya Allah, Engkaulah Pemberi keselamatan, dan dari-Mu keselamatan. Mahasuci 
Engkau, wahai Pemilik keagungan dan kemuliaan.

Al-Walid berkata, Aku berkata pada al-Auza'i: Bagaimana istighfar itu? Dia 
berkata: Ucapkanlah [1]: أَسْتَغْفِرُ اللهَ، أَسْتَغْفِرُ اللهَ.” 

2. Dari Abu az-Zubair, dia berkata, Dulu, ketika Ibnu az-Zubair selesai salam 
pada akhir shalat, dia mengucap:

لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ 
الْحَمْدُ، وَهُوَ عَلى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ، لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ 
بِاللهِ، لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَلاَ نَعْبُدُ إِلاَّ إِيَّاهُ، لَهُ 
النِّعْمَةُ وَلَهُ الْفَضْلُ، وَلَهُ الثَّنَاءُ الْحَسَنُ، لاَ إِلهَ إِلاَّ 
اللهُ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُوْنَ.

Tidak ada ilah yang berhak diibadahi selain Allah semata, tidak ada sekutu 
bagi-Nya. Bagi-Nya seluruh kerajaan dan bagi-Nya segala puji. Dia Mahakuasa 
atas segala sesuatu. Tidak ada daya dan kekuatan melainkan dengan (pertolongan) 
Allah. Tidak ada ilah yang berhak diibadahi melainkan Allah. Kami tidak 
beribadah kecuali kepada-Nya. Bagi-Nya nikmat, anugerah, dan pujian yang baik. 
Tidak ada ilah yang berhak diibadahi melainkan Allah, dengan memurnikan ibadah 
kepada-Nya, meskipun orang-orang kafir benci.”

Dia berkata, Dahulu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertahlil dengan 
do’a tersebut pada akhir setiap shalat. [2]

3. Dari Warrad bekas budak al-Mughirah bin Syu'bah, dia berkata, Al-Mughirah 
bin Syu'bah menulis surat kepada Mu'awiyah, bahwa Rasulullah Shallallahu 
'alaihi wa sallam jika selesai shalat dan salam, beliau mengucap:

لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ 
الْحَمْدُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ، اَللّهُمَّ لاَ مَانِعَ لِمَا 
أَعْطَيْتَ، وَلاَ مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ وَلاَ يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ 
الْجَدُّ.

Tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan haq selain Allah. Tidak ada sekutu 
bagi-Nya. Bagi-Nya-lah segala kerajaan dan bagi-Nya segala pujian. Dan Dia 
Mahakuasa atas segala se-suatu. Ya Allah, tidak ada yang menghalangi apa yang 
Engkau berikan. Dan tidak ada yang mampu memberi apa yang Engkau tahan. 
Tidaklah bermanfaat bagi pemilik kekayaan. Karena dari-Mu-lah kekayaan itu. 
[3] *

4. Dari Ka'b bin 'Ujrah, dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salalm, beliau 
bersabda:

مُعَقَّبَاتٌ لاَ يُخِيْبُ قَائِلُهُنَّ -أَوْ فَاعِلُهُنَّ- : ثَلاَثَ 
وَثَلاَثُوْنَ تَسْبِيْحَةٍ، وَثَلاَثُ وَثَلاَثُوْنَ تَحْمِيْدَةٍ، وَأَرْبَعُ 
وَثَلاَثُوْنَ تَكْبِيْرَةٍ، فِيْ دُبُرِ كُلِّ صَلاَةٍ.

Do’a setelah shalat yang tidak akan merugi orang yang membacanya atau yang 
melakukannya: tigapuluh tiga tasbih, tigapuluh tiga tahmid, dan tigapuluh empat 
takbir, pada akhir setiap shalat. [4]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa 
sallam :

مَنْ سَبَّحَ اللهَ ِفِيْ دُبُرِ كُلِّ صَلاَةٍ ثَلاَثًا وَثَلاَثِيْنَ، وَحَمَّدَ 
اللهَ ثَلاَثًا وَثَلاَثِيْنَ، وَكَبَّرَ اللهَ ثَلاَثًا وَثَلاَثِيْنَ، فَتِلْكَ 
تِسْعَةُ وَتِسْعُوْنَ، وَقَالَ: تَمَامُ الْمِائَةِ: لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ 
وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ ْالْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ، وَهُوَ عَلـى 
كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ، غُفِرَتْ خَطَايَاهُ وَإِنْ كَانَتْ مِثْلُ زُبَدِ 
الْبَحْرِ.

Barangsiapa bertasbih kepada Allah tigapuluh tiga kali pada akhir setiap 
shalat, bertahmid kepada Allah tigapuluh tiga kali, dan bertakbir kepada Allah 
tigapuluh tiga kali, hingga semua itu mencapai sembilan puluh sembilan. 
Kemudian menyempurnakan seratus dengan membaca: Tidak ada ilah yang berhak 
diibadahi dengan haq selain Allah. Tiada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nyalah segala 
kerajaan dan bagi-Nya segala pujian. Dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. 
Maka di-ampunilah dosa-dosanya meskipun sebanyak buih di lautan.[5]

5. Dari Mu'adz bin Jabal Radhiyallahu anhu, dia berkata, Pada suatu hari 
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memegang tanganku dan berkata, ‘Wahai 
Mu'adz, demi Allah, sesungguhnya aku benar-benar mencintaimu.’ Lalu aku 
berkata, Ayah-ibuku menjadi penebus engkau, demi Allah, sesungguhnya aku juga 
benar-benar mencintaimu. Beliau berkata, ‘Wahai Mu'adz, sesungguhnya aku 
berwasiat kepadamu. Janganlah engkau tinggalkan untuk mengucapkan pada akhir 
tiap shalat: 


RE: [assunnah]Wanita muslimah menikah dg non muslim

2013-08-29 Terurut Topik Abu Harits
From: arieffird...@yahoo.com
Date: Tue, 27 Aug 2013 17:56:17 +0800 





Assalamualaikum,
Saya mengetahui bahwa seorang lelaki boleh menikah dengan wanita ahlu kitab 
namun seorang wanita dilarang menikah dengan lelaki ahlu kitab.
Tapi ada kasus dimana seorang wanita muslimah menikah dengan lelaki ahlu kitab 
dan sampai melahirkan beberapa orang anak, dimana salah seorang anaknya itu 
perempuan dan ingin di nikahi oleh seorang lelaki muslim?
Bagaimana status dari anak perempuan tersebut, apakah termasuk anak zina, dan 
siapa yang menjadi wali bagi anak perempuan tersebut jika menikah?
jazakallahu khairan katsiraan



 

MENIKAHKAHKAN WANITA MUSLIMAH DENGAN ORANG KAFIR
Kaum muslimin dilarang menikahkan wanita muslimah dengan semua orang kafir baik 
orang Yahudi, Nashrani, penyembah berhala (paganis) atau lainnya. Karena mereka 
tidak diperbolehkan menikahi wanita muslimah walaupun muslimah tersebut seorang 
fasiq. Allah Azza wa Jalla berfirman :

وَلَا تَنكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ ۚ وَلَأَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ 
خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ ۗ وَلَا تُنكِحُوا الْمُشْرِكِينَ 
حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا ۚ وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكٍ وَلَوْ 
أَعْجَبَكُمْ ۗ أُولَٰئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ ۖ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى 
الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ ۖ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ 
لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ

Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita 
mu'min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu'min lebih baik dari 
orang-orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, 
sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah 
menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintahnya) kepada manusia supaya mereka 
mengambil pelajaran.[al-Baqarah/2:221]

Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimîn rahimahullah menyatakan : Maknanya 
adalah janganlah kalian menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita 
mu'min-red) hingga mereka beriman.[4]

Hal ini juga dipertegas dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ 
فَامْتَحِنُوهُنَّ ۖ اللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ ۖ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ 
مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ ۖ لَا هُنَّ حِلٌّ لَّهُمْ 
وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ

Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu 
perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. 
Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui 
bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada 
(suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang 
kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal bagi mereka. 
[al-Mumtahanah/60:10]

Syaikh Muhammad al-Amîn asy-Syinqithi rahimahullah menyatakan : “Ayat ini 
berisi pengharaman kaum mukminat bagi orang-orang kafir.” [5]

Dalam ayat yang mulia ini Allah Subhanahu wa Ta'ala melarang untuk 
mempertahankan status pernikahan kaum mukminat dengan orang kafir. Bila status 
pernikahan yang sudah terjadi saja harus diputus, maka tentu lebih tidak boleh 
lagi bila memulai pernikahan baru.

Sedangkan secara logika tentang pelarangan ini, syaikh Muhammad bin Shâlih 
al-Utsaimîn menyatakan : “Adapun dalil nazhari (dalil akal), karena tidak 
mungkin seorang muslimah itu akan menjadi baik di bawah kekuasaan suami yang 
kafir padahal suami adalah sayyid (pemimpin), sebagaimana dijelaskan dalam 
firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

وَاسْتَبَقَا الْبَابَ وَقَدَّتْ قَمِيصَهُ مِن دُبُرٍ وَأَلْفَيَا سَيِّدَهَا 
لَدَى الْبَابِ

Dan keduanya berlomba-lomba menuju pintu dan wanita itu menarik baju gamis 
Yusuf dari belakang hingga koyak dan kedua-duanya menjumpai suami (sayyid) 
wanita itu di depan pintu. [Yusuf/12:25]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda :

اتَّقُوا اللَّهَ فِي النِّسَاءِ فَإِنَّهُنَّ عَوَانٌ عَلَيْكُمْ

Bertakwalah kepada Allah dalam urusan wanita, karena mereka adalah tawanan 
kalian.[6]

Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/2633/slash/0/nikah-dengan-orang-kafir/

 

WANITA MUSLIMAH MENIKAH DENGAN LAKI-LAKI NON MUSLIM
Syaikh Muhammad bin Ibrahim ditanya : Bagaimana hukumnya wanita muslimah 
menikah dengan laki-laki non muslim?

Jawaban.
Pernikahan tersebut batil karena bertentangan dengan dalil-dalil dari Al-Qur'an 
dan hadits serta ijma' para ulama.

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ ۚ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ 
خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ ۗ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ 
حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا ۚ وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ 
أَعْجَبَكُمْ ۗ أُولَٰئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ ۖ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى 
الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ ۖ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ 
لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ

Artinya : Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka 
beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, 

RE: [assunnah]Baca Al-qur'an atau terjemahannya sambil berbaring?

2013-08-27 Terurut Topik Abu Harits
From: erwinkit...@gmail.com
Date: Sun, 25 Aug 2013 10:15:28 +
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ 
Saya mau bertanya tentang hukum membaca Al-Qur'an atau terjemahannya sambil 
berbaring?
Syukron
وَعَلَيْكُمْ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ 
Powered by Telkomsel BlackBerry®



 

DIANTARA ADAB-ADAB TILAWAH
1. Mengikhlaskan niat untuk Allah semata. Karena tilawah al-Qur’an termasuk 
ibadah, sebagaimana telah disebutkan pada keutamaan tilawah.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ 

Sesungguhnya seluruh amalan itu tergantung pada niatnya. [HR. Bukhari-Muslim]

2. Menghadirkan hati (konsentrasi) ketika membaca, khusyu’, tenang dan sopan, 
berusaha terpengaruh (terkesan) dengan yang sedang dibaca, dengan memahami 
(menghayati) atau memikirkan (tafakkur-tadabbur) sebagaimana tujuan utama dalam 
tilawah.

أَفَلاَ يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْءَانَ

Apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an?! [An-Nisa’:82, Muhammad:24]

Sopan, sebagai upaya memuliakan Kalam Allah Azza wa Jalla. Khusyu’ atau 
memusatkan hati dan pikiran (konsentrasi) sebagai upaya mengambil hikmah yang 
terkandung pada ayat yang kita baca; menampakkan kesedihan dan menangis, 
(ketika membaca ayat-ayat yang menceritakan adzab (siksa) neraka. Dan apabila 
tidak bisa maka berusahalah untuk bisa menangis. Rasulullah Shallallahu 'alaihi 
wa sallam bersabda:

إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ نَزَلَ بِحُزْنٍ فَإِذَا قَرَأْتُمُوهُ فَابْكُوا فَإِنْ 
لَمْ تَبْكُوا فَتَبَاكَوْا 

Sesungguhnya al-Qur’an ini turun dengan kesedihan, maka jika kamu membacanya 
hendaklah kamu menangis, jika kamu tidak (bisa) menagis, maka berusahalah untuk 
menangis. [HR. Ibnu Majah] [7]

Allah berfirman:

وَيَخِرُّونَ لِلأَذْقَانِ يَبْكُونَ وَيَزِيدُهُمْ خُشُوعًا 

Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah 
khusyu'. [Al-Israa : 109]

Ibnu Mas’ud berkata.

قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اقْرَأْ عَلَيَّ 
الْقُرْآنَ قَالَ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَقْرَأُ عَلَيْكَ وَعَلَيْكَ 
أُنْزِلَ قَالَ إِنِّي أَشْتَهِي أَنْ أَسْمَعَهُ مِنْ غَيْرِي فَقَرَأْتُ 
النِّسَاءَ حَتَّى إِذَا بَلَغْتُ ( فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ 
بِشَهِيدٍ وَجِئْنَا بِكَ عَلَى هَؤُلَاءِ شَهِيدًا ) رَفَعْتُ رَأْسِي أَوْ 
غَمَزَنِي رَجُلٌ إِلَى جَنْبِي فَرَفَعْتُ رَأْسِي فَرَأَيْتُ دُمُوعَهُ تَسِيلُ 

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salalm berkata kepadaku: “Bacakanlah 
al-Qur’an kepadaku!” saya pun berkata: Ya Rasulullah, apakah saya harus 
membacakan al-Qur’an kepadamu, sedangkan al-Qur’an diturunkan kepadamu?” Maka 
beliau menjawab: “Benar, akan tetapi saya senang (ingin) mendengarkan bacaan 
dari orang lain”. Kemudian sayapun membaca surat an-Nisa’ sampai: “Maka 
bagaimanakah (halnya orang-orang kafir nanti), apabila kami mendatangkan 
seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu 
(Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu)”. (ayat 41). Maka 
beliaupun berkata: “Cukup-cukup, maka tatkala saya melirik kepada beliau, 
beliau meneteskan air mata. [HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi, dan lainnya]

3. Tilawah al-Qur’an, hendaknya di tempat yang suci (haram atau dilarang di WC) 
atau tempat-tempat yang tidak pantas untuk tilawah al-Qur’an yang suci. 
Terutama di masjid sebagai upaya memakmurkan masjid

إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللهِ مَنْ ءَامَنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ 
وَأَقَامَ الصَّلاَةَ وَءَاتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلاَّ اللهَ 

Hanyalah yang memakmurkan mesjid-mesjid Allah ialah orang-orang yang beriman 
kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan sholat, menuaikan zakat 
dan tidak takut (kepada siapapun) sela in kepada Allah. [At-Taubah : 18]

Selain di tempat yang suci, kitapun sebaiknya dalam keadaan suci (tidak dalam 
keadaan hadast besar dan hadats kecil) untuk memuliakan kalam Allah Ta'ala

4. Membaca do`a Isti`azhah (berlindungan kepada Allah Ta'ala dari godaan setan) 
ketika hendak membaca al-Qur’an. 

Allah berfirman

فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

Apabila kamu membaca al-Qur'an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada 
Allah dari syaitan yang terkutuk. [An-Nahl :98]

Membaca basmalah apabila membaca al-Qur’an dari awal surat, kecuali surat 
at-Taubah. Berlindung kepada Allah Ta'ala, yakni membaca:

أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

hukumnya wajib menurut sebagian ulama’ . [Lihat Mabahits fi Ulumil Qur’an]

Dan diantara bentuk membersihkan jasmani (selain mandi) ialah bersiwak atau 
memakai sikat dan pasta gigi dalam rangka membersihkan sisa makanan yang 
terdapat pada sela-sela gigi yang dapat membusuk, yang membuat mulut kita tidak 
enak baunya. Bersiwak merupakan salah satu bentuk ittiba` kepada sunnah Nabi 
Shallallahu 'alaihi wa sallam yang bisa mendapat 2 kebaikan, bersih di mulut 
dan mendapat keridhaan Allah Ta'ala:

مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِ مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ 

Bersih dimulut dan mendapatkan ridha dari Tuhan (Allah Ta'ala )”. [HR. 

RE: [assunnah]Turut berbela sungkawa ke non muslim

2013-08-27 Terurut Topik Abu Harits
From: luluko...@yahoo.co.id
Date: Mon, 26 Aug 2013 05:49:42 + 





Assalammualaikum...
Apakah boleh takziah ke rumah non muslim ?
Jazakumullah Khairon atas jawabannya.



 

TA’ZIYAH KEPADA ORANG KAFIR
Ada perbedaan pendapat dalam masalah melayat kepada orang kafir dzimmi (orang 
kafir dalam perlindungan). Sebagian ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah 
memperbolehkannya [13]. Adapun Imam Ahmad bersikap tawaqquf, beliau tidak 
berpendapat apa-apa dalam masalah ini.[14]

Sedangkan para sahabat Imam Ahmad memandang ta’ziyah sama dengan ‘iyadah 
(menengok atau besuk). Dan dalam masalah ini, mereka memiliki dua pendapat :

Pertama : Menengok dan melayat orang kafir hukumnya terlarang atau haram [15]. 
Dalil yang mereka pergunakan ialah: 

لَا تَبْدَءُوا الْيَهُودَ وَلَا النَّصَارَى بِالسَّلَامِ فَإِذَا لَقِيتُمْ 
أَحَدَهُمْ فِي طَرِيقٍ فَاضْطَرُّوهُ إِلَى أَضْيَقِهِ 

Janganlah memulai salam kepada Yahudi dan Nasrani. Apabila kalian berpapasan 
dengan salah seorang dari mereka, pepetlah ke tempat yang sempit. [HR Muslim, 
7/5]
. 
Dalam hal ini, ta’ziyah disamakan dengan memulai salam kepada mereka.

Kedua : Membolehkan ta’ziyah dan menengoknya, dengan dalil hadits berikut ini : 

قَالَ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَانَ غُلَامٌ يَهُودِيٌّ يَخْدُمُ النَّبِيَّ 
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَرِضَ فَأَتَاهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ 
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعُودُهُ فَقَعَدَ عِنْدَ رَأْسِهِ فَقَالَ لَهُ أَسْلِمْ 
فَنَظَرَ إِلَى أَبِيهِ وَهُوَ عِنْدَهُ فَقَالَ لَهُ أَطِعْ أَبَا الْقَاسِمِ 
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَسْلَمَ فَخَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ 
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَقُولُ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنْقَذَهُ مِنْ 
النَّارِ

Dahulu ada seorang anak Yahudi yang membantu Nabi Shallallahu 'alaihi wa 
sallam. Suatu ketika si anak ini sakit. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa 
sallam menengoknya. Beliau duduk di dekat kepalanya, dan berkata : “Masuklah ke 
dalam Islam”.
Anak tersebut memandang bapaknya yang hadir di dekatnya. Bapaknya 
berkata,”Patuhilah (perkataan) Abul Qasim Shallallahu 'alaihi wa sallam ,” maka 
anak itupun masuk Islam. Setelah itu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar 
seraya berkata : “Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan anak itu dari 
siksa neraka”. [HR Bukhari, 2/96].

Pendapat yang rajih, yaitu tidak boleh melayat orang kafir dzimmi, terkecuali 
apabila membawa kemaslahatan -menurut dugaan yang rajih- misalnya 
mengharapkannya masuk Islam. Wallahu a’lam.

MELAYAT ORANG MUSLIM YANG DITINGGAL MATI OLEH SEORANG KAFIR
Jumhur ulama memperbolehkan ta’ziyah kepadanya [16]. Adapun pendapat yang 
melarangnya, dipegang oleh Imam Malik dan salah satu riwayat dari mazhab 
Hanabilah [17].

Yang rajih dalam masalah ini, ialah pendapat jumhur ulama. Dalilnya ialah, 
keumuman dalil-dalil yang memerintahkan ta’ziyah.

Selengkapnya baca di http://almanhaj.or.id/content/3067/slash/0/fiqih-taziyah/

 

Wallahu Ta'ala A'lam 




  

RE: [assunnah]Tanya : Hukum gadai/boroh kebun

2013-08-26 Terurut Topik Abu Harits
From: purb...@yahoo.co.id
Date: Sat, 24 Aug 2013 17:27:58 +0800 







Assalamu'alaykum Warahmatullah Wabarakatuh,
Ada permasalahan yang belum saya ketahui, misalkan A memiliki kebun sawit, dan 
si A ini ingin meminjam uang sebesar Rp 100 ribu kepada si B. Si B ingin si A 
memborohkan kebunnya, dan hasil kebun tersebut diambil oleh si B selama Si A 
belum bisa melunasinya. Dan dalam pelunasan nantinya si A akan membayar kembali 
kepada si B sebesar Rp 100 ribu dan mendapatkan kembali kebunnya.
Apakah hukum tersebut dibolehkan dan bagaimana hukum yang sebenarnya.
Terimakasih
muliaman purba

 
Diantara bentuk akad yang banyak dilakukan masyarakat, terlebih mansyarakat 
pedesaan, ialah menggadaikan lahan pertanian mereka. Berdasarkan akad ini 
mereka mendapatkan sejumlah piutang, dan sebagai konsekuensinya mereka 
menyerahkan ladangnya untuk digarap oleh kreditor. Sebagaimana pada saat jatuh 
tempo, debitor (penghutang) berkewajiban mengembalikan utangnya dengan utuh 
tanpa dikurangi sedikit pun. Demikianlah gadai sawah atau ladang yang banyak 
dilakukan oleh masyarakat.

Akad gadai semacam ini, walaupun telah merajalela, bukan berarti akad ini tanpa 
masalah alias halal. Akad ini sejatinya adalah akad yang mengandung unsur riba, 
karena akad ini adalah akad piutang yang mendatangkan keuntungan, sehingga 
haram secara hukum syari’at. 

Sahabat Fudhalah bin Ubaid Radhiyallahu anhu:

كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبَا

“Setiap piutang yang mendatangkan manfaat maka itu adalah riba.” [Rriwayat 
al-Baihaqi 5/350]

Ucapan serupa juga ditegaskan oleh sahabat Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin 
Salam dan Anas bin Malik Radhiyallahu anhum sebagaimana disebutkan oleh 
al-Baihaqi pada kitabnya di atas

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,”Dan piutang yang 
mendatangkan kemanfaatan, telah tetap pelarangannya dari beberapa sahabat yang 
sebagian disebutkan oleh penanya dan juga dari selain mereka, diantaranya 
sahabat Abdullah bin Salam dan Anas bin Malik.” [Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah 
29/334]

Coba Anda renungkan: Debitur (penghutang) semasa masih menggarap ladangya 
ternyata mengalami kesulitan, sehingga berhutang. Tentu setelah ladangnya ia 
gadaikan, kondisinya semakin parah. Karena itu pada kenyataannya di masyarakat, 
orang-orang yang menggadaikan lahannya dengan cara semacam ini kesulitan untuk 
melunasi piutangnya, dan banyak dari mereka terpaksa menjual lahannya.

Kondisi semacam ini tentu tidak baik dan mengancam kerukunan masyarakat. Karena 
itu, pada kesempatan ini saya menawarkan dua solusi halal dan jauh dari riba:

Solusi Pertama: Akad Sewa
Menyewakan lahan kepada investor selama beberapa waktu, dapat menjadi 
alternatif pengganti akad gadai yang mengandung riba. Sebagai pemilik lahan, 
Anda dapat menyewakan lahan kepada orang lain (investor) dalam batas waktu 
tertentu, dengan uang sewa yang Anda inginkan dan disetujui oleh penyewa. 
Dengan hasil penyewaan ini Anda dapat memenuhi keburuhan Anda, tanpa harus 
terjerumus dalam praktik riba.

Solusi Kedua : Kerja Sama
Diantara solusi yang lebih adil dan jauh dari perselisihan ialah dengan 
menjalin kerja sama antara pemilik lahan dengan penggarap. Berdasarkan kerja 
sama ini kedua belah pihak berhak mendapatkan bagian dari hasil ladang sesuai 
dengan persentase yang disepakati. Dan sebaliknya bila ladang gagal 
menghasilkan, maka penggarap ladang bebas dari kewajiban apapun selain 
mengembalikan ladang kepada pemiliknya.
Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/3270/slash/0/menyewakan-tanah-pertanian/
 
Wallahu Ta'ala A'lam 
 




  

RE: [assunnah]Cara Berbakti Kepada Orangtua yang Telah Meninggal

2013-08-26 Terurut Topik Abu Harits
From: faidamumta...@gmail.com
Date: Mon, 26 Aug 2013 16:15:51 +0700
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakaatuh...
Bagaimanakah cara yang benar dan utama, kita sebagai anak untuk bisa berbakti 
kepada orangtua yang telah wafat?
Amal apa yang bisa kita (yg masih hidup) lakukan sehingga pahalanya terus 
diterima oleh yang sudah wafat?
Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakaatuh...
FM


Berbakti kepada kedua orang tua tidak hanya dilakukan tatkala keduanya masih 
hidup. Namun tetap dilakukan manakala keduanya telah meninggal dunia. Ada 
sebuah kisah, yaitu seseorang dari Bani Salamah mendatangi Nabi Shallallahu 
'alaihi wa sallam. Ia bertanya: 

يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلْ بَقِيَ مِنْ بِرِّ أَبَوَيَّ شَيْءٌ أَبَرُّهُمَا بِهِ 
بَعْدَ مَوْتِهِمَا قَالَ نَعَمْ الصَّلَاةُ عَلَيْهِمَا وَالِاسْتِغْفَارُ 
لَهُمَا وَإِنْفَاذُ عَهْدِهِمَا مِنْ بَعْدِهِمَا وَصِلَةُ الرَّحِمِ الَّتِي لَا 
تُوصَلُ إِلَّا بِهِمَا وَإِكْرَامُ صَدِيقِهِمَا 

Wahai Rasulullah, apakah masih ada cara berbakti kepada kedua orang tuaku 
setelah keduanya meninggal? Beliau menjawab,Ya, dengan mendoakannya, 
memintakan ampun untuknya, melaksanakan janjinya (wasiat), menyambung 
silaturahmi yang tidak bisa disambung kecuali melalui jalan mereka berdua, dan 
memuliakan teman-temannya. [HR Abu Dawud]. 

Allâhu Akbar! betapa luas cakupan berbakti kepada kedua orang tua, bahkan 
termasuk di dalamnya keharusan memuliakan dan menyambung silaturahmi kepada 
teman kerabat.

Disebutkan dalam kitab Shahîh Muslim, dari 'Abdullâh bin 'Umar bin Khatthâb 
Radhiyallahu 'anhu : Suatu hari beliau Radhiyallahu 'anhu berjalan di kota 
Makkah dengan mengendarai keledai yang biasa beliau Radhiyallahu 'anhu gunakan 
bersantai jika bosan mengendarai unta. Lalu di dekat beliau lewatlah seorang 
Arab Badui. Lantas 'Abdullah bin 'Umar pun bertanya kepadanya:”Benarkah engkau 
Fulan bin Fulan?” Ia menjawab,”Ya,” kemudian 'Abdullah bin 'Umar memberikan 
keledainya kepada orang itu sambil berkata,”Naikilah keledai ini.” Beliau juga 
memberikan sorban yang mengikat di kepalanya seraya berkata,”Ikatlah kepalamu 
dengan sorban ini,” maka sebagian sahabatnya berkata,”Semoga Allah 
mengampunimu. Mengapa engkau memberikan keledai kendaraan santaimu dan sorban 
ikat kepalamu kepada orang itu?” Maka 'Ibnu 'Umar menjawab: ”Orang ini, dahulu 
adalah teman 'Umar (bapakku), dan aku pernah mendengar Rasulullah 
berkata,'Sesungguhnya bakti yang terbaik, ialah tetap menyambung hubungan 
keluarga ayahnya.
Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/2647/slash/0/kewajiban-berbakti-kepada-orang-tua/
 
Seandainya orang tua masih berbuat syirik serta bid’ah, kita tetap harus 
berlaku lemah lembut kepada keduanya, dengan harapan agar keduanya kembali 
kepada Tauhid dan Sunnah. Bagaimana pun, syirik dan bid’ah adalah sebesar-besar 
kemungkaran, maka kita harus mencegahnya semampu kita dengan dasar ilmu, lemah 
lembut dan kesabaran. Sambil terus berdo’a siang dan malam agar orang tua kita 
diberi petunjuk ke jalan yang benar.

APABILA KEDUA ORANG TUA TELAH MENINGGAL
Maka yang harus kita lakukan adalah:
1. Meminta ampun kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan taubat nashuha (jujur) bila 
kita pernah berbuat dur-haka kepada keduanya di waktu mereka masih hidup.
2. Menshalatkannya dan mengantarkan jenazahnya ke kubur.
3. Selalu memintakan ampunan untuk keduanya.
4. Membayarkan hutang-hutangnya.
5. Melaksanakan wasiat sesuai dengan syari’at.
6. Menyambung silaturrahim kepada orang yang keduanya juga pernah menyambungnya.
Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/2123/slash/0/menggapai-ridha-allah-dengan-berbakti-kepada-orang-tua/
http://almanhaj.or.id/content/1810/slash/0/lima-perkara-termasuk-berbakti-kepada-kedua-orang-tua-setelah-meninggal/
 
Apabila kedua orang tua telah meninggal maka : 
Yang pertama : Kita lakukan adalah meminta ampun kepada Allah Ta'ala dengan 
taubat yang nasuh (benar) bila kita pernah berbuat durhaka kepada kedua orang 
tua sewaktu mereka masih hidup.

Yang kedua : Adalah mendo'akan kedua orang tua kita.
Dalam sebuah hadits dla'if (lemah) yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Ibnu 
Hibban, seseorang pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa 
sallam.
Apakah ada suatu kebaikan yang harus aku perbuat kepada kedua orang tuaku 
sesudah wafat keduanya ? Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, Ya, 
kamu shalat atas keduanya, kamu istighfar kepada keduanya, kamu memenuhi janji 
keduanya, kamu silaturahmi kepada orang yang pernah dia pernah silaturahmi 
kepadanya dan memuliakan teman-temannya [Hadits ini dilemahkan oleh beberapa 
imam ahli hadits karena di dalam sanadnya ada seorang rawi yang lemah dan 
Syaikh Albani Rahimahullah melemahkan hadits ini dalam kitabnya Misykatul 
Mashabiih dan juga dalam Tahqiq Riyadush Shalihin (Bahajtun Nazhirin Syarah 
Riyadush Shalihin Juz I hal.413 hadits No. 343)]

Sedangkan menurut hadits-hadits yang shahih tentang amal-amal yang diperbuat 
untuk kedua orang tua yang sudah wafat, adalah : 
1. Mendo'akannya
2. 

RE: [assunnah]Tanya : Keturunan Nabi

2013-08-24 Terurut Topik Abu Harits
From: andrim...@gmail.com
Date: Wed, 21 Aug 2013 11:40:06 +
saya mau tanya, adakah keturunan nabi muhammad shallalalhu 'alaihi wa sallam 
s/d sekarang? Apakah habib bisa dikatakan keturunan nabi muhammad shallallahu 
'alaihi wa sallam? 
Terimakasih ya



 

Jawaban.
1. Keturunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih ada. Bahkan di 
antara keturunan beliau, yaitu imam Mahdi, akan datang menjelang hari Kiamat, 
dan termasuk tanda-tanda besar hari Kiamat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa 
sallam bersabda :

الْمَهْدِيُّ مِنَّا أَهْلَ الْبَيْتِ يُصْلِحُهُ الهُ‘ فِي لَيْلَةٍ

Al Mahdi dari kami, ahli bait, Allah akan memperbaikinya di dalam satu malam. 
[HR Ahmad, no. 646; Ibnu Majah, no. 4085. Dihasankan oleh al Albani di dalam 
ash Shahihah, no. 2371].

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

الْمَهْدِيُّ مِنْ عِتْرَتِي مِنْ وَلَدِ فَاطِمَةَ 

Al Mahdi dari keturunanku dari anak Fatimah. [HR. Ahmad, no. 646; Ibnu Majah, 
no. 4085, dan ini lafazhnya. Dishahihkan oleh al Albani. Lihat juga di dalam 
ash Shahihah, no. 2371]. 

Adapun banyak orang mengaku sebagai keturunan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa 
sallam , maka pengakuan tersebut kemungkinan benar, kemungkinan juga tidak 
benar. Sedangkan meminta berkah (tabarruk) dari mereka, maka itu merupakan 
kesalahan. Sesungguhnya semua berkah dan kebaikan itu hanyalah milik Allah Azza 
wa Jalla. Dia berfirman :

قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنْزِعُ 
الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاءُ ۖ 
بِيَدِكَ الْخَيْرُ ۖ إِنَّكَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

Katakanlah : Wahai Allah, Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan 
kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang 
Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau 
hinakan orang yang Engkau kehendaki. Hanya di tanganMu segala kebajikan. 
Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. [Ali Imran/3:26].

Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/2204/slash/0/keturunan-rasulullah-dan-meminta-berkah-keberadaan-dajjal/

 

2. AL-MAHDI
Oleh
Dr. Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil

http://almanhaj.or.id/content/3420/slash/0/pasal-pertama-al-mahdi/


Pada akhir zaman akan keluar seorang laki-laki dari kalangan Ahlul Bait, Allah 
akan mengokohkan agama Islam dengannya, dia akan menjadi pemimpin selama tujuh 
tahun. Bumi akan dipenuhi dengan keadilan sebagaimana sebelum-nya dipenuhi 
dengan kezhaliman. Semua umat merasakan kenikmatan pada masanya dengan 
kenikmatan yang belum dirasakan sebelumnya; bumi me-ngeluarkan berbagai 
tumbuhan, langit menurunkan hujan, dan harta akan dilimpahkan tanpa batas.

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Pada masanya, buah-buahan sangat melimpah, 
banyak tanaman tumbuh subur, harta melimpah, pemerintahan kuat, agama tegak, 
musuh tunduk, dan kebaikan langgeng di hari-harinya.”[1] 

1. Nama dan Sifatnya
Nama laki-laki tersebut seperti nama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, 
dan nama bapak-nya seperti nama bapak Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka 
nama beliau adalah Muhammad -atau Ahmad- bin ‘Abdillah. Beliau berasal dari 
keturunan Fathimah binti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan dari 
keturunan al-Hasan bin ‘Ali Radhiyallahu anhuma.

Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang al-Mahdi, “Dia adalah Muhammad bin 
‘Abdillah al-‘Alawi, al-Fathimi, al-Hasani.”[2] 

Dan sifatnya yang diterangkan dalam riwayat bahwa beliau memiliki dahi yang 
lebar, dan hidung yang mancung.

2. Tempat Keluarnya
Al-Mahdi akan keluar dari arah timur. Diterangkan dalam hadits, dari Tsauban 
Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam 
bersabda:

يَقْتَتِلُ عِنْدَ كَنْزِكُمْ ثَلاَثَةٌ؛ كُلُّهُمْ اِبْنُ خَلِيْفَةٍ، ثُمَّ لاَ 
يَصِيْرُ إِلَـى وَاحِدٍ مِنْهُمْ، ثُمَّ تَطْلُعُ الرَّايَاتُ السُّوْدُ مِنْ 
قِبَلِ الْمَشْرِقِ، فَيَقْتُلُوْنَكُمْ قِتْلاً لَمْ يَقْتُلْهُ قَوْمٌ... (ثُمَّ 
ذكر شَيْئًا لاَ أَحْفَظُهُ، فَقَالَ:) فَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُ؛ فَبَايِعُوْهُ، 
وَلَوْ حَبْوًا عَلَى الثَّلْجِ؛ فَإِنَّهُ خَلِيْفَةُ اللهِ اَلْمَهْدِيُّ.

“Ada tiga orang yang akan saling membunuh di sisi simpanan kalian; mereka semua 
adalah putera khalifah, kemudian tidak akan kembali ke salah seorang dari 
mereka. Akhirnya muncullah bendera-bendera hitam dari arah timur, lalu mereka 
akan memerangi kalian dengan peperangan yang tidak pernah dilakukan oleh satu 
kaum pun… (lalu beliau menutur-kan sesuatu yang tidak aku fahami, kemudian 
beliau berkata:) Jika kalian melihatnya, maka bai’atlah dia! Walaupun dengan 
merangkak di atas salju, karena sesungguhnya ia adalah khalifah Allah 
al-Mahdi.”[3] 

Ibnu Katsir rahimahulah berkata, “Yang dimaksud dengan simpanan pada redaksi 
tersebut adalah simpanan Ka’bah. Tiga orang dari putera-putera khalifah akan 
saling membunuh di sisinya untuk memperebutkannya hingga tiba akhir zaman. 
Kemudian keluarlah al-Mahdi dan beliau datang dari arah timur, bukan dari 
Sardab Samira sebagaimana 

RE: [assunnah]Warisan yang dihibahkan

2013-08-22 Terurut Topik Abu Harits
From: icha2...@yahoo.co.id
Date: Mon, 19 Aug 2013 12:31:37 +0800 






Assalamualaikum, 
Seorang ayah mempunyai rumah yang ditinggalinya sampai sekarang dan rumah 
tersebut sudah dibalik nama 
atas nama atas nya yang pertama (Laki-laki) beberapa tahun yang lalu. Jadi 
sertifikat rumah tersebut bukan lagi atas nama ayah. 
Rumah tersebut akan dijual kepada anak perempuan nya dan sang kakak yang dalam 
hal ini yang merasa berhak peruh 
atas rumah tersebut mengatur pembagian atas penjualan rumah tersebut. 
Ayah dalam hal ini sudah sangat tua dan beliau menyerahkan urusan kepada 
anak-anaknya. 
Yang jadi pertanyaan saya :
1. apakah benar bahwa sang kakak tertua selaku pemilik nama di sertifikat rumah 
tersebut, dialah yang berhak memiliki 
rumah tersebut (karena berdalih rumah tersebut sudah dihibahkan ayah kepada 
dia). dan dia lah yang mengatur pembagian dari hasil 
penjualan rumah tersebut walaupun ayah masih hidup. Apakah ini diperbenarkan 
secara syar'i ? 
2. bilamana rumah tersebut dijual sementara orangtua masih ada, bagaimanakah 
cara pengaturan pembagiannya?
apakah masih sang ayah yang berhak untuk masalah pembagian hibah kepada 2 orang 
anak laki-laki dan 1 orang anak perempuan.
3. bagaimana bila ayah sudah tiada, dan rumah tersebut dijual, apakah masih 
sang kakak yang berhak mengatur masalah warisan?
atau tetap berdasarkan yang Allah tetapkan untuk pembagiannya?, walaupun rumah 
tersebut serifikat atas nama anak tertua.
Saya mengucapkan banyak terima kasih atas segala masukan dan penjelasan dari 
bapak/ibu sekalian. 

 
1. Pengertian Hibah.
Berkenaan dengan definisi hibah (هِبَةٌ), As Sayid Sabiq berkata di dalam 
kitabnya [1] : “(Definisi) hibah menurut istilah syar’i ialah, sebuah akad yang 
tujuannya penyerahan seseorang atas hak miliknya kepada orang lain semasa 
hidupnya [2] tanpa imbalan apapun [3]”. Beliau berkata pula: “Dan hibah bisa 
juga diartikan pemberian atau sumbangan sebagai bentuk penghormatan untuk orang 
lain, baik berupa harta atau lainnya”.

Syaikh Al Fauzan berkata: “Hibah adalah pemberian (sumbangan) dari orang yang 
mampu melakukannya pada masa hidupnya untuk orang lain berupa harta yang 
diketahui (jelas)”.[4] 
http://almanhaj.or.id/content/2660/slash/0/sekilas-hibah-wasiat-dan-warisan/
 
Apabila seorang ayah menghibahkan (meberikan hadiah) rumah kepada salah seorang 
anaknya, maka sejak akad dan serah terima dilakukan rumah tersebut sudah 
menjadi harta milik anaknya, apabila rumah tersebut dijual, hasil pejualannya 
sepenuhnya menjadi harta anaknya tersebut.
 
2. Seorang Ayah Harus Adil Terhadap Anaknya Dalam Memberikan Pemberian 
(Hadiah). Haram Melebihkan Pemberian Kepada Sebagian Anak Saja
Dari an-Nu’man bin Basyir, ia berkata, “Ayahku bersedekah kepadaku dengan 
sebagian hartanya. Maka ibuku, (yaitu) ‘Amrah binti Rawahah berkata, ‘Aku tidak 
ridha hingga engkau mempersaksikannya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa 
sallam.’ Maka, ayahku berangkat menemui Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam 
untuk mempersaksikannya atas sedekahku. Lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa 
sallam berkata kepadanya, ‘Apakah engkau melakukan ini kepada seluruh 
anak-anakmu?’ Ia menjawab, ‘Tidak.’ Beliau bersabda:

اِتَّقُوا اللهَ وَاعْدِلُوا فِي أَوْلاَدِكُمْ.

Bertakwalah kepada Allah dan berbuat adillah kepada anak-anakmu.

Lalu Ayahku pulang dan mengembalikan sedekah tersebut.”

Dan dalam suatu riwayat, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

فَلاَ تُشْهِدْنِي إِذًا، فَإِنِّي لاَ أَشْهَدُ عَلَى جَوْرٍ.

“Kalau demikian maka janganlah engkau mempersaksikanku, sesungguhnya aku tidak 
bersaksi atas kezhaliman”

Dan dalam suatu riwayat: “Kemudian beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam 
bersabda, ‘Tidakkah menggembirakanmu, jika mereka sama dalam berbuat kebaikan 
kepadamu?’ Ia menjawab, ‘Ya.’ Beliau bersabda, ‘Kalau begitu, maka jangan 
engkau lakukan.’” [10] 
http://almanhaj.or.id/content/1087/slash/0/hibah-pemberianhadiah/
 
Wallahu Ta'ala A'lam

 




  

RE: [assunnah]Tanya : Talak Ba'in

2013-08-22 Terurut Topik Abu Harits
From: dedi16...@yahoo.com.sg
Date: Tue, 20 Aug 2013 22:39:48 +
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh 
Apa yg di maksud dengan talak ba'in?
Bila sudah jatuh Talak-1 sejak 2 tahun lalu (sampai sekarang belum pernah 
rujuk) apakah masih bisa rujuk kembali? Bagaimana cara yang syar'i bila mereka 
ingin rujuk?
Jazaakallohu khoiron



 

1. Talak ba'in adalah talak yang ketiga dengan derajat bainunah kubra’ 
(perpisahan besar) yang tidak menyisakan ikatan lagi antara keduanya sedikit 
pun sejak jatuhnya talak, bahkan tidak bisa menikahinya kembali sampai bekas 
istrinya itu telah digauli oleh suami yang lain.

 

2. SEORANG SUAMI MENCERAIKAN ISTRINYA DAN MENGINGINKAN RUJUK KEPADANYA SETELAH 
SATU TAHUN KEMUDIAN
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Ada laki-laki yang mentalak 
istrinya dengan talak satu kemudian pindah dari negeri yang mana ia tinggal dan 
tinggal di negeri asing selama satu tahun, kemudian ia pulang dan menjumpai 
istrinya dalam keadaan belum menikah, kemudian ia ingin mengadakan akad nikah 
dengannya, sedangkan istrinya bersedia kembali kepadanya, padahal laki-laki 
tersebut belum merujuknya selama masa iddah?’

Jawaban
Apabila yang terjadi seperti yang disebutkan oleh penanya, maka pernikahannya 
sah dengan syarat ada wali dan dua orang saksi yang adil serta adanya kerelaan 
mempelai wanita karena talak satu tidak mengharamkan pernikahannya dengan 
suaminya. Demikian juga dengan talak dua. Pernikahan keduanya hanya dilarang 
dengan adanya talak tiga hingga istri tersebut menikah dengan suami baru dan 
suami barunya menyebadaninya, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ ۖ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ ۗ 
وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلَّا أَنْ 
يَخَافَا أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا 
حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ ۗ تِلْكَ 
حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَعْتَدُوهَا ۚ وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ 
فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ 
بَعْدُ حَتَّىٰ تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ ۗ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ 
عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ ۗ 
وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ

“Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara 
yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu 
mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali 
kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika 
kamu khawatir bahwa keduanya (suami-istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum 
Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh 
istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu 
melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah 
orang-orang yang zhalim. Kemudian jika suami mentalaknya (sesudah talak yang 
kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan 
suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak 
ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk kawin kembali jika 
keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah 
hukum-hukum Allah diterangkanNya kepada kamu yang (mau) mengetahui” [Al-Baqarah 
: 229-230]

Talak yang terakhir inilah yang dimaksud dengan talak tiga menurut semua 
ulama-ulama.
[Kitab Fatawad Da’wah, Syaikh Abdul Aziz bin Baz, juz 2 hal. 239]

APAKAH RUJUK ITU DILAKUKAN SECARA PAKSA ATAS WANITA TANPA ADA KERELAAN?
Lajnah Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah wal Ifta ditanya : Ada seorang laki-laki 
yang mentalak istrinya secara sah juga sesuai sunnah kemudian ia menyerahkan 
surat talak dan ingin merujuknya. Apakah ia berhak merujuknya secara paksa 
tanpa kerelaan istrinya? Atau kerelaannya itu berpengaruh terhadap rujuk 
dengannya? Apa syarat-syarat rujuk? Berilah saya fatwa!”

Jawaban
Apabila yang terjadi sebagaimana yang disebut dan talaknya adalah talak yang 
mengikuti sunnah, maka ia berhak untuk merujuknya selama masih dalam masa iddah 
dengan dua orang saksi yang adil, baik istrinya rela ataupun tidak, jika talak 
tersebut bukan talak tiga atau karena adanya penyakit.

Apabila sudah keluar dari masa iddahnya atau talaknya karena suatu penyakit dan 
bukan talak tiga, maka ia berhak rujuk dengan wanita tersebut dengan akad nikah 
dan mahar baru disertai dengan kerelaannya. Di dalam dua kondisi tersebut talak 
yang terjadi dianggap talak satu. Adapun apabila talak ini adalah talak tiga 
maka ia hanya boleh dinikahi setelah menikah dengan suami lain dan telah 
menyenggamainya, sehingga apabila suami yang kedua mentalaknya atau meninggal 
maka dia diperbolehkan untuk dinikahi kembali oleh suami pertama setelah habis 
masa iddahnya dengan akad dan mahar baru disertai kerelaannya.

Iddah bagi wanita yang hamil adalah sampai ia melahirkan. Baik karena dicerai 
atau 

RE: [assunnah]Tanya: bela diri

2013-08-21 Terurut Topik Abu Harits
From: ahlul.fird...@gmail.com
Date: Wed, 21 Aug 2013 12:20:08 +0700 






Bismillah

Mau tanya, untuk bela diri, yang sesuai sunnah, apa ya namanya?
Apa semua group atau aliran bisa kita ikuti salah satunya? Ex. Taekwondo, 
kempo, pencak silat, karate, etc

Jazzakallahu khoiron
Regards
ahlul firdaus



 

Tujuan dari seluruh olah raga (bela diri) adalah untuk memelihara hak, 
mempertahankannya dan membelanya. Tujuannya sama sekali bukan untuk mendapatkan 
harta dan mengumpulkannya, bukan pula untuk popularitas dan kecintaan akan 
ketenaran, dan juga bukan untuk kemegahan di muka bumi serta kerusakan 
didalamnya yang menyertainya, sebagaimana yang terjadi pada sebagian 
olahragawan saat ini.

 

Olah raga bela diri tidak bercampur dengan do'a dan dzikir-dzikir yang 
dibuat-buat dengan tujuan untuk medapatkan kekuatan luar biasa (tenaga 
dalam/pengobatan tenaga dalam).

Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/105/slash/0/pengobatan-tenaga-dalam/

 

TUJUAN YANG DIHARAPKAN DARI OLAH RAGA
Tujuan dari seluruh olah raga ini yang telah diketahui pada masa awal kelahiran 
Islam dengan nama furusiyah, yakni kepandaian menunggang kuda, adalah untuk 
memelihara hak, mempertahankannya dan membelanya. Tujuannya sama sekali bukan 
untuk mendapatkan harta dan mengumpulkannya, bukan pula untuk popularitas dan 
kecintaan akan ketenaran, dan juga bukan untuk kemegahan di muka bumi serta 
kerusakan didalamnya yang menyertainya, sebagaimana yang terjadi pada sebagian 
olahragawan saat ini.

Sesunguhnya tujuan dari semua jenis olah raga tersebut adalah untuk menguatkan 
tubuh dan meningkatkan kemampuan untuk melakukan jihad fi sabilillah 
(perjuangan di jalan Allah Subhanahu wa Ta'ala), berdasarkan hal itu, olah raga 
dalam Islam harus dipahami dalam pengertian ini. Jika ada orang yang memahami 
olah raga selain dari pengertian tersebut,maka ia telah mengeluarkan olah raga 
dari tujuannya yang baik kepada tujuan yang buruk, yaitu permainan yang bathil 
dan perjudian yang dilarang.

Dasar hukum mengenai disyariatkannya dan dianjurkannya olah raga adalah firman 
Allah Ta'ala.

وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ

Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi 
[Al-Anfal : 60]

Dan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

المؤ من الوى خير وأحب الى الله من المؤ من الضعيف

Seorang Mukmin yang kuat lebih dicintai oleh Allah baik daripada seorang 
Mukmin yang lemah [HR Muslim]

Kekuatan dalam Islam mencakup pedang dan tombak serta argumentasi dan petunjuk

Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/75/slash/0/tujuan-yang-diharapkan-dari-olah-raga-hukum-masuk-stadion-untuk-menyaksikan-pertandingan/

 

Wallahu Ta'ala A'lam

 





  

RE: [assunnah]Tanya hibah - Poligami

2013-08-19 Terurut Topik Abu Harits


From: yahya_kud...@yahoo.com
Date: Mon, 12 Aug 2013 09:54:24 + 




Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Ana ada masalah hibah dengan saudara ana.
Ayah saya memiliki 3 istri, dari istri pertama memiliki 7 anak laki laki, dari 
istri ke 2 memiliki 4 anak lakilaki dan 1 anak permpuan
dari istri ke 3 tidak memiliki anak.
istri pertama meninggal dunia pada akhir tahun 1989, istri kedua cerai tahun 
1990, istri ketiga masih terikat perkawinan dengan ayah saya hingga ayah saya 
meninggal tahun 2006
ayah saya memiliki rumah dihibahkan pada istri pertamanya tahun 1989 sesuai 
surat yang ditunjukkan 7 orang saudara saya (anak dari istri pertama). 
sementara pada tahun itu ayah kami masih memiliki 1 orang istri yang lain(belum 
menikah dengan istri ketiga)
Adakah hibah ini sah menurut hukum Islam? apakah dalilnya? apakah hibah suami 
ke istri juga harus berlaku adil seperti hibah orang tua kepada anak seperti 
yang terdapat dalam riwayat Shahabat Nu'man bin Bisyir Radiallahu anhumaa?
mohon kiranya untuk menjawab persoalan saya ini. beserta dalilnya,
atas jawaban kami ucapkan JAZAAKUMULLAH KHAIRAN KATSIRA

 
Masalah hibah ini terkait juga dengan sikap berlaku adil dalam poligami. Dimana 
Allah Azza wa Jalla tidak mensyaratkan adanya poligami, kecuali dengan satu 
syarat saja. Yaitu berlaku adil terhadap para isteri dalam perkara lahiriyah.  
Yaitu berbuat adil dalam hal makan, minum, pakaian, tempat tinggal dan dalam 
hal tidur seranjang. Ia tidak boleh sewenang-wenang atau berbuat zhalim karena 
sesungguhnya Allah melarang yang demikian. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa 
sallam bersabda.

مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا جَاءَ يَوْمَ 
الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ.

Barangsiapa memiliki dua isteri, kemudian ia lebih condong kepada salah satu 
dari keduanya, maka ia akan datang pada hari Kiamat dalam keadaan pundaknya 
miring sebelah.”  
 
1. Defenisi Hibah
Berkenaan dengan definisi hibah (هِبَةٌ), As Sayid Sabiq berkata di dalam 
kitabnya [1] : “(Definisi) hibah menurut istilah syar’i ialah, sebuah akad yang 
tujuannya penyerahan seseorang atas hak miliknya kepada orang lain semasa 
hidupnya [2] tanpa imbalan apapun [3]”. Beliau berkata pula: “Dan hibah bisa 
juga diartikan pemberian atau sumbangan sebagai bentuk penghormatan untuk orang 
lain, baik berupa harta atau lainnya”.

Syaikh Al Fauzan berkata: “Hibah adalah pemberian (sumbangan) dari orang yang 
mampu melakukannya pada masa hidupnya untuk orang lain berupa harta yang 
diketahui (jelas)”.[4] 

Demikian makna hibah secara khusus. Adapun secara umum, maka hibah mencakup 
hal-hal berikut ini:
1. Al ibra`: ( الإِبْرَاء) yaitu hibah (berupa pembebasan) utang untuk orang 
yang terlilit utang (sehingga dia terbebas dari utang).
2. Ash shadaqah (الصَّدَقَة) : yaitu pemberian yang dimaksudkan untuk 
mendapatkan pahala akhirat.
3. Al hadiyah ( الهَدِيَّة) : yaitu segala sesuatu yang melazimkan 
(mengharuskan) si penerimanya untuk menggantinya (membalasnya dengan yang lebih 
baik) [5].
Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/2660/slash/0/sekilas-hibah-wasiat-dan-warisan/
 
2. Poligami
Adapun adil dalam hal pemberian nafkah dan pakaian, maka yang demikian itu 
merupakan Sunnah (ajaran Nabi), dan kita diharuskan meneladani Nabi Shallallahu 
'alaihi wa sallam. Demikian juga Rasulullah, beliau juga berlaku adil di antara 
isteri-isteri beliau dalam hal nafkah, sebagaimana berlaku adil di dalam 
pembagiannya.[5]

Syamsul Haq al 'Azhim rahimahullah berkata: Hadits ini sebagai dalil wajibnya 
suami untuk menyamakan pembagian di antara isteri-isterinya, dan haram atasnya 
jika) cenderung kepada salah satu dari mereka. Allah Ta'ala berfirman:

فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ

[Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai)] – 
[An-Nisaa` ayat 129], yang dimaksudkan adalah cenderung dalam pembagian dan 
nafkah, bukan dalam hal kecintaan, karena ini termasuk perkara yang tidak 
dikuasai oleh hamba.[6]
Selengkapnya baca di
http://almanhaj.or.id/content/2552/slash/0/syarat-syarat-poligami/
http://almanhaj.or.id/content/2553/slash/0/adab-adab-poligami/
 
Suami Harus Dapat Berlaku Adil Terhadap Isterinya, Jika Ia Mempunyai Isteri 
Lebih Dari Satu.
Yaitu berbuat adil dalam hal makan, minum, pakaian, tempat tinggal dan dalam 
hal tidur seranjang. Ia tidak boleh sewenang-wenang atau berbuat zhalim karena 
sesungguhnya Allah melarang yang demikian. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa 
sallam bersabda.

مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا جَاءَ يَوْمَ 
الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ.

Barangsiapa memiliki dua isteri, kemudian ia lebih condong kepada salah satu 
dari keduanya, maka ia akan datang pada hari Kiamat dalam keadaan pundaknya 
miring sebelah.” [1]

Pada dasarnya poligami (ta’addud) dibolehkan dalam Islam apabila seorang dapat 
berlaku adil. Di akhir buku ini, penulis bawakan pembahasan tentang hal ini 
dalam bab Kedudukan Wanita dalam Islam.
Selengkapnya baca di 

RE: [assunnah]Menyuruh anak untuk Sholat

2013-08-18 Terurut Topik Abu Harits
From: luluko...@yahoo.co.id
Date: Fri, 16 Aug 2013 06:13:05 + 





Assalammualaikum...
Boleh kah memukul anak sekiranya beliau tidak mau Sholat..?
Sukhron




Mengajari Mereka Shalat
Mengajarkan anak-anak shalat yaitu dalam hal-hal yang utamanya, wajib-wajibnya, 
waktunya, cara berwudhu dan dengan shalat dihadapan mereka. Demikian pula 
dengan pergi bersama mereka ke masjid, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 
'alaihi wa sallam dari hadits Sabroh Radhiyallahu 'anhu [4].

مُرُوا الصَّبِيَّ بِالصَلاَةِ إذَا بَلَغَ سَبْعَ سِنِيْنَ وَ إذا بَلَغَ عَشْرَ 
سِنِيْنَ فَاضْرِبُوْهُ عَلَيْهَا 

Perintahkanlah anakmu shalat, apabila mereka telah berumur tujuh tahun dan 
jika mereka telah berumur sepuluh tahun (tetapi tidak shalat) maka pukullah 
mereka [5]

Dan hendaknya para ibu mengajari mereka bahwa shalat bukanlah hanya sekedar 
gerakan atau rutinitas seorang hamba kepada Rabbnya Azza wa Jalla, akan tetapi 
ia merupakan hubungan yang dalam dan kuat antara seorang hamba dengan Rabbnya. 
Maka peringatkanlah mereka dengan sungguh-sungguh dari meninggalkan shalat dan 
berilah mereka ancaman dari perbuatan tersebut. Dan suruhlah mereka untuk 
senantiasa bersegera menunaikan shalat pada awal waktu. Allah Subhanahu wa 
Ta'ala berfirman, yang artinya: Maka datanglah sesudah mereka pengganti yang 
jelek yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka 
kelak akan menemui kesesatan kecuali orang yang bertaubat serta mengerjakan 
amal shalih...[Maryam 59-60]

Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/1763/slash/0/antara-hak-anak-dan-kewajiban-ibu/

 

HUKUMAN EDUKATIF YANG BERMANFAAT
Ada beberapa jenis hukuman yang bersifat mendidik, yang baik dilakukan oleh 
seorang pendidik terhadap murid yang melakukan pelanggaran dan penyimpangan. 
Kami tegaskan lagi, tujuan menghukum anak yang berbuat salah adalah agar ia 
menyadari kesalahannya serta tidak mengulangi kesalahan serupa. Penekanan 
hukuman adalah pada sisi edukatif guna membentuk pribadi anak yang selalu 
bertanggung jawab atas setiap perbuatannya
Jadi hukuman bukan semata ajang pelampiasan amarah guru untuk menyakiti si anak 
ataupun untuk menunujukkan kekuasaanya sebagai guru. 

Diantara hukuman yang bersifat mendidik adalah:
1. Memperlihatkan wajah masam untuk menunjukkan ketidak sukaan guru terhadap 
pelanggaran muridnya. Dengan demikian si murid menyadari perubahan raut wajah 
gurunya dan berusaha mengoreksi diri dari kesalahan yang tidak disukai gurunya.

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: حَشَوْتُ وِسَدَةً لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم 
فِيْهَا تَمَاثِيْلُ كَأَنَّهَا نُمْرُقَة فَقَامَ بَينَ البَابَيْنِ، وَ جَعَلَ 
يَتَغَيَّرَ وَجْهُهُ، فَقُلْتُ: ما لَنَا يَا رَسُولَ الله؟[أَتُوْبُ إلى الله 
مِمَّا أَذْنَبْتُ]، قَالَ: مَا بَالُ هذه الوِسَادَةِ؟ قَالَتْ: قُلْتُ: وِسِادَة 
جَعَلْتُهَا لَكَ لِتَضْجِعَ عَلَيْهَا، قَالَ: أَمَا عَلِمْتِ أَنَّ مَنْ صَنَعَ 
الصُوَرَ يُعَذَّبُ يَوْمَ القِيَامَةِ، فَيُقَالُ: أحْيُوا مَا خَلَقْتُمْ؟! 

Dari A’isyah ia berkata,” Aku membuat sebuah bantal untuk Nabi Shallallahu 
'alaihi wa sallam di dalamnya terdapat gambar, lalu Beliau berdiri diambang 
pintu dan raut wajah Beliau berubah, aku berkata,” Ada apa ya Rasulullah? (Aku 
bertaubat kepada Allah atas dosa yang kukerjakan)”. Beliau bertanya,” Ada 
dengan bantal ini?” Aku menjawab,” Itu adalah bantal yang kubuat untukmu agar 
engkau bisa bersandar padanya,” Beliau berkata,” Tidakkah engkau tahu bahwa 
orang yang membuat gambar (makhluk hidup) akan disiksa pad hari kiamat nanti 
seraya dikatakan kepada mereka,”hidupkanlah apa yang telah kalian ciptakan?! 
[11]

2. Menghajr yaitu mengisolir anak dengan tidak mengajaknya berbicara serta 
berpaling darinya selama beberapa waktu, dengan catatan tidak boleh dari tiga 
hari. Karena ada larangan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

عَنْ أبِي أَيُّوْب رضي الله عنه أنَّ رَسُوْلَ الله قَال لاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ 
أنْ يَهْجُرَ أخَاه فَوْقَ ثَلاَثِ لَيَالٍ، يَلْتَقِيَانِ فَيُعْرِضُ هذا و 
يُعْرِضُ هذا، وَخَيْرُهُمَا الذي يَبْدَأُ بِالسَلاَم

Dari Abu Ayyub bahwasanya Rasulullah bersabda,” Tidak halal bagi seorang 
muslim menghajr saudaranya lebih dai tiga hari, keduanya saling berpaling 
ketika bertemu, dan yang terbaik dari keduanya adalah yang memulai mengucapkan 
salam [12]

3. Perkataan Pedas.
Seorang pendidik perlu mengeluarkan kata-kata pedas kepada anak yang melakukan 
dosa besar, apabila nasehat serta bimbingan sudah tidak berpengaruh lagi.

4. Menggantungkan Cambuk Di Dinding Rumah.
Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

عَلِّقُوا السَوْطَ حَيْثُ يَرَاهُ أَهْلُ البَيْتِ، فَإِنَّهُ أدَبٌ لَهُمْ

Gantungkanlah cambuk di tempat yang bisa dilihat oleh anggota keluarga. 
Sesungguhnya itu akan menjadi pengajaran bagi mereka [13]

Berkenaan dengan hadis di atas, Ibnu Al Anbari berkata, cambuk tersebut tidak 
dimaksudkan untuk memukul atau mecambuk mereka (penghuni rumah), sebab Nabi 
tidak pernah memerintah siapapun untuk memukul dengan cambuk tersebut. Yang 
Beliau maksudkan adalah 

RE: [assunnah]Tanya Qunut Subuh

2013-08-18 Terurut Topik Abu Harits
From: like_her...@yahoo.com
Date: Fri, 16 Aug 2013 11:59:04 + 
Mohon bantuan menjawab pertanyaan :
Apakah hukum Qunut dlm Shalat Shubuh dan apakah Qunut Shubuh termasuk bid'ah?
Herisa Padianto
Powered by Telkomsel BlackBerry®



 

QUNUT SHUBUH TERUS MENERUS ADALAH BID'AH!!!

Qunut Shubuh yang dilakukan oleh ummat Islam di Indonesia dan di tempat lain 
secara terus-menerus adalah ibadah yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah 
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, para Shahabatnya dan tidak juga dilakukan oleh 
para tabi’in. Para Shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam -mudah-mudahan 
Allah meridhai mereka-, mereka adalah orang-orang yang selalu shalat berjama’ah 
bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mereka menceritakan apa yang 
mereka lihat dari tata cara shalat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam 
yang lima waktu dan lainnya. Mereka jelas-jelas mengatakan bahwa qunut Shubuh 
terus-menerus tidak ada Sunnahnya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. 
Bahkan di antara mereka ada yang berkata : Qunut Shubuh adalah bid’ah, 
sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat-riwayat yang akan saya paparkan di 
bawah ini: 

HADITS KETUJUH

عَنْ أَبِيْ مَالِكٍ سَعِيْدٍ بْنِ طَارِقٍ اْلاَشْجَعِيِّ قَالَ قُلْتُ ِلأَبِيْ: 
يَا أَبَتِ إِنَّكَ قَدْ صَلَّيْتَ خَلْفَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ 
وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيٍّ هاَهُنَا بِالْكُوْفَةِ 
نَحْوًا مِنْ خَمْسِ سِنِيْنَ فَكَانُوْا يَقْنُتُوْنَ فِي الْفَجْرِ؟ فَقَالَ: 
أَيْ بُنَيَّ مُحْدَثٌ. 
رواه الترمدى رقم: (402) وأحمد (3/472، 6/394) وابن ماجه رقم: (1241) والنسائي 
(2/204) والطحاوي (1/146) والطياليسي رقم: (1328) والبيهقي (2/213) والسياق لابن 
ماجه وقال الترميذي: حديث حسن صحيح وانظر صحيح سنن النسائي رقم: (1035).

Dari Abi Malik al-Asyja’i, ia berkata kepada ayahnya: “Wahai ayahku, 
sesungguhnya engkau pernah shalat di belakang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa 
sallam, di bela-kang Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan di belakang ‘Ali di daerah 
Qufah sini kira-kira selama lima tahun, apakah qunut Shubuh terus-menerus?” Ia 
jawab: “Wahai anakku qunut Shubuh itu bid’ah!!

Hadits shahih riwayat at-Tirmidzi (no. 402), Ahmad (III/472, VI/394), Ibnu 
Majah (no. 1241), an-Nasa-i (II/204), ath-Thahawi (I/146), ath-Thayalisi (no. 
1328) dan Baihaqi (II/213), dan ini adalah lafazh hadits Imam Ibnu Majah, dan 
Imam at-Tirmidzi berkata: “Hadits hasan shahih.” Lihat pula kitab Shahih Sunan 
an-Nasa-i (I/233 no. 1035) dan Irwaa-ul Ghalil (II/182) keduanya karya Imam 
al-Albany. [4]

Bid’ah yang dimaksud oleh Thariq bin Asyyam al-Asyja’i ini adalah bid’ah 
menurut syari’at, yaitu: Mengadakan suatu ibadah yang tidak dicontohkan oleh 
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan maksud bertaqarrub kepada 
Allah. Dan semua bid’ah adalah sesat, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 
‘alaihi wa sallam:

كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلةٌ وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ.
أخرجه النسائي (3/188189) أنظر صحيح سنن النسائي (1/346) رقم (1487) والبيهقي في 
الأسماء والصفات عن جابر .

“Artinya : Tiap-tiap bid’ah adalah sesat dan tiap-tiap kesesatan tempatnya di 
Neraka.”

Hadits ini telah diriwayatkan oleh Imam an-Nasa-i dalam kitab Sunannya 
(III/188-189) dan al-Baihaqi dalam kitab al-Asma’ wash Shifat, lihat juga kitab 
Shahih Sunan an-Nasa-i (I/346), karya Imam al-Albany.

Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/1406/slash/0/qunut-shubuh-terus-menerus-adalah-bidah/

 

Wallahu Ta'ala A'lam 

 






  

RE: [assunnah]Sunat Untuk Wanita

2013-08-15 Terurut Topik Abu Harits
From: septi.widiaw...@ovi.com
Date: Tue, 13 Aug 2013 02:52:23 +
Assalamu'alaykum warahmatullaah wabarakatuh..
Afwan tolong dijelaskan perihal sunat untuk wanita dan kapan pelaksanaannya? 
apakah sama dengan sunat untuk laki-laki?
Jazakumullaahu khayran katsiraa atas penjelasannya.


 

Kewajiban khitan bersifat umum untuk laki-laki dan perempuan berdasarkan 
banyaknya riwayat tentang dikhitannya perempuan pada zaman Nabi dan selanjutnya 
hingga hari ini.

Di antara riwayat yang menyebutkan khitan bagi perempuan adalah sabda Nabi 
shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada Ummu ‘Atiyah, “Apabila engkau mengkhitan 
(perempuan), maka potonglah sebagian kelentitnya, janganlah engkau memotong 
semuanya. Karena yang demikian itu dapat membaguskan wajah dan lebih baik bagi 
suami.” [20]

Faedah hadits:
1. Adanya tukang khitan bagi perempuan di zaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wa 
sallam. Hal ini menunjukkan bahwa khitan bagi perempuan pada zaman Nabi 
shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah suatu kelaziman dan keharusan.

2. Hadits di atas menunjukkan bahwa khitan bagi perempuan telah dikenal di 
kalangan Salaf sebagai-mana diterangkan Syaikh al-Albani dalam Silsilah 
ash-Shahiihah (II/344-349, hadits no. 722).

Mengenai waktu mengkhitan bayi tidak ada satu dalil pun yang shalih dan sharih 
(jelas) yang menentukan waktunya dengan pasti. Sebagian ulama berpendapat 
tentang disukainya mengkhitan anak laki-laki sebelum berusia tujuh tahun. Hal 
ini berdasarkan pada perintah syari’at agar menyuruh anak kecil untuk shalat 
ketika umur mereka tujuh tahun.Imam al-Mawardi rahimahullaah berkata, “Khitan 
memiliki dua waktu; waktu yang wajib dan waktu yang mustahab (dianjurkan). 

 

Adapun waktu yang wajib adalah ketika sudah baligh dan waktu yang mustahab 
adalah sebelum baligh, dan boleh memilih pada hari ketujuh dari kelahirannya. 
Dan dianjurkan agar tidak mengakhirkan dari waktu yang mustahab, kecuali karena 
ada udzur.”[21]

Ini untuk waktu khitan bagi anak laki-laki, sedang-kan bagi anak perempuan 
biasanya dilakukan beberapa setelah kelahirannya.[22]

Selengkapnya baca di :

 http://almanhaj.or.id/content/1191/slash/0/ketika-si-buah-hati-hadir/

http://almanhaj.or.id/content/2735/slash/0/hukum-khitan/

 

Wallahu Ta'ala A'lam

 






  

RE: [assunnah]Sholat Tasbih dan Puasa Daud

2013-08-15 Terurut Topik Abu Harits
From: arief_rahmans...@ymail.com
Date: Tue, 13 Aug 2013 07:21:29 +
Ana mau tanya hukum sholat tasbih dan puasa daud, soalnya ada yg bilang kalau 
hadits sholat tasbih itu lemah.





Dan dalil puasa daud, kalau puasa hari jumat sja kan tdk boleh, bagaimana kalau 
puasa daud pas pada hari jumat, krn hr sebelum dan sesudah hari jumat tdk 
berpuasa, krn selang seling
Powered by Telkomsel BlackBerry®

 
1. SHALAT TASBIH
Oleh
Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul
http://almanhaj.or.id/content/2354/slash/0/shalat-tasbih/
 
Diantara shalat yang disyariatkan adalah shalat tasbih, yaitu seperti yang 
disebutkan di dalam hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu berikut ini.

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ 
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِلْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ يَا عَبَّاسُ يَا 
عَمَّاهْ أَلاَ أُعْطِيْكَ أَلاَ أُمْنِحُكَ أَلاَ أُحِبُّوْكَ أَلاَ أَفْعَلُ 
بِكَ عَشْرَ خِصَالٍ إِذَا أَنْتَ فَعَلْتَ ذَلِكَ غَفَرَ اللهُ لَكَ ذَنْبَكَ 
أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ قَدِيْمَهُ وَحَدِيْثَهُ خَطْأَهُ وَعَمْدَهُ صَغِيْرَهُ 
وَكَبِيْرَهُ سِرَّهُ وَعَلاَنِيَّتَهُ عَشَرَ خِصَالٍ أَنْ تُصَلِّيَ أَرْبَعَ 
رَكْعَاتٍ تَقْرَأُ فِيْ كُلِّ رَكْعَةٍ فَاتِحَةَ الْكِتَابِ وِسُوْرَةً فَإِذَا 
فَرَغْتَ مِنْ الْقُرْاءَةِ فِيْ أَوَّلِ رَكْعَةٍ وَأَنْتَ قَائِمٌ قُلْتَ 
سُبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ 
خَمْسَ عَشَرَةَ مَرَّةً ثُمَّ تَرْكَعُ فَتَقُوْلُهَا وَأَنْتَ رَاكِعٌ عَشَرًا 
ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنَ الرُّكُوْعِ فَتَقُوْلُهَا عَشْرًا ثُمَّ تّهْوِيْ 
سَاجِدًا فَتَقُوْلُهَا وَأَنْتَ سَاجِدٌ عَشْرًا ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنَ 
السُّجُوْدِ فَتَقُوْلُهَا عَشْرًا ثُمَّ تَسْجُدُ فَتَقُوْلُهَا عَشْرًا ثُمَّ 
تَرْفَعُ رَأْسَكَ فَتَقُوْلُهَا عَشْرًا فَذَلِكَ خَمْسٌ وَسَبْعُوْنَ فِيْ كُلِّ 
رَكْعَةٍ تَفْعَلُ ذَلِكَ فِيْ أَرْبَعِ رَكْعَاتٍ إِنْ اسْتَطَعْتَ أَنْ 
تُصَلِّيَهَا فِيْ كُلِّ يَوْمٍ مَرَّةً فَافْعَلْ فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِيْ 
كُلِّ جُمْعَةٍ مَرَّةً فَإِنْ لََمْ تَفْعَلْ فَفِيْ كُلِّ شَهْرٍ مَرَّةً فَإِنْ 
لَمْ تَفْعَلُ فَفِيْ كُلِّ سَنَةِ مَرَّةً فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِيْ عُمْرِكَ 
مَرَّةً

Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa 
sallam pernah bersabda kepada Abbas bin Abdil Muththalib :”Wahai Abbas, wahai 
pamanku, maukah engkau jika aku memberimu ? Maukah engkau jika aku 
menyantunimu? Maukah engkau jika aku menghadiahkanmu? Maukah engkau jika aku 
berbuat sesuatu terhadapmu? Ada sepuluh kriteria, yang jika engkau mengerjakan 
hal tersebut, maka Allah akan memberikan ampunan kepadamu atas dosa-dosamu, 
yang pertama dan yang paling terakhir, yang sudah lama maupun yang baru, tidak 
sengaja maupun yang disengaja, kecil maupun besar, sembunyi-sembunyi maupun 
terang-terangan. Sepuluh kriteria itu adalah : Hendaklah engkau mengerjakan 
shalat empat rakaat ; yang pada setiap rakaat engkau membaca surat al-Fatihah 
dan satu surat lainnya. Dan jika engkau sudah selesai membaca di rakaat pertama 
sedang engkau masih dalam keadaan berdiri, hendaklah engkau mengucapkan : 
(سُبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ 
) subhanallah, walhamdulillah, walailaha illallah, wallahu akbar (Mahasuci 
Allah, segala puji bagi Allah, tidak ada Ilah (yang haq) selain Allah, dan 
Allah Maha Besar) sebanyak lima belas kali. Kemudian ruku, lalu egkau 
membacanya sepuluh kali sedang engkau dalam keadaan ruku. Lalu mengangkat 
kepalamu dari ruku seraya mengucapkannya sepuluh kali. Selanjutnya, turun 
bersujud, lalu membacanya sepuluh kali ketika dalam keadaan sujud. Setelah itu, 
mengangkat kepalamu dari sujud seraya mengucapkannya sepuluh kali. Kemudian 
bersujud lagi dan mengucapkannnya sepuluh kali. Selanjutnya, mengangkat 
kepalamu seraya mengucapkannya sepuluh kali. Demikian itulah tujuh puluh lima 
kali setiap rakaat. Dan engkau melakukan hal tersebut pada empat raka’at, jika 
engkau mampu mengerjakannya setiap hari satu kali, maka kerjakanlah. Dan jika 
engkau tidak bisa mengerjakannya setiap hari maka kerjakanlah setiap jum’at 
satu kali. Dan jika tidak bisa, maka kerjakanlah sekali setiap bulan. Dan jika 
tidak bisa, maka kerjakanlah satu kali setiap tahun. Dan jika tidak bisa juga, 
maka kerjakanlah satu kali selama hidupmu” Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu 
Majah. [1]

Dapat saya katakan, berikut ini beberapa manfaat yang berkaitan dengan hadits 
shalat tasbih.

Pertama : Khithab di dalam hadits ini ditujukan kepada Al-Abbas, tetapi 
hukumnya berlaku umum, bagi setiap orang muslim. Sebab, landasan dasar dalam 
khithab Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah umum dan tidak khusus.

Kedua ; Sabda beliau di dalam hadits di atas : “Niscaya Allah akan memberikan 
ampunan kepadamu atas dosa-dosamu, yang pertama dan yang terakhir, lama dan 
baru, sengaja dan tidak disengaja, kecil maupun besar, sembunyi-sembunyi maupun 
terang-terangan”, adalah sepuluh kriteria.

Jika ada yang mengatakan : “Sabda beliau ; Sengaja maupun tidak sengaja, kata 
al-khatha’ di sini berarti yang tidak berdosa.


RE: [assunnah]Solusi Wanita Yang Tertindas Suami?

2013-08-15 Terurut Topik Abu Harits
 From: nea_...@yahoo.com
 Date: Tue, 13 Aug 2013 00:26:17 +
 Assalamu'alaikum warahmatullohi wabarakatuh..
 Izinkan saya bertanya kepada anggota disini yg lebih memahami perihal di 
 atas. Adapun pertanyaannya sbg berikut:
 3. Apakah diperkenankan seorang suami menggampar, mendorong hingga terjatuh 
 lalu mendudukinya dan menggamparnya kembali berulang2, memukul hingga lebam 
 dengan alasan agar si istri menurut terhadap suaminya?
 Sebelum dan sesudahnya saya ucapkan banyak terima kasih. 


 

SOLUSI BAGI WANITA YANG TERTINDAS SUAMI
http://almanhaj.or.id/content/2620/slash/0/solusi-bagi-wanita-yang-tertindas-suami/


Pada hakikatnya, Islam tidak melepaskan kehidupan rumah tangga berjalan begitu 
saja tanpa arah petunjuk. Sehingga hawa nafsu menjadi penentu yang berkuasa. 
Tidak demikian adanya. Islam telah menggariskan hak, kewajiban, tugas dan 
tanggung-jawab antara suami dan istri sesuai dengan kodrat, kemampuan, 
mempertimbangkan tabiat dan aspek psikis. Hal tersebut ditetapkan di atas 
landasan yang adil lagi bijaksana. Allah Ta'ala berfirman: 

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ 
دَرَجَةٌ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara 
yang ma'ruf. Akan tetapi, para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan 
daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. 
[al-Baqarah/2:228]. 

Jika pasangan suami istri mengerti dan memahami kewajiban masing-masing, 
niscaya biduk suatu rumah tangga kaum muslimin akan berjalan normal, semarak 
oleh suasana mawaddah dan rahmat. Suami memenuhi kewajiban-kewajibannya. Begitu 
pula, istri juga menjalankan kewajiban-kewajibannya. Dengan ini, rumah tangga 
akan menuai kebahagiaan dan ketentraman. Rumah tangga benar-benar berfungsi 
sebagaimana mestinya. 

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman : 

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا 
إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ 
لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ 

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu 
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram 
kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya 
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang 
berpikir. [ar-Rûm/30:21]. 

Akan tetapi, kondisi ideal ini, terkadang terganggu oleh riak-riak yang pada 
akhirnya mempengaruhi tingkat mawaddah dan rahmat antara suami-istri. Suami 
berbalik membenci istrinya. Pada sebagian suami, tidak mampu bersabar sehingga 
tangan kuatnya diayunkan ke tubuh istri, dan menyebabkan istri mengerang 
kesakitan. Bekas-bekas penganiayaan pun terlihat jelas. Istrinya merasa tidak 
aman dan nyaman hidup dengan lelaki itu. Situasi kian memanas. Akibat emosi tak 
terkendali, kadang timbul aksi yang tidak diharapkan, semisal penganiayaan 
hingga pembunuhan, baik dari suami maupun istri. Nas`alullah as-salaamah. 

Syaikh 'Abdur-Rahmaan as-Sudais menyampaikan fakta: Ada sejumlah lelaki 
(suami) yang tidak dikenal kecuali hanya dengan bahasa perintah dan larangan, 
hardikan, sifat arogan, buruk pergaulan, tidak ringan tangan, susah 
bertoleransi, emosional dan sangat reaktif. Jika berbicara, perkataannya 
menunjukkan dirinya bukan orang yang beradab. Dan bila berbuat, perilakunya 
mencerminkan kecerobohan. Di dalam rumah, suka menghitung-hitung kebaikannya di 
hadapan istri. Bila keluar rumah, prasangka buruk kepada istri menggelayuti 
pikirannya. Bukan pribadi yang lembut dan tidak sayang. Istrinya hidup dalam 
kesulitan, bergulat dengan kesengsaraan dan terpaksa mengalami prahara[1] 

MENDATANGKAN DUA PENENGAH DARI MASING-MASING PIHAK
Dalam konteks ini, bila persoalan semakin meruncing, maka Allah Subhanahu wa 
Ta'ala mengarahkan untuk menghadirkan dua penengah dari keluarga suami dan 
istri. 

خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ 
أَهْلِهَا إِنْ يُرِيدَا إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا ۗ إِنَّ 
اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا 

Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah 
seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga 
perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya 
Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha 
Mengetahui lagi Maha Mengenal [an-Nisaa`/4:35][2]. 

Tugas mereka berdua, mengerahkan segala upaya untuk mengetahui akar 
permasalahan yang menjadi sebba perseteruan antara suami istri dan 
menyingkirkannya, serta memperbaiki hubungan suami-istri yang sedang dilanda 
masalah. Dua penengah ini (hakamain) disyaratkan orang muslim, adil, dikenal 
istiqamah, keshalihan pribadi dan kematangan berpikir, dan bersepakat atas satu 
keputusan. Keputusan mereka berkisar pada perbaikan hubungan dan pemisahan 
antara mereka berdua. Berdasarkan pendapat jumhur ulama, keputusan dua penengah 
ini mempunyai 

RE: [assunnah]Taubat Zina Status Nikah Wanita Yg Berzina

2013-08-13 Terurut Topik Abu Harits
From: fadjar.anor...@yahoo.com
Date: Sun, 4 Aug 2013 19:28:46 -0700









Bismillah
Assalamualaykum
Pada kajian subuh, ada pertanyaan dr jamaah tentang bagaimana cara bertobat utk 
istri yg selingkuh dan melakukan zina

Jawaban sang ustad
Cara bertobat wanita adl harus bercerita pd suami bhw dia berzina dan kmd harus 
bercerai dg suaminya
Dalil yg digunakan ustad adl bahwa tidak dikumpulkan wanita pezina dan laki2 
non pezina
Dg dmk status hukum perkawinannya dinyatakan batal dan cerai oleh Alloh
Mohon penjelasan bagaimana kebenaran penjelasan sang ustadz mengingat bahwa 
sejauh sepengetahuan ana, hukum menceritakan aib sendiri adl haram
Jazakalloh khair atas bantuannya

 
1. KEWAJIBAN PELAKU PERZINAAN
Oleh karena itu, orang yang terlanjur terjerumus ke dalam perbuatan nista ini, 
hendaklah segera kembali kepada jalan yang benar. Hendaklah disadari, bahwa 
perbuatan zina telah meruntuhkan kehormatan dan jati dirinya. Begitu pula 
hendaklah ia senantiasa waspada dengan balasan Allah Ta'ala yang mungkin akan 
menimpa keluarganya. 

Bila penyesalan telah menyelimuti sanubari, dan tekad tidak mengulangi 
perbuatan nista ini telah bulat, istighfar kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala 
senantiasa dipanjatkan; bila jalan-jalan yang akan menjerumuskan kembali ke 
dalam kenistaan ini telah ditinggalkan, maka semoga berbagai dosa dan hukuman 
Allah Subhanahu wa Ta'ala atas perbuatan ini dapat terhapuskan. Lantas, 
bagaimana halnya dengan hukuman dera atau cambuk yang belum ditegakkan atas 
pezina tersebut, apakah taubatnya dapat diterima? 

Ada satu kisah menarik pada zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam . Adalah 
Sahabat Mâ'iz bin Mâlik Radhiyallahu 'anhu mengaku kepada Rasulullah 
Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa ia telah berzina. Berdasarkan pengakuan 
ini, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan agar ia dirajam. 
Tatkala rajam telah dimulai, dan Sahabat Maa'iz merasakan pedihnya dirajam, ia 
pun berusaha melarikan diri. Akan tetapi, para sahabat yang merajamnya berusaha 
untuk mengejarnya dan merajamnya hingga meninggal. Ketika Rasulullah 
Shallallahu 'alaihi wa sallam diberitahu bahwa Maa'iz Radhiyallahu 'anhu 
berusaha melarikan diri, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

(هَلاَّ تَرَكْتُمُوْهُ لَعَلَّهُ أَنْ يَتُوْبَ فَيَتُوْبَ اللهُ عَلَيْهِ ) . 
أخرجه أحمد وأبو داود وابن أ بي شيبة 

Tidahkah kalian tinggalkan dia, mungkin saja ia benar-benar bertaubat, 
sehingga Allah Subhanahu wa Ta'ala akan mengampuninya? [HR Ahmad, Abu Dawud, 
dan Ibnu Abi Syaibah]

Berdasarkan hadits ini dan hadits lainnya, para ulama menyatakan bahwa orang 
yang berzina, taubatnya dapat diterima Allah Subhanahu wa Ta'ala, walaupun 
tidak ditegakkan hukum dera atau rajam baginya. Di antara yang menguatkan 
pendapat ini ialah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَٰهًا آخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ 
النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ ۚ وَمَنْ 
يَفْعَلْ ذَٰلِكَ يَلْقَ أَثَامًا﴿٦٨﴾يُضَاعَفْ لَهُ الْعَذَابُ يَوْمَ 
الْقِيَامَةِ وَيَخْلُدْ فِيهِ مُهَانًا﴿٦٩﴾إِلَّا مَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ 
عَمَلًا صَالِحًا فَأُولَٰئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ ۗ 
وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

Dan orang-orang yang tidak menyembah sesembahan lain beserta Allah dan tidak 
membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan alasan yang 
benar, dan tidak berzina; barang siapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia 
mendapat pembalasan atas dosanya. Yakni akan dilipatgandakan adzab untuknya 
pada hari Kiamat, dan ia akan kekal dalam adzab itu dalam keadaan terhina. 
Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal shalih, maka 
kejahatannya diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun 
lagi Maha Penyayang.[Al-Furqân/25 : 68-70]

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: Kejelekan yang telah lalu melalui 
taubatnya yang sebenar-benarnya akan berubah menjadi kebaikan. Yang demikian 
itu, karena setiap kali pelaku dosa teringat lembaran kelamnya, ia menyesali, 
hatinya pilu, dan bertaubat (memperbaharui penyesalannya). Dengan penafsiran 
ini, dosa-dosa itu berubah menjadi ketaatan kelak pada hari Kiamat. Walaupun 
dosa-dosa itu tetap saja tertulis atasnya. Akan tetapi, semua itu tidak 
membahayakannya. Bahkan akan berubah menjadi kebaikan pada lembaran catatan 
amalnya, sebagaimana dinyatakan dalam hadits-hadits shahîh, dan keterangan 
ulama Salaf. [4]
Selengkapnya baca di http://almanhaj.or.id/content/2555/slash/0/zina-merajalela/
 
2. Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Sering kita mendengar 
banyak diantara pemuda yang telah menikah pergi ke luar negeri dan melakukan 
perbuatan zina di sana. Apakah istri-istri mereka tereceraikan ?

Jawaban
Istri-istri tidak terceraikan akibat suami mereka berbuat zina, tetapi para 
suami harus berhati-hati dalam bepergian dan hendaknya menghindar dari segala 
macam perbuatan yang mengarah kepada perzinaan serta selalu bertakwa kepada 
Allah dalam 

RE: [assunnah]Sholat sambil membaca mushaf

2013-08-13 Terurut Topik Abu Harits
 From: zalnas1...@yahoo.com
 Date: Fri, 9 Aug 2013 10:46:21 +
 Assalamu'alaikum
 Apakah boleh kita sholat sambil membaca mushaf(diletakkan ataupun dipegang 
 dalam keadaan Imam ataupun ma'mum)?
 Syukron 


Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Saya melihat ketika bulan 
ramadhan di Mansharim –ini adalah untuk pertama kalinya saya shalat tarawih di 
Manthiqah Ha’il- ketika itu imam memegang mushaf dan membacanya, kemudian dia 
meletakkan di sampingnya dan mengulang-ngulang hal itu hingga selesai shalat 
tarawih, sebagaimana yang dia lakukan pula ketika shalat malam di sepuluh 
terakhir ramadhan. Pemandangan ini mengherankan saya karena kebiasaan itu 
tersebar di hampir seluruh masjid-masjid di Ha’il, padahal aku tidak pernah 
mendapatkannya di Madinah Al-Munawarah misalnya ketika saya shalat tahun yang 
lalu sebelum ini. 

Yang menjadi ganjalan saya, apakah amal tersebut pernah dikerjakan pada zaman 
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ? Jika tidak berarti termasuk bid’ah yang 
diada-adakan yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun di antara sahabat 
maupun tabi’in. Lagi pula bukankah lebih utama membaca surat pendek yang 
dihafal imam daripada membaca dengan melihar mushaf dengan target supaya dapat 
menghatamkan bersamaan dengan habisnya bulan, karena imam membaca setia harinya 
satu juz? Jika perbuatan tersebut diperbolehkan manakah dalil dari Kitabullah 
dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam?

Jawaban
Tidak mengapa seorang imam membaca dengan melihat mushaf pada saat tarawih, 
agar para makmum kedapatan pernah mendengar seluruh (ayat) Al-Qur’an. 
Dalil-dalil syar’i dari Al-Kitab dan As-Sunnah telah menunjukkan 
disyariatkannya membaca Al-Qur’an ketika shalat, hal ini berlaku umum baik 
membaca dengan melihat mushaf ataupun dengan hafalan. Telah disebutkan pula 
dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha bahwa beliau memerintahkan budaknya Dzakwan 
untuk mengimaminya ketika shalat tarawih, ketika itu Dzakwan membaca dengan 
melihar mushaf. Riwayat ini disebutkan oleh Al-Bukhari rahimahullah di dalam 
shahihnya secara mu’allaq dan beliau memastikan.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa hukum membawa Al-Qur’an 
bagi makmum dalam shalat tarawih di bulan Ramadhan dengan dalil untuk mengikuti 
bacaan imam?

Jawaban
Membawa mushaf dengan tujuan ini, menyelisihi sunnah berdasar beberapa hal 
yaitu :

Pertama : Hal ini menjadikan seseorang tidak meletakkan tangan kanannya di atas 
tangan kirinya.
Kedua : Menjadikan seseorang harus banyak bergerak seperti membuka mushaf, 
menutupnya, meletakannya di ketiak atau di saku dan sebagainya.
Ketiga : Menyibukkan orang tadi dengan gerakan-gerakan tersebut dalam shalat.
Keempat : Menghilangkan kesempatan untuk melihat ke arah tempat sujud, padahal 
sebagian besar ulama memandang bahwa melihat ke tempat sujud termasuk sunnah 
dan keutamaan.
Kelima : Orang ini mungkin tidak merasakan bahwa ia sedang shalat bila hatinya 
sedang tidak konsentrasi. Berbeda jika ia shalat dengan khudhu' dan tawadhu' 
dengan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri, dengan kepala menunduk 
melihat tempat sujud. Hal ini lebih dekat kepada hadirnya perasaan bahwa ia 
sedang shalat di belakang imam.

Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/1961/slash/0/hukum-membawa-al-quran-bagi-makmum-dalam-shalat-tarawih/

 

Wallahu Ta'ala A'lam

 
  

RE: [assunnah]Bolehkah suami menggampar, memukul istrinya?

2013-08-13 Terurut Topik Abu Harits
 From: nea_...@yahoo.com
 Date: Tue, 13 Aug 2013 00:26:17 + 
 Assalamu'alaikum warahmatullohi wabarakatuh..
 Izinkan saya bertanya kepada anggota disini yg lebih memahami perihal di 
 atas. Adapun pertanyaannya sbg berikut:
 3. Apakah diperkenankan seorang suami menggampar, mendorong hingga terjatuh 
 lalu mendudukinya dan menggamparnya kembali berulang2, memukul hingga lebam 
 dengan alasan agar si istri menurut terhadap suaminya?
 Sebelum dan sesudahnya saya ucapkan banyak terima kasih. 


 

Tindakan menggampar, mendorong hingga terjatuh lalu mendudukinya dan 
menggamparnya kembali berulang-ulang dan memukul hingga lebam, merupakan salah 
satu bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).

 

Hendaklah kita mencontoh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang oleh 
isteri beliau, 'Aisyah Radhiyallahu 'anha disifati sebagai berikut: 

مَا ضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ شَيْئًا قَطُّ بِيَدِهِ وَلَا امْرَأَةً وَلَا 
خَادِمًا إِلَّا أَنْ يُجَاهِدَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَمَا نِيلَ مِنْهُ شَيْءٌ 
قَطُّ فَيَنْتَقِمَ مِنْ صَاحِبِهِ إِلَّا أَنْ يُنْتَهَكَ شَيْءٌ مِنْ مَحَارِمِ 
اللَّهِ فَيَنْتَقِمَ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ 

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam , sama sekali tidak pernah memukul 
sesuatu dengan tangan beliau, tidak juga pernah memukul wanita atau pembantu, 
kecuali dalam jihad fi sabilillah. Dan tidaklah beliau pernah disakiti kemudian 
membalas dendam; tetapi jika salah satu larangan Allah dilanggar, beliau 
membalas karena Allah [HR Muslim, 2328]

 

Beberapa contoh yang bisa dikategorikan sebagai KDRT, antara lain: 
1. Menjadikan pukulan atau hajr sebagai jalan pertama dalam menyelesaikan 
masalah rumah tangga. 
2. Mengeluarkan kata-kata yang tidak baik, seperti qabbahakillah (semoga Allah 
menjadikanmu jelek). 
3. Mendiamkan isteri di luar rumah tanpa keperluan. 
4. Memukul wajah. 
5. Memukul di luar batas kewajaran.

Ingatlah syari'at islam tidak membolehkan dan tidak mensyariatkan kecuali untuk 
kebaikan manusia seluruhnya, dan tidak melarang kecuali perkara yang merusak 
dan mengganggu manusia. Karena itu, marilah kembali merujuk kepada Islam dalam 
melihat dan mengamalkan semua amalan keseharian kita. Sebagai penutup kita 
perlu memperhatikan dua hal dibawah ini.

Pertama, Sabar Menghadapi Isteri.
Bahtera rumah tangga tidak dapat berjalan dengan baik jika pasangan suami 
isteri tidak memiliki kesabaran di antara mereka. Hal ini juga diperintahkan 
Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam firmanNya:

وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰ أَنْ 
تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا 

Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian jika kamu tidak menyukai 
mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal 
Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak [an-Nisâ`/4:19]. 

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: 

لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِىَ مِنْهَا 
آخَرَ

Janganlah seorang mukmin membenci mukminah. Jika ia tidak suka dengan salah 
satu perangainya, tentu ia suka perangai yang lainnya [Muslim, 2672]

Tidak semestinya suami menjadikan setiap kesalahan istri sebagai sebab untuk 
melampiaskan amarah. Hendaklah kita mencontoh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa 
sallam yang oleh isteri beliau, 'Aisyah Radhiyallahu 'anha disifati sebagai 
berikut: 

مَا ضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ شَيْئًا قَطُّ بِيَدِهِ وَلَا امْرَأَةً وَلَا 
خَادِمًا إِلَّا أَنْ يُجَاهِدَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَمَا نِيلَ مِنْهُ شَيْءٌ 
قَطُّ فَيَنْتَقِمَ مِنْ صَاحِبِهِ إِلَّا أَنْ يُنْتَهَكَ شَيْءٌ مِنْ مَحَارِمِ 
اللَّهِ فَيَنْتَقِمَ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ 

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam , sama sekali tidak pernah memukul 
sesuatu dengan tangan beliau, tidak juga pernah memukul wanita atau pembantu, 
kecuali dalam jihad fi sabilillah. Dan tidaklah beliau pernah disakiti kemudian 
membalas dendam; tetapi jika salah satu larangan Allah dilanggar, beliau 
membalas karena Allah [HR Muslim, 2328]

Al-Alusi rahimahullah berkata: Dan jelas, bahwasanya menahan diri dan sabar 
terhadap isteri lebih baik daripada memukul mereka, kecuali jika ada alasan 
yang kuat.[9]

Kedua, Islam Menghormati dan Memuliakan Wanita.
Keterangan di atas menunjukkan bahwa Islam melarang KDRT, kecuali jika 
diperlukan untuk mewujudkan maslahat yang lebih besar, dan dengan 
batasan-batasan yang ketat. Hal seperti ini, kita istilahkan dengan ketegasan. 
Islam memberikan kedudukan sangat mulia kepada wanita. Banyak hal yang 
menunjukkan penghormatan tersebut. 

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjadikan orang yang paling baik dalam umat 
ini ialah yang paling baik memperlakukan isterinya. Beliau Shallallahu 'alaihi 
wa sallam bersabda:

أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ 
خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ خُلُقًا

Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah yang terbaik akhlaknya; dan 
orang-orang terbaik di antara kalian ialah yang paling baik akhlaknya terhadap 
isteri mereka [HR at-Tirmidzi, 1195. 

RE: [assunnah]Tanya: Tujuan wisata seperti Candi

2013-08-08 Terurut Topik Abu Harits
From: pungk...@yahoo.com
Date: Thu, 8 Aug 2013 13:31:13 + 





​السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ 
Ikhwan fillah, melihat maraknya saudara2 kita yg berlibur, mohon penjelasan 
apabila kita mengunjungi tempat2 wisata spt tempat ibadah agama lain, spt 
candi2, dll.
Mohon penjelasannya, krn ustadz ana melarangnya, dikhawatirkan kita meninggal 
di tempat itu.
Pungky Heru Prabowo
Powered by Telkomsel BlackBerry®



 

Pada asalnya, hukum rekreasi adalah mubah (boleh dilakukan). Akan tetapi, 
rekreasi tidak boleh menuju tempat-tempat maksiat. Karena umat Islam 
berkewajiban merubah kemungkaran jika melihatnya, dan menjauhi para pelaku 
maksiat. Jika umat Islam justru bergabung dengan para pelaku kemungkaran, 
dikhawatirkan tertimpa adzab yang Allah Azza wa Jalla turunkan kepada mereka. 

Rekreasi ke candi termasuk mendatangi kemungkaran. Karena di sana ada 
patung-patung yang disembah dan gambar-gambar makhluk bernyawa, pengunjung pun 
dibuat terkagum-kagum dengan tempat-tempat peribadahan orang-orang musyrik. 
Tempat semacam ini tidak pantas untuk didatangi dan dilestarikan. Sebab, 
Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu mengusahakan supaya 
sarana-sarana (simbol-simbol) kemungkaran, terutama syirik lenyap. Pernah, 
beliau enggan memasuki rumah yang di dalamnya terdapat gambar atau patung 
makhluk bernyawa, sebagaimana para malaikat juga tidak mau memasukinya.

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ 
وَسَلَّمَ أَنَّهَا أَخْبَرَتْهُ أَنَّهَا اشْتَرَتْ نُمْرُقَةً فِيهَا تَصَاوِيرُ 
فَلَمَّا رَآهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَامَ عَلَى 
الْبَابِ فَلَمْ يَدْخُلْ فَعَرَفَتْ فِي وَجْهِهِ الْكَرَاهِيَةَ قَالَتْ يَا 
رَسُولَ اللَّهِ أَتُوبُ إِلَى اللَّهِ وَإِلَى رَسُولِهِ مَاذَا أَذْنَبْتُ قَالَ 
مَا بَالُ هَذِهِ النُّمْرُقَةِ فَقَالَتْ اشْتَرَيْتُهَا لِتَقْعُدَ عَلَيْهَا 
وَتَوَسَّدَهَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ 
أَصْحَابَ هَذِهِ الصُّوَرِ يُعَذَّبُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيُقَالُ لَهُمْ 
أَحْيُوا مَا خَلَقْتُمْ وَقَالَ إِنَّ الْبَيْتَ الَّذِي فِيهِ الصُّوَرُ لاَ 
تَدْخُلُهُ الْمَلاَئِكَةُ

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, 
beliau memberitakan bahwa beliau Radhiyallahu anhuma membeli bantal duduk yang 
terdapat gambar-gambar (makhluk bernyawa-pen). Ketika Rasulullah Shallallahu 
‘alaihi wa sallam melihatnya, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri di 
depan pintu saja, tidak masuk. ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma pun melihat 
ketidaksukaan pada wajah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. ‘Aisyah 
Radhiyallahu anhuma bekata: “Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , 
aku bertaubat kepada Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya, dosa apakah yang telah 
aku lakukan?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Apa pentingnya 
bantal duduk ini?” ‘Aisyah menjawab: “Aku membelinya agar engkau bisa duduk dan 
menggunakannya sebagai bantal”. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam 
bersabda: “Sesungguhnya para pembuat gambar ini akan disiksa pada hari Kiamat. 
Dan akan dikatakan kepada mereka: Hidupkan apa yang telah ciptakan“. Dan beliau 
bersabda: “Sesungguhnya rumah yang di dalamnya terdapat gambar-gambar 
(patung-patung) tidak akan dimasuki oleh para malaikat”. [HR.Al-Bukhâri, no: 
5957]

Oleh karena itu, di antara kewajiban pemerintah muslim adalah membersihkan 
wilayahnya dari kemungkaran-kemungkaran, termasuk menghancurkan patung-patung 
dan menghapus gambar-gambar bernyawa. Sebagaimana ditunjukkan hadits di bawah 
ini:

عَنْ أَبِي الْهَيَّاجِ الاََسَدِيِّ قَالَ قَالَ لِي عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ 
أَلاَّ أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِي عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ 
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ لاَ تَدَعَ تِمْثَالاً إِلاَّ طَمَسْتَهُ وَلاَ قَبْرًا 
مُشْرِفًا إلاَّ سَوَّيْتَهُ (وَلاَ صُورَةً إِلاَّ طَمَسْتَهَا)

Dari Abul Hayyâj al-Asadî, dia berkata: ‘Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu 
berkata kepadaku: “Maukah engkau aku utus kamu untuk melakukan tugas yang 
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengutusku dengannya ; yaitu 
janganlah kamu membiarkan patung/gambar itu melainkan kamu hancurkan; dan 
janganlah kamu membiarkan kubur itu ditinggikan melainkan harus kamu ratakan”. 
(Pada lafazh lain: dan tidak pula gambar melainkan kamu hilangkan). [HR.Muslim: 
969]

Adapun bagi masyarakat, kewajiban mereka hanyalah memberikan nasehat dan 
peringatan, karena mereka tidak memiliki kemampuan untuk merubah kemungkaran 
dengan kekuatan, dan jika masyarakat bertindak tanpa izin pemerintah, 
kemungkinan akan timbul kemungkaran yang lebih besar. Wallâhu a’lam.

Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/1509/slash/0/hukum-rekreasi-ke-candi-tidak-ada-anggapan-sial-dalam-islam/

 

Wallahu Ta'ala A'lam 



  

RE: [assunnah]Pertanyaan bergeser mengisi shaf

2013-08-08 Terurut Topik Abu Harits
 From: zalnas1...@yahoo.com
 Date: Thu, 8 Aug 2013 00:23:07 + 
 Assalamu'alaikum. 
 Bagaimana hukum ketika ada orang yang batal dalam sholat lalu kita bergeser 
 atau maju untuk mengisi shaf-nya? Baik dalam sholat fardhu ataupun sholat 
 sunnah.
 Syukron


 

Gerakan dalam shalat seperti bergeser atau maju untuk mengisi shaf yang longgar 
atau kosong tidak membatalkan shalat.

 

Di antara dalil yang menunjukkan bahwa gerakan-gerakan yang sedikit tidak 
membatalkan shalat, juga gerakan-gerakan yang terpisah-pisah dan tidak 
berkesinambungan tidak membatalkan shalat, adalah sebagaimana yang bersumber 
dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa suatu hari beliau membukakan 
pintu masuk Aisyah, padahal saat itu beliau sedang shalat [3]

Diriwayatkan juga dari beliau Shallallahu alaihi wa sallam, dalam hadits Abu 
Qatadah Radhiyallahu 'anhu, bahwa pada suatu hari beliau shalat bersama 
orang-orang dengan memangku Umamah bintu Zainab, apabila beliau sujud,beliau 
menurunkannya, dan saat beliau berdiri, beliau memangkunya lagi.[4]

_

[3]. Abu Dawud, kitab Ash-Shalah 922, At-Turmudzi, kitab Ash-Shalah 601, 
An-Nasa'i, kitab As-Sahw 2/11

بِشْرٌ يَعْنِي ابْنَ الْمُفَضَّلِ حَدَّثَنَا بُرْدٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ 
عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى 
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَحْمَدُ يُصَلِّي وَالْبَابُ عَلَيْهِ مُغْلَقٌ 
فَجِئْتُ فَاسْتَفْتَحْتُ قَالَ أَحْمَدُ فَمَشَى فَفَتَحَ لِي ثُمَّ رَجَعَ إِلَى 
مُصَلَّاهُ وَذَكَرَ أَنَّ الْبَابَ كَانَ فِي الْقِبْلَةِ

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Hanbal dan Musaddad sedangkan ini 
adalah lafadznya Musaddad, katanya; telah menceritakan kepada kami Bisyr yaitu 
Ibnu Al Mufadlal telah menceritakan kepada kami Burd dari Az Zuhri dari 'Urwah 
bin Az Zubair dari Aisyah dia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam 
-Ahmad berkata- Sedang mengerjakan shalat, sementara pintu dalam keadaan 
tertutup, ketika aku datang, aku minta dibukakan pintu -Ahmad berkata- maka 
beliau berjalan dan membukakan pintu untukku lalu beliau kembali lagi ketempat 
shalatnya. disebutkan ketika itu pintu berada di arah kiblatnya.
Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/513/slash/0/gerakan-dalam-shalat/

 
[4]. Al-Bukhari, kitab Al-Adab 5996, Muslim kitab Al-Masajid 543

Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika menggendong cucunya, Umâmah bin 
Abi al-'Ash Radhiyallahu anhuma, sebagaimana dalam hadits :

عَنْ أَبِي قَتَادَةَ الأَنْصَارِي قَالَ : رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ 
عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَؤُمُّ النَّاسَ وَأُمَامَةُ بِنْتُ أَبِي الْعَاصِ وَهِيَ 
ابْنَةُ زَيْنَبَ بِنْتِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى 
عَاتِقِهِ فَإِذَا رَكَعَ وَضَعَهَا وَإِذَا رَفَعَ مِنَ السُّجُوْدِ أَعَادَهَا

Dari Abu Qatâdah al-Anshari Radhiyallahu anhu , ia berkata : saya melihat 
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat mengimami para Sahabat sambil 
menggendong Umamah bin Abi al-Ash, anak Zaenab puteri Beliau Shallallahu 
‘alaihi wa sallam, di atas bahunya, maka apabila ruku Beliau meletakkannya dan 
apabila selesai sujud Beliau menggendongnya kembali.

Dan dalam riwayat lain berbunyi : 

فَإِذَا قَامَ حَمَلَهَا وَإِذَا سَجَدَ وَضَعَهَا

Apabila berdiri beliau menggendongnya dan apabila sujud beliau meletakkannya.

Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/2664/slash/0/shalat-sambil-menggendong-anak-shalat-di-masjid-terdekat-shalat-jamaah-jauh-dari-masjid/

 

Silakan baca juga 
http://almanhaj.or.id/content/589/slash/0/dimakruhkan-dalam-shalat-diperbolehkan-dalam-shalat-dan-yang-membatalkan-shalat/

 

Wallahu Ta'ala A'lam


 
  

RE: [assunnah]Tanya Hukum sholat 'Idul Fitri ?

2013-08-07 Terurut Topik Abu Harits
From: mametsupria...@yahoo.co.id
Date: Wed, 7 Aug 2013 04:43:48 +
Apakah hukumnya sholat 'Idul Fitri ? Dan apa konsekwensinya jika tidak 
mengerjakan sholat tersebut ? 

Atas jawabanya... جَزَاك اللهُ خَيْرًا 


 

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa hukum shalat Ied ?
Yang saya pahami bahwa shalat ied adalah fardhu a'in, sehingga tidak boleh bagi 
kaum laki-laki untuk meninggalkannya. Mereka harus menghadirinya, karena Nabi 
Shallallahu alaihi wa sallam memerintahkannya, bahkan beliau juga memerintahkan 
para gadis pingitan untuk ikut keluar menuju shalat ied. Bahkan beliau juga 
memerintahkan orang yang haidh untuk datang juga meskipun mereka harus menjauh 
dari tempat shalat. Hal ini menunjukkan pentingnya perkara tersebut. Pendapat 
yang saya sebutkan inilah yang rajih dan diambil oleh Syaikhul Islam Ibnu 
Taimiyah rahimahullah.

Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/1628/slash/0/apa-hukum-shalat-ied/

 

Fardhu 'Ain (kewajiban bagi tiap-tiap kepala), artinya ; berdosa bagi siapa 
yang meninggalkannya. Ini adalah pendapat madzhab Hanafiyah serta pendapat 
salah satu riwayat dari Imam Ahmad.
Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/327/slash/0/hukum-shalat-ied-wajib-atau-sunnah/ 

 

Diantara dalil yang menunjukkan wajibnya shalat dua hari raya, bahwa shalat ‘Id 
bisa menggugurkan (bisa mengganti, Red) shalat Jum’at apabila bertepatan pada 
hari yang sama. Terdapat riwayat yang sah dari Rasulullah, bahwa Beliau 
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda ketika hari raya bertepatan dengan hari 
Jum’at.

اجْتَمَعَ فِي يَوْمِكُمْ هَذَا عِيدَانِ فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنْ 
الْجُمُعَةِ وَإِنَّا مُجَمِّعُونَ 

Pada hari kalian ini, terkumpul dua hari raya. Barangsiapa yang ingin (tidak 
shalat Jum’at), maka ia telah mencukupinya dari shalat Jum’at. Dan kita 
mengumpulkan shalat hari raya dan Jum’at, dan kami akan tetap shalat Jum’at.[2]

Sudah kita ketahui, sesuatu yang hukumnya tidak wajib, tidak akan bisa 
menggugurkan sesuatu yang wajib. Terdapat riwayat yang sah, sejak shalat ‘Id 
disyari’atkan, Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam selalu mengerjakan shalat 
‘Id secara berjama’ah hingga sampai wafatnya. Perbuatan Beliau Shallallahu 
'alaihi wa sallam yang selalu mengerjakan shalat ‘Id digabungkan dengan 
perintahnya kepada manusia untuk keluar shalat ‘Id. Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu 
Taimiyah (24/212, 23/161) serta Ar Raudah An Nadiyah (1/142), Nailul Authar 
(3/282-283) dan Tamamul Minnah, 344. Dan wajibnya shalat ‘Id, merupakan pilihan 
dari Syaikh Islam Ibnu Taimiyah. Beliau mengatakan: “Kami menganggap rajih 
(menguatkan) pendapat yang menyatakan shalat ‘Id itu hukumnya wajib bagi setiap 
orang, sebagaimana ucapan Abu Hanifah dan lainnya. Begitu juga salah satu 
pendapat Imam Asy Syafi’i, dan salah satu diantara dua pendapat dalam madzhab 
Imam Ahmad.

Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/2833/slash/0/penyimpangan-seputar-shalat-ied/

 

Wallahu Ta'ala A'lam

 






  

RE: [assunnah]Membayar zakat pada Orang Fasik

2013-08-07 Terurut Topik Abu Harits
From: albays...@yahoo.co.id
Date: Tue, 6 Aug 2013 12:42:59 + 






Bismillah,
Bagaimana jika kita membayar zakat fitrah kepada orang yang fasik, bidah atau 
musyrik. karena kondisi tempat ana seperti itu adanya. Ada orang faqir Miskin 
tetapi tidak melaksanakan perintah Allah (seperti sholat,puasa, dukun)
Al-bayssag

 
Zakat fithri diberikan kepada orang merdeka, muslim, yang faqir
 
Malikiyah berpendapat, shadaqah fithri diberikan kepada orang merdeka, muslim, 
yang faqir. Adapun selainnya, (seperti) orang yang mengurusinya, atau 
menjaganya, maka tidak diberi. Juga tidak diberikan kepada mujahid (orang yang 
berperang), tidak dibelikan alat (perang) untuknya, tidak diberikan kepada para 
mu’allaf, tidak diberikan kepada ibnu sabil, kecuali jika dia miskin di 
tempatnya, maka ia diberi karena sifatnya miskin, tetapi dia tidak diberi apa 
yang menyampaikannya menuju kotanya, tidak dibelikan budak dari zakat fithri 
itu, dan tidak diberikan kepada orang gharim.[27]

Pendapat ini juga dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah 
sebagaimana tersebut dalam Majmu Fatawa (25/71-78), Ibnul Qayyim dalam Zadul 
Ma’ad (2/44), Syaikh Abdul 'Azhim bin Badawi dalam al Wajiz (halaman 231), dan 
Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali serta Syaikh Ali bin Hasan al Halabi al Atsari 
di dalam Sifat Shaum Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam fi Ramadhan [halaman 
105-106].

Yang rajih (kuat), insya Allah pendapat yang terakhir ini, dengan alasan-alasan 
sebagai berikut:

1. Sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang zakat fithri:

وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ

Dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin. [HR Abu Dawud, no. 1609; Ibnu 
Majah, no. 1827; dan lain-lain].
Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/3147/slash/0/tuntunan-zakat-fithri/
 
Wallahu Ta'ala A'lam




  

RE: [assunnah]Mengedong Anak dalam Sholat

2013-08-07 Terurut Topik Abu Harits
From: rully_hatrivia...@yahoo.com
Date: Tue, 6 Aug 2013 03:18:34 +0800
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ






Apakah boleh mengendong anak yang mengunakan Pembalut penahan kencing dalam 
sholat

جزا كم الله خيرا
وَ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Abu 'Abdillah

 
Perkara ini (menggendong anak dalam shalat) adalah termasuk yang dibolehkan 
dalam shalat
 
Adapun tata caranya :
Apabila berdiri, maka di gendongnya, dan apabila ruku', maka diletakkannya 
(dilantai) dan apabila selesai sujud maka digendongnya kembali. Seperti yang 
dilakukan oleh Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika menggendong 
cucunya, Umâmah bin Abi al-'Ash Radhiyallahu anhuma, sebagaimana dalam hadits :

عَنْ أَبِي قَتَادَةَ الأَنْصَارِي قَالَ : رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ 
عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَؤُمُّ النَّاسَ وَأُمَامَةُ بِنْتُ أَبِي الْعَاصِ وَهِيَ 
ابْنَةُ زَيْنَبَ بِنْتِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى 
عَاتِقِهِ فَإِذَا رَكَعَ وَضَعَهَا وَإِذَا رَفَعَ مِنَ السُّجُوْدِ أَعَادَهَا

Dari Abu Qatâdah al-Anshari Radhiyallahu anhu , ia berkata : saya melihat 
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat mengimami para Sahabat sambil 
menggendong Umamah bin Abi al-Ash, anak Zaenab puteri Beliau Shallallahu 
‘alaihi wa sallam, di atas bahunya, maka apabila ruku Beliau meletakkannya dan 
apabila selesai sujud Beliau menggendongnya kembali.

Dan dalam riwayat lain berbunyi : 

فَإِذَا قَامَ حَمَلَهَا وَإِذَا سَجَدَ وَضَعَهَا

Apabila berdiri beliau menggendongnya dan apabila sujud beliau meletakkannya.[1]
Wallahu a'lam.
 
Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/2664/slash/0/shalat-sambil-menggendong-anak-shalat-di-masjid-terdekat-shalat-jamaah-jauh-dari-masjid/
 





  

RE: [assunnah]Kewajiban Berzakat pada Janin

2013-08-04 Terurut Topik Abu Harits
From: shalehawann...@yahoo.com
Date: Sun, 4 Aug 2013 05:20:31 + 





Assalamu'alaykum Warahmatullahi Wabarakatuh..
Ikhwah fillah miliser Assunnah..
Saya ingin bertanya mengenai zakat fitrah.
Apakah janin di dalam kandungan sudah dikenai kewajiban membayar zakat fitrah?
Saat ini InsyaAllah kandungan saya akan memasuki usia 30 minggu.
Mohon penjelasan akhi-ukhti yang mengetahui beserta dalil-dalilnya yang shahih.
Jazakumullah khayran katsiraan..
Wassalamu'alaykun Warahmatullahi Wabarakatuh..
-Muslimah S-



 

BAGAIMANA DENGAN JANIN?
Para ulama berbeda pendapat tentang janin, apakah orang tuanya juga wajib 
mengeluarkan zakat fithri baginya?

Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali dan Syaikh Ali bin Hasan al Halabi al Atsari 
mengatakan: “Sebagian ulama berpendapat wajibnya zakat fithri atas janin, 
tetapi kami tidak mengetahui dalil padanya. Adapun janin, menurut bahasa dan 
kebiasaan (istilah), tidak dinamakan anak kecil”.[9]

Syaikh Shalih bin Ghanim as Sadlan -Dosen Universitas Imam Muhammad bin Su’ud- 
berkata: “Zakat fithri wajib atas setiap muslim, baik orang merdeka atau budak, 
laki-laki atau perempuan, anak kecil atau orang tua, dari kelebihan makanan 
pokoknya sehari dan semalam. Dan disukai mengeluarkan zakat fithri bagi janin 
yang berada di dalam perut ibunya”.[10]

Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah berkata : “Yang nampak 
bagiku, jika kita mengatakan disukai mengeluarkan zakat fithri bagi janin, maka 
zakat itu hanyalah dikeluarkan bagi janin yang telah ditiupkan ruh padanya. 
Sedangkan ruh, belum ditiupkan kecuali setelah empat bulan”.

Beliau juga berkata: “Dalil disukainya mengeluarkan zakat fithri bagi janin, 
diriwayatkan dari ‘Utsman Radhiyallahu 'anhu, bahwa beliau mengeluarkan zakat 
fithri bagi janin [11]. Jika tidak, maka tentang hal ini tidak ada Sunnah dari 
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tetapi wajib kita ketahui, ‘Utsman 
adalah salah satu dari Khulafaur-Rasyidin, yang kita diperintahkan untuk 
mengikuti Sunnah mereka”.[12]

Dari penjelasan ini kita mengetahui, disunahkan bagi orang tua untuk membayar 
zakat fithri bagi janin yang sudah berumur empat bulan dalam kandungan, wallahu 
a’lam.

Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/3147/slash/0/tuntunan-zakat-fithri/

 

Wallahu Ta'ala A'lam 




  

RE: [assunnah] Hukum Zakat Fithri Dengan Titip Uang?

2013-08-04 Terurut Topik Abu Harits
From: abua...@yahoo.co.id
Date: Sat, 3 Aug 2013 14:34:02 +0700
Bismillah




Bagaimana bila ana menyerahkan uang (setara beras 2,5kg) ke amil zakat, untuk 
kemudian oleh amil zakat dibelikan beras, dan pada saatnya diberikan kepada 
yang berhak? Apakah ini tidak boleh?
Jazakallah..

 
Silakan tanyakan kepada panitia zakat fithri, apakah mereka menerima penitipan 
uang zakat atau hanya menerima beras saja. Kebiasaaan penitipan ini dilakukan 
oleh wajib zakat , dikarenakan sebagian masyarakat menyerahkan zakat fithri 
berbarengan dengan zakat mal atau sedekah, sehingga ada kemudahan bagi mereka.
 
APAKAH INI (TITIP UANG SETARA ZAKAT FITHRI) TERMASUK JUAL BELI DI MASJID?
Pertanyaan.
Apakah termasuk jual beli di masjid, bila panitia zakat fithri juga melayani 
pembayaran zakat fithri dengan uang setara dengan zakat fithri 3 kg, dengan 
akad titip uang kepada panitia untuk dibelikan beras di pasar. Akad tersebut 
dilakukan di dalam masjid, apakah cara seperti ini menyelisihi Sunnah Nabi 
Shallallâhu 'alaihi wa sallam?

Apakah kami harus tegas hanya menerima zakat fithri dalam bentuk makanan pokok 
saja dan tidak menerima titipan uang untuk dibelikan zakat fithri seperti yang 
kami uraikan di atas? Kami sebenarnya juga bisa mengambil kebijakan seperti itu 
(hanya beras, tidak menerima titipan uang) dan tidak ada halangan. Apakah dalam 
masalah ini ada kelapangan (boleh-boleh saja)? Mohon pencerahannya ustadz. Edi, 
Sukoharjo (0815676)

Jawaban.
Penitipan seperti ini tidak terlarang jika dilakukan di masjid, karena ini 
tidak termasuk jual beli. Akad seperti ini disebut wakâlah, sementara yang 
terlarang di masjid adalah jual-beli. Dengan demikian, pembayar zakat 
mewakilkan kepada panitia untuk membelikan beras atau yang sejenisnya sebanyak 
zakat yang wajib ia keluarkan dan selanjutnya diberikan kepada yang berhak. 
Karena itu panitia hanya menerima uang dan tidak menyediakan beras. Akad 
wakâlah ini karena tidak bertujuan komersial dan hanya bertujuan sosial, yaitu 
memudahkan dan membantu para pembayar zakat, maka tidak mengurangi kesucian 
masjid.

Namun jika transaksi itu benar-benar jual beli sehingga panitia menyediakan 
beras, kemudian setiap pembayar zakat membeli beras dari panitia. Setelah 
membeli beras, pembayar zakat mewakilkan penyerahan beras zakat tersebut kepada 
panitia. Bila kasusnya demikian ini, maka ini adalah praktek jual-beli di 
masjid, dan tentu ini terlarang, berdasarkan sabda Nabi shallallâhu 'alaihi wa 
sallam:

إِذَا رَأَيْتُمْ مَنْ يَبِيعُ أَوْ يَبْتَاعُ فِي الْمَسْجِدِ فَقُولُوا لَا 
أَرْبَحَ اللَّهُ تِجَارَتَكَ

Bila kalian mendapatkan orang yang menjual atau membeli di masjid, maka ucapkan 
kepadanya: semoga Allâh tidak memberikan keuntungan pada perniagaanmu.[HR. 
at-Tirmidzi, no.1321. Hadits ini dihukumi shahih oleh Syaikh Muhammad 
Nashiruddin al-Abani]

(Soal jawab edisi 03-04/Tahun XVI/1433/2012M dijawab oleh Ustadz DR Muhammad 
Arifin Badri)
Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/3477/slash/0/jual-beli-yang-diharamkan-apakah-ini-titip-uang-setara-zakat-fithri-termasuk-jual-beli-di-masjid/
 
Wallahu Ta'ala A'lam 
 
 
HUKUM MENGELUARKAN ZAKAT FITHRI DENGAN UANG ?

Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
http://almanhaj.or.id/content/2250/slash/0/hukum-mengeluarkan-zakat-fithri-dengan-uang/

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Hukum mengeluarkan zakat 
fithri dalam bentuk uang karena ada orang yang memperbolehkan hal tersebut?

Jawaban
Tidaklah asing bagi seorang muslim manapun bahwa rukun Islam yang paling 
penting adalah persaksian (Syahadat) bahwa tidak ada sesembahan yang berhak 
disembah selain Allah dan Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah utusan 
Allah.

Konsekuensi syahadat لا إله إلا الله adalah tidak menyembah kecuali hanya 
kepada Allah saja, sedangkan konsekuensi syahadat محمد رسول الله adalah tidak 
menyembah Allah kecuali dengan cara-cara yang telah disyari'atkan oleh 
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Zakat fithri adalah ibadah menurut 
ijma kaum muslimin, dan semua ibadah pada dasarnya tauqifi (mengikuti dalil 
atau petunjuk). Maka tidak boleh lagi seorang hamba untuk beribadah kepada 
Allah dengan satu ibadahpun kecuali dengan cara yang diambil dari Nabi 
Shallallahu 'alaihi wa sallam, Rasul yang telah Allah firmankan tentangnya.

وَمَايَنطِقُ عَنِ الْهَوَى . إِنْ هُوَ إِلاَّوَحْيٌ يُوحَى

Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Qur'an) menurut kemauan hawa nafsunya. 
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)  [An-Najm 
: 3-4]

Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa membuat cara yang baru dalam perkara agama ini apa yang tidak 
termasuk agama ini maka hal itu tertolak.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mensyari'atkan zakat fithri 
dengan hadits yang shahih : Satu sha' makanan atau anggur kering atau keju. 
Imam Bukhari dan Imam Muslim telah meriwayatkan dari Abdullah bin 

RE: [assunnah]Hukum Titip Uang Zakat Fithri Ke Amil Zakat?

2013-08-03 Terurut Topik Abu Harits
From: teguh.se...@yahoo.com
Date: Fri, 2 Aug 2013 01:10:21 + 





Bagaimana kalau kita nitip uang ke amil zakat, kemudian oleh amil zakat 
dibelikan bahan pokok lalu dibagikan ke asnaf? 
Powered by Telkomsel BlackBerry®

 
APAKAH INI (TITIP UANG SETARA ZAKAT FITHRI) TERMASUK JUAL BELI DI MASJID?
Apakah termasuk jual beli di masjid, bila panitia zakat fithri juga melayani 
pembayaran zakat fithri dengan uang setara dengan zakat fithri 3 kg, dengan 
akad titip uang kepada panitia untuk dibelikan beras di pasar. Akad tersebut 
dilakukan di dalam masjid, apakah cara seperti ini menyelisihi Sunnah Nabi 
shallallâhu 'alaihi wa sallam?

Apakah kami harus tegas hanya menerima zakat fithri dalam bentuk makanan pokok 
saja dan tidak menerima titipan uang untuk dibelikan zakat fithri seperti yang 
kami uraikan di atas? Kami sebenarnya juga bisa mengambil kebijakan seperti itu 
(hanya beras, tidak menerima titipan uang) dan tidak ada halangan. Apakah dalam 
masalah ini ada kelapangan (boleh-boleh saja)? Mohon pencerahannya ustadz. Edi, 
Sukoharjo (0815676)

Jawaban.
Penitipan seperti ini tidak terlarang jika dilakukan di masjid, karena ini 
tidak termasuk jual beli. Akad seperti ini disebut wakâlah, sementara yang 
terlarang di masjid adalah jual-beli. Dengan demikian, pembayar zakat 
mewakilkan kepada panitia untuk membelikan beras atau yang sejenisnya sebanyak 
zakat yang wajib ia keluarkan dan selanjutnya diberikan kepada yang berhak. 
Karena itu panitia hanya menerima uang dan tidak menyediakan beras. Akad 
wakâlah ini karena tidak bertujuan komersial dan hanya bertujuan sosial, yaitu 
memudahkan dan membantu para pembayar zakat, maka tidak mengurangi kesucian 
masjid.

Namun jika transaksi itu benar-benar jual beli sehingga panitia menyediakan 
beras, kemudian setiap pembayar zakat membeli beras dari panitia. Setelah 
membeli beras, pembayar zakat mewakilkan penyerahan beras zakat tersebut kepada 
panitia. Bila kasusnya demikian ini, maka ini adalah praktek jual-beli di 
masjid, dan tentu ini terlarang, berdasarkan sabda Nabi shallallâhu 'alaihi wa 
sallam:

إِذَا رَأَيْتُمْ مَنْ يَبِيعُ أَوْ يَبْتَاعُ فِي الْمَسْجِدِ فَقُولُوا لَا 
أَرْبَحَ اللَّهُ تِجَارَتَكَ

Bila kalian mendapatkan orang yang menjual atau membeli di masjid, maka ucapkan 
kepadanya: semoga Allâh tidak memberikan keuntungan pada perniagaanmu.[HR. 
at-Tirmidzi, no.1321. Hadits ini dihukumi shahih oleh Syaikh Muhammad 
Nashiruddin al-Abani]

(Soal jawab edisi 03-04/Tahun XVI/1433/2012M dijawab oleh Ustadz DR Muhammad 
Arifin Badri)
Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/3477/slash/0/jual-beli-yang-diharamkan-apakah-ini-titip-uang-setara-zakat-fithri-termasuk-jual-beli-di-masjid/
 

Wallahu Ta'ala A'lam



HUKUM MENGELUARKAN ZAKAT FITHRI DENGAN UANG ?

Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
http://almanhaj.or.id/content/2250/slash/0/hukum-mengeluarkan-zakat-fithri-dengan-uang/

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Hukum mengeluarkan zakat 
fithri dalam bentuk uang karena ada orang yang memperbolehkan hal tersebut?

Jawaban
Tidaklah asing bagi seorang muslim manapun bahwa rukun Islam yang paling 
penting adalah persaksian (Syahadat) bahwa tidak ada sesembahan yang berhak 
disembah selain Allah dan Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah utusan 
Allah.

Konsekuensi syahadat لا إله إلا الله adalah tidak menyembah kecuali hanya 
kepada Allah saja, sedangkan konsekuensi syahadat محمد رسول الله adalah tidak 
menyembah Allah kecuali dengan cara-cara yang telah disyari'atkan oleh 
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Zakat fithri adalah ibadah menurut 
ijma kaum muslimin, dan semua ibadah pada dasarnya tauqifi (mengikuti dalil 
atau petunjuk). Maka tidak boleh lagi seorang hamba untuk beribadah kepada 
Allah dengan satu ibadahpun kecuali dengan cara yang diambil dari Nabi 
Shallallahu 'alaihi wa sallam, Rasul yang telah Allah firmankan tentangnya.

وَمَايَنطِقُ عَنِ الْهَوَى . إِنْ هُوَ إِلاَّوَحْيٌ يُوحَى

Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Qur'an) menurut kemauan hawa nafsunya. 
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)  [An-Najm 
: 3-4]

Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa membuat cara yang baru dalam perkara agama ini apa yang tidak 
termasuk agama ini maka hal itu tertolak.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mensyari'atkan zakat fithri 
dengan hadits yang shahih : Satu sha' makanan atau anggur kering atau keju. 
Imam Bukhari dan Imam Muslim telah meriwayatkan dari Abdullah bin Umar 
Radhiallahu 'anhu, dia berkata :

فَرَضَ رَسُولُ الله صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا 
مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى كُلِّ عَبْدٍ أَوْ حُرٍّ صَغِيرٍ أَوْ 
كَبِيرٍ

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mewajibkan zakat fithri dengan 
satu sha' kurma, atau gandum atas setiap orang muslimin yang merdeka ataupun 
budak baik laki mupun 

RE: [assunnah]Masalah baca doa Iftitah

2013-08-02 Terurut Topik Abu Harits
From: hlukmanu...@yahoo.com
Date: Thu, 18 Jul 2013 19:34:58 -0700 





Bismillahir rahmanir rahim
Para ikhwan yang dirahmati Allah, barangkali ada yang mengetahui dalil atau 
alasan yang kuat tentang bacaan doa iftitah.
yang menjadi permasalahannya adalah  dalam shalat tarawih Dalam shalat 
tarawih ada beberapa pendapat ada yang 23 rakaat dan ada yang 11 rakaat, yang 
masalahnya adalah apakah setiap selesai rakaat  harus baca doa iftitah? 
(misalnya ada yang melakukan 11 rakaat dengan 4 - 4 - 3  atau 2 - 2 - 2 - 2 - 3 
,  setelah 2 rakaat selesai kemudian akan melakukan 4 rakaat lagi  apakah harus 
membaca doa iftitah lagi.
Demikian semoga ikhwan bisa memberikan keterangan  lebih jelas.
Wassalam
Lukmanudin



 

1. Doa istiftah termasuk sunnah ucapan dalam shalat, sehingga apabila doa 
istiftah tertinggal tidak membatalkan shalat. 


Sunnah-Sunnah Ucapan:
a. Membaca do’a istiftah
Do’a istiftah yang paling baik adalah yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah 
Radhiyallahu anhu. Dia berkata, Jika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam 
bertakbir dalam shalat, beliau diam sejenak sebelum membaca (al-Faatihah). Aku 
berkata, Wahai Rasulullah, ayah ibuku menjadi penebusmu. Saya melihat Anda 
terdiam antara takbir dan membaca (al-Faatihah). Apakah yang Anda baca? Beliau 
berkata, Aku membaca:

اَللّهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِيْ وَبَيْنَ خَطَايَايَ كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ 
الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ، اَللَّهُمَّ نَقِّنِيْ مِنْ خَطَايَايَ كَمَا يُنَقَّى 
الثَّوْبُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ، اَللّهُمَّ اغْسِلْنِي مِنْ خَطَايَايَ 
بِالثَّلْجِ وَالْمَاءِ الْبَرَدِ.

Ya Allah, jauhkanlah antara aku dan dosaku sebagaimana Kau jauhkan antara 
timur dan barat. Ya Allah, sucikanlah aku dari dosa-dosaku sebagaimana kain 
putih tersuci dari noda. Ya Allah, basuhlah aku dari dari dosa-dosaku dengan 
salju, air, dan es (embun). [1]

Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/705/slash/0/sunnah-sunnah-shalat-sunnah-ucapan/

 

MEMBACA AL-FATIHAH LEBIH PENTING DARIPADA DO’A IFTITAH
Syaikh Abdul Aziz bin Abdulah bin Baz ditanya : Apabila saya ikut shalat 
jama’ah ketika imam sebentar lagi akan ruku’. Dalam keadaan seperti ini, apa 
yang harus saya baca? Do’a iftitah atau Al-Fatihah? Dan ketika imam ruku’ 
sementara saya belum selesai membaca Al-Fatihah, apa yang harus saya lakukan?

Jawaban
Membaca do’a istiftah hukumnya sunnah sedangkan membaca Al-Fatihah hukumnya 
wajib. Demikianlah pendapat para ulama yang lebih shahih. Oleh karena itu jika 
anda hanya punya sedikit waktu, maka bacalah Al-Fatihah saja. Jika Al-Fatihah 
anda belum selesai sementara imam sudah ruku’, maka segeralah ruku’ bersama 
imam dan tinggalkan sisa Al-Fatihah yang belum anda baca. Hal ini berdasarkan 
sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَلَا تَخْتَلِفُوا عَلَيْهِ فَإِذَا 
رَكَعَ فَارْكَعُوا

“Sesungguhnya imam itu dijadikan untuk diikuti. Maka janganlah kalian 
menyelisihi imam. Jika imam takbir, maka bertakbirlah kalian. Dan jika imam 
ruku’, maka ruku’lah kalian”[HR Bukhari 680 dan Muslim 622]

Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/2312/slash/0/ikut-shalat-berjamaah-ketika-imam-sedang-ruku-apakah-bertakbir-untuk-takbiratul-ikhram-atau-ruku/

 

2. Shalat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pada malam  ramadhan dan juga pada 
bulan lainnya tidak pernah melebihkan dari 11 rak’at dengan salam setiap 2 
rakaat.

Abu Salamah bin Abdurrahman Radhiyallahu 'anhu bertanya kepada Aisyah 
Radhiyallahu 'anha perihal shalat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pada bulan 
Ramadhan. Aisyah Radhiyallahu 'anha menjawab:

مَا كَانَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ 
رَكْعَةً وفي رواية لمسلم يُصَلِّي ثَمَانَ رَكَعَاتٍ ثُمَّ يُوتِرُ رواه البخاري 
و مسلم

Pada bulan Ramadhan, Beliau tidak pernah melebihkan dari 11 rak’at. (Begitu) 
juga pada bulan lainnya. (Dalam hadits riwayat Muslim) Beliau Shallallahu 
'alaihi wa sallam shalat 8 raka’at, lalu melakukan witir.

Dengan langgam bahasanya yang keras/tegas, hadits Aisyah ini memberikan kesan 
pengingkaran terhadap tambahan lebih dari bilangan (sebelas) ini. Sedangkan 
dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma tentang cara shalat malam Nabi Shallallahu 
'alaihi wa sallam, dia mengatakan:

فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ 
ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ أَوْتَرَ رواه مسلم

Lalu Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat 2 raka’at, kemudian 2 
raka’at, kemudian 2 raka’at, kemudian 2 raka’at, kemudian 2 raka’at, kemudian 2 
raka’at, kemudian witir. [HR Muslim 2/179]

Dengan ini menjadi jelas, bahwa shalat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pada 
malam hari itu, berkisar antara 11 dan 13 raka’at.

Jika ada yang mengatakan, bahwa shalat malam yang diterangkan dalam hadits ini 
bukanlah shalat Tarawih, karena Tarawih merupakan sunnah yang dikerjakan Umar 
bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu.

Maka jawabnya : Shalat malam Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pada bulan 
Ramadhan itulah (yang 

RE: [assunnah]Apakah Nabi dan Sahabat pernah melakukkannya?

2013-08-02 Terurut Topik Abu Harits
From: rully_hatrivia...@yahoo.com
Date: Tue, 30 Jul 2013 07:56:40 +0800
Semenjak hari pertama sampai malam ke-20 sholat tarawih dilaksanakan 8 rakaat 
(tiap 2 rakaat salam), setelah itu dilanjutkan dengan witir ( kadang-kadang 
bentuknya 2 rakaat + 1 rakaat atau langsung 3 rakaat.
Pada malam 21 dan sampai akhir Ramadhan, sholat tarawih 8 rakaat (tiap 2 rakaat 
salam) dilakukan seperti biasa...tapi untuk witir dilakukan dinihari sekitar 
jam 2 pagi..bentuknya melakukkan sholat 8 rakaat lagi( tiap 2 rakaat salam) + 
witir 2 rakaat + 1 rakaat..
1 Apakah ini pernah dilakukan Nabi atau sahabat Radhiyallahu Anhum?
2. Apakah Nabi atau sahabat Radhiyallahu Anhum juga setiap witir pada bulan 
ramadhan melakukan do'a Qunut setelah rukuk.
Abu 'Abdillah



 

1. Shalat malam (tarawih) Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam selama bulan 
ramadhan.

Abu Salamah bin Abdurrahman Radhiyallahu 'anhu bertanya kepada Aisyah 
Radhiyallahu 'anha perihal shalat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pada bulan 
Ramadhan. Aisyah Radhiyallahu 'anha menjawab:

مَا كَانَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ 
رَكْعَةً وفي رواية لمسلم يُصَلِّي ثَمَانَ رَكَعَاتٍ ثُمَّ يُوتِرُ رواه البخاري 
و مسلم

Pada bulan Ramadhan, Beliau tidak pernah melebihkan dari 11 rak’at. (Begitu) 
juga pada bulan lainnya. (Dalam hadits riwayat Muslim) Beliau Shallallahu 
'alaihi wa sallam shalat 8 raka’at, lalu melakukan witir.

Dengan langgam bahasanya yang keras/tegas, hadits Aisyah ini memberikan kesan 
pengingkaran terhadap tambahan lebih dari bilangan (sebelas) ini. Sedangkan 
dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma tentang cara shalat malam Nabi Shallallahu 
'alaihi wa sallam, dia mengatakan:

فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ 
ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ أَوْتَرَ رواه مسلم

Lalu Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat 2 raka’at, kemudian 2 
raka’at, kemudian 2 raka’at, kemudian 2 raka’at, kemudian 2 raka’at, kemudian 2 
raka’at, kemudian witir. [HR Muslim 2/179]

Dengan ini menjadi jelas, bahwa shalat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pada 
malam hari itu, berkisar antara 11 dan 13 raka’at.

Jika ada yang mengatakan, bahwa shalat malam yang diterangkan dalam hadits ini 
bukanlah shalat Tarawih, karena Tarawih merupakan sunnah yang dikerjakan Umar 
bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu.

Maka jawabnya : Shalat malam Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pada bulan 
Ramadhan itulah (yang disebut) Tarawih. Mereka menamakannya Tarawih 
(istirahat), karena mereka memanjangkan shalatnya lalu istirahat setelah dua 
kali salam. Oleh karena itu dinamakan Tarawih (istirahat). Dan Tarawih termasuk 
sunnah perbuatan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/3143/slash/0/shalat-tarawih-keabsahan-23-rakaat/

 

2. Qunut Witir

Disyari’atkan juga qunut pada pertengahan Ramadhan sampai akhir Ramadhan, 
berdasarkan riwayat Sahabat dan Tabi’in.

Dari ‘Amr bin Hasan, bahwasanya ‘Umar radhiyallahu anhu menyuruh Ubay 
radiyallahu ‘anhu mengimami shalat (Tarawih) pada bulan Ramadhan, dan beliau 
menyuruh Ubay radhiyallahu ‘anhu untuk melakukan qunut pada pertengahan 
Ramadhan yang dimulai pada malam 16 Ramadhan.[8]

Ma’mar berkata: “Sesungguhnya aku melaksanakan qunut Witir sepanjang tahun, 
kecuali pada awal Ramadhan sampai dengan pertengahan (aku tidak qunut), 
demikian juga dilakukan oleh al-Hasan al-Bashri, ia menyebutkan dari Qatadah 
dan lain-lain.[9]

Demikian juga dari Ibnu Sirin.[10]

Syaikh al-Albani berkata: “Boleh juga do’a qunut sesudah ruku’ dan ditambah 
dengan (do’a) melaknat orang-orang kafir, lalu shalawat kepada Nabi Shallallahu 
‘alaihi wa sallam dan mendo’akan kebaikan untuk kaum Musli-min pada pertengahan 
bulan Ramadhan, karena terdapat dalil dari para Shahabat radhiyallahu ‘anhum di 
zaman ‘Umar radhiyallahu ‘anhu. Terdapat keterangan di akhir hadits tentang 
Tarawihnya para Shahabat radhiyallahu ‘anhum, Abdurrahman bin ‘Abdul Qari 
berkata: ‘Mereka (para Shahabat) melaknat orang-orang kafir pada (shalat Witir) 
mulai pertengahan Ramadhan

Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/1499/slash/0/makna-qunut-makna-nazilah-qunut-pada-pertengahan-ramadhan-dan-akhir-ramadhan/

 

MENGANGKAT TANGAN DALAM DOA QUNUT WITIR 
Dalam hal ini, Syaikh Muhammad bin Shâlih al-'Utsaimîn rahimahullah berkata: 
Yang shahîh, ialah mengangkat kedua tangan; karena hal itu benar telah 
diamalkan 'Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu . 'Umar bin al-Khaththab 
adalah salah satu dari khulafa` ar-Rasyidin yang memiliki sunnah yang boleh 
diteladani dengan dasar perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sehingga 
mengangkat kedua tangannya.[9] 

Begitu pula mengangkat tangan dalam doa Witir telah dilakukan beberapa sahabat 
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sebagaimana disampaikan oleh Muhammad bin 
Nashr al-Marwazi rahimahullah dalam Mukhtashar Kitab al-Witri, hlm. 139-140. Di 
antara mereka ialah Ibnu Mas'ud Radhiyallahu anhu , 

RE: [assunnah]Tanya : Zakat Fitrah untuk guru mengaji

2013-08-01 Terurut Topik Abu Harits
From: cacun.sopia...@pzcussons.com
Date: Thu, 1 Aug 2013 08:16:33 +0700 





Asalamualaikum,
Mau tanya, apakah guru mengaji berhak medapatkan zakat fitrah ? karena 

ditempat ana banyak yang memberikan zakat fitrahnya kepada guru mengajinya
syukron



 

Apakah guru mengajinya termasuk orang miskin ?

 

1. Termasuk sunnah, menyerahkan zakat fithri kepada orang-orang yang mengurus 
zakat fithri (Panitia Zakat Fithri)

Termasuk Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yaitu adanya orang-orang 
yang mengurusi zakat fithri. Berikut adalah penjelasan di antara keterangan 
yang menunjukkan hal ini.[30]

a. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mewakilkan Abu Hurairah menjaga 
zakat fithri. [HR Bukhari, no. 3275].

b. Ibnu 'Umar Radhiyallahu 'anhu biasa memberikan zakat fithri kepada 
orang-orang yang menerimanya [HR Bukhari, no. 1511; Muslim, no. 986]. Mereka 
adalah para pegawai yang ditunjuk oleh imam atau pemimpin. Tetapi mereka tidak 
mendapatkan bagian zakat fithri dengan sebab mengurus ini, kecuali sebagai 
orang miskin, sebagaimana telah kami jelaskan di atas.

 

2. Yang berhak menerima zakat fithri hanyalah orang miskin.

Malikiyah berpendapat, shadaqah fithri diberikan kepada orang merdeka, muslim, 
yang faqir. Adapun selainnya, (seperti) orang yang mengurusinya, atau 
menjaganya, maka tidak diberi. Juga tidak diberikan kepada mujahid (orang yang 
berperang), tidak dibelikan alat (perang) untuknya, tidak diberikan kepada para 
mu’allaf, tidak diberikan kepada ibnu sabil, kecuali jika dia miskin di 
tempatnya, maka ia diberi karena sifatnya miskin, tetapi dia tidak diberi apa 
yang menyampaikannya menuju kotanya, tidak dibelikan budak dari zakat fithri 
itu, dan tidak diberikan kepada orang gharim.[27]

Pendapat ini juga dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah 
sebagaimana tersebut dalam Majmu Fatawa (25/71-78), Ibnul Qayyim dalam Zadul 
Ma’ad (2/44), Syaikh Abdul 'Azhim bin Badawi dalam al Wajiz (halaman 231), dan 
Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali serta Syaikh Ali bin Hasan al Halabi al Atsari 
di dalam Sifat Shaum Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam fi Ramadhan [halaman 
105-106].

Yang rajih (kuat), insya Allah pendapat yang terakhir ini, dengan alasan-alasan 
sebagai berikut:

a. Sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang zakat fithri:

وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ

Dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin. [HR Abu Dawud, no. 1609; Ibnu 
Majah, no. 1827; dan lain-lain].

b. Zakat fithri termasuk jenis kaffarah (penebus kesalahan, dosa), sehingga 
wujudnya makanan yang diberikan kepada orang yang berhak, yaitu orang miskin, 
wallahu a’lam

Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/3147/slash/0/tuntunan-zakat-fithri/

 

Kemana Disalurkannya
Zakat tidak boleh diberikan kecuali kepada orang yang berhak menerimanya, 
mereka adalah orang-orang miskin berdasarkan hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu 
'anhuma. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam zakat fithri sebagai 
pembersih (diri) bagi yang berpuasa dari perbuatan sia-sia dan perbuatan kotor 
dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin[15] Pendapat inilah yang dipilih 
oleh Syaikhul Islam di dalam Majmu' Fatawa 2/71-78 serta murid beliau Ibnul 
Qayyim pada kitabnya yang bagus Zaadul Ma'ad 2/44.

Sebagian Ahlul ilmi berpedapat bahwa zakat fithri diberikan kepada delapan 
golongan, tetapi (pendapat) ini tidak ada dalilnya. Dan Syaikhul Islam telah 
membantahnya pada kitab yang telah disebutkan baru saja, maka lihatlah ia, 
karena hal tersebut sangat penting.

Termasuk amalan sunnah jika ada seseorang yang bertugas mengumpulkan zakat 
tersebut (untuk dibagikan kepada yang berhak, -pent). Sungguh Nabi Shallallahu 
'alaihi wa sallam telah mewakilkan kepada Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia 
berkata : Rasulullah mengkhabarkan kepadaku agar aku menjaga zakat Ramadhan 
[16] 

Dan sungguh dahulu pernah Ibnu Umar radhiyallahu 'anuma mengeluarkan zakat 
kepada orang-orang yang menangani zakat dan mereka adalah panitia yang dibentuk 
oleh Imam (pemerintah, -pent) untuk mengumpulkannya. Beliau (Ibnu Umar) 
mengeluarkan zakatnya satu hari atau dua hari sebelum Idul fithri, dikeluarkan 
oleh Ibnu Khuzaimah 4/83 dari jalan Abdul Warits dari Ayyub, aku katakan : 
Kapankah Ibnu Umar mengeluarkan satu gantang ? Berkata Ayyub : Apabila 
petugas telah duduk (bertugas). Aku katakan : 'Kapankah petugas itu mulai 
bertugas? Beliau menjawab : Satu hari atau dua hari sebelum Idul Fithri.

Selengkapnya baca di http://almanhaj.or.id/content/1155/slash/0/zakat-fithri/

 

Wallahu Ta'ala A'lam 




  

RE: [assunnah]Tanya : Tata cara shalat Witir

2013-07-30 Terurut Topik Abu Harits
From: ibnudan...@ymail.com
Date: Tue, 30 Jul 2013 23:14:11 +0700
Asalamualaikum
Mengenai rakaat sholat witir, apakah dikerjakan 2 rakaat salam lalu 1 rakaat 
salam, ataukah langsung 3 rakaat dengan 1 salam?
Jazzakallah khair



 

Shalat Witir tiga raka'at.
Shalat Witir tiga raka'at boleh dilakukan dengan dua cara.
a. Shalat tiga raka'at, dilaksanakan dengan dua raka'at salam, kemudian 
ditambah satu rakaat salam. Ini didasarkan hadits Ibnu 'Umar, beliau 
radhiyallahu anhu berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْصِلُ بَيْنَ 
الْوَتْرِ وَالشَّفْعِ بِتَسْلِيمَةٍ وَيُسْمِعُنَاهَا

Dahulu, Rasulullah Shallallahu alaihi wa salllam memisah antara yang ganjil dan 
genap dengan salam, dan beliau perdengarkan kepada kami. [HR Ahmad dan 
dishahîhkan Syaikh al-Albâni dalam Irwâ` al-Ghalîl, no. 327]. 

Juga didasrkan pada perbuatan Ibnu 'Umar.sendiri.

أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يُسَلِّمُ بَيْنَ الرَّكْعَةِ 
وَالرَّكْعَتَيْنِ فِي الْوِتْرِ حَتَّى يَأْمُرَ بِبَعْضِ حَاجَتِهِ

Dahulu, 'Abdullah bin 'Umar mengucapkan salam antara satu raka'at dan dua 
raka'at dalam witir, hingga memerintahkan orang mangambilkan kebutuhannya. [HR 
al-Bukhâri].

b. Shalat tiga raka'at secara bersambung dan tidak duduk tahiyyat, kecuali di 
akhir raka'at saja. 
Hal ini didasarkan pada hadits Abu Hurairah yang berbunyi:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لاَ تُوْتِرُوْا 
بِثَلاَثٍ تُشَبِّهُوْا بِصَلاَةِ الْمَغْرِبِ ، وَلَكِنْ أَوْتِرُوْا بِخَمْسٍ ، 
أَوْ بِسَبْعٍِ ، أَوْ بِتِسْعٍ ، أَوْ بِإِحْدَى عَشَرَةَ. أخرجه الحاكم.

Rasulullah Shallallahu alaihi wa salllam bersabda: Janganlah berwitir dengan 
tiga rakaat menyerupai shalat Maghrib, namun berwitirlah dengan lima raka'at, 
tujuh, sembilan atau sebelas raka'at. [HR al-Hâkim dan dishahihkan Syaikh 
al-Albâni dalam kitab Shalat Tarawih, hlm. 85]. 

Demikian ini juga diamalkan Rasulullah Shallallahu alaihi wa salllam , 
sebagaimana dikisahkan oleh Ubai bin Ka'ab, ia berkata:

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ يَقْرَأُ مِنَ الْوِتْرِ بِـ {سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ 
الأَعْلَى} ، وَفِيْ الرَّكَعَةِ الثَّانِيَةِ بِـ{قُلْ يَا أَيُّهَا 
الْكَافِرُوْنَ} ، وَفِيْ الثَّالِثَةِ بِـ {قُلْ هُوَ اللهُ أَحَد}، وَلاَ 
يُسَلِّمُ إِلَّا فِيْ آخِرِهِنَّ. أخرجه النسائي.

Dahulu, Rasulullah Shallallahu alaihi wa salllam membaca dari shalat witirnya 
surat al-A'lâ dan pada raka'at kedua membaca surat al-Kâfirûn, dan rakaat 
ketiga membaca Qul Huwallahu Ahad. Beliau tidak salam, kecuali di akhirnya. [HR 
an-Nasâ`i, dan dishahihkan Syaikh al-Albâni dalam Shahih Sunan an-Nasâ'i, 
1/372].

Selengkapnya baca di http://almanhaj.or.id/content/2456/slash/0/shalat-witir/

 

Wallahu Ta'ala A'lam 







  

RE: [assunnah]Tanya : Zakat tanah waris

2013-07-29 Terurut Topik Abu Harits
From: abu.han...@gmail.com
Date: Mon, 29 Jul 2013 16:31:19 +0700 





assalamu'alaikumwarohmatullooh
ana mau bertanya apakah tanah waris yang belum dibagikan terkena zakat,
syukron


 

Jawaban.
Anda tidak berkewajiban membayar zakat atas tanah tersebut. Sebab yang wajib 
dibayarkan zakatnya adalah harganya bila dipersiapkan untuk dijual belikan. 
Tanah, bangunan, mobil, permadani dan sejenisnya, tidak termasuk barang yang 
wajib dikeluarkan zakatnya. Kecuali jika barang-barang tersebut dipersiapkan 
untuk diperdagangkan, maka wajib dikeluarkan zakatnya dari nilai harganya. 
Apabila tidak dipersiapkan untuk perniagaan sebagaimana yang anda sebutkan 
dalam pertanyaan di atas, tidaklah wajib dikeluarkan zakatnya.

Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/714/slash/0/zakat-bangunan-toko-dan-tanah/

 

Wallahu Ta'ala A;lam


 



  

RE: [assunnah]Tanya : Sholat tarawih 4 rakaat

2013-07-29 Terurut Topik Abu Harits
From: ahmadogi...@yahoo.co.id
Date: Mon, 29 Jul 2013 12:57:04 +0800 





assalaamualaikum

ana mau tanya, apakah sholat tarawih 4 rokaat tanpa tahiyat di setiap rokaat 
ke2 itu apakah ada contohnya dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam? 

Syukron.




Penjelasan, shalat malam Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pada bulan Ramadhan 
(Tarawih).

 

1. Aisyah Radhiyallahu anhuma ditanya: Bagaimana shalat Rasul Shallallahu 
‘alaihi wa sallam pada bulan Ramadhan? Dia menjawab, Beliau tidak pemah 
menambah -di Ramadhan atau di luarnya- lebih dari 11 raka'at. Beliau shalat 
empat rakaat, maka jangan ditanya tentang bagusnya dan lamanya. Kemudian beliau 
shalat 3 raka'at. [HR Bukhari]


Kata ثم (kemudian), adalah kata penghubung yang memberikan makna berurutan, dan 
adanya jeda waktu.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat empat raka'at dengan dua kali 
salam, kemudian beristirahat. Hal ini berdasarkan keterangan Aisyah 
Radhiyallahu anhuma, Adalah Rasulullah melakukan shalat pada waktu setelah 
selesainya shalat Isya', hingga waktu fajar, sebanyak 11 raka'at, mengucapkan 
salam pada setiap dua raka'at, dan melakukan witir dengan saturaka'at. [HR 
Muslim].

Juga berdasarkan keterangan Ibn Umar Radhiyallahu anhuma, bahwa seseorang 
bertanya, Wahai Rasulullah,bagaimana shalat malam itu? Beliau menjawab, 

مَشْنَى مَشْنَى فَإِذَا خِفْتَ الصُّبْحَ فَأَوْتِِرْ بِوَا حِدَةِ

Yaitu dua raka'at-dua raka'at, maka apabila kamu khawatir (masuk waktu) 
shubuh, berwitirlah dengan satu raka'at. [HR Bukhari]

Dalam hadits Ibn Umar yang lain disebutkan:

صَلاَةُ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ رَكْعَتَانِ رَكْعَتَانِ

Shalat malam dan siang dua raka'at-dua raka'at. [HR Ibn Abi Syaibah. Ash 
Shalah, 309; At Tamhid, 5/251; Al Hawadits, 140-143; Fathul Bari, 4/250; Al 
Ijabat Al Bahiyyah,18; Al Muntaqa,4/49-51]

Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/3150/slash/0/shalat-tarawih-nabi-shallallahu-alaihi-wa-sallam-dan-salafush-shalih/

 

2. Hadits Aisyah yang dimaksudkan oleh Ibnu Hajar rahimahullah ialah hadits 
yang diriwayatkan oleh Bukhari (3/59), Muslim (2/166) dari Aisyah Radhiyallahu 
'anha. Bahwa Abu Salamah bin Abdurrahman Radhiyallahu 'anhu bertanya kepada 
Aisyah Radhiyallahu 'anha perihal shalat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam 
pada bulan Ramadhan. Aisyah Radhiyallahu 'anha menjawab:

مَا كَانَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ 
رَكْعَةً وفي رواية لمسلم يُصَلِّي ثَمَانَ رَكَعَاتٍ ثُمَّ يُوتِرُ رواه البخاري 
و مسلم

Pada bulan Ramadhan, Beliau tidak pernah melebihkan dari 11 rak’at. (Begitu) 
juga pada bulan lainnya. (Dalam hadits riwayat Muslim) Beliau Shallallahu 
'alaihi wa sallam shalat 8 raka’at, lalu melakukan witir.

Dengan langgam bahasanya yang keras/tegas, hadits Aisyah ini memberikan kesan 
pengingkaran terhadap tambahan lebih dari bilangan (sebelas) ini. Sedangkan 
dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma tentang cara shalat malam Nabi Shallallahu 
'alaihi wa sallam, dia mengatakan:

فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ 
ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ أَوْتَرَ رواه مسلم

Lalu Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat 2 raka’at, kemudian 2 
raka’at, kemudian 2 raka’at, kemudian 2 raka’at, kemudian 2 raka’at, kemudian 2 
raka’at, kemudian witir. [HR Muslim 2/179]

Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/3143/slash/0/shalat-tarawih-keabsahan-23-rakaat/

 

Wallahu Ta'ala A'lam

 



  

RE: [assunnah]Tanya Zakat emas dan uang tabungan

2013-07-28 Terurut Topik Abu Harits
From: susy.tambu...@yahoo.com
Date: Fri, 26 Jul 2013 17:37:27 +0800
Saudara-saudara Sekalian, 
Apabila memiliki 1keping logam mulia seberat 50 gram, dibeli dengan cara 
dicicil selama 1,5thn melalui sebuah bank syariah, 
dan awal mencicil dari bulan oktober 2012 dan pada bulan april 2013 logam mulia 
tersebut sudah diambil dari bank (selama 1,5th di simpan dibank) diperkirakan 
harga logam mulia tersebut -/+25JT, dan memiliki uang didua rekening tabungan 
dengan total -/+ 40Jt yang sudah mengendap 1thn lebih dibank.
Apakah logam mulia tsb dan uang didua rekening tersebut ada zakatnya dan 
bagaimana perhitungannya. 
Atas segala perhatian dan waktu luang saudara untuk menjelaskan permasalahan 
diatas
saya mengucapkan terima kasih.
Susi



 

Untuk mengetahui apakah emas dan uang kertas yang dimiliki sudah memenuhi 
syarat wajib zakat,  silakan perhatikan contoh perhitungan zakat emas dan uang 
kertas dibawah ini.

 

1. Jual beli emas dengan cara cicilan termasuk Riba

Diantara batasan syari’at yang harus anda indahkan dalam perniagaan ialah 
ketentuan tunai dalam jual beli emas dan perak. Bila anda membeli atau menjual 
emas, maka harus terjadi serah terima barang dan uang langsung. Eksekusi serah 
terima barang dan uang ini benar-benar harus dilakukan pada fisik barang, dan 
bukan hanya surat-menyuratnya. Penjual menyerahkan fisik emas yang ia jual, dan 
pembeli menyerahkan uang tunai, tanpa ada yang tertunda atau terhutang 
sedikitpun dari keduanya. 

Dengan demikian, jual beli emas online yang banyak dilakukan oleh pedagang saat 
ini nyata-nyata bertentangan dengan hadits berikut:

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ 
وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ 
مِثْلًا بِمِثْلٍ، سَوَاءً بِسَوَاءٍ، يَداً بِيَدٍ، فَمَنْ زَادَ أَوْ ا 
سْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُغطِي فِيْهِ سَوَاء

“Emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan 
gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual 
dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, (takaran/timbangannya) harus sama 
dan kontan. Barangsiapa menambah atau meminta tambahan maka ia telah berbuat 
riba, penerima dan pemberi dosanya sama” [Riwayat Muslim hadits no. 1584]

Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/3236/slash/0/praktik-riba-merajalela/

 

WAJIBNYA SERAH TERIMA DALAM JUAL BELI EMAS
Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta ditanya : Jika ada 
seseorang menjual perhiasan emas kepada orang lain, sedang pembeli tidak 
memiliki sebagian nilai atau nilai secara keseluruhan, tidak juga setelah 
beberapa hari, setelah sebulan atau dua bulan, apakah yang seperti ini 
diperbolehkan.

Jawaban
Jika nilai yang dipergunakan untuk membeli perhiasan emas itu emas, perak atau 
yang menempati posisi keduanya dari uang kertas atau berkas-berkasnya, maka hal 
itu tidak boleh, bahkan haram hukumnya, karena di dalamnya terkandung riba 
nasa’. Dan jika pembelian itu pada barang-barang (selain emas dan perak), 
misalnya kain, makanan atau yang semisalnya, maka diperbolehkan menangguhkan 
pembayaran harga.

MEMBELI EMAS DARI PENJUAL GROSIR DAN MELUNASI HARGANYA DENGAN ANGSURAN.
Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta ditanya : Saya salah 
seorang pengusaha di bidang jual beli emas perhiasan. Kami beli dari para 
pedagang pengimpor secara grosir, dan membayar harganya dengan beberapa kali 
bayar. Apakah cara yang saya pergunakan dan juga dipergunakan oleh seluruh 
pengusaha di bidang ini halal atau haram? Tolong disertai penjelasan mengenai 
penghalalan dan pengharamannya.

Jawaban
Jika kenyataannya seperti yang disebutkan di atas, yaitu jual beli emas yang 
sudah dibentuk perhiasan, maka muamalah dengan cara seperti itu adalah haram, 
jika tagihan dari pembelian itu dibayar beberapa kali dengan emas, perak atau 
uang kertas yang mengganti posisi keduanya. Sebab, di dalamnya terkandung riba 
nasa’. Dan bisa juga di dalam mu’amalah ini tergabung riba fadhl dan riba 
nasa’, jika barang yang dijual dan apa yang digunakan untuk membayar dari satu 
jenis, misalnya masing-masing terdiri dari emas, tetapi mempunyai timbangan 
yang berbeda, sedang pembayarannya dilakukan beberapa kali.

Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/2372/slash/0/wajibnya-serah-terima-dalam-jual-beli-emas-membeli-emas-dengan-angsuran/
 


2. Nishâb (ukuran standar minimal) kewajiban zakat emas dan perak (24 karat).

Nishab emas, adalah 20 (dua puluh) dinar, atau seberat 91 3/7 gram emas [a]
Nishab perak, yaitu sebanyak 5 (lima) ‘uqiyah, atau seberat 595 gram.[b] 
Kadar zakat yang harus dikeluarkan dari emas dan perak bila telah mencapai 
nishab adalah atau 2,5%.

__

[a]. Penentuan nishab emas dengan 91 3/7 gram, berdasarkan keputusan Komisi 
Tetap Fatwa Kerajaan Saudi Arabia no. 5522. Adapun Syaikh Muhammad bin Shâlih 
al-’Utsaimin menyatakan, bahwa nishab zakat emas adalah 85 gram, sebagaimana 
beliau tegaskan dalam bukunya, Majmu’ 

RE: [assunnah]Shalat satu shaff antara laki-laki dan wanita

2013-07-28 Terurut Topik Abu Harits
From: cacun.sopia...@pzcussons.com
Date: Fri, 26 Jul 2013 16:36:13 +0700
Assalamualaikum,
Apakah diperbolehkan shallat sejajar satu shaf agak renggang antara
Ikhwan dan Akhwat baik pada saat shallat Fardhu maupun Sunah ?
syukron

 
Posisi wanita dalam shalat, berdiri di belakang shaf laki-laki.
 
Seorang wanita bila berma'mum kepada seorang laki-laki, maka ia berdiri di 
belakang shaf laki-laki, walaupun ia sendirian. Demikian juga bila shalat 
sendirian bersama imam laki-laki, maka ia berdiri di belakangnya, dan tidak di 
sebelah kanannya. Semua ini berdasarkan hadits-hadits di bawah ini: 

a. Hadits Anas yang berbunyi:

صَلَّيْتُ أَنَا وَيَتِيمٌ فِي بَيْتِنَا خَلْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ 
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأُمِّي أُمُّ سُلَيْمٍ خَلْفَنَا

Aku shalat bersama seorang anak yatim di rumah kami di belakang Nabi 
Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan ibuku Ummu Sulaim di belakang kami 
[Muttafaqub ‘alaihi]

b. Hadits Anas yang berbunyi: 

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى بِهِ وَبِأُمِّهِ 
أَوْ خَالَتِهِ قَالَ فَأَقَامَنِي عَنْ يَمِينِهِ وَأَقَامَ الْمَرْأَةَ 
خَلْفَنَا 

Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengimami Anas bin Malik 
dan ibunya atau bibinya, Anas berkata,Lalu Rasulullah menjadikan aku berdiri 
di sebelah kanannya dan wanita di belakang kami. [HR Muslim]
Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/2612/slash/0/memahami-posisi-imam-dan-mamum-dalam-shalat-berjamaah/
 
SAHKAH SHALAT WANITA JIKA SHAFNYA SEJAJAR DENGAN LAKI-LAKI?

Pertanyaan.
Ana mau bertanya mengenai shaf wanita di masjid lantai 2 yang sejajar dengan 
shaf laki-laki yang berada di lantai bawah, dan shaf wanita yang di lay out di 
belakang shaf ke-5 laki-laki tetapi sejajar dengan shaf laki-laki selanjutnya, 
tetapi tertutup hijab. Apakah sah shalat wanita pada masjid tersebut?  

Jawaban.
Aturan shaf di dalam shalat berjama'ah bagi wanita adalah sebagaimana 
disabdakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai berikut:

خَيْرُ صُفُوفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا وَخَيْرُ صُفُوفِ 
النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا قَالَ 

Sebaik-baik shaf (barisan di dalam shalat) bagi laki-laki adalah yang pertama, 
dan yang paling buruk adalah yang terakhir. Dan sebaik-baik shaf bagi wanita 
adalah yang terakhir dan yang paling buruk adalah yang pertama.[4] 

Namun cara berdiri ini, bukan termasuk syarat atau rukun shalat, sehingga 
shalat wanita sebagaimana yang ditanyakan tersebut, insya Allah sah. Wallahu 
a'lam.
Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/2795/slash/0/doa-allahuma-ajirni-minan-nar-berjamaah-dua-orang-shaf-wanita-sejajar-laki-laki-doa-sujud-sahwi/
 
Wallahu Ta'ala A'lam 






  

RE: [assunnah]Tanya : waktu dimulainya sholat dhuha

2013-07-28 Terurut Topik Abu Harits
From: purb...@yahoo.co.id
Date: Sun, 28 Jul 2013 06:56:34 +0800


Assalamualaikum.





Tanya, pada jam berapa dimulainya sholat dhuha dan apa maksud setombak dalam 
penentuan waktu.
Terimakasih
muliaman purba.

 
Waktu Dhuha berawal setelah matahari terbit seukuran tombak, yaitu sekitar satu 
meter. Adapun dalam perhitungan jam, yang ma'ruf ialah sekitar 12 menit, atau 
untuk lebih hati-hati sekitar 15 menit. Apabila telah berlalu 15 menit dari 
terbit matahari, maka hilanglah waktu terlarang dan masuklah waktu untuk bisa 
menunaikan shalat Dhuha.
 
 
WAKTU PELAKSANAAN SHALAT DHUHA
Waktu shalat Dhuha dimulai dari terbitnya matahari hingga menjelang matahari 
tergelincir (zawâl). Sedangkan akhir waktu Dhuha, yaitu dengan tergelincirnya 
matahari yang menjadi awal waktu Zhuhur.

Secara rinci Syaikh Ibnu 'Utsaimîn menjelaskan bahwa waktu Dhuha berawal 
setelah matahari terbit seukuran tombak, yaitu sekitar satu meter. Adapun dalam 
perhitungan jam, yang ma'ruf ialah sekitar 12 menit, atau untuk lebih hati-hati 
sekitar 15 menit. Apabila telah berlalu 15 menit dari terbit matahari, maka 
hilanglah waktu terlarang dan masuklah waktu untuk bisa menunaikan shalat 
Dhuha. Sedangkan akhir waktunya, ialah sekitar sepuluh menit sebelum matahari 
tergelincir. [11] 

Dalil yang menjadi penetapan awal waktu Dhuha, yaitu hadits Abu Dzar yang 
berbunyi:

عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ 
أَنَّهُ قَالَ ابْنَ آدَمَ ارْكَعْ لِي مِنْ أَوَّلِ النَّهَارِ أَرْبَعَ 
رَكَعَاتٍ أَكْفِكَ آخِرَهُ أخرجه الترمذي. 

Dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dari Allah Subhanahu wa Ta’ala 
bahwa Allah berfirman: Wahai Bani Adam, shalatlah untuk-Ku pada awal siang 
hari empat rakaat, niscaya Aku menjagamu pada sisa hari tersebut.

Adapun jeda sebelumnya, karena ada larangan shalat sebelum matahari 
tergelincir. Oleh karena itu, Syaikh Ibnu 'Utsaimîn rahimahullah menyatakan, 
Jika demikian, waktu shalat Dhuha dimulai setelah keluar dari waktu larangan 
pada awal siang hari (pagi hari) sampai adanya larangan saat tengah hari.[12] 

WAKTU PALING UTAMA 
Adapun waktu paling utama dalam pelaksanaan shalat Dhuha ialah di akhir 
waktunya. Demikian menurut penjelasan Syaikh Ibnu 'Utsaimîn rahimahullah, dan 
hal ini dijelaskan oleh hadits:

أَنَّ زَيْدَ بْنَ أَرْقَمَ رَأَى قَوْمًا يُصَلُّونَ مِنْ الضُّحَى فَقَالَ أَمَا 
لَقَدْ عَلِمُوا أَنَّ الصَّلَاةَ فِي غَيْرِ هَذِهِ السَّاعَةِ أَفْضَلُ إِنَّ 
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ صَلَاةُ الْأَوَّابِينَ 
حِينَ تَرْمَضُ الْفِصَالُ

Sesungguhnya Zaid bin Arqam melihat satu kaum melakukan shalat Dhuha, lalu ia 
berkata: Apakah mereka belum mengetahui bahwa shalat pada selain waktu ini 
lebih utama? Sesungguhnya, dahulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam 
bersabda, shalat al-awwabîn (ialah) ketika anak onta kepanasan.[14] 
Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/3488/slash/0/shalat-dhuha-pengganti-sedekah-persendian/
 
Wallahu Ta'ala A'lam
 


  

RE: [assunnah]Apakah zakat emas setiap tahun

2013-07-27 Terurut Topik Abu Harits
From: har...@inti.co.id
Date: Fri, 26 Jul 2013 13:51:40 +0700,
Maaf, ana mau bertanya sekalian di milist ini, 
Jika seseorang sdh mengeluarkan zakat emas perhiasannya tahun lalu, apakah 
tahun ini dan tahun2 berikutnya mengeluarkan lagi?
Apakah zakat emas perhiasan hanya satu kali saja dibayarkan?, yaitu pada saat 
seseorang membeli perhiasan emas dimaksud (artinya emas yg dibeli dlm bentuk 
perhiasan, dan sekalian tentu untuk diniatkan sebagai simpanan).
Bagaimana kalau seseorang membeli LM yg berupa batangan/kepingan 5,10,25, gram, 
dst. Apakah zakatnya hanya satu kali atau setiap tahun, selama orang tsb masih 
menyimpan emas2 dimaksud.
Demikian, mohon kiranya ana diberi pencerahan. Atas bantuannya, ana ucapkan 
terima kasih.
Wassalam
Abu Muhammad




Harta, baik berupa uang atau perhiasan (emas dan perak) apabila sudah mencapai 
nishab, setiap tahunnya harus dikeluarkan zakat.
 
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Saya mempunyai perak yang 
dijadikan perhiasan di leher, kedua tangan, kepala dan ikat pinggang, saya 
sudah berulang-ulang meminta kepada suami saya agar menjual harta itu dan 
menzakatinya, tapi ia mengatakan, bahwa harta itu belum mencapai nishab. Saya 
telah memiliki harta itu selama sekitar dua puluh tiga tahun dan belum pernah 
mengeluarkan zakatnya. Apa yang harus saya lakukan sekarang ..?

Jawaban
Jika harta itu belum mencapai nishab, maka tidak ada kewajiban zakat pada harta 
itu, perlu diketahui bahwa nishab dari perak adalah seratus empat puluh mitsqal 
(enam ratus empat puluh empat gram), dan jika perhiasan perak itu telah 
mencapai jumlah tersebut maka wajib mengeluarkan zakat dari harta itu setiap 
tahunnya menurut pendapat yang paling benar tentang hal itu diantara dua 
pendapat ulama. Harta yang dikeluarkan untuk zakat itu adalah senilai dua 
setengah persennya. Adapun nishab dari harta emas adalah sembilan puluh dua 
gram, dan harta yang harus dikeluarkan itu adalah senilai dua setengah 
persennya jika telah mencapai nishab ini. Jika harta yang dizakati itu melebihi 
dari nishab, maka dikeluarkan sebesar dua setengah persen dari seluruhnya, 
berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

مَا مِنْ صَاحِبِ ذَهَبٍ وَلَا فِضَّةٍ لَا يُؤَدِّي مِنْهَا حَقَّهَا إِلَّا 
إِذَا كَانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ صُفِّحَتْ لَهُ صَفَائِحَ مِنْ نَارٍ فَأُحْمِيَ 
عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَيُكْوَى بِهَا جَنْبُهُ وَجَبِينُهُ وَظَهْرُهُ 
كُلَّمَا بَرَدَتْ أُعِيدَتْ لَهُ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ 
سَنَةٍ حَتَّى يُقْضَى بَيْنَ الْعِبَادِ فَيَرَى سَبِيلَهُ إِمَّا إِلَى 
الْجَنَّةِ وَإِمَّا إِلَى النَّارِ

Orang yang memiliki emas dan perak kemudian ia tidak mengeluarkan zakatnya 
maka pada hari kiamat nanti, akan dibuatkan baginya lempengan-lempengan yang 
terbuat dari api, kemudian distrikakan pada dahinya, lambungnya dan 
punggungnya, yang mana satu harinya seukuran lima puluh ribu tahun hingga Allah 
menetapkan ketetapannya di antara para hamba-hamba-Nya, kemudian ia akan 
mengetahui apakah ia akan menuju Surga atau ke Neraka Hadits ini dikeluarkan 
oleh Muslim dalam kitab Shahihnya.

Dan telah diriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dari hadits 
Abdullah bin Amr bin Al-'Ash, ia berkata : Bahwa seorang wanita datang menemui 
beliau dan di tangan putrinya melingkar dua gelang emas, maka beliau bersabda.

أِيُسُرُّكِ أَنْيُسَورك اللُّه بِهِمَا يَوْمَ اَلْقِيَامَةِ سِوَاَيْنِ مِنْ 
نَّارِ

Apakah engkau mengeluarkan zakat ini (gelang emas) ?, wanita itu menjawab : 
Tidak, maka beliau bersabda : Apakah engkau senang jika Allah melingkarkan 
gelang padamu di hari Kiamat dengan dua gelang yang terbuat dari api.?. Lalu 
wanita tersebut melepaskan kedua gelang itu dan memberikannya kepada Rasulullah 
Shallallahu 'alaihi wa sallam sambil berkata : Kedua gelang ini untuk Allah 
dan Rasul-Nya.

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dan An-Nasa'i dengan sanad yang shahih, 
dan banyak hadits yang semakna dengan hadits ini.
Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/351/slash/0/tidak-mengeluarkan-zakat-perhiasan-selama-dua-puluh-tahun/
 
Wallahu Ta'ala A'lam 







  

RE: [assunnah]Tanya : Zakat perhiasan emas

2013-07-25 Terurut Topik Abu Harits
 From: nea_...@yahoo.com
 Date: Thu, 25 Jul 2013 03:27:36 +
 Baarokallahu fiekum 
 Maaf sebelumnya kalo pertanyaannya dasar sekali dan terlihat bodoh, tapi saya 
 benar2 tidak tahu. Yg ingin saya tanyakan adalah, apakah perhiasan emas 
 seperti kalung, anting, gelang dll yg kadang digunakan bergantian (terkadang 
 dipakai, terkadang dilepas) apakah termasuk harus yg dikeluarkan zakat?
 Dan berapa batas untuk mengeluarkan zakat? Min 85gram yah? *cmiiw
 Mohon bantuan infonya. Trimakasih
 --Acha--
 

 

Pemilik perhiasan (emas) mengeluarkan zakat, apabila perhiasannya telah 
mencapai nishab dan telah berlalu satu tahun (sejak memilikinya).

 

1. Nishab adalah batas minimal dari harta zakat. Bila seseorang telah memiliki 
harta sebesar itu, maka ia wajib untuk mengeluarkan zakat. Dengan demikian, 
batasan nishab hanya diperlukan oleh orang yang hartanya sedikit, untuk 
mengetahui apakah dirinya telah berkewajiban membayar zakat atau belum.

. Nishab emas, adalah 20 (dua puluh) dinar, atau seberat 91 3/7 gram emas [3]
. Nishab perak, yaitu sebanyak 5 (lima) ‘uqiyah, atau seberat 595 gram.[4] 
. Kadar zakat yang harus dikeluarkan dari emas dan perak bila telah mencapai 
nishab adalah atau 2,5%

. Perlu diingat, bahwa yang dijadikan batasan nishab emas dan perak tersebut, 
ialah emas dan perak murni (24 karat).[5] Dengan demikian, bila seseorang 
memiliki emas yang tidak murni, misalnya emas 18 karat, maka nishabnya harus 
disesuaikan dengan nishab emas yang murni (24 karat), yaitu dengan cara 
membandingkan harga jualnya, atau dengan bertanya kepada toko emas, atau ahli 
emas, tentang kadar emas yang ia miliki. Bila kadar emas yang ia miliki telah 
mencapai nishab, maka ia wajib membayar zakatnya, dan bila belum, maka ia belum 
berkewajiban untuk membayar zakat.

Orang yang hendak membayar zakat emas atau perak yang ia miliki, dibolehkan 
untuk memilih satu dari dua cara berikut :
Cara Pertama : Membeli emas atau perak sebesar zakat yang harus ia bayarkan, 
lalu memberikannya langsung kepada yang berhak menerimanya.
Cara Kedua : Ia membayarnya dengan uang kertas yang berlaku di negerinya 
sejumlah harga zakat (emas atau perak) yang harus ia bayarkan pada saat itu.

Sebagai contoh, bila seseorang memiliki emas seberat 100 gram dan telah berlalu 
satu haul, maka ia boleh mengeluarkan zakatnya dalam bentuk perhiasan emas 
seberat 2,5 gram. Sebagaimana ia juga dibenarkan untuk mengeluarkan uang 
seharga emas 2,5 gram tersebut. Bila harga emas di pasaran Rp. 200.000, maka, 
ia berkewajiban untuk membayarkan uang sejumlah Rp. 500.000,- kepada yang 
berhak menerima zakat..

 

___

[3]. Penentuan nishab emas dengan 91 3/7 gram, berdasarkan keputusan Komisi 
Tetap Fatwa Kerajaan Saudi Arabia no. 5522. Adapun Syaikh Muhammad bin Shâlih 
al-’Utsaimin menyatakan, bahwa nishab zakat emas adalah 85 gram, sebagaimana 
beliau tegaskan dalam bukunya, Majmu’ Fatâwâ wa Rasâ‘il, 18/130 dan 133).
[4]. Penentuan nishab perak dengan 595 gram, berdasarkan penjelasan Syaikh 
Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin pada berbagai kitab beliau, di antaranya 
Majmu’ Fatâwâ wa Rasâ‘il, 18/141.

Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/3148/slash/0/cara-menghitung-zakat-mal/

 

2.Berlalu setahun (sejak memilikinya)
Syarat ini ditetapkan berdasarkan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa 
sallam, diantaranya hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma yang berbunyi :

سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ يَقُوْلُ : لاَ زَكَاةَ فِيْ مَالٍ حَتَّى يَحُوْلَ 
عَلَيْهِ الْحَوْلُ

Aku telah mendengar Rasûlullâh bersabda, Tidak ada zakat pada harta sampai 
harta itu berlalu setahun lamanya [HR. Ibnu Mâjah rahimahullah , no. 1792 dan 
dishahihkan al-Albâni rahimahullah dalam shahih sunan Ibnu Mâjah 2/98].

Juga hadits Ali Radhiyallahu anhu yang berbunyi :

عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيْسَ فِي مَالٍ 
زَكَاةٌ حَتَّى يَحُولَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ

Diriwayatkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda, Tidak ada 
zakat pada harta hingga harta itu berlalu setahun lamanya [HR Abu daud no. 1571 
dan dishahihkan al-Albani dalam Shahîh Sunan Abi Daud 1/346].

Demikian juga dalam hadits Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma, beliau Radhiyallahu 
anhuma berkata : 

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ اسْتَفَادَ مَالًا 
فَلَا زَكَاةَ عَلَيْهِ حَتَّى يَحُولَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ 

Rasûlullâh bersabda, Barangsiapa memanfaatkan harta maka tidak ada zakat 
atasnya sampai harta itu berlalu setahun [HR at-Tirmidzi rahimahullah dalam 
Sunannya no. 631 dan dishahihkan al-Albâni rahimahullah dalam Shahîh Sunan 
at-Tirmidzi 1/348].

Maksudnya adalah tidak ada zakat pada harta sampai kepemilikannya terhadap 
harta itu berlalu selama dua belas bulan. Jika sudah berlalu setahun sejak awal 
masa kepemilikannya, maka dia wajib mengeluarkan dari zakat yang dimiliki 
tersebut. 

Syarat ini hanya berlaku pada tiga jenis harta; yaitu hewan ternak yang 
digembalakan, emas dan perak (atsmân) dan zakat barang perdagangan.[6]


RE: [assunnah]Tanya : Arti Masjid dan I'tikaf

2013-07-24 Terurut Topik Abu Harits
From: cintafi...@yahoo.co.id
Date: Wed, 24 Jul 2013 08:11:04 +0800










Assalamualaikum,
Mau nanya apakah pengertian masjid dan itikaf ?

Apakah itikaf hanya sah dimasjid ?

Apakah lailatul qadar hanya untuk mereka yg dimasjid ?


Terima Kasih



 

1. Pengertian Masjid

http://almanhaj.or.id/content/2524/slash/0/pengertian-masjid/

Lafazh اَلْمَسَاجِدُ adalah jamak dari lafazh مَسْجِدٌ
Masjid (مَسْجِدٌ) dengan huruf jiim yang dikasrahkan adalah tempat khusus yang 
disediakan untuk shalat lima waktu. Sedangkan jika yang dimaksud adalah tempat 
meletakkan dahi ketika sujud, maka huruf jiim-nya di fat-hah-kan[1] مَسْجَدٌ 

 

Istilah masjid menurut syara’ adalah tempat yang disediakan untuk shalat di 
dalamnya dan sifatnya tetap, bukan untuk sementara [4].

 

2. Pengertian I'tikaf

http://almanhaj.or.id/content/1146/slash/0/i-t-i-k-a-f-berdiam-diri/

 

3. Defenisi I'tikak

http://almanhaj.or.id/content/3151/slash/0/itikaaf/

 

Tempatnya harus di masjid.
Hakikat i'tikaaf, ialah tinggal di masjid dengan tujuan mendekatkan diri kepada 
Allah Ta'ala.

Mengenai tempat i'ikaaf harus di masjid berdasarkan firman Allah Ta'ala.

وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

Tetapi janganlah kamu campuri mereka itu, sedangkan kamu beri'tikaaf di 
masjid. [Al-Baqarah: 187]

Jadi, i'tikaaf itu hanya sah bila dilaksanakan di masjid.

 

4. Malam Lailatul Qadar

http://almanhaj.or.id/content/1142/slash/0/malam-lailatul-qadar/

Pendapat yang paling kuat, terjadinya malam Lailatul Qadar itu pada malam 
terakhir bulan Ramadhan berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallahu 'anha, dia 
berkata Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam beri'tikaf di sepuluh hari 
terkahir bulan Ramadhan dan beliau bersabda.

تَحَرَّوْا وفي رواية : الْتَمِسُوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِيْ الْوِتْرِ مِنْ 
الْعَشْرِ

Carilah malam Lailatul Qadar di (malam ganjil) pada 10 hari terakhir bulan 
Ramadhan [3] 

Jika seseorang merasa lemah atau tidak mampu, janganlah sampai terluput dari 
tujuh hari terakhir, karena riwayat dari Ibnu Umar, (dia berkata) : Rasulullah 
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

الْتَمِسُوْ مَا فِيْ الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ فَإِنْ ضَعُفَ أَحَدُ كُمْ أَوْ 
عَجَزَ فَلاَ يُغْلَبَنَّ عَلَى السَّبْعِ الْبَوَاقِي

Carilah di sepuluh hari terakhir, jika tidak mampu maka jangan sampai terluput 
tujuh hari sisanya [4] 

Ini menafsirkan sabdanya.

أَرَى رُؤْيَا كُمْ قَدْ تَوَاطَأَتْ فَمَنْ كَانَ مُتَحَرِّيَهَا فَلْيَتَحَرَّ 
هَا فيْ السَّبْعِ الأَوَاخِِرِ

Aku melihat mimpi kalian telah terjadi, barangsiapa yang mencarinya carilah 
pada tujuh hari terakhir [5] 

Telah diketahui dalam sunnah, pemberitahuan ini ada karena perdebatan para 
sahabat. Dari Ubadah bin Shamit Radhiyallahu 'anhu, ia berkata : Rasulullah 
Shallallahu 'alaihi wa sallam ke luar pada malam Lailatul Qadar, ada dua orang 
sahabat berdebat, beliau bersabda : Aku keluar untuk mengkhabarkan kepada 
kalian tentang malam Lailatul Qadar, tapi ada dua orang berdebat hingga tidak 
bisa lagi diketahui kapannya; mungkin ini lebih baik bagi kalian, carilah di 
malam 29. 27. 25 (dan dalam riwayat lain : tujuh, sembilan dan lima) [6]

 

Wallahu Ta'ala A'lam

 



  

RE: [assunnah]Shalat Tarawih pertengahan ramadan

2013-07-24 Terurut Topik Abu Harits
From: aavo...@yahoo.co.id
Date: Wed, 24 Jul 2013 13:42:18 +0800 





Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Apakah shalat tarawih pada pertengahan bulan Ramadhan surat yang dibaca pada 
rakaat pertama Al- Qadr dan shalat witir memakai qunut, mohon penjelasan dengan 
dalil yang sahih.
Jazakumullaah khoiron



 

QUNUT PADA PERTENGAHAN RAMADHAN SAMPAI AKHIR RAMADHAN
Disyari’atkan juga qunut pada pertengahan Ramadhan sampai akhir Ramadhan, 
berdasarkan riwayat Sahabat dan Tabi’in.

Dari ‘Amr bin Hasan, bahwasanya ‘Umar radhiyallahu anhu menyuruh Ubay 
radiyallahu ‘anhu mengimami shalat (Tarawih) pada bulan Ramadhan, dan beliau 
menyuruh Ubay radhiyallahu ‘anhu untuk melakukan qunut pada pertengahan 
Ramadhan yang dimulai pada malam 16 Ramadhan.[8]

Ma’mar berkata: “Sesungguhnya aku melaksanakan qunut Witir sepanjang tahun, 
kecuali pada awal Ramadhan sampai dengan pertengahan (aku tidak qunut), 
demikian juga dilakukan oleh al-Hasan al-Bashri, ia menyebutkan dari Qatadah 
dan lain-lain.[9]

Demikian juga dari Ibnu Sirin.[10]

Syaikh al-Albani berkata: “Boleh juga do’a qunut sesudah ruku’ dan ditambah 
dengan (do’a) melaknat orang-orang kafir, lalu shalawat kepada Nabi Shallallahu 
‘alaihi wa sallam dan mendo’akan kebaikan untuk kaum Musli-min pada pertengahan 
bulan Ramadhan, karena terdapat dalil dari para Shahabat radhiyallahu ‘anhum di 
zaman ‘Umar radhiyallahu ‘anhu. Terdapat keterangan di akhir hadits tentang 
Tarawihnya para Shahabat radhiyallahu ‘anhum, Abdurrahman bin ‘Abdul Qari 
berkata: ‘Mereka (para Shahabat) melaknat orang-orang kafir pada (shalat Witir) 
mulai pertengahan Ramadhan

اللَّهُمَّ قَاتِلِ الْكَفَرَةَ الَّذِيْنَ يَصُدُّوْنَ عَنْ سَبِيْلِكَ 
وَيُكَذِّبُوْنَ رُسُلَكَ وَلاَ يُؤْمِنُوْنَ بِوَعْدِكَ، وَخَالِفْ بَيْنَ 
كَلِمَتِهِمْ وَأَلْقِ فِيْ قُلُوْبِهِمْ الرُّعْبَ، وَأَلْقِ عَلَيْهِمْ رِجْزَكَ 
وَعَذَابَكَ إِلَهَ الْحَقِّ.

“Artinya : Ya Allah, perangilah orang-orang kafir yang mencegah manusia dari 
jalan-Mu, yang mendustakan Rasul-Rasul-Mu dan tidak beriman kepada janji-Mu. 
(Ya Allah) perselisihkanlah, hancurkanlah persatuan mereka, timpakanlah rasa 
takut dalam hati mereka, timpakanlah kehinaan dan siksa-Mu atas mereka. (Ya 
Allah) Ilah Yang Haq.”

Kemudian membaca shalawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mendo’akan 
kebaikan bagi kaum Musli-min, kemudian memohon ampun bagi kaum Mukminin.

Setelah itu membaca: 

اللَّهُمَّ إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَلَكَ نُصَلِّيْ وَنَسْجُدُ وَإِلَيْكَ نَسْعَى 
وَنَحْفِدُ وَنَرْجُوْ رَحْمَتَكَ رَبَّنَا وَنَخَافُ عَذَابَكَ الْجِدَّ إِنَّ 
عَذَابَكَ لِمَنْ عَادَيْتَ مُلْحِقٌ.

Artinya : Ya Allah, hanya kepada-Mu kami beribadah, untuk-Mu kami melakukan 
shalat dan sujud, kepadamu kami berusaha dan bersegera, kami mengharapkan 
rahmat-Mu, kami takut siksaan-Mu. Sesungguhnya siksaan-Mu akan menimpa 
orang-orang yang memusuhi-Mu.”

Kemudian takbir, lalu melakukan sujud.[11]


Atau setelah membaca:

اللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيمَنْ هَدَيْتَ...

Kemudian membaca:

اللَّهُمَّ إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَلَكَ نُصَلِّيْ وَنَسْجُدُ وَإِلَيْكَ نَسْعَى 
وَنَحْفِدُ نَرْجُوْ رَحْمَتَكَ وَنَخْشَى عَذَابَكَ إِنَّ عَذَابَكَ 
بِالْكَافِرِيْنَ مُلْحِقٌ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْتَعِيْنُكَ، وَنَسْتَغْفِرُكَ، 
وَنُثْنِيْ عَلَيْكَ الْخَيْرَ، وَلاَ نَكْفُرُكَ، وَنُؤْمِنُ بِكَ، وَنَخْضَعُ 
لَكَ، وَنَخْلَعُ مَنْ يَكْفُرُكَ.

Artinya : “Ya Allah, kepada-Mu kami beribadah, untuk-Mu kami melakukan shalat 
dan sujud, kepada-Mu kami berusaha dan bersegera (melakukan ibadah). Kami 
mengharapkan rahmat-Mu, kami takut kepada siksaan-Mu. Sesungguh-nya siksaan-Mu 
akan menimpa pada orang-orang kafir. Ya Allah, kami minta pertolongan dan 
memohon ampun kepada-Mu, kami memuji kebaikan-Mu, kami tidak ingkar kepada-Mu, 
kami beriman kepada–Mu, kami tunduk kepada-Mu dan meninggalkan orang-orang yang 
kufur kepada-Mu.” [12]

Do’a di akhir shalat witir [13]

اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ وَأَعُوذُ بِمُعَافَاتِكَ 
مِنْ عُقُوبَتِكَ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْكَ لاَ أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ 
كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ.

Artinya : Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung dengan keridhaan-Mu dari 
kemarahan-Mu, dan dengan keselamatan-Mu dari ancaman-Mu. Aku tidak mampu 
menghitung pujian dan sanjungan kepada-Mu, Engkau adalah sebagai-mana yang 
Engkau sanjungkan pada Diri-Mu sendiri [14]

سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوْسِ، سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوْسِ، سُبْحَانَ 
الْمَلِكِ الْقُدُّوْسِ.

Artinya : Mahasuci Allah Raja Yang Mahasuci, Mahasuci Allah Raja Yang 
Mahasuci, Mahasuci Allah Raja Yang Mahasuci. (Nabi Shallallahu ‘alaihi wa 
sallam mengangkat suara dan memanjangkannya pada ucapan yang ketiga.) [15]

Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/1499/slash/0/makna-qunut-makna-nazilah-qunut-pada-pertengahan-ramadhan-dan-akhir-ramadhan/

 

Wallahu Ta'ala A'lam,

 



  

RE: [assunnah]Tanya : Bacaaan sujud sahwi

2013-07-23 Terurut Topik Abu Harits
From: purb...@yahoo.co.id
Date: Tue, 16 Jul 2013 12:17:12 +0800
Assalamu'alaikum warahmatullahi wa barakaatuh
Bismillah,
Terimaksih sebelumnya atas penjelasan dari batal wudhu, selanjutnya apa bacaan 
pada sujud sahwi ?
Wassamu'alaikum Warahmatullahi wa baralakaatuh
muliaman purba



 

TATA CARA SUJUD SAHWI 

http://almanhaj.or.id/content/2217/slash/0/tata-cara-sujud-sahwi/

SUJUD SAHWI

http://almanhaj.or.id/content/1371/slash/0/sujud-sahwi/

 

BACAAN SUJUD SAHWI
Tanya : Saya seringkali diajarkan oleh beberapa ustadz tentang bacaan sujud 
sahwi dengan bacaan ketika sujud Subhaanal-ladzii laa yanaamu walaa yashuu atau 
Subhaanal-ladzii la yashuu walaa yanaamu. Di buku hadits manakah saya bisa 
mendapatkan lafadh sujud sahwi ini agar amalan saya menjadi mantap ?

Jawab : Sujud sahwi adalah sujud dua kali yang dilakukan karena lupa di dalam 
shalat yang dikerjakan sebelum atau sesudah salam. Sepanjang pengetahuan dan 
sumber yang kami miliki, tidak ada satupun riwayat khusus yang menjelaskan 
tentang bacaan sujud sahwi. Oleh karena itu, banyak ulama yang menyatakan bahwa 
bacaan sujud sahwi sama dengan bacaan sujud dalam shalat.

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata : “Dan hendaklah dia membaca di dalam sujud 
(sahwi)-nya apa yang dibaca di dalam sujud dalam shalat, karena sujud sahwi 
tersebut merupakan sujud yang disyari’atkan serupa dengan sujud di dalam 
shalat” (Al-Mughni 2/432-433, Penerbit Hajar, Cet. 2, Th. 1412 H/1992 M).

Abu Muhammad bin Hazm (Ibnu Hazm) rahimahullah berkata : “Orang yang bersujud 
sahwi harus membaca di dalam kedua sujudnya : Subhaana rabbiyal-A’laa 
[سُبْحَانَ رَبِّيَ اْلأَعْلَى]; berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu 
‘alaihi wasallam (yang artinya) : “Jadikanlah ia (bacaan itu) di dalam sujudmu” 
(Al-Muhalla 4/170, tahqiq Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah).

Senada dengan pernyataan tersebut adalah fatwa para ulama dari Al-Lajnah 
Ad-Daaimah lil-Buhuts wal-Ifta’ (Komisi Tetap untuk Riset dan Fatwa) Saudi 
Arabia 7/149 nomor fatwa 5519.

Adapun pertanyaan yang Saudara tanyakan, maka kita serahkan kepada ahlinya, 
yaitu ulama besar hadits sepanjang jaman : Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani 
Asy-Syafi’i (pensyarah kitab Shahih Al-Bukhari – Fathul-Bari), dimana beliau 
berkata : “Aku telah mendengar sebagian para imam (ulama’) menghikayatkan bahwa 
seseorang disukai membaca di dalamnya (sujud sahwi) : [سُبْحَانَ مَنْ لَا 
يَنَامُ وَلَا يَسْهُوْ] Subhaana man-laa yanaamu walaa yashuu (“Maha Suci Allah 
yang Tidak Tidur dan Tidak Lupa)”. Kemudian beliau melanjutkan : “Aku tidak 
menemukan asalnya” [At-Talkhiishul-Habiir].

Dan benarlah apa yang dikatakan oleh Al-Hafidh Ibnu Hajar bahwa bacaan tersebut 
tidak bersumber pada kitab-kitab induk hadits. Atau dengan kata lain : Itu 
merupakan pendapat semata.

Kesimpulan : Bacaan sujud sahwi sebagaimana yang ditanyakan oleh Saudara 
Penanya bukan berasal dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, dan 
hendaklah ditinggalkan. Adapun yang disyari’atkan dibaca dalam sujud sahwi 
adalah sama dengan bacaan sujud dalam shalat. Allaahu a’lam. [Disalin dari 
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2008/07/bacaan-sujud-sahwi.html]

Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/2795/slash/0/doa-allahuma-ajirni-minan-nar-berjamaah-dua-orang-shaf-wanita-sejajar-laki-laki-doa-sujud-sahwi/

 

Wallahu Ta'ala A'lam 







  

RE: [assunnah]Imam Bergantian Saat Tarawih Bisakah?

2013-07-23 Terurut Topik Abu Harits
From: septi.widiaw...@ovi.com
Date: Wed, 17 Jul 2013 13:08:36 + 





Assalamu'alaikum warahmatullaah wabarakatuh
Afwan, mau menanyakan bisakah imam berganti saat tarawih lantaran hafalan surat 
yang dimiliki terbatas?
Jazakumullaahu khayran katsira


 

Biasanya di beberapa masjid imam shalat tarawih bergantian sesuai penunjukan 
oleh pengurus masjid.

 

 SIAPA YANG LEBIH BERHAK MENJADI IMAM?
Jika di suatu masjid terdapat imam rawatibnya, maka yang lebih berhak menjadi 
imam adalah imam rawatib yang ditunjuk oleh penguasa atau pengurus masjid. 
Kalau tidak ada, maka yang didahulukan ialah orang yang lebih banyak memiliki 
hafalan al Qur’an dan lebih memahami hukum Islam. Apabila di kalangan para 
jamaah setara, maka didahulukan yang lebih pandai dan lebih mengetahui tentang 
sunnah-sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Apabila juga setara, maka 
didahulukan orang yang lebih dahulu berhijrah. Apabila sama juga, maka 
didahulukan yang lebih tua usianya.[1]

Ini semua berdasarkan pada beberapa hadits di bawah ini:

1). Hadits Abu Sa’id al Khudri :

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانُوا ثَلَاثَةً 
فَلْيَؤُمَّهُمْ أَحَدُهُمْ وَأَحَقُّهُمْ بِالْإِمَامَةِ أَقْرَؤُهُمْ 

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : Apabila mereka tiga 
orang, maka hendaklah seorang dari mereka menjadi imam shalat mereka, dan yang 
paling berhak menjadi imam adalah yang paling baik bacaan al Qur`annya [HR 
Muslim 672]

2). Hadits Abu Mas’ud al Anshari, ia menyatakan :

قَالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَؤُمُّ الْقَوْمَ 
أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللَّهِ وَأَقْدَمُهُمْ قِرَاءَةً فَإِنْ كَانَتْ 
قِرَاءَتُهُمْ سَوَاءً فَلْيَؤُمَّهُمْ أَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً فَإِنْ كَانُوا فِي 
الْهِجْرَةِ سَوَاءً فَلْيَؤُمَّهُمْ أَكْبَرُهُمْ سِنًّا وَلَا تَؤُمَّنَّ 
الرَّجُلَ فِي أَهْلِهِ وَلَا فِي سُلْطَانِهِ وَلَا تَجْلِسْ عَلَى تَكْرِمَتِهِ 
فِي بَيْتِهِ إِلَّا أَنْ يَأْذَنَ لَكَ أَوْ بِإِذْنِهِ

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepada kami: Hendaknya yang 
menjadi imam shalat suatu kaum adalah yang paling hafal al Qur`an dan paling 
baik bacaannya. Apabila dalam bacaan mereka sama, maka yang berhak menjadi imam 
adalah yang paling dahulu hijrahnya. Apabila mereka sama dalam hijrah, maka 
yang berhak menjadi imam adalah yang paling tua. Janganlah kalian menjadi imam 
atas seseorang pada keluarga dan kekuasaannya, dan jangan juga menduduki 
permadani di rumahnya, kecuali ia mengizinkanmu atau dengan izinnya [HR Muslim 
dalam Shahih-nya, kitab al Masaajid wa Mawadhi’ Shalat, Bab Man Ahaqqu bil 
Imamah, no. 1709]

Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/2612/slash/0/memahami-posisi-imam-dan-mamum-dalam-shalat-berjamaah/

 

Wallahu Ta'ala A'lam 




  

RE: [assunnah]Tanya : Nilai harga zakat emas

2013-07-23 Terurut Topik Abu Harits
From: ika...@yahoo.com
Date: Tue, 23 Jul 2013 05:04:23 +
Ikhwah, ana mau tanya seputar zakat emas.
Untuk perhitungan nilai rupiah zakat emas, dasar perhitungannya apakah dari 
nilai beli atau nilai jual dari suatu instansi tertentu (misal PT. Antam)?
Sekarang ini, apabila memakai nilai PT.Antam (yg biasanya dijadikan acuan untuk 
jual beli emas saat ini) untuk harga beli konsumen berbeda beda nilainya, 
tergantung berat gram emas tersebut. Sedangkan harga jual ke produsen (ke PT. 
Antam) adalah sama tanpa memandang berat gram dari emas tsb.
Mohon penjelasan dan nasehatnya.


 

1. Yang menjadi pedoman dalam pembayaran zakat emas adalah harga emas pada saat 
membayar zakat, bukan harga pada saat membeli

 

Perlu diingat, bahwa harga emas dan perak di pasaran setiap saat mengalami 
perubahan, sehingga bisa saja ketika membeli, tiap 1 gram seharga Rp 100.000,- 
dan ketika berlalu satu tahun, harga emas telah berubah menjadi Rp. 200.000,- 
Atau sebaliknya, pada saat beli, 1 gram emas harganya sebesar Rp. 200.000,- 
sedangkan ketika jatuh tempo bayar zakat, harganya turun menjadi Rp. 100.000,- 

 

Pada kejadian semacam ini, yang menjadi pedoman dalam pembayaran zakat adalah 
harga pada saat membayar zakat, bukan harga pada saat membeli.

 

2. Orang yang hendak membayar zakat emas atau perak yang ia miliki, dibolehkan 
untuk memilih satu dari dua cara berikut.

Cara Pertama : Membeli emas atau perak sebesar zakat yang harus ia bayarkan, 
lalu memberikannya langsung kepada yang berhak menerimanya.

Cara Kedua : Ia membayarnya dengan uang kertas yang berlaku di negerinya 
sejumlah harga zakat (emas atau perak) yang harus ia bayarkan pada saat itu.

Sebagai contoh, bila seseorang memiliki emas seberat 100 gram dan telah berlalu 
satu haul, maka ia boleh mengeluarkan zakatnya dalam bentuk perhiasan emas 
seberat 2,5 gram. Sebagaimana ia juga dibenarkan untuk mengeluarkan uang 
seharga emas 2,5 gram tersebut. Bila harga emas di pasaran Rp. 200.000, maka, 
ia berkewajiban untuk membayarkan uang sejumlah Rp. 500.000,- kepada yang 
berhak menerima zakat.

Syaikh Muhammad bin Shâlih al-’Utsaimin rahimahullâh berkata: “Aku berpendapat, 
bahwa tidak mengapa bagi seseorang membayarkan zakat emas dan perak dalam 
bentuk uang seharga zakatnya. Ia tidak harus mengeluarkannya dalam bentuk emas. 
Yang demikian itu, lebih bermanfaat bagi para penerima zakat. Biasanya, orang 
fakir, bila engkau beri pilihan antara menerima dalam bentuk kalung emas atau 
menerimanya dalam bentuk uang, mereka lebih memilih uang, karena itu lebih 
berguna baginya.[6]

Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/3148/slash/0/cara-menghitung-zakat-mal/

 

Wallahu Ta'ala A'lam

 






  

RE: [assunnah]Mengangkat tangan dalam Qunut Witir

2013-07-22 Terurut Topik Abu Harits
 From: salwa_rizq...@yahoo.com
 Date: Sun, 21 Jul 2013 23:25:58 +
 Assalamu'alayku 
 Ana ingin tanya hukum mengangkat tangan ketika qunut dalam shalat witir.
 Jazaa kumullah 
 Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung 
 Teruuusss...!
 


TENTANG MENGANGKAT TANGAN KETIKA MEMBACA DO’A QUNUT

Tentang mengangkat tangan, terdapat dalil berupa hadits-hadits yang sah, baik 
dalam qunut Nazilah maupun qunut witir, di antara dalilnya adalah:

عَنْ ثَابِتْ عَنْ أَنَسٍ بْنِ مَالِكِ فِي قَصَّةِ الْقُرَّاءِ وَقَتْلِهِمْ، 
قَالَ: فَقَالَ لِي أَنَسُ: لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ 
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلَّمَا صَلَّى الْغَدَاةَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ يَدْعُوْ 
عَلَيْهِمْ، يَعْنِى عَلَى الَّذِيْنَ قَتَلُوْهُمْ...
رواه البيهقي 2/211

“Artinya : Dari Tsabit, dari Anas bin Malik tentang peristiwa al-Qurra’ 
(pembaca al-Qur’an) dan terbunuhnya mereka, bahwasanya ia (Anas) berkata: “Aku 
telah melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam setiap kali shalat 
Shubuh, beliau mengangkat kedua tangannya mendo’akan kece-lakaan atas mereka, 
yakni orang-orang yang membunuh mereka.”

Diriwayatkan oleh al-Baihaqi (II/211), dan ia berkata: “Beberapa Shahabat 
mengangkat tangan mereka ketika Qunut, di samping yang kami riwayatkan dari 
Anas bin Malik dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Beliau juga berkata : “Riwayat bahwa ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu 
mengangkat tangan ketika Qunut adalah shahih.” [Al-Baihaqy, II/212]

TENTANG MENGUSAP WAJAH SETELAH QUNUT ATAU BERDO’A

http://almanhaj.or.id/content/1515/slash/0/mengangkat-tangan-ketika-membaca-doa-qunut-mengusap-wajah-setelah-berdoa-dan-ucapan-amin/

Adapun mengusap wajah sesudah qunut atau do’a, maka perinciannya adalah sebagai 
berikut : 

1. Tidak ada satu pun hadits yang shahih tentang mengusap muka dengan telapak 
tangan setelah berdo’a. Semua hadits-haditsnya sangat lemah dan tidak bisa 
dijadikan hujjah, jadi tidak boleh dijadikan alasan tentang bolehnya mengusap.

2. Karena tidak ada contohnya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, 
maka mengamalkannya merupakan perbuatan bid’ah[1] 

3. Begitu juga tidak ada satu pun riwayat yang shahih dari Nabi Shallallahu 
‘alaihi wa sallam dan tidak juga dari para Shahabatnya tentang mengusap muka 
sesudah qunut nazilah.

4. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Adapun tentang Nabi Shallallahu 
‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya di waktu berdo’a, maka 
sesungguhnya telah datang hadits-hadits yang shahih (lagi) banyak jumlahnya. 
Sedangkan tentang mengusap muka, tidak ada satu pun hadits yang shahih, ada 
satu dua hadits, tetapi tidak dapat dijadikan hujjah[2]

5. Imam Al-‘Izz bin Abdis Salam berkata: “Tidaklah (yang melakukan) mengusap 
muka melainkan orang yang bodoh.” [3] 

6. Imam An-Nawawy berkata: “Tidak ada sunnahnya mengusap muka.”[4] 

7. Imam Al-Baihaqi juga menjelaskan bahwa tidak ada seorang pun dari ulama 
Salaf yang melakukan pengusapan wajah sesudah do’a qunut dalam shalat. [5] 

TENTANG UCAPAN AMIN

Berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma para Shahabat mengucapkan 
amin dalam do’a qunut. [6]

Do’a qunut hendaklah pendek, singkat dan tidak panjang, sebagaimana yang 
dicontohkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya 
radhiyallahu ‘anhum ajma’in.

 

Wallahu Ta'ala A'lam


 
  

RE: [assunnah]Mengkhatamkan atau memahami?

2013-07-22 Terurut Topik Abu Harits
From: milis.dediguna...@gmail.com
Date: Sat, 20 Jul 2013 11:52:22 +0700
 






Mau nanya kalau memiki waktu yang sama, 

mana yang lebih utama memperbanyak baca quran tanpa tau maknanya, dibaca aja.
Atau baca quran sama terjemahnya.

Misal sehari kalau baca saja dapat 1 juz.
Tapi kalau dgn baca terjemah dapat setengah juz misalnya...

Yg utama jelas banyak membaca dan mengerti yang dibaca.

Cuman kl kondisi diatas mana yg lebih utama?



 

3. MENGKHATAMKAN AL-QUR’ÂN ?
Di antara hal yang sangat menggembirakan dan menyejukkan hati ketika memasuki 
bulan Ramadhan yaitu semangat kaum Muslimin dalam melaksanakan ibadah, termasuk 
di antaranya membaca al-Qur’ân. Hampir tidak ada masjid yang kosong dari kaum 
Muslimin yang membaca al-Qur’ân. Pemandangan seperti ini jarang bisa didapatkan 
di luar bulan Ramadhan, kecuali di beberapa tempat tertentu. Yang menjadi 
pertanyaan, haruskah seorang Muslim mengkhatamkan bacaan al-Qur’ânnya di bulan 
Ramadhan ? 

Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimîn rahimahullah menjawab : “Mengkhatamkan 
al-Qur’ân pada bulan Ramadhan bagi orang yang sedang berpuasa bukan suatu hal 
yang wajib. Namun, pada bulan Ramadhan, semestinya kaum Muslimin memperbanyak 
membaca al-Qur’ân, sebagaimana Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. 
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangi oleh malaikat Jibrîl pada 
setiap bulan Ramadhan untuk mendengarkan bacaan beliau Shallallahu ‘alaihi wa 
sallam.[5]

Dalam hadits shahîh dijelaskan :

إِنَّ جِبْرِيْلَ عَلَيْهِ السَّلاَمَ كَانَ يَلْقَاهُ فِي كُلِّ سَنَةٍ فِي 
رَمَضَانَ حَتَّى يَنْسَلِخَ فَيَعْرِضُ عَلَيْهِ رَسُوْل ُاللَّهِ صَلَى اللَّهُ 
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْقُرْ آنَ فَإِذَا لَقِيَهُ جِبْرِيْلُ كَان رَسُوْل 
ُاللَّهِ صَلَى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ َ أَجْوَدَ بِالْخَيْرِ مِنْ الرِّ 
يْحِ المُرْ سَلَةِ 

Sesungguhnya Jibril mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam setiap 
tahun pada bulan Ramadhan sampai habis bulan Ramadhan. Beliau Shallallahu 
‘alaihi wa sallam memperdengarkan bacaan al-Qur’ân kepada Jibril. Ketika Jibril 
menjumpai Rasulullah, beliau lebih pemurah dibandingkan dengan angin yang 
ditiupkan [HR Muslim]

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan : “Dalam hadits ini terdapat beberapa 
faidah, di antaranya ; menjelaskan kedermawanan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi 
wa sallam, juga menjelaskan tentang anjuran untuk memperbanyak kebaikan pada 
bulan Ramadhan; dianjurkan untuk semakin baik ketika berjumpa dengan 
orang-orang shalih; di antaranya juga anjuran untuk bertadarrus al-Qur’ân”[6]
Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/3137/slash/0/apakah-harus-di-bulan-ramadhan/

 

Wallahu Ta'ala A'lam

 





  

RE: [assunnah]Obat Tetes mata ketika puasa

2013-07-22 Terurut Topik Abu Harits
 From: salwa_rizq...@yahoo.com
 Date: Mon, 22 Jul 2013 11:14:29 +
 Assalamu'alaykum 
 Ana ingin bertanya ; apakah batal orang yang menggunakan obat tetes mata 
 ketika berpuasa.
 Barakallahu fiikum
  


YANG BOLEH DILAKUKAN OLEH ORANG YANG PUASA

8. Bercelak, Memakai Tetes Mata Dan Lainnya Yang Masuk Ke Mata
Benda-benda ini tidak membatalkan puasa, baik rasanya yang dirasakan di 
tenggorokan atau tidak. Inilah yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah 
dalam risalahnya yang bermanfaat dengan judul Haqiqatus Shiyam serta murid 
beliau yaitu Ibnul Qayim dalam kitabnya Zadul Ma'ad, Imam bukhari berkata dalam 
shahhihnya[4] : Anas bin Malik, Hasan Al-Bashri dan Ibrahim An-Nakha'i 
memandang, tidak mengapa bagi yang berpuasa.
Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/1110/slash/0/yang-boleh-dilakukan-oleh-orang-yang-puasa/

 

13. Hal-Hal Yang Boleh Dilakukan Oleh Orang Yang Berpuasa

g. Bersiwak, memakai wangi-wangian, minyak rambut, celak mata, obat tetes mata 
dan suntikan.
Dasar dibolehkannya semua ini adalah hukum asalnya yang terlepas dari larangan 
(al-Bara'ah al-Ashliyah), jika hal tersebut diharamkan bagi orang yang berpuasa 
niscaya Allah dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam akan menjelaskannya.

وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا

“Dan tidaklah Rabb-mu lupa” [Maryam: 64]

Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/1629/slash/0/hal-hal-yang-boleh-dilakukan-oleh-orang-yang-berpuasa/

 

7. Perkara-Perkara Yang Dibolehkan.
a). Orang yang junub sampai datang waktu fajar, sebagaimana disebutkan dalam 
hadits Aisyah dan Ummu Salamah, keduanya berkata: Sesungguhnya Nabi 
Shallallahu 'alaihi wa sallam mendapatkan fajar (Subuh) dalam keadaan junub 
dari keluarganya, kemudian mandi dan berpuasa. [Riwayat Al Bukhari dan Muslim].
b). Bersiwak.
c). Berkumur dan memasukkan air ke hidung ketika berwudhu`.
d). Bersentuhan dan berciuman bagi orang yang berpuasa, dan dimakruhkan bagi 
orang-orang yang berusia muda, karena dikhawatirkan hawa nafsunya bangkit.
e). Injeksi yang bukan berupa makanan.
f). Berbekam.
g). Mencicipi makanan selama tidak masuk ke tenggorokan.
h). Memakai penghitam mata (celak) dan tetes mata.
i). Menyiram kepala dengan air dingin dan mandi.

Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/3140/slash/0/amalan-puasa-ramadhan/

 

Wallahu Ta'ala A'lam

 

 

 
  

RE: [assunnah]Zikir ramadan (lailatul qodar)

2013-07-22 Terurut Topik Abu Harits
From: camexiswa...@yahoo.co.id
Date: Sat, 20 Jul 2013 15:33:25 +
Assalamu'alaikum.
Ana mau tanya, kapan dan bagaimana cara mengamalkan zikir lailatul qodar. Sebab 
d tempat ana solat tarawih setiap 4 salam 4 rokaat secara berjamaah berzikir 
dengan zikir tersebut. Mohon penjelasannya sesuai sunnah. Jazakallohu khoer...



 

Sayyidah Aisyah Radhiyallahu 'anha, (dia) berkata : Aku bertanya, Ya 
Rasulullah ! Apa pendapatmu jika aku tahu kapan malam Lailatul Qadar (terjadi), 
apa yang harus aku ucapkan ? Beliau menjawab, Ucapkanlah :

اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي

Ya Allah Engkau Maha Pengampun dan mencintai orang yang meminta ampunan, maka 
ampunilah aku [8]

Saudaraku -semoga Allah memberkahimu dan memberi taufiq kepadamu untuk 
mentaati-Nya- engkau telah mengetahui bagaimana keadaan malam Lailatul Qadar 
(dan keutamaannya) maka bangunlah (untuk menegakkan shalat) pada sepuluh malam 
terakhir, menghidupkannya dengan ibadah dan menjauhi wanita, perintahkan kepada 
isterimu dan keluargamu untuk itu, perbanyaklah perbuatan ketaatan.

Dari Aisyah Radhiyallahu 'anhuma.

كَانَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ 
مِئْزَرَهُ وَ أَحْيَ لَيْلَهُ، وَ اَيْقَظَ أَهْلَهُ

Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, apabila masuk pada sepuluh 
hari (terakhir bulan Ramadhan), beliau mengencanngkan kainnya [9] menghidupkan 
malamnya dan membangunkan keluarganya [10] 

Juga dari Aisyah, (dia berkata) :

كَانَ رَسُوْلُ اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَجْتَهِدُ فِي الْعَشْرِ 
مَا لاَ يَجْتَهِدُ فِيغَيْرِهَا

Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersungguh-sungguh (beribadah 
apabila telah masuk) malam kesepuluh (terakhir) yang tidak pernah beliau 
lakukan pada malam-malam lainnya [11]

Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/1142/slash/0/malam-lailatul-qadar/

 

Ibnu Katsir berkata: Dan sangat dianjurkan (disunnahkan) memperbanyak doa pada 
setiap waktu, terlebih lagi di bulan Ramadhan, dan terutama pada sepuluh malam 
terakhir, di malam-malam ganjilnya [10].

Doa yang dianjurkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ialah:

اَللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّيْ
ٍ
Sesuai dengan hadits Aisyah berikut ini:

قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ أَرَأَيْتَ إِنْ وَافَقْتُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ, مَا 
أَدْعُوْ؟ قَالَ: تَقُوْلِيْنَ: اَللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ, تُحِبُّ الْعَفْوَ 
فَاعْفُ عَنِّيْ.

Aku (Aisyah) bertanya: “Wahai, Rasulullah. Seandainya aku bertepatan dengan 
malam Lailatul Qadr, doa apa yang aku katakan?” Beliau menjawab: “Katakan: Ya, 
Allah. Sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf, dan Engkau menyukai maaf. Maka, maafkan 
aku [11].

3. Menghidupkan Malam Lailatul Qadr Dengan Melakukan Shalat Atau Ibadah Lainnya.
Sebagaimana hadits Abu Hurairah, beliau berkata:

عَنِ النَّبِيِّ قَالَ: مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَاناً وَاحْتِسَاباً غُفِرَ 
لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ, وَمَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيْمَاناً 
وَاحْتِسَاباً غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.

Dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam , beliau bersabda: “Barangsiapa 
yang berpuasa Ramadhan dengan penuh keimanan dan pengharapan (dari Allah), 
niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Dan barangsiapa yang 
menghidupkan malam Lailatul Qadr dengan penuh keimanan dan pengharapan (dari 
Allah), niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu [12].

Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/3154/slash/0/tafsir-surat-al-qadr-tanda-tanda-lailatul-qadr/

 

Wallahu Ta'ala A'lam 

 






  

RE: [assunnah]Tanya : Mengurus mayat

2013-07-21 Terurut Topik Abu Harits
From: purb...@yahoo.co.id
Date: Sun, 21 Jul 2013 06:44:24 +0800
Bismillah,
Terimakasih atas penjelasannya atas sujud sahwi, dan saya mau tanya menenai 
mengurus mayat.
1. Apakah tali pengikat mayat harus dibuka setalah tiba di tanah
2. Apakah kain penutup muka dan kaki harus di bukakan dan menyentuh tanah.
Untuk sementara ini. sebelumnya saya ucapkan terima kasih.
muliaman purba



 

Penjelasan tentang pengurusan mayat (Jenazah), silakan baca :

JENAZAH http://almanhaj.or.id/content/2105/slash/0/kitab-jenazah/

MEMANDIKANNYA  MENGKAFANINYA 
http://almanhaj.or.id/content/2060/slash/0/hak-hak-mayit-yang-wajib-ditunaikan-memandikannya-mengkafaninya/

MENSHALATKANNYA 
http://almanhaj.or.id/content/1875/slash/0/hak-hak-mayit-yang-wajib-ditunaikan-menshalatkannya/

MENGUBURKANNYA 
http://almanhaj.or.id/content/1667/slash/0/hak-hak-mayit-yang-wajib-ditunaikan-menguburkannya/

 

BIMBINGAN MENGURUS JENAZAH (1) 
http://almanhaj.or.id/content/3070/slash/0/bimbingan-mengurus-jenazah-1/

BIMBINGAN MENGURUS JENAZAH (2) 
http://almanhaj.or.id/content/3071/slash/0/bimbingan-mengurus-jenazah-2/ 

 

Termasuk Sunnah Memasukkan Mayit Ke Kubur Melalui Arah Kaki
Berdasarkan hadits Abu Ishaq, ia berkata, “Al-Harits mewasiatkan agar ia 
dishalatkan oleh ‘Abdullah bin Yazid, maka ‘Abdullah pun menshalatinya, 
kemudian ia memasukkannya ke dalam kubur melalui arah kaki kubur, dan ia 
(‘Abdullah) berkata, ‘Ini adalah Sunnah.’” [12]

Dan hendaklah mayit diletakkan dalam kuburnya dengan posisi berbaring di atas 
lambung kanan, dengan wajah menghadap ke arah Kiblat, sementara kepala dan 
kedua kakinya ke arah kanan dan kiri Kiblat. Dan inilah yang dilakukan sejak 
zaman Rasulullah hingga masa kita sekarang ini.

Hendaklah orang yang meletakkan mayat ke dalam liang lahat membaca, “Bismillaah 
wa ‘alaa Sunnati Rasuulillaah,” atau membaca, “Bismillaah wa ‘alaa Millati 
Rasuulillaah,” sebagaimana yang diri-wayatkan dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, 
“Bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam jika meletakkan (memasukkan) 
jenazah ke liang lahad, beliau selalu membaca:

بِسْمِِ اللهِ وَعَلَى سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ.

“Dengan menyebut Nama Allah dan mengikuti Sunnah Rasulullah.” [13]

Juga berdasarkan hadits al-Bayadh, dari Rasulullah Shallallahu alaihi wa 
sallam, beliau bersabda:

اَلْمَيِّتُ إِذَا وُضِعَ فِي قَبْرِهِ, فَلْيَقُلِ الَّذِي يَضَعُوْنَهُ حِيْنَ 
يُوْضَعُ فِي اللَّحَدِ: باِسْمِ اللهِ , وَبِاللهِ , وَعَلَى مِلَّةِ رَسُوْلِ 
اللهِ.

“Ketika mayat dimasukkan di kuburnya, maka hendaklah orang yang memasukkannya 
itu membaca di saat dia meletakkan mayit di lahad: “Bismillaahi wa billaahi wa 
‘alaa millati Rasuulillaah (Dengan menyebut Nama Allah, demi Allah dan 
mengikuti Sunnah Rasulullah).”[14]

 

Wallahu Ta'ala A'lam

 






  

RE: [assunnah]Ucapan dan Perayaan Ulang Tahun

2013-07-19 Terurut Topik Abu Harits
From: aavo...@yahoo.co.id
Date: Thu, 18 Jul 2013 13:53:02 +0800
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Bolehkah mengucapkan selamat ulang tahun kepada istri, anak, saudara dan 
sebaliknya .






Jazakumullaah khoiron

 
Tidak boleh mengucapkan selamat ulang tahun, karena peringatan atau perayaan 
ulang tahun tidak ada asalnya dalam syari'at.
 
1. Di samping perayaan-perayaan ini termasuk bid'ah yang tidak ada asalnya 
dalam syari'at, juga mengandung tasyabbuh (menyerupai) kaum Yahudi dan Nashrani 
yang biasa menyelenggarakan peringatan hari kelahiran, sementara Nabi 
Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan agar tidak meniru dan 
mengikuti cara mereka, sebagaimana sabda beliau,

لَتَتَّبِعَنَّ سُنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُم شِبْرًا شِبْرًاوَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ 
حَتَّى لَوْدَخَلُوْا جُحْرَضُبٍّ تَبَعْتُمُوْهُم، قُلنَا يَا رَسُوْلَ اللَّهِ 
الْيَهُوْدُ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ

Kalian pasti akan mengikuti kebiasaan-kebiasaan orang-orang sebelum kalian 
sejengkal dengan sejengkal dan sehasta dengan sehasta, sampai-sampai, 
seandainya mereka masuk ke dalam sarang biaivak pun kalian mengikuti mereka. 
Kami katakan, Ya Rasulullah, itu kaum Yahudi dan Nashrani? Beliau berkata, 
Siapa lagi. [3]

Makna 'siapa lagi' artinya mereka itulah yang dimaksud dalam perkataan ini. 
Kemudian dari itu, dalam hadits lain beliau bersabda,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُم

Barangsiapa menyerupai suatu kaum, berarti ia termasuk golongan mereka” [4]
Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/294/slash/0/peringatan-hari-kelahiran-ulang-tahun-menghadiahkan-uang-saat-kelahiran/
 
2.Tidak diragukan lagi bahwa Allah telah mensyari'atkan dua hari raya bagi kaum 
muslimin, yang pada kedua hari tersebut mereka berkumpul untuk berdzikir dan 
shalat, yaitu hari raya ledul Fitri dan ledul Adha sebagai pengganti hari 
raya-hari raya jahiliyah. Di samping itu Allah pun mensyari'atkan hari 
raya-hari raya lainnya yang mengandung berbagai dzikir dan ibadah, seperti hari 
Jum'at, hari Arafah dan hari-hari tasyriq. Namun Allah tidak mensyari'atkan 
perayaan hari kelahiran, tidak untuk kelahiran Nabi dan tidak pula untuk yang 
lainnya. Bahkan dalil-dalil syar'i dari Al-Kitab dan As-Sunnah menunjukkan 
bahwa perayaan-perayaan hari kelahiran merupakan bid'ah dalam agama dan 
termasuk tasyabbuh (menyerupai) musuh-musuh Allah dari kalangan Yahudi, 
Nashrani dan lainnya. Maka yang wajib atas para pemeluk Islam untuk 
meninggalkannya, mewaspadainya, mengingkarinya terhadap yang melakukannya dan 
tidak menyebarkan atau menyiarkan apa-apa yang dapat mendorong pelaksanaannya 
atau mengesankan pembolehannya baik di radio, media cetak maupun televisi, 
berdasarkan sabda Nabi Saw dalam sebuah hadits shahih.

مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَالَيْسَ فِيْهِ فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa membuat sesuatu yang baru dalam urusan kami (dalam Islam) yang 
tidak terdapat (tuntunan) padanya, maka ia tertolak. [1]

Dan sabda beliau,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa yang melakukan suatu amal yang tidak kami perintahkan maka ia 
tertolak.[2]
Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/498/slash/0/perayaan-hari-kelahiran-ulang-tahun/
 
Wallahu Ta'ala A'lam 

 










  

Re: [assunnah]Harta Temuan - wajib Zakat

2013-07-18 Terurut Topik Abu Harits
From: wildanker...@yahoo.com
Date: Thu, 18 Jul 2013 02:46:31 +
Mau bertanya tentang Harta temuan, berapa jumlah minimum harta yang wajib 
dizakati?
Berapa hari harus menunggu?
Misal: saya menemukan uang 1 juta, apa harus langsung saya zakati atau harus 
mengumumkan dulu dan menunggu sekitar 2 tahun baru saya zakati (*lupa haditsnya 
yg menyatakan menunggu 1 thn dan 1thn lagi)
Tolong pencerahannya ...





Wildan F

 
1. Apakah menemukan uang 1 juta (di jalan atau di bak sampah) termasuk kedalam 
Rikaz (Harta karun) yang harus dikeluarkan zakatnya?
 
Pengertian Rikaz (Harta Karun) :
Rikâz atau harta karun adalah harta terpendam yang merupakan peninggalan 
jahiliyah atau zaman dahulu kala. Harta ini dikeluarkan zakatnya ketika barang 
itu ditemukan. Ini berdasarkan sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

فِي الرِّكَازِ الْخُمُسَ

Pada harta karun ada zakat seperlima (20 %). [Muttafaqun ‘Alaihi]. 

Juga karena keberadaannya menyerupai buah-buahan dan biji-bijian yang keluar 
dari tanah. Sehingga diwajibkan ketika mendapatkannya.
Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/3672/slash/0/syarat-syarat-wajib-zakat-mal/
 
KEWAJIBAN ORANG YANG MENEMUKAN BARANG
Barang Temuan (Luqathah)
Al-Luqathah yaitu setiap harta yang terjaga yang dimungkin-kan hilang dan tidak 
dikenali siapa pemiliknya.
Dan lebih sering dipakai untuk selain hewan, adapun untuk hewan maka dikatakan 
dhaalah.

Kewajiban Orang Yang Menemukan Barang (Multaqith)
Barangsiapa menemukan barang, maka wajib baginya untuk mengetahui jenis dan 
jumlahnya, kemudian mempersaksikan kepada orang yang adil, kemudian ia 
menyimpannya dan diumumkan selama setahun. Apabila pemiliknya memberitahukannya 
sesuai ciri-cirinya, maka ia wajib memberikan kepada orang tersebut walaupun 
setelah lewat satu tahun, jika tidak (ada yang mengakuinya), maka ia boleh 
memanfaatkannya.

Diriwayatkan dari Suwaid bin Ghaflah, ia berkata, “Aku bertemu dengan Ubaiy bin 
Ka’ab, ia berkata, ‘Aku menemukan sebuah kantung yang berisi seratus dinar, 
lalu aku mendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Lalu beliau bersabda, 
‘Umumkan dalam setahun.’ Aku pun mengumumkannya selama satu tahun, dan aku 
tidak menemukan orang yang mengenalinya. Kemudian aku mendatangi beliau lagi, 
dan bersabda, ‘Umumkan selama satu tahun.’ Lalu aku mengumumkannya dan tidak 
menemukan (orang yang mengenalnya). Aku mendatangi beliau untuk yang ketiga 
kali, dan beliau bersabda:

احْفَظْ وِعَاءَهَا، وعَدَدَهَا، وَوِكَاءَهَا، فَإِنْ جَاءَ صَاحِبُهَا وَإِلاَّ 
فَاسْتَمْتِعْ بِهَا.

Jagalah tempatnya, jumlahnya dan tali pengikatnya, kalau pemiliknya datang 
(maka berikanlah) kalau tidak, maka manfaatkanlah.

Maka aku pun memanfaatkannya. Setelah itu aku (Suwaid) bertemu dengannya (Ubay) 
di Makkah, ia berkata, ‘Aku tidak tahu apakah tiga tahun atau satu tahun.’” [1]

Dari ‘Iyadh bin Himar Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 
'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ وَجَدَ لُقَطَةً فَلْيُشْهِدْ ذَا عَدْلٍ أَوْ ذَوَيْ عَدْلٍ ثُمَّ لاَ 
يُغَيِّرْهُ وَلاَ يَكْتُمْ، فَإِنْ جَاءَ رَبُّهَا فَهُوَ أَحَقُّ بِهَا وَإِلاَّ 
فَهُوَ مَالُ اللهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ.

Barangsiapa yang mendapatkan barang temuan, maka hendaklah ia minta persaksian 
seorang yang adil atau orang-orang yang adil, kemudian ia tidak menggantinya 
dan tidak menyembunyikannya. Jika pemiliknya datang, maka ia (pemilik) lebih 
berhak atasnya. Kalau tidak, maka ia adalah harta Allah yang diberikan kepada 
siapa yang Dia kehendaki.’”[2].
Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/1229/slash/0/luqathah-barang-temuan/
 
KESIMPULAN HADITS
1. Siapa yang mendapatkan harta yang hilang atau tercecer dari pemiliknya, 
dianjurkan untuk mengambilnya dengan tujuan untuk menjaganya dari kerusakan dan 
kematian, apalagi untuk barang yang tidak mampu memelihara dirinya. Anjuran ini 
merupakan pendapat yang paling kuat.

2. Orang yang menemukan harus mengumumkan tali, wadah atau jenisnya, untuk 
membedakan pemilik yang sesungguhnya dengan orang yang mengaku-ngaku. Caranya 
ialah dengan mengecek ciri-ciri yang harus disebutkan oleh pemiliknya. Hal ini 
dimaksudkan agar barang yang tercecer itu benar-benar kembali kepada pemilik 
sesungguhnya.

3. Mengumumkannya selama setahun penuh di tempat-tempat ramai, di pintu-pintu 
masjid, di pasar di tempat-tempat pertemuan atau di tempat ditemukan, karena 
itu merupakan tempat pertama yang akan dukunjungi pemiliknya, atau 
menyampaikannya kepada instansi-instansi terkait, seperti kantor polisi. Untuk 
zaman sekarang, dapat diumumkan di surat kabar, radio dan televisi, jika 
merupakan barang temuan yang sangat penting.
Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/2144/slash/0/luqathah-harta-yang-hilang-dari-tangan-pemiliknya/
 
Wallahu Ta'ala A'lam
 




  

RE: [assunnah]Apakah orang berhutang terkena Zakat

2013-07-18 Terurut Topik Abu Harits
From: ibnudan...@ymail.com
Date: Wed, 17 Jul 2013 21:11:27 +0700 





Mohon pencerahannya, bagaimana jika kita punya harta berupa uang simpanan yg 
mana uang tersebut berasal dari pinjaman lunak (tanpa bunga) dari kantor tempat 
kami bekerja.
Dimana setiap bulannya kami mengangsur (potong gaji) untuk membayar pinjaman 
tersebut ke kantor.
Jika mencapai nisab dan 1 tahun, apakah harta yang berasal dari uang pinjaman 
tersebut terkena zakat?
Jazakallohu khairon



 

Mendapatkan pinjaman lunak (tanpa bunga) termasuk hutang.  Apakah harta 
orang-orang yang berhutang apabila mencapai nishab wajib mengeluarkan zakat ?

 

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menjelaskan sebagai berikut:

Adapun zakat, para ulama bersilang pendapat tentang apakah kewajiban itu gugur 
atas orang yang behutang ataukah tidak ? Sebagian dari ulama ada yang berkata, 
‘Sesungguhnya (kewjiban) zakat gugur pada saat berhadapan dengan hutang, sama 
saja apakah berupa harta yang konkrit maupun yang tidak konkrit (abstrak)’.

Sebagian mereka ada yang berpendapat bahwa sesungguhnya zakat tidak gugur 
kewajibannya pada saat berhadapan dengan hutang, tetapi wajib atasnya 
mengeluarkan zakat dari semua harta yang ada di tangannya, walaupun dia 
menangggung hutang yang mengurangi nishab.

Sebagian dari mereka ada orang yang menjelaskan dengan berkata : “Jika harta 
itu termasuk harta abstrak yang tidak terlihat dan tidak tersaksikan, seperti 
uang dan harta perniagaan, maka kewajiban zakatnya gugur pada saat berhadapan 
dengan hutang, sedangkan jika harta itu termasuk golongan harta konkrit seperti 
binatang ternak dan hasil bumi maka kewajiban zakatnya tidak gugur”.

Yang benar menurut saya : Bahwa kewajiban zakat itu tidak gugur, sama saja 
apakah harta itu termasuk konkrit atau abstrak, bahwa setiap orang yang di 
tangannya terdapat harta yang mencapai nishab wajib maka wajib atasnya 
membayarkan zakat itu meski dia masih menanggugn hutang, itu karena zakat 
merupkan kewajiban atas harta berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ 
عَلَيْهِمْ ۖ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan 
dan mensucikan mereka, dan mendo’alah untuk mereka. Sesungguhnya do’a kamu itu 
(menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha 
Mengetahui” [At-Taubah : 103]

Serta berdasarkan sabda Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Muadz bin 
Jabal Radhiyallahu ‘anhu tatkala beliau mengutusnya ke Yaman, “Beritahukanlah 
kepada mereka bahwa Allah menetapkan kewajiban zakat atas mereka, yang diambil 
dari orang-orang kaya mereka dan dikembalikan kepada orang-orang miskin dari 
kalangan mereka”. Hadits tersebut di dalam kitab shahih Bukhari menggunakan 
lafadz seperti ini, dengan dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah ini menjadikan sisi 
ini terurai lepas, maka hendaknya jangan dipertentangkan antara zakat dan 
hutang ; karena hutang merupakan kewajiban pada tanggungan sedangkan zakat 
merupakan kewajiban pada harta, dengan demikian masing-masing dari keduanya 
diwajibkan pada tempat di mana yang lain tidak diwajibkan di sana, sehingga 
tidak mengakibatkan adanya pertentangan dan benturan di antara keduanya, pada 
waktu itu hutang tetaplah berada di dalam tanggungan si penghutang dan zakat 
tetap berada pada harta, dikeluarkan darinya pada tiap-tiap kondisi.

Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/2246/slash/0/apakah-sah-sedekah-dari-orang-yang-berhutang/

 

Wallahu Ta'ala A'lam  

 



  

RE: [assunnah]Tanya : Sholawat Nariyah

2013-07-18 Terurut Topik Abu Harits
From: dh.k...@gmail.com
Date: Fri, 19 Jul 2013 03:18:24 +0700 






Bismillah
Assalamu'alaykum warohmatullahi wabarokatuh

Mohon bantuan informasi tentang amalan  sholawat nariyah. Bagaimana 
kedudukannya apakah boleh diamalkan afau tidak.
Jazakumulloh khiron
Wassalamu'alaykum warohmatullahi wabarokatuh

 
Penjelasan shalawat Nariyah, silakan baca :
 
1. SHALAWAT NARIYAH DALAM TIMBANGAN
http://almanhaj.or.id/content/3577/slash/0/shalawat-nariyah-dalam-timbangan/
 
2. MEMBACA SHALAWAT NARIYAH, MENDATANGKAN KETENANGAN?
http://almanhaj.or.id/content/3576/slash/0/membaca-shalawat-nariyah-mendatangkan-ketenangan/
 
 




  

RE: [assunnah]Tanya: Tadarus Al-Qur'an

2013-07-16 Terurut Topik Abu Harits
From: pungk...@yahoo.com
Date: Mon, 15 Jul 2013 13:47:06 + 





​السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ 
Ikhwan fillah,
Mohon pencerahannya terkait kaifiyah tadarus sesuai sunnah. Apakah bbrp ikhwan 
membaca bergantian, dan yg lain menyimak bacaannya. Ataukan sendiri2 saja.
جَزَاك اللهُ خَيْرًا 
وَ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Pungky Heru Prabowo
Powered by Telkomsel BlackBerry®



 

Membaca Al-Qur'an merupakan ibadah dan merupakan salah satu sarana yang paling 
utama untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.

 

Tatacara membaca Al-Qur'an (tadarus) ; membacanya sendiri-sendiri atau salah 
seorang membaca dan orang lain yang hadir mendengarkannya. 

Wallahu Ta'ala A'lam

 

HUKUM MEMBACA AL-QUR'AN BERSAMA-SAMA
Oleh
Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz

http://almanhaj.or.id/content/1958/slash/0/hukum-membaca-al-quran-bersama-sama-membagi-bacaan-al-quran-untuk-orang-orang-yang-hadir/

Membaca Al-Qur'an merupakan ibadah dan merupakan salah satu sarana yang paling 
utama untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Pada dasarnya membaca Al-Qur'an haruslah dengan tatacara sebagaimana Rasullah 
Shallallahu 'alaihi wa sallam mencontohkannya bersama para shahabat beliau 
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tidak ada satupun riwayat dari beliau dan para 
shabatnya bahwa mereka membacanya dengan cara bersama-sama dengan satu suara. 
Akan tetapi mereka membacanya sendiri-sendiri atau salah seorang membaca dan 
orang lain yang hadir mendengarkannya.

Telah diriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ مِنْ بَعْدِيْ

Hendaklah kalian berpegang teguh pada sunahku dan sunnah para Al-Khulafa'ur 
Rasyidun setelahku [1]

Sabda beliau lainnya.

مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمرِنَا هَذَا مَالَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌ

Barangsiapa mengada-adakan dalam perkara kami ini (perkara agama) yang tidak 
berasal darinya, maka dia itu tertolak [2]

Dalam riwayat lain disebutkan.

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌ

Barangsiapa melaksanakan suatu amalan yang tidak ada perintah kami maka amalan 
tersebut tertolak [3]

Diriwayatkan pula dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau 
memerintahkan kepada Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu 'anhu untuk membacakan 
kepadanya Al-Qur'an. Ia berkata kepada beliau. Wahai Rasulullah, apakah aku 
akan membacakan Al-Qur'an di hadapanmu sedangkan Al-Qur'an ini diturunkan 
kepadamu? Beliau menjawab : Saya senang mendengarkannya dari orang lain [4]

BERKUMPUL DI MASJID ATAU DI RUMAH UNTUK MEMBACA AL-QUR'AN BERSAMA-SAMA.

Jika yang dimaksud adalah bahwasanya mereka membacanya dengan satu suara dengan 
'waqaf' dan berhenti yang sama, maka ini tidak disyariatkan. Paling tidak 
hukumnya makruh, karena tidak ada riwayat dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi 
wa sallam maupun para shahabat beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Namun 
apabila bertujuan untuk kegiatan belajar dan mengajar, maka saya berharap hal 
tersebut tidak apa-apa.

Adapun apabila yang dimaksudkan adalah mereka berkumpul untuk membaca Al-Qur'an 
dengan tujuan untuk menghafalnya, atau mempelajarinya, dan salah seorang 
membaca dan yang lainnya mendengarkannya, atau mereka masing-masing membaca 
sendiri-sendiri dengan tidak menyamai suara orang lain, maka ini disyari'atkan, 
berdasarkan riwayat dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwasanya beliau 
bersabda.

مَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِيْ بَيْتٍ مِنْ بَيُوْتِ اللَّهِ يَتْلُوْنَ كِتَابَ 
اللًّهِ وَيَتَدَارَسُوْنَ بَيْنَهُم إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ 
وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَذَكَرَهُمُ اللُّه 
فِيْمَنْ عِنْدَهُ

Apabila suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Allah (masjid) sambil membaca 
Al-Qur'an dan saling bertadarus bersama-sama, niscaya akan turun ketenangan 
atas mereka, rahmat Allah akan meliputi mereka, para malaikat akan melindungi 
mereka dan Allah menyebut mereka kepada makhluk-makhluk yang ada di sisi-Nya 
[Hadits Riwayat Muslim] [5]

MEMBAGI BACAAN AL-QUR'AN UNTUK ORANG-ORANG YANG HADIR

Membagi juz-juz Al-Qur'an untuk orang-orang yang hadir dalam perkumpulan, agar 
masing-masing membacanya sendiri-sendiri satu hizb atau beberapa hizb dari 
Al-Qur'an, tidaklah dianggap secara otomatis sebagai mengkhatamkan Al-Qur'an 
bagi masing-masing yang membacanya. Adapun tujuan mereka dalam membaca 
Al-Qur'an untuk mendapatkan berkahnya saja, tidaklah cukup. Sebab Al-Qur'an itu 
dibaca hendaknya dengan tujuan ibadah mendekatkan diri kepada Allah dan untuk 
menghafalnya, memikirkan dan mempelajari hukum-hukumnya, mengambil pelajaran 
darinya, untuk mendapatkan pahala dari membacanya, melatih lisan dalam 
membacanya dan berbagai macam faedah-faedah lainnya [Lihat Fatwa Lajnah Da'imah 
no. 3861]


[Disalin dari kitab Bida’u An-Naasi Fii Al-Qur’an, Edisi Indonesia Penyimpangan 
Terhadap Al-Qur’an Penulis Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz, Penerjemah Ahmad 
Amin Sjihab, Penerbit Darul 

RE: [assunnah]Tanya: Zakat Rumah yang Dikontrakkan

2013-07-16 Terurut Topik Abu Harits
From: faidamumta...@gmail.com
Date: Tue, 16 Jul 2013 07:59:00 +0700  





Assalamu'alaikum warahmatullahi wa barakaatuh
Jika seseorang memiliki lebih dari satu rumah, dan rumah-rumah itu di
kontraakan/sewa ke orang lain dibayarkan per tahun
Apakah setiap kali menerima uang kontrakan, ada kewajiban membayar zakat ?
Terimakasih,
Wassalamu'alaikum Warahmatullahi wa barakaatuh



 

Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin ditanya : Saya mempunyai gedung yang 
disewakan. Apakah saya menzakati harga pokoknya atau cukup menzakati hasil 
penyewaannya ? Tolong beritahu saya, semoga anda mendapat pahala.

Jawaban
Zakatnya hanya pada hasil penyewaan saja jika telah dimiliki selama satu tahun. 
Jika menggunakannya sebelum genap setahun, maka gugurlah kewajiban zakat itu. 
Adapun untuk harga bangunan tersebut, tidak ada zakatnya, karena bangunan itu 
tidak diproyeksikan untuk dijual.

Demikian juga setiap barang yang diproyeksikan untuk digunakan atau disewakan, 
tidak ada zakat pada harganya, adapun zakatnya adalah pada hasil penyewaannya.

[Fatawa Al-Lu’lu Al-Makin min Fatawa Syaikh Ibnu Jibrin, hal 140-141]

Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/745/slash/0/zakat-rumah-dan-kendaraan-zakat-barang-yang-disewakan/

 

Wallahu Ta'ala A'lam

 



  

RE: [assunnah]Harta sudah di Zakati, Apakah Zakat Lagi

2013-07-16 Terurut Topik Abu Harits
From: raluq...@yahoo.com
Date: Fri, 12 Jul 2013 10:33:14 +0800 





Bismillah
Mmohon pencerahan.
Ada pertanyaan dari tetangga rumah sbb :
Apakah harta yang sudah di zakati di tahun sebelumnya harus dizakati lagi di 
tahun ini?.
Misal : Harta tahun lalu adalah 200 Jt (deposito) === Zakat dikeluarkan 5 Jt.
Tahun ini harta tsb masih utuh tidak terpakai sama sekali yaitu tetap 195 Jt 
(Deposito), apakah harta tsb tetap harus dikeluarkan zakat lagi?
Jazakallohu Khairon.



 

Harta, baik berupa uang atau perhiasan (emas dan perak) apabila sudah mencapai 
nishab, setiap tahunnya harus dikeluarkan zakat.

 

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Saya mempunyai perak yang 
dijadikan perhiasan di leher, kedua tangan, kepala dan ikat pinggang, saya 
sudah berulang-ulang meminta kepada suami saya agar menjual harta itu dan 
menzakatinya, tapi ia mengatakan, bahwa harta itu belum mencapai nishab. Saya 
telah memiliki harta itu selama sekitar dua puluh tiga tahun dan belum pernah 
mengeluarkan zakatnya. Apa yang harus saya lakukan sekarang ..?

Jawaban
Jika harta itu belum mencapai nishab, maka tidak ada kewajiban zakat pada harta 
itu, perlu diketahui bahwa nishab dari perak adalah seratus empat puluh mitsqal 
(enam ratus empat puluh empat gram), dan jika perhiasan perak itu telah 
mencapai jumlah tersebut maka wajib mengeluarkan zakat dari harta itu setiap 
tahunnya menurut pendapat yang paling benar tentang hal itu diantara dua 
pendapat ulama. Harta yang dikeluarkan untuk zakat itu adalah senilai dua 
setengah persennya. Adapun nishab dari harta emas adalah sembilan puluh dua 
gram, dan harta yang harus dikeluarkan itu adalah senilai dua setengah 
persennya jika telah mencapai nishab ini. Jika harta yang dizakati itu melebihi 
dari nishab, maka dikeluarkan sebesar dua setengah persen dari seluruhnya, 
berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

مَا مِنْ صَاحِبِ ذَهَبٍ وَلَا فِضَّةٍ لَا يُؤَدِّي مِنْهَا حَقَّهَا إِلَّا 
إِذَا كَانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ صُفِّحَتْ لَهُ صَفَائِحَ مِنْ نَارٍ فَأُحْمِيَ 
عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَيُكْوَى بِهَا جَنْبُهُ وَجَبِينُهُ وَظَهْرُهُ 
كُلَّمَا بَرَدَتْ أُعِيدَتْ لَهُ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ 
سَنَةٍ حَتَّى يُقْضَى بَيْنَ الْعِبَادِ فَيَرَى سَبِيلَهُ إِمَّا إِلَى 
الْجَنَّةِ وَإِمَّا إِلَى النَّارِ

Orang yang memiliki emas dan perak kemudian ia tidak mengeluarkan zakatnya 
maka pada hari kiamat nanti, akan dibuatkan baginya lempengan-lempengan yang 
terbuat dari api, kemudian distrikakan pada dahinya, lambungnya dan 
punggungnya, yang mana satu harinya seukuran lima puluh ribu tahun hingga Allah 
menetapkan ketetapannya di antara para hamba-hamba-Nya, kemudian ia akan 
mengetahui apakah ia akan menuju Surga atau ke Neraka Hadits ini dikeluarkan 
oleh Muslim dalam kitab Shahihnya.

Dan telah diriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dari hadits 
Abdullah bin Amr bin Al-'Ash, ia berkata : Bahwa seorang wanita datang menemui 
beliau dan di tangan putrinya melingkar dua gelang emas, maka beliau bersabda.

أِيُسُرُّكِ أَنْيُسَورك اللُّه بِهِمَا يَوْمَ اَلْقِيَامَةِ سِوَاَيْنِ مِنْ 
نَّارِ

Apakah engkau mengeluarkan zakat ini (gelang emas) ?, wanita itu menjawab : 
Tidak, maka beliau bersabda : Apakah engkau senang jika Allah melingkarkan 
gelang padamu di hari Kiamat dengan dua gelang yang terbuat dari api.?. Lalu 
wanita tersebut melepaskan kedua gelang itu dan memberikannya kepada Rasulullah 
Shallallahu 'alaihi wa sallam sambil berkata : Kedua gelang ini untuk Allah 
dan Rasul-Nya.

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dan An-Nasa'i dengan sanad yang shahih, 
dan banyak hadits yang semakna dengan hadits ini.
Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/351/slash/0/tidak-mengeluarkan-zakat-perhiasan-selama-dua-puluh-tahun/

 

Wallahu Ta'ala A'lam 


 



  

RE: [assunnah]Tanya: Zakat Rumah yang Dikontrakkan

2013-07-16 Terurut Topik Abu Harits
 From: faidamumta...@gmail.com
 Date: Wed, 17 Jul 2013 10:18:48 +0700
 Terimakasih atas pencerahannya.
 Jadi apakah berapapun nilai kontrakan rumahnya selama setahun, maka
 kena zakat 2.5 %?
 Ataukah berlaku HANYA apabila nilai kontrakannya telah memenuhi nishab?
 Misal rumah dengan nilai sewa sebesar 10 juta/tahun , maka setiap kali
 menerima uang kontraakn, pemilik wajib membayar zakat 250 ribu ?
 Terimakasih mohon pencerahan...



Zakat uang sewa rumah/gedung wajib dikeluarkan apabila telah mencapai nishab 
atau lebih.

 

NISHAB.
Makna nishab disini, ialah ukuran atau batas terendah yang telah ditetapkan 
oleh syar’i (agama) untuk menjadi pedoman menentukan batas kewajiban 
mengeluarkan zakat bagi yang memilikinya, jika telah sampai pada ukuran 
tersebut [7]. Orang yang memiliki harta dan telah mencapai nishab atau lebih, 
diwajibkan mengeluarkan zakat dengan dasar firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

وَيَسْئَلُونَكَ مَاذَا يُنفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ 
لَكُمُ اْلأَيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ

Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: Yang 
lebih dari keperluan. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatNya kepadamu 
supaya kamu berfikir. [Al Baqarah:219].

Makna al afwu adalah harta yang telah melebihi kebutuhan. Oleh karena itu, 
Islam menetapkan nishab sebagai ukuran kekayaan seseorang. [8] 

SYARAT-SYARAT NISHAB
Adapun syarat-syarat nishab ialah sebagai berikut:

1. Harta tersebut diluar kebutuhan yang harus dipenuhi oleh seseorang, seperti: 
makanan, pakaian, tempat tinggal, kendaraan, dan alat yang dipergunakan untuk 
mata pencaharian.

2. Harta yang akan dizakati telah berjalan selama satu tahun (haul) terhitung 
dari hari kepemilikan nishab [9] dengan dalil hadits Rasulullah Shallallahu 
'alaihi wa sallam :

لاَ زَكَاةَ فِيْ مَالٍ حَتَّى يَحُوْلَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ

Tidak ada zakat atas harta, kecuali yang telah melampaui satu haul (satu 
tahun) [10].

Dikecualikan dari hal ini, yaitu zakat pertanian dan buah-buahan. Karena zakat 
pertanian dan buah-buahan diambil ketika panen. Demikian juga zakat harta 
karun, yang diambil ketika menemukannya.

Misalnya, jika seorang muslim memiliki 35 ekor kambing, maka ia tidak 
diwajibkan berzakat karena nishab bagi kambing itu 40 ekor. Kemudian jika 
kambing-kambing tersebut berkembang biak sehingga mencapai 40 ekor, maka kita 
mulai menghitung satu tahun setelah sempurna nishab tersebut [11].

Selengkapnya baca di  
http://almanhaj.or.id/content/2805/slash/0/syarat-wajib-dan-cara-mengeluarkan-zakat/

 

Wallahu Ta'ala A'lam


 On 7/17/13, Abu Harits abu_har...@hotmail.com wrote:
  From: faidamumta...@gmail.com
  Date: Tue, 16 Jul 2013 07:59:00 +0700
  Assalamu'alaikum warahmatullahi wa barakaatuh
  Jika seseorang memiliki lebih dari satu rumah, dan rumah-rumah itu di
  kontraakan/sewa ke orang lain dibayarkan per tahun
  Apakah setiap kali menerima uang kontrakan, ada kewajiban membayar zakat ?
  Terimakasih,
  Wassalamu'alaikum Warahmatullahi wa barakaatuh
 
 
 
  Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin ditanya : Saya mempunyai gedung
  yang disewakan. Apakah saya menzakati harga pokoknya atau cukup menzakati
  hasil penyewaannya ? Tolong beritahu saya, semoga anda mendapat pahala.
 
  Jawaban
  Zakatnya hanya pada hasil penyewaan saja jika telah dimiliki selama satu
  tahun. Jika menggunakannya sebelum genap setahun, maka gugurlah kewajiban
  zakat itu. Adapun untuk harga bangunan tersebut, tidak ada zakatnya, karena
  bangunan itu tidak diproyeksikan untuk dijual.
 
  Demikian juga setiap barang yang diproyeksikan untuk digunakan atau
  disewakan, tidak ada zakat pada harganya, adapun zakatnya adalah pada hasil
  penyewaannya.
 
  [Fatawa Al-Lu’lu Al-Makin min Fatawa Syaikh Ibnu Jibrin, hal 140-141]
 
  Selengkapnya baca di
  http://almanhaj.or.id/content/745/slash/0/zakat-rumah-dan-kendaraan-zakat-barang-yang-disewakan/
 
  Wallahu Ta'ala A'lam
  

RE: [assunnah]Tanya tentang al kaftu (menggulung pakaian)

2013-07-16 Terurut Topik Abu Harits
From: we_n_d...@yahoo.com
Date: Tue, 16 Jul 2013 19:29:31 -0700 







Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Mohon informasi tentang pengertian al kaftu dan juga dalilnya? apakah 
menggulung celana termasuk dalam kategori ini?
Bagaimana dengan sarung? karena kalau memakai sarung tentunya digulung juga 
dibagian perut.
Jazakumullaah khoiron

Wassalamualaikum
Wendi Junaedi

 
1. Menggulung rambut dan pakaian
Dari Ibnu 'Abbas Radhiyallahu anhuma, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, 
beliau bersabda:

أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةٍ، لاَ أَكِفَّ شَعْرًا وَلاَ ثَوْبًا.

Aku diperintahkan untuk sujud di atas tujuh (anggota sujud) dan tidak 
menggulung rambut maupun pakaian.
Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/589/slash/0/dimakruhkan-dalam-shalat-diperbolehkan-dalam-shalat-dan-yang-membatalkan-shalat/
 
2. Apa hukum menggulung kemeja lengan panjang? Saya sering menggulungnya, 
tetapi bila dalam shalat tidak saya gulung. Syukran atas jawabannya.  

Jawaban.
Menggulung kemeja lengan panjang termasuk urusan duniawi, sehingga hukum 
asalnya boleh, selama tidak ada larangan dari Allah dan RasulNya. Dan 
-sepanjang pengetahuan kami- tidak ada larangan terhadap perbuatan tersebut. 
Sebagian ulama tidak membolehkan menggulung (melipat) pakaian pada saat shalat 
berdasarkan hadits sebagai berikut:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى 
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ عَلَى 
الْجَبْهَةِ وَأَشَارَ بِيَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ وَالْيَدَيْنِ وَالرُّكْبَتَيْنِ 
وَأَطْرَافِ الْقَدَمَيْنِ وَلَا نَكْفِتَ الثِّيَابَ وَالشَّعْرَ

Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma, dia berkata: Nabi Shallallahu 'alaihi wa 
sallam bersabda: “Aku diperintah (oleh Allah) untuk bersujud pada tujuh tulang, 
yaitu pada dahi –dan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menunjuk dengan 
tangannya pada hidung beliau-, dua (telapak) tangan, dua lutut, dan ujung-ujung 
dua telapak kaki. Dan kami tidak (boleh) menahan pakaian dan rambut”. [HR 
Bukhari, no. 812; Muslim, no. 490; dan lain-lain].

Ibnul Atsir rahimahullah mengatakan: “Menahan pakaian, yaitu: menghimpunnya dan 
mengumpulkannya dari menyebar”. [an Nihayah fii Gharibul Hadits].

Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan tentang sabda Nabi Shallallahu 
'alaihi wa sallam “Dan kami tidak (boleh) menahan pakaian dan rambut” dengan 
mengatakan: “Yang dimaksudkan bahwa dia (orang yang shalat) tidak mengumpulkan 
pakaiannya dan rambutnya di dalam shalat. Dan zhahirnya menunjukkan, larangan 
itu dalam keadaan shalat. Ad Dawudi condong kepada pendapat ini. Dan penyusun 
(Imam Bukhari) membuat bab setelah ini 'Bab: Tidak boleh (orang yang shalat) 
menahan pakaiannya di waktu shalat'.”, ini menguatkan (pendapat Dawudi) itu. 
Tetapi al Qadhi ‘Iyadh membantahnya, bahwa itu menyelisihi pendapat jumhur 
(mayoritas ulama). Mereka tidak menyukai hal itu bagi orang shalat, sama saja, 
apakah orang yang shalat itu melakukannya (yaitu menahan pakaian) di waktu 
shalat, atau sebelum memasuki shalat. Dan mereka (para ulama) sepakat, bahwa 
hal itu tidak merusakkan shalat. Tetapi Ibnul Mundzir meriwayatkan kewajiban 
mengulangi (shalat) dari al Hasan”. [Fathul Bari, syarh hadits no. 809].

Termasuk “menahan pakaian” adalah menyingsingkan celana panjang atau lengan 
baju, wallahu a’lam.
Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/2032/slash/0/hukum-mengenakan-celana-kulot-yang-lebar-mengenakan-pakaian-yang-terbuka-hukum-menggulung-kemeja/
 
Wallahu Ta'ala A'lam
 





  

RE: [assunnah]Apakah batal menyentuh istri setelah wudhu

2013-07-15 Terurut Topik Abu Harits
From: purb...@yahoo.co.id
Date: Mon, 15 Jul 2013 11:32:48 +0800
Bismillah.
Apakah batal menyentuh istri setelah wudhu ?
mpurba


 

Hukum suami-isteri bersentuhan apakah membatalkan wudhu? 
Tentang masalah ini, yang rajih (kuat) adalah pendapat yang menyatakan, tidak 
batalnya wudhu` seseorang disebabkan bersentuhan dengan wanita atau lelaki.

 

Kemudian tentang hukum suami-isteri bersentuhan apakah membatalkan wudhu? 

Tentang masalah ini, yang rajih (kuat) adalah pendapat yang menyatakan, tidak 
batalnya wudhu` seseorang disebabkan bersentuhan dengan wanita atau lelaki yang 
bukan mahram. Demikian ini pendapat madzhab Abu Hanifah, dan dirajihkan Ibnu 
Taimiyah, Ibnu 'Utsaimin [1] dan Musthafa al 'Adawi, [2] dengan dasar tafsir 
Ibnu 'Abbas terhadap firman Allah dalam surat al Maidah ayat 6 :

أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ 

[pengertiannya adalah jima' (berhubungan suami istri)]. Hal ini dikuatkan 
dengan hadits berikut ini : 

1. Hadits 'Aisyah Radhiyallahu anhuma, beliau berkata : 

فَقَدْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً مِنْ 
الْفِرَاشِ فَالْتَمَسْتُهُ فَوَقَعَتْ يَدِي عَلَى بَطْنِ قَدَمَيْهِ وَهُوَ فِي 
الْمَسْجِدِ وَهُمَا مَنْصُوبَتَانِ وَهُوَ يَقُولُ اللَّهُمَّ أَعُوذُ بِرِضَاكَ 
مِنْ سَخَطِكَ وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوبَتِكَ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْكَ لَا 
أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ

Aku kehilangan Rasulullah dari tempat tidurku. Lalu aku mencarinya, dan 
tanganku menyentuh bagian bawah telapak kaki beliau yang sedang bersujud …[3] 

2. Dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma, beliau berkata:

كُنْتُ أَنَامُ بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ 
وَرِجْلَايَ فِي قِبْلَتِهِ فَإِذَا سَجَدَ غَمَزَنِي فَقَبَضْتُ رِجْلَيَّ 
فَإِذَا قَامَ بَسَطْتُهُمَا قَالَتْ وَالْبُيُوتُ يَوْمَئِذٍ لَيْسَ فِيهَا 
مَصَابِيحُ

Aku, dulu pernah tidur di depan Rasulullah, dan kedua kakiku di bagian kiblat 
beliau. Apabila beliau sujud, maka beliau menyentuhku, lalu aku menekuk kedua 
kakiku. Dan bila beliau bangkit, maka aku luruskan lagi. Waktu itu rumah-rumah 
tidak ada lampu penerangnya. [4] (dalam riwayat an Nasaa-i disebutkan :

إِذَا أَرَادَ أَنْ يُوتِرَ مَسَّنِي بِرِجْلِهِ

(Apabila beliau ingin witir, maka beliau menyentuhku dengan kakinya). 

Demikianlah pendapat yang rajih. Wallahu a'lam.

Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/1964/slash/0/membuka-jilbab-di-depan-ahli-kitab-suami-isteri-apakah-termasuk-mahram/

 

Pertanyaan.
Bârakallâhu fîkum. Menyentuh atau tersentuh wanita, tidak membatalkan wudhu. 
Apakah ini umum pada semua wanita, baik yang muslimah atau yang kafir, mahram 
atau bukan mahram ? 0852786

Jawaban
Ya, umum mencakup semua wanita. Karena memang tidak ada dalil yang shahih dan 
sharih (yang secara gamblang menjelaskan) bahwa bersentuhan kulit antara lelaki 
dan wanita itu membatalkan wudhu’. Yang ada dalam riwayat justru yang 
mengisyaratkan bahwa bersentuhan itu tidak membatalkan wudhu', sebagaimana 
kisah 'Aisyah Radhiyallahu anuhma yang memegang tumit Rasulullah ketika beliau 
Shallallahu 'alaihi wa sallam sedang shalat. Seandainya bersentuhan itu 
menyebabkan batal, tentu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menghentikan 
shalatnya dan berwudhu' kembali. Tetapi bukan berarti menyentuh wanita yang 
bukan mahram itu boleh. Ini permasalahan yang lain. Hukum menyentuh wanita yang 
bukan mahramnya adalah haram.

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

لَأَنْ يُطْعَنَ فِيْ رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرٌ لَهُ 
مِنْ أَنْ يَمُسَّ امْرَأَةً لَا تَحِلُّ لَهُ

Sungguh kepala seseorang dari kamu ditusuk dengan jarum yang terbuat dari besi 
lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya [1]

Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/2668/slash/0/beradzan-tetapi-shalat-di-tempat-lain-pembatas-shaf-pria-dan-wanita-menyentuh-wanita/

 

Wallahu Ta'ala A'lam 








  

RE: [assunnah]Sholat Sunnah Malam

2013-07-15 Terurut Topik Abu Harits
From: luluko...@yahoo.co.id
Date: Mon, 15 Jul 2013 01:06:44 +
Bismillah..
Setelah melaksanakan sholat qiyamul taraweh, apakah ada sholat qiyamul lail..?
Shukron


 

Shalat malam pada bulan ramadhan dinamakan (Tarawih), sedangkan pada malam 
dibulan lainnya dinamakan (qiyamul lail), bilangan rakaatnya adalah 11 ra'kaat. 
(dengan demikian setelah shalat tarawih tidak ada lagi shalat qiyamul lail).


Hadits Aisyah yang dimaksudkan oleh Ibnu Hajar rahimahullah ialah hadits yang 
diriwayatkan oleh Bukhari (3/59), Muslim (2/166) dari Aisyah Radhiyallahu 
'anha. Bahwa Abu Salamah bin Abdurrahman Radhiyallahu 'anhu bertanya kepada 
Aisyah Radhiyallahu 'anha perihal shalat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam 
pada bulan Ramadhan. Aisyah Radhiyallahu 'anha menjawab:

مَا كَانَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ 
رَكْعَةً وفي رواية لمسلم يُصَلِّي ثَمَانَ رَكَعَاتٍ ثُمَّ يُوتِرُ رواه البخاري 
و مسلم

Pada bulan Ramadhan, Beliau tidak pernah melebihkan dari 11 rak’at. (Begitu) 
juga pada bulan lainnya. (Dalam hadits riwayat Muslim) Beliau Shallallahu 
'alaihi wa sallam shalat 8 raka’at, lalu melakukan witir.

Dengan langgam bahasanya yang keras/tegas, hadits Aisyah ini memberikan kesan 
pengingkaran terhadap tambahan lebih dari bilangan (sebelas) ini. Sedangkan 
dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma tentang cara shalat malam Nabi Shallallahu 
'alaihi wa sallam, dia mengatakan:

فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ 
ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ أَوْتَرَ رواه مسلم

Lalu Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat 2 raka’at, kemudian 2 
raka’at, kemudian 2 raka’at, kemudian 2 raka’at, kemudian 2 raka’at, kemudian 2 
raka’at, kemudian witir. [HR Muslim 2/179]

Dengan ini menjadi jelas, bahwa shalat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pada 
malam hari itu, berkisar antara 11 dan 13 raka’at.

Jika ada yang mengatakan, bahwa shalat malam yang diterangkan dalam hadits ini 
bukanlah shalat Tarawih, karena Tarawih merupakan sunnah yang dikerjakan Umar 
bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu.

Maka jawabnya : Shalat malam Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pada bulan 
Ramadhan itulah (yang disebut) Tarawih. Mereka menamakannya Tarawih 
(istirahat), karena mereka memanjangkan shalatnya lalu istirahat setelah dua 
kali salam. Oleh karena itu dinamakan Tarawih (istirahat). Dan Tarawih termasuk 
sunnah perbuatan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/3143/slash/0/shalat-tarawih-keabsahan-23-rakaat/

 

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melakukan dan memimpin shalat 
tarawih, terdiri dari sebelas raka'at (8 +3). Dalilnya sebagai berikut.

1. Hadits Aisyah Radhiyallahu anhuma : ia ditanya oleh Abu Salamah Abdur Rahman 
tentang qiyamul lailnya Rasul pada bulan Ramadhan, ia menjawab: 

إنَّهُ كَانَ لاَ يَزِيْدُ فِي رَمَضَانَ وَلاَ فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى 
عَشْرَةَ

Sesungguhnya beliau tidak pernah menambah pada bulan Ramadhan, atau pada bulan 
lainnya. lebih dari sebelas raka'at. [HR Bukhari, Muslim]

Ibn Hajar berkata, Jelas sekali, bahwa hadits ini menunjukkan shalatnya Rasul 
(adalah) sama semua di sepanjang tahun.

Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/3150/slash/0/shalat-tarawih-nabi-shallallahu-alaihi-wa-sallam-dan-salafush-shalih/

 

Manusia berbeda pendapat tentang batasan raka'atnya, pendapat yang mencocoki 
petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah delapan raka'at tanpa witir 
berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallahu 'anha.

مَاكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيْدُ فِيْ رَمَضَانَ 
وَلاَ فِي غَيْرِهِ عَلَى اِحْدَى عَشَرَةَ رَكْعَةً

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah shalat malam di bulan Ramadhan 
atau selainnya lebih dari sebelas raka'at [Dikeluarkan oleh Bukhari 3/16 dan 
Muslim 736 Al-Hafidz berkata (Fath 4/54)]

Yang telah mencocoki Aisyah adalah Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma, beliau 
menyebutkan.

مَاكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا أَحْيَى بِالنَّاسِ 
لَيْلَةً فِي رَمَضَانَ صَلَّى ثَمَانِيَ رَكَعَاتٍ وَأَوْتَرَ 

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menghidupkan malam Ramadhan bersama manusia 
delapan raka'at kemudian witir[3]

Ketika Umar bin Al-Khaththab menghidupkan sunnah ini beliau mengumpulkan 
manusia dengan sebelas raka'at sesuai dengan sunnah shahihah, sebagaimana yang 
diriwayatkan oleh Malik 1/115 dengan sanad yang shahih dari jalan Muhammad bin 
Yusuf dari Saib bin Yazid, ia berkata : Umar bin Al-Khaththab menyuruh Ubay 
bin Ka'ab dan Tamim Ad-Daari untuk mengimami manusia dengan sebelas raka'at. 
Ia berkata : Ketika itu imam membaca dua ratus ayat hingga kami 
bersandar/bertelekan pada tongkat karena lamanya berdiri, kami tidak pulang 
kecuali ketika furu' fajar [4]

Selengkapnya baca di http://almanhaj.or.id/content/1151/slash/0/shalat-tarawih/

 

Wallahu Ta'ala A'lam 


 






  

RE: [assunnah]Tanya ; Undangan tahlilan kematian

2013-07-11 Terurut Topik Abu Harits
From: purb...@yahoo.co.id
Date: Thu, 11 Jul 2013 09:07:37 +0800

Assalamualaikum.






Terima kasih atas penjelasan sebelumnya, namun ada sedikit pertanyaan lagi, 
bagaimana kalau kita di undang (tahlilan kematian), sementara menghadiri 
undangan itu adalah suatu keharuran bila kita tidak ada keperluan.

Terimakasih

muliaman purba.

 
Kita tidak boleh menghadirinya. Karena acara (tahlilan kematian) tidak 
dituntunkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya. 
Kecuali jika dia hadir dalam rangka menjelaskan kemungkarannya, lalu 
meninggalkannya.
 
A. Bolehkah Menghadiri Acara Ini Yasinan Atau Tahlilan Untuk Mendoakan Orang 
Yang Telah Mati ?
Jawaban kami untuk pertanyaan ini adalah tidak boleh menghadirinya. Karena hal 
ini tidak dituntunkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para 
sahabatnya. Kecuali jika dia hadir dalam rangka menjelaskan kemungkarannya, 
lalu meninggalkannya. Anggapan bahwa itu sebagai aktualisasi dari kebaikan anak 
yang shalih untuk orang tua, tidak lantas bisa dijadikan legitimasi bagi amalan 
ini. Karena cara mewujudkan bakti kepada orang tua yang sudah meninggal telah 
dijelaskan caranya-caranya dalam Islam seperti memohon ampun atau menyambung 
tali silaturrahim dengan teman dekatnya. Begitu juga klaim, acara ini sebagai 
tradisi semata, tidak bisa dijadikan sebagai alasan untuk memperbolehkan amalan 
ini. Karena faktanya mereka yang melakukan itu berharap pahala dari Allah Azza 
wa Jalla ketika melaksanakannya bahkan disebagian tempat orang yang tidak 
melaksanakannya dianggap tidak mau melaksanakan sunnah. Bukankah ini berarti 
ibadah ? Sementara yang namanya ibadah harus berlandaskan dalil. Kalaupun 
dianggap sebagai tradisi, maka dalam Islam, tradisi itu boleh dipertahankan 
selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Sementara yasinan yang mereka 
klaim sebagai tradisi ini ternyata menyelisihi agama Islam yang telah sempurna 
yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ 

Barangsiapa yang membuat suatu yang baru dalam ajaran kami yang tidak berasal 
darinya, maka perkara itu tertolak[1] 

B. Dimanakah Letak Kemungkarannya ?
Kemungkaran-kemungkaran amalan ini banyak, diantaranya :
1. Yasinan atau tahlilan merupakan bentuk ibadah yang tidak dituntunkan oleh 
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. 

2. Berkumpul di rumah orang yang kena musibah kematian dan apalagi disertai 
dengan penghidangan makanan dari tuan rumah setelah penguburan merupakan bentuk 
niyâhah (meratap) yang dilarang oleh agama.

3. Jamuan yang diberikan tuan rumah kepada tetamu bertentangan dengan Sunnah 
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memerintahkan para tetangga untuk 
memberi makan kepada keluarga mayit, bukan keluarga mayit yang menghidangkan 
makanan kepada tetangga.

4. Bertentangan dengan akal. Karena orang yang sedang didera kesusahan dengan 
sebab kematian anggota keluarganya sepantasnya dihibur. Bukan ditambahi beban 
dengan menghidangkan jamuan buat para tamu, baik tetangga maupun kerabat atau 
dengan membayar orang yang membacakan al-Qur’ân, tahlil atau doa.

5. Mengadakan perayaan untuk kematian, seperti perayaan pada hari ketiga, 
kesembilan dan seterusnya adalah kebiasaan yang berasal dari ajaran agama 
Hindu. Oleh karena itu, selayaknya umat Islam meninggalkannya.

Dan berbagai kemungkaran lainnya yang tidak mungkin disebutkan di sini, karena 
terkadang jenis kemungkaran ini berbeda-beda sesuai dengan daerahnya.
Selengkapnya baca 
http://almanhaj.or.id/content/2840/slash/0/menghadiri-tahlilan-kematian/
 
Wallahu Ta'ala A'lam 





  

RE: [assunnah]Lafal pendek sholawat ketika mendengar nama nabi

2013-07-09 Terurut Topik Abu Harits
From: raluq...@yahoo.com
Date: Tue, 9 Jul 2013 09:35:34 +0800 







Assalamualaikum,
 
رَغِمَ أَنْفُ رَجُلٍ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ
“Celakalah orang yang ketika namaku disebut, dia tidak bershalawat untukku.” 
(HR. turmudzi)
 
1. Bisakah membantu apa saja lafaldz2 sholawat pendek ketika menjawab nama nabi 
di sebut?
2. Apakah hadis di atas disunnahkan bersolawat hanya ketika mendengar nama nabi 
disebut yaitu Muhammad?, bagaimana ketika kita mendengar ceramah/perkataan; 
Rosullullah, Nabi Kita, Beliau apakah kita tetap harus bersholawat?.
Jazakallohu khoiron,

 
1. Syaikh Abdul Muhshin bin Hamd Al 'Abbad hafizhahullah berkata, ”Salafush 
Shalih, termasuk para ahli hadits, telah biasa menyebut shalawat dan salam 
kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menyebut (nama) beliau, dengan 
dua bentuk yang ringkas, yaitu:

صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ (shalallahu 'alaihi wa sallam) dan

عَلَيْهِ الصّلاَةُ وَالسَّلاَمُ ('alaihish shalaatu was salaam). 

Alhamdulillah, kedua bentuk ini memenuhi kitab-kitab hadits. Bahkan mereka 
menulis wasiat-wasiat di dalam karya-karya mereka untuk menjaga hal tersebut 
dengan bentuk yang sempurna. Yaitu menggabungkan antara shalawat dan permohonan 
salam atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” [Fadh-lush Shalah 'Alan Nabi 
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, hlm. 15, karya Syaikh Abdul Muhshin bin Hamd Al 
'Abbad]
Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/3275/slash/0/bagaimana-cara-shalawat-yang-sesuai-sunnah-dan-bolehkah-shalawat-diiringi-dengan-rebana/
 
2. Mengucapkan shalawat untuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam diperintahkan 
oleh syari’at pada waktu-waktu yang dipentingkan, baik yang hukumnya wajib atau 
sunnah muakkadah. Dalam kitab Jalaa’ul Afhaam, Ibnul Qayyim rahimahullah 
menyebutkan 41 waktu (tempat). Beliau rahimahullah memulai dengan sesuatu yang 
paling penting yakni ketika shalat di akhir tasyahhud. Di waktu tersebut para 
ulama sepakat tentang disyari’atkannya bershalawat untuk Nabi Shallallahu 
'alaihi wa sallam, namun mereka berselisih tentang hukum wajibnya. Di antara 
waktu lain yang beliau sebutkan adalah di akhir Qunut, kemudian saat khutbah, 
seperti khutbah Jum’at, hari raya dan istisqa’, kemudian setelah menjawab 
muadzdzin, ketika berdo’a, ketika masuk dan keluar dari masjid, juga ketika 
menyebut nama beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengajarkan kepada kaum Muslimin 
tentang tatacara mengucapkan shalawat. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam 
menganjurkan untuk memperbanyak membaca shalawat kepadanya pada hari Jum’at.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

أَكْثِرُوا الصَّلاَةَ عَلَيَّ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَلَيْلَةَ الْجُمُعَةِ، فَمَنْ 
صَلَّى عَلَيَّ صَلاَةً صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ عَشْرًا.

“Perbanyaklah kalian membaca shalawat kepadaku pada hari dan malam Jum’at, 
barangsiapa yang bershalawat kepadaku sekali niscaya Allah bershalawat 
kepadanya sepuluh kali.”[2]

Kemudian Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan beberapa manfaat dari 
mengucapkan shalawat untuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dimana beliau 
menyebutkan ada 40 manfaat. Di antara manfaat itu adalah:

1. Shalawat merupakan bentuk ketaatan kepada perintah Allah.
2. Mendapatkan 10 kali shalawat dari Allah bagi yang bershalawat sekali untuk 
beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.
3. Diharapkan dikabulkannya do’a apabila didahului dengan shalawat tersebut.
4. Shalawat merupakan sebab mendapatkan syafa’at dari Nabi Shallallahu 'alaihi 
wa sallam, jika ketika mengucapkan shalawat diiringi dengan permohonan kepada 
Allah agar memberikan wasilah (kedudukan yang tinggi) kepada beliau Shallallahu 
'alaihi wa sallam pada hari Kiamat.
5. Shalawat merupakan sebab diampuninya dosa-dosa.
6. Shalawat merupakan sebab sehingga Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam 
menjawab orang yang mengucapkan shalawat dan salam kepadanya.[3] 
Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/3276/slash/0/anjuran-bershalawat-kepada-nabi-shallallahu-alaihi-wa-sallam/
 
Wallahu Ta'ala A'lam
  




  

RE: [assunnah]Mengenai penetapan Bulan Ramadhan

2013-07-09 Terurut Topik Abu Harits
From: teguh.se...@yahoo.com
Date: Tue, 9 Jul 2013 05:04:38 + 

 





Bagaimana dengan saudara saudara muslim kita di mindanau, rohingya, ataupun 
australia, siapa ya ulil amrinya? 

 
Dalam menentukan Ramdahan dan Iedul Fithri di negara-negara yang 
pemerintahannya tidak muslim. Lajnah Da’imah Lil Buhuts Ilmiah Wal Ifta Saudi 
Arabia menjelaskan :
 
Dan jika pemerintahannya tidak muslim, maka mereka mengambil pendapat Majlis 
Islamic Center yanga ada di Negara mereka, untuk menjaga persatuan dalam 
berpuasa Ramadhan dan shalat ‘Ied.

Semoga Allah memberi taufiq, dan semoga shalawat dan salam tercurahkan kepada 
Nabi, keluarga dan para sahabatnya.
Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/1652/slash/0/bagaimana-pendapat-islam-tentang-perselisihan-hari-raya-kaum-muslimin-idul-fithri-dan-idul-adh-ha/
 
Wallahu Ta'ala A'lam.



  

RE: [assunnah]Mengenai penetapan Ramadhan oleh Ormas

2013-07-09 Terurut Topik Abu Harits
From: mametsupria...@yahoo.co.id
Date: Mon, 8 Jul 2013 22:31:15 + 





السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ 
Pertanyaan : Bagaimana Hukumnya Ormas Islam atau Individu Yang menyelisihi 
Pemerintah dalam menetapkan awal Ramdhan dan Berhari Raya ? 
Bagi antum yang mengetahuinya, Mohon sekiranya berbagi di Media ini جَزَاك 
اللهُ خَيْرًا 
وَعَلَيًكُمُ السَّلَامُ وَرَحًمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ 
Powered by Telkomsel BlackBerry®



 

Dalam masalah puasa dan hari raya, para ulama menekankan untuk tidak berpecah 
belah dan memperluas perselisihan di masyarakat dan hendaklah mereka mengambil 
keputusan pemerintah negaranya –jika seandainya pemerintah mereka Muslim-. 
Karena, keputusannya dengan mengambil salah satu dari dua pendapat, akan 
mengangkat perselisihan.

 

Dalam permasalahan puasa, Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata : Saya 
berpendapat bahwa masyarakat di setiap negeri berpuasa dengan pemerintahnya, 
tidak berpecah belah, sebagian berpuasa dengan negaranya dan sebagian (lainnya) 
berpuasa dengan negara lain –baik puasanya tersebut mendahului yang lainnya 
atau terlambat- karena akan memperluas perselisihan di masyarakat, sebagaimana 
yang terjadi di disebagian negara Arab. Wallahull Musta’an. [3]

 

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz : Jika anda berpuasa di Saudi atau di 
tempat lainnya, kemudian sisanya berpuasa di negara anda, maka berbukalah 
bersama mereka (yaitu berhari raya bersama mereka, pen), sekalipun berlebih 
dari tiga puluh hari. (Ini) sesuai dengan sabda Rasulullah.

صَوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ، وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تَفطُرُوْنَ

“Puasa adalah hari semua kalian berpuasa. Dan berbuka adalah ketika semua 
kalian berbuka”

 

Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan : Setiap muslim berpuasa dan 
berbuka bersama dengan kaum muslimin yang ada di negaranya. Hendaklah kaum 
muslimin memperhatikan ru’yah hilal di negara tempat mereka tinggal di sana, 
dan agar tidak berpuasa dengan ru’yah negara yang jauh dari negara mereka, 
karena mathla’ berbeda-beda. Jika misalkan sebagian muslimin berada di negara 
yang bukan Islam dan di sekitar mereka tidak ada yang memperhatikan ru’yah 
hilal –maka dalam hal ini- tidak mengapa mereka berpuasa dengan kerajaan Arab 
Saudi.

 

Lajnah Da’imah Lil Buhuts Ilmiah Wal Ifta : Jika sesama mereka berselisih juga, 
maka hendaklah mereka mengambil keputusan pemerintah negaranya –jika seandainya 
pemerintah mereka Muslim-. Karena, keputusannya dengan mengambil salah satu 
dari dua pendapat, akan mengangkat perselisihan. Dalam hal ini umat wajib 
mengamalkannya. Dan jika pemerintahannya tidak muslim, maka mereka mengambil 
pendapat Majlis Islamic Center yanga ada di Negara mereka, untuk menjaga 
persatuan dalam berpuasa Ramadhan dan shalat ‘Ied.

Selengkapnya baca di : 
http://almanhaj.or.id/content/2306/slash/0/fatwa-fatwa-seputar-berhari-raya-dengan-pemerintah/

 

Wallahu Ta'ala A'lam 

 



  

RE: [assunnah]Berdoa bersama setelah sholat jamaah di masjid

2013-07-06 Terurut Topik Abu Harits
From: abua...@yahoo.co.id
Date: Sat, 6 Jul 2013 09:51:03 +0700


Bismillah




Apakah dibolehkan berdoa bersama, dengan meng-amin-kan doa yang dibaca oleh 
imam setelah sholat jamaah di masjid? Juga doa bersama di akhir khotbah jum'at
Jazakallah khairan.

 
1. Perlu diketahui, bahwa imam shalat itu wajib diikuti sampai selesai shalat. 
Sehingga setelah selesai salam, makmum sudah tidak harus mengikuti imamnya. 

عَنْ أَنَسٍ قَالَ صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ 
وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ فَلَمَّا قَضَى الصَّلاَةَ أَقْبَلَ عَلَيْنَا بِوَجْهِهِ 
فَقَالَ أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّيْ إِمَامُكُمْ فَلاَ تَسْبِقُوْنِيْ 
بِالرُّكُوْعِ وَلاَ بِالسُّجُودِ وَلاَ بِالْقِيَامِ وَلاَ بِالاِ نْصِرَافِ 

Dari Anas, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam suatu hari 
shalat mengimami kami. Setelah selesai shalat beliau menghadapkan wajahnya 
kepada kami lalu bersabda: Wahai manusia, sesungguhnya aku adalah imam 
(shalat) kamu, maka janganlah kamu mendahuluiku dengan ruku', sujud, berdiri, 
atau salam! [HR. Muslim, no. 426]

Ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam berdoa setelah shalat 
adalah dengan sendiri-sendiri, sebagaimana di dalam hadits berikut ini:

عَنْ الْبَرَاءِ قَالَ كُنَّا إِذَا صَلَّيْنَا خَلْفَ رَسُوْلِ اللَّهِ صَلَّى 
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْبَبْنَا أَنْ نَكُوْنَ عَنْ يَمِيْنِهِ يُقْبِلُ 
عَلَيْنَا بِوَجْهِهِ قَالَ فَسَمِعْتُهُ يَقُولُ رَبِّ قِنِيْ عَذَابَكَ يَوْمَ 
تَبْعَثُ أَوْ تَجْمَعُ عِبَادَكَ 

Dari al-Bara', dia berkata: Kami (para Sahabat) dahulu, jika melakukan shalat 
di belakang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , kami suka berada 
disebelah kanan beliau, karena beliau akan menghadapkan wajahnya kepada kami. 
Al-Bara' juga berkata: Aku pernah mendengar beliau berdoa: Wahai Rabb-ku, 
jagalah aku dari siksa-Mu pada hari Engkau akan membangkitkan atau mengumpulkan 
hamba-hamba-Mu. [HR.Muslim, no. 709]

Walaupun sebagian Ulama menyukai doa jama'ah setelah shalat, namun sesungguhnya 
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukan doa berjama'ah 
setelah memimpin shalat. Sedangkan petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam 
adalah sebaik-baik petunjuk. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: 
Al-hamdulillah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para makmum tidak 
pernah berdoa (bersama-sama-red) setelah shalat lima waktu, sebagaimana 
dilakukan oleh sebagian orang setelah shalat subuh dan ashar. Dan hal itu tidak 
pernah diriwayatkan dari seorang pun (Ulama Salaf-red), juga tidak ada seorang 
pun dari para imam (Ulama) yang menyukainya. Barangsiapa meriwayatkan dari Imam 
Syafi'i rahimahullah, bahwa beliau menyukainya, maka orang itu telah berbuat 
keliru terhadap Imam Syafi'i rahimahullah . Perkataan Imam Syafi'i rahimahullah 
yang ada di dalam kitab-kitab beliau meniadakan hal itu. Demikian juga Imam 
Ahmad rahimahullah dan lainnya tidak menyukainya. Walaupun ada sekelompok orang 
dari pengikut Imam Ahmad rahimahullah, Imam Abi Hanîfah rahimahullah, dan 
lainnya menyukai doa (jama'ah-red) setelah shalat subuh dan ashar. Mereka 
berkata: Karena tidak ada shalat setelah dua shalat ini, maka diganti dengan 
doa. Ada juga sekelompok orang dari pengikut Imam Syafi'i rahimahullah dan 
lainnya menyukai doa (jama'ah-red) setelah shalat lima waktu. Namun mereka 
semua sepakat bahwa orang yang meninggalkan doa (setelah shalat), dia tidak 
diingkari. Barangsiapa mengingkarinya, maka orang itu telah berbuat keliru 
dengan kesepakatan ulama. Karena berdoa (berjama'ah) itu tidak diperintahkan, 
baik dengan perintah wajib atau sunnah, pada tempat ini (setelah 
shalat-red).[1]
Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/2600/slash/0/doa-berjamaah-dan-jabat-tangan-setelah-shalat-adakah-shalat-taubat/
 
2. Sebagian kaum muslimin ada yang mengangkat tangan mereka saat khatib mulai 
memanjatkan do’a di atas mimbar. Dan ini jelas sebagai kesalahan. Dan yang 
benar adalah tidak mengangkat kedua tangan pada saat itu.

Ibnu ‘Abidin rahimahullahu mengatakan, al-Baqqaliyyu mengatakan, “Jika seorang 
khatib mulai berdo’a, maka tidak diperbolehkan bagi jama’ah untuk mengangkat 
kedua tangannya.” [11]
Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/2195/slash/0/khatib-memanjangkan-khutbah-dan-memendekkan-shalat-khatib-mengangkat-kedua-tangan-ketika-berdoa/
 
Wallahu Ta'ala A'lam 
 




  

RE: [assunnah]Sunnah dalam menyambut kelahiran anak.

2013-07-05 Terurut Topik Abu Harits
From: anjat_kurnia...@bca.co.id
Date: Wed, 3 Jul 2013 02:36:16 +

Assalamualaikum...
Mohon pencerahan dari teman - teman yang mempunyai pengetahuan mengenai hal - 
hal yang di sunnahkan dalam menyambut kelahiran anak.
Atas pencerahannya saya ucapkan terimakasih.
Wassalamualaikum..
Abu Rasya



KETIKA SI BUAH HATI HADIR
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
http://almanhaj.or.id/content/1191/slash/0/ketika-si-buah-hati-hadir/

Pembahasan singkat berikut ini adalah beberapa amalan yang disunnahkan untuk 
dilakukan setelah anak lahir, namun banyak tidak diamalkan oleh kaum muslimin.

1. Bersyukur kepada Allah.
Apabila sepasang suami isteri telah dikaruniai anak, baik laki-laki maupun 
perempuan, maka hendaklah keduanya bersyukur kepada Allah atas karunia-Nya.

فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ

“Maka ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu. Bersyukurlah kepada-Ku, 
dan janganlah kamu ingkar kepada-Ku.” [Al-Baqarah : 152]

Tidak boleh merasa kecewa atas apa pun keadaan si buah hati, namun hendaklah 
bersyukur dan bersabar. 

2. Mentahnik.
Ketika si buah hati telah dilahirkan, maka seorang ayah hendaknya mentahnik 
langit-langit mulut si bayi dengan buah kurma yang telah dilumatkan.

3. Mendo’akan.
Kemudian do’akanlah buah hati Anda dengan kebaikan dan keberkahan. Misalnya 
dengan do’a.

بَارَكَ اللهُ فِيْه.ِ

“Semoga Allah memberikan berkah atasnya.”

4. Memberikan nama.
Seorang ayah dibolehkan memberikan nama kepada si buah hati pada saat ia 
dilahirkan atau pada hari ketujuh.

Dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata, “Telah dilahirkan 
bagiku seorang anak laki-laki, lalu aku membawanya kepada Nabi shallallaahu 
‘alaihi wa sallam, kemudian beliau memberinya nama Ibrahim. Lalu beliau 
mentahniknya dengan sebuah kurma dan mendo’akan keberkahan baginya. Kemudian 
beliau menyerahkannya kembali kepadaku.”[1]

Sangat dianjurkan untuk memberikan nama-nama yang baik, indah dan dicintai 
Allah Ta’ala bagi si buah hati. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam 
bersabda.

إِنَّ أَحَبَّ أَسْمَائِكُمْ إِلَى اللهِ: عَبْدُ اللهِ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ.

“Sesungguhnya nama kalian yang paling dicintai Allah adalah ‘Abdullah dan 
‘Abdurrahman.” [2]

Termasuk nama-nama yang dicintai adalah nama-nama para Nabi dan Rasul. Hal ini 
berdasarkan jawaban Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada para Shahabat 
tentang nama Harun saudara Maryam, padahal Maryam tidak sezaman dengan Nabi 
Harun dan Harun saudara Maryam bukanlah Nabi Harun, beliau shallallaahu ‘alaihi 
wa sallam bersabda.

إِنَّهُمْ كَانُوْا يُسَمُّوْنَ بِأَنْبِيَائِهِمْ وَالصَّالِحِيْنَ قَبْلَهُمْ.

“Sesungguhnya mereka biasa menamakan (anak-anak mereka) dengan nama-nama Nabi 
dan orang-orang shalih yang hidup sebelum mereka.” [3]

5. ’Aqiqah
Kemudian pada hari ketujuh, disunnahkan bagi kedua orang tua untuk meng’aqiqahi 
anaknya, mencukur rambutnya dan diberikan nama.

Diriwayatkan dari Samurah bin Jundub radhiyallaahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah 
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

كُلُّ غُلاَمٍ رَهِيْنَةٌ بِعَقِيْقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ 
وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى.

“Setiap anak tergadai dengan ‘aqiqahnya. Disembelih (kambing) untuknya ada hari 
ketujuh, dicukur rambutnya, dan diberikan nama.”[4]

‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam 
meng’aqiqahi al-Hasan dan al-Husain pada hari ketujuh.” [5]

‘Aqiqah hanya boleh dengan kambing. Bagi anak laki-laki disembelih dua ekor 
kambing, sedangkan bagi anak perempuan disembelih seekor kambing.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

عَنِ الْغُلاَمِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ وَعَنِ الْجَارِيَةِ شَاةٌ.

“Bayi laki-laki di’aqiqahi dengan dua ekor kambing dan bayi perempuan dengan 
seekor kambing.”[6]

Bagi orang tua yang tidak mampu, maka tidak mengapa ber’aqiqah dengan seekor 
kambing untuk anak laki-laki. Hal ini sebagaimana riwayat dari Ibnu ‘Abbas 
radhiyallaahu ‘anhuma:

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَقَّ عَنِ الْحَسَنٍ 
وَالْحُسَيْنِ كَبْشًا كَبْشًا.

“Bahwasanya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam meng’aqiqahi al-Hasan 
dengan seekor kambing dan al-Husain dengan seekor kambing.” [7]

Hadits ini shahih. Dari hadits ini, ada ulama yang berpendapat bahwa ‘aqiqah 
anak laki-laki adalah dengan seekor kambing sebagaimana anak perempuan. Di 
antara yang berpendapat demikian adalah ‘Abdullah bin ‘Umar, Urwah bin Zubair, 
Imam Malik dan lainnya.[8]

Jumhur ulama berpegang dengan hadits ‘Aisyah bahwa ‘aqiqah anak laki-laki 
adalah dengan dua ekor kambing dan ‘aqiqah anak perempuan adalah dengan seekor 
kambing. Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullaah setelah membawakan 
kedua hadits di atas beserta hadits-hadits lainnya, beliau berkata, “Semua 
hadits yang semakna dengan ini menjadi hujjah bagi jumhur ulama dalam 
membedakan antara anak laki-laki dan anak perempuan (dalam masalah ‘aqiqah).” 

Beliau melanjutkan, “Meskipun riwayat Abu Dawud adalah tsabit 

RE: [assunnah]Tata cara menjamak/mengqashar sholat disaat safar

2013-07-05 Terurut Topik Abu Harits
From: danil_fahams...@ymail.com
Date: Thu, 4 Jul 2013 23:03:37 + 





اَسَّلَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَهُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ 
Mohon penjelasan bagaimana tata cara menjamak/mengqashar sholat disaat safar 
dan mohon diterangkan dalilnya sesuai sunnah رَسُوْلُ اللَّهُ صَلَّي اللَّهُ 
عَلَيْهِ وسَلَّمَ 
جَزَاك اللهُ خَيْرًا atas jawabannya
Powered by Telkomsel BlackBerry®



SHALAT ORANG YANG MELAKUKAN SAFAR
Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
http://almanhaj.or.id/content/1141/slash/0/shalat-orang-yang-melakukan-safar/


A. Orang yang Sedang Safar Wajib Mengqashar Shalat Zhuhur, 'Ashar, dan 'Isya'
Allah berfirman:

وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَقْصُرُوا 
مِنَ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَن يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا ۚ إِنَّ 
الْكَافِرِينَ كَانُوا لَكُمْ عَدُوًّا مُّبِينًا

“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar 
shalat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya 
orang-orang kafir itu musuh yang nyata bagimu.” [An-Nisaa': 101]

Dari Ya'la bin Umayyah, dia menanyakan ayat ini pada 'Umar bin al-Khaththab 
Radhiyallahu anhu. Dia berkata:

إِنْ خِفْتُمْ أَن يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا

“... jika kamu takut diserang orang-orang kafir...” [An-Nisaa: 101]
.
Padahal orang-orang sudah dalam keadaan aman. 'Umar berkata, Dulu, aku juga 
bingung dengan masalah ini sebagaimana kamu. Lalu aku menanyakannya pada 
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Lantas beliau bersabda:

صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ اللهُ بِهَا عَلَيْكُمْ، فَاقْبَلُوْا صَدَقَتَهُ.

Itu adalah shadaqah dari Allah untuk kalian. Maka, terimalah shadaqah-Nya. [1]

Dari Ibnu 'Abbas Radhiyallahu anhuma, dia berkata, Melalui lisan Nabi kalian, 
Allah mewajibkan shalat empat raka’at dalam keadaan mukim, dua raka’at ketika 
safar, dan satu raka’at ketika dalam keadaan takut. [2]

Dari 'Umar Radhiyallahu anhu, dia berkata, Shalat dalam safar dua raka’at, 
shalat Jum’at dua raka’at, shalat Idul Fithri dan Idul Adh-ha dua raka’at. 
Sempurna, tidak diqashar. Berdasarkan ucapan Muhammad Shallallahu 'alaihi wa 
sallam. [3]

Dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma, dia berkata, Pertama kali, shalat diwajibkan 
dua raka’at. Kemudian hal ini ditetapkan bagi shalat dalam keadaan safar. 
Sedangkan pada saat mukim dikerjakan secara lengkap (4 raka’at). [4]

Dari Ibnu 'Umar Radhiyallahu anhuma, dia berkata, Aku pernah menemani 
perjalanan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan beliau tidak pernah 
shalat lebih dari dua raka’at hingga Allah mewafatkannya. Pernah juga aku 
menyertai perjalanan Abu Bakar, dan dia juga tidak pernah shalat lebih dari dua 
raka’at hingga Allah mewafatkannya. Aku pun pernah bepergian bersama 'Umar, dan 
dia juga tidak pernah shalat lebih dari dua raka’at hingga Allah mewafatkannya. 
Aku juga pernah safar bersama 'Utsman, dia tidak pernah shalat lebih dari dua 
raka’at hingga Allah mewafatkannya. Allah berfirman:

لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ

“Sesungguhnya, pada Rasulullah benar-benar terdapat teladan yang baik bagi 
kalian...” [Al-Ahzaab: 21] [5]

B. Batasan Jarak Shalat Qashar
Para ulama memiliki banyak pendapat yang berbeda dalam menentukan batasan jarak 
diperbolehkannya mengqashar shalat. Sampai-sampai Ibnu al-Mundzir dan yang 
lainnya menyebutkan lebih dari dua puluh pendapat dalam masalah ini. Yang rajih 
(kuat) adalah, Pada dasarnya, tidak ada batasan jarak yang pasti. Kecuali yang 
disebut safar dalam bahasa Arab, yaitu bahasa yang digunakan Nabi Shallallahu 
'alaihi wa sallam saat berkomunikasi dengan mereka (orang-orang Arab). Jika 
memang safar mempunyai batasan selain dari apa yang baru saja kami kemukakan, 
tentu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak akan lupa menjelaskannya. Para 
Sahabat pun tidak akan lalai menanyakan hal tersebut pada beliau Shallallahu 
'alaihi wa sallam. Mereka juga tidak akan bersepakat untuk mengabaikan 
penukilan riwayat yang menjelaskan batasan tersebut kepada kita. [6]

C. Tempat Diperbolehkannya Mengqashar Shalat
Mayoritas ulama berpendapat bahwa, disyari'atkan mengqashar shalat ketika telah 
meninggalkan tempat mukim dan keluar dari daerah tempat tinggal. Ini adalah 
syarat. Dan tidaklah disempurnakan shalat (4 raka’at) sampai memasuki rumah 
pertama (di dalam tempat tinggalnya). Ibnul Mundzir berkata, Aku tidak 
mengetahui bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan qashar dalam 
beberapa safarnya kecuali beliau telah keluar dari Madinah. Anas Radhiyallahu 
anhu berkata, Aku shalat Dzuhur empat raka’at bersama Nabi Shallallahu 'alaihi 
wa sallam di Madinah. Sedangkan di Dzul Hulaifah dua raka’at. [7]

Jika seorang musafir tinggal di suatu daerah untuk menunaikan suatu 
kepentingan, namun tidak berniat mukim, maka dia melakukan qashar hingga 
meninggalkan daerah tersebut.

Dari Jabir Radhiyallahu anhu, dia berkata, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam 
tinggal di Tabuk selama dua puluh hari sambil tetap mengqashar shalat.[8]

Ibnul Qayyim berkata, Beliau 

RE: [assunnah]Toko/Swalayan Menjual Minuman Keras?

2013-07-04 Terurut Topik Abu Harits
From: milis.dediguna...@gmail.com
Date: Tue, 25 Jun 2013 07:06:19 -0700 





Bagaimana hukumnya sebuah toko/swalayan yang menjual produk halal dan juga 
menjual produk haram seperti minuman keras.
1. apakah bekerja di tempat tersebut, maka gajinya juga haram?
2, apakah membeli di tempat tersebut juga haram walaupun yang dibeli bukan 
barang yang haram...?




1. Jika harta mereka bercampur antara yang halal dengan yang haram, maka tidak 
ada dosa untuk makan bersama mereka serta menerima hadiah dari mereka, karena 
Allah Subhanahu wa Ta'ala membolehkan makanan Ahlul Kitab, sedang makanan 
mereka itu bercampur antara yang halal dan yang haram. Selain itu, karena 
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah memakan makanan mereka. 

 

Tetapi yang harus kalian lakukan adalah menasihati dan mengingatkan mereka agar 
tidak menjual minuman khamr dan daging babi, sebagai wujud pengamanan firman 
Allah Subhanahu wa Ta'ala.

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ يَأْمُرُونَ 
بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ

Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi 
penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf dan 
mencegah dari yang munkar.[At-Taubah : 71]

Dan juga sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ 
فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَ ذَلِكَ أَضْعَفُ 
اْلإِيْمَانِ

Barangsiapa melihat suatu kemunkaran maka hendaklah dia merubahnya dengan 
tangannya, jika tidak mampu maka dengan lisannya, dan jika tidak mampu juga 
maka dengan hatinya, dan yang demikian itu merupakan selemah-lemah iman. 
[Hadits Riwayat Muslim dan shahihnya]

Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/1402/slash/0/toko-kelontong-berjualan-minuman-khamr-dan-daging-babi-untuk-orang-orang-kafir/
  

 

2.  BELANJA YANG HALAL DI TEMPAT YANG JUGA MENJUAL BARANG HARAM
Bagaimanakah hukum seorang muslim membeli daging halal dari toko yang juga 
menjual daging haram, jika masing-masing daging itu memiliki tempat tersendiri 
dan disimpan di lemari es khusus? Dan apakah boleh membeli makanan yang halal 
dari pusat perbelanjaan besar yang di salah satu bagiannya menyediakan khamr 
dan pemiliknya non muslim?

Jawaban. 
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ 
وَالْعُدْوَانِ

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan 
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. [al-Maidah/5:2). 

Seorang muslim, tidak boleh menjadi pendukung bagi seseorang yang di tempat itu 
terdapat dosa dan maksiat, serta pelanggaran terhadap yang diharamkan Allah 
Azza wa Jalla.

Berdasarkan hal ini, jika seorang muslim memiliki pilihan dan kelonggaran, 
artinya bisa mendapatkan seorang yang menjual yang halal dan menjaga diri dari 
menjual barang haram, seperti daging bagi dan lainnya, maka ia harus 
bermuamalah dengannya, tidak dengan orang yang menjual barang halal dan haram. 
Namun, jika tidak memungkinkan bagi seorang muslim (mendapatkan tempat yang 
menjual barang halal saja, Red.), maka diperbolehkan baginya membeli daging 
halal dan makanan yang diperbolehkan dari tempat itu, selama tidak tercampur 
dengan lainnya, berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla.

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu. [at-Taghâbun/64:16].

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم

Al-Lajnatid-Dâimah lil Buhûtsil-'Ilmiyah wal-Iftâ`
Ketua: Syaikh 'Abdul-'Aziz bin 'Abdullah bin Bâz; Wakil Ketua: Syaikh 'Abdul 
'Aziz Alu Syaikh, Anggota: Syaikh Shâlih bin Fauzân dan Syaikh Bakr Abu Zaid. 

Fatâwâ al-Lajnatid-Dâimah lil Buhûtsil-'Ilmiyah wal-Iftâ`, halaman 173-174

Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/1607/slash/0/belanja-yang-halal-di-tempat-yang-juga-menjual-barang-haram/

 

Wallahu Ta'ala A'lam

  



  

RE: [assunnah]Tanya ; Hukum tahlilan kematian

2013-07-04 Terurut Topik Abu Harits
From: purb...@yahoo.co.id
Date: Sun, 30 Jun 2013 11:38:47 +0800 





Assalamualakum warahmatullahi wabarakatuh.
Saudaraku, bagaimana hukumnya menghadiri undangan tahlian kematian.
wassalam
muliaman purba
@muliamanp


MENGHADIRI TAHLILAN KEMATIAN
http://almanhaj.or.id/content/2840/slash/0/menghadiri-tahlilan-kematian/
Pertanyaan.
Assalamu'alaikum. Ada hadits yang menerangkan bahwa Nabi pernah akan 
mendoa'akan ayahnya yang sudah meninggal, tapi dilarang oleh Allâh Azza wa 
Jalla . Kenapa Banyak orang-orang mengadakan yasinan, tahlilan dengan alasan 
mendo'akan orang tua yang sudah meninggal. Mereka juga mengatakan bahwa ini 
merupakan sebentuk perwujudan anak shaleh mendo'akan orang tua. Dan kyainya 
menyebutkan bahwa ini acara tradisi. Bolehkah menghadiri acara tersebut ? Kalau 
tidak, dimana kemungkarannya ? Bagaimana cara mendo'akan yang sesuai sunnah. 
Terima kasih, wasalam. 081234XXX

Jawaban.
Wa'alaikumussalam. Yang kami ketahui, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan 
memohonkan ampun untuk ibunya tetapi beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak 
diidzinkan. Sebagaimana hadits di bawah ini:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ زَارَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- قَبْرَ 
أُمِّهِ فَبَكَى وَأَبْكَى مَنْ حَوْلَهُ فَقَالَ « اسْتَأْذَنْتُ رَبِّى فِى أَنْ 
أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِى وَاسْتَأْذَنْتُهُ فِى أَنْ أَزُورَ 
قَبْرَهَا فَأُذِنَ لِى فَزُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa 
sallam menziarahi kubur ibunya, lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam 
menangis dan membuat orang-orang di sekitarnya menangis juga. Lalu beliau 
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku meminta idzin kepada Rabbku untuk 
memohonkan ampun bagi ibuku, tetapi aku tidak diberi idzin. Dan aku meminta 
idzin kepadaNya untuk menziarahi kuburnya, maka aku diberi idzin. Maka 
hendaklah kamu berziarah kubur, karena ziarah kubur itu bisa mengingatkan 
kepada kematian. [HR. Muslim]

Adapun tentang ayah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terdapat hadits sebagai 
berikut :

عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَجُلاً قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيْنَ أَبِى قَالَ « فِى 
النَّارِ ». فَلَمَّا قَفَّى دَعَاهُ فَقَالَ « إِنَّ أَبِى وَأَبَاكَ فِى 
النَّارِ ».

Dari Anas Radhiyallahu anhu bahwa seorang laki-laki berkata, “Wahai Rasulullah, 
dimanakah ayahku?”, beliau menjawab, “Di dalam neraka”. Ketika dia berpaling, 
beliau memanggilnya lalu bersabda, “Sesungguhnya ayahku dan ayahmu di dalam 
neraka”. [HR. Muslim]

Untuk menjawab pertanyaan saudara, kami akan membaginya dalam tiga point yaitu 
: 

A. Bolehkah Menghadiri Acara Ini Yasinan Atau Tahlilan Untuk Mendoakan Orang 
Yang Telah Mati ?
Jawaban kami untuk pertanyaan ini adalah tidak boleh menghadirinya. Karena hal 
ini tidak dituntunkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para 
sahabatnya. Kecuali jika dia hadir dalam rangka menjelaskan kemungkarannya, 
lalu meninggalkannya. Anggapan bahwa itu sebagai aktualisasi dari kebaikan anak 
yang shalih untuk orang tua, tidak lantas bisa dijadikan legitimasi bagi amalan 
ini. Karena cara mewujudkan bakti kepada orang tua yang sudah meninggal telah 
dijelaskan caranya-caranya dalam Islam seperti memohon ampun atau menyambung 
tali silaturrahim dengan teman dekatnya. Begitu juga klaim, acara ini sebagai 
tradisi semata, tidak bisa dijadikan sebagai alasan untuk memperbolehkan amalan 
ini. Karena faktanya mereka yang melakukan itu berharap pahala dari Allah Azza 
wa Jalla ketika melaksanakannya bahkan disebagian tempat orang yang tidak 
melaksanakannya dianggap tidak mau melaksanakan sunnah. Bukankah ini berarti 
ibadah ? Sementara yang namanya ibadah harus berlandaskan dalil. Kalaupun 
dianggap sebagai tradisi, maka dalam Islam, tradisi itu boleh dipertahankan 
selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Sementara yasinan yang mereka 
klaim sebagai tradisi ini ternyata menyelisihi agama Islam yang telah sempurna 
yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ 

Barangsiapa yang membuat suatu yang baru dalam ajaran kami yang tidak berasal 
darinya, maka perkara itu tertolak[1] 

B. Dimanakah Letak Kemungkarannya ?
Kemungkaran-kemungkaran amalan ini banyak, diantaranya :
1. Yasinan atau tahlilan merupakan bentuk ibadah yang tidak dituntunkan oleh 
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. 

2. Berkumpul di rumah orang yang kena musibah kematian dan apalagi disertai 
dengan penghidangan makanan dari tuan rumah setelah penguburan merupakan bentuk 
niyâhah (meratap) yang dilarang oleh agama.

3. Jamuan yang diberikan tuan rumah kepada tetamu bertentangan dengan Sunnah 
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memerintahkan para tetangga untuk 
memberi makan kepada keluarga mayit, bukan keluarga mayit yang menghidangkan 
makanan kepada tetangga.

4. Bertentangan dengan akal. Karena orang yang sedang didera kesusahan 

RE: [assunnah]Tanya : Dalil janda menikahkan dirinya sendiri

2013-07-02 Terurut Topik Abu Harits
 From: joydove...@yahoo.com
 Date: Mon, 1 Jul 2013 21:48:26 +
 Assalamu'alaykum Warohmatullahi Wabarokatuh, 
 Apakah ada dalil yang menyatakan janda bisa menikahkan dirinya (tanpa wali) 
 dan hanya di wakilkan pada wali hakim.
 Wassalamu'alaykum,
 Abu Taufiq
 
 
1. Wanita Tidak Boleh Menikahkan Dirinya Sendiri
Tentang wali ini berlaku bagi gadis maupun janda. Artinya, apabila seorang 
gadis atau janda menikah tanpa wali, maka nikahnya tidak sah.

Tidak sahnya nikah tanpa wali tersebut berdasarkan hadits-hadits di atas yang 
shahih dan juga berdasarkan dalil dari Al-Qur’anul Karim.

Allah Ta’ala berfirman:

وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ 
يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْا بَيْنَهُمْ بِالْمَعْرُوفِ ۗ ذَٰلِكَ 
يُوعَظُ بِهِ مَنْ كَانَ مِنْكُمْ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۗ 
ذَٰلِكُمْ أَزْكَىٰ لَكُمْ وَأَطْهَرُ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا 
تَعْلَمُونَ

Dan apabila kamu menceraikan isteri-isteri (kamu), lalu sampai masa ‘iddahnya, 
maka jangan kamu (para wali) halangi mereka menikah (lagi) dengan calon 
suaminya, apabila telah terjalin kecocokan di antara mereka dengan cara yang 
baik. Itulah yang dinasihatkan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman 
kepada Allah dan hari Akhir. Itu lebih suci bagimu dan lebih bersih. Dan Allah 
mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” [Al-Baqarah : 232]

Ayat di atas memiliki asbaabun nuzul (sebab turunnya ayat), yaitu satu riwayat 
berikut ini. Tentang firman Allah: “Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi 
mereka,” al-Hasan al-Bashri rahimahullaah berkata, Telah menceritakan kepadaku 
Ma’qil bin Yasar, sesungguhnya ayat ini turun berkenaan dengan dirinya. Ia 
berkata,

زَوَّجْتُ أُخْتًا لِيْ مِنْ رَجُلٍ فَطَلَّقَهَا حَتَّى إِذَا انْقَضَتْ 
عِدَّتُهَا جَاءَ يَخْطُبُهَا، فَقُلْتُ لَهُ: زَوَّجْتُكَ وَفَرَشْتُكَ 
وَأَكْرَمْتُكَ فَطَلَّقْتَهَا ثُمَّ جِئْتَ تَخْطُبُهَا؟ لاَ، وَاللهِ لاَ 
تَعُوْدُ إِلَيْكَ أَبَدًا! وَكَانَ رَجُلاً لاَ بَأْسَ بِهِ وَكَانَتِ 
الْمَرْأَةُ تُرِيْدُ أَنْ تَرْجِعَ إِلَيْهِ. فَأَنْزَلَ اللهُ هَذِهِ اْلآيَةِ ( 
فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ ) فَقُلْتُ: اْلآنَ أَفْعَلُ يَا رَسُوْلَ اللهِ. قَالَ: 
فَزَوَّجَهَا إِيَّاهُ

“Aku pernah menikahkan saudara perempuanku dengan seorang laki-laki, kemudian 
laki-laki itu menceraikannya. Sehingga ketika masa ‘iddahnya telah berlalu, 
laki-laki itu (mantan suami) datang untuk meminangnya kembali. Aku katakan 
kepadanya, ‘Aku telah menikahkan dan mengawinkanmu (dengannya) dan aku pun 
memuliakanmu, lalu engkau menceraikannya. Sekarang engkau datang untuk 
meminangnya?! Tidak! Demi Allah, dia tidak boleh kembali kepadamu selamanya! 
Sedangkan ia adalah laki-laki yang baik, dan wanita itu pun menghendaki rujuk 
(kembali) padanya. Maka Allah menurunkan ayat ini: ‘Maka janganlah kamu (para 
wali) menghalangi mereka.’ Maka aku berkata, ‘Sekarang aku akan melakukannya 
(mewalikan dan menikahkannya) wahai Rasulullah.’” Kemudian Ma‘qil menikahkan 
saudara perempuannya kepada laki-laki itu.[6]

Hadits Ma’qil bin Yasar ini adalah hadits yang shahih lagi mulia. Hadits ini 
merupakan sekuat-kuat hujjah dan dalil tentang disyaratkannya wali dalam akad 
nikah. Artinya, tidak sah nikah tanpa wali, baik gadis maupun janda. Dalam 
hadits ini, Ma’qil bin Yasar yang berkedudukan sebagai wali telah menghalangi 
pernikahan antara saudara perempuannya yang akan ruju’ dengan mantan suaminya, 
padahal keduanya sudah sama-sama ridha. Lalu Allah Ta’ala menurunkan ayat yang 
mulia ini (yaitu surat al-Baqarah ayat 232) agar para wali jangan menghalangi 
pernikahan mereka. Jika wali bukan syarat, bisa saja keduanya menikah, baik 
dihalangi atau pun tidak. Kesimpulannya, wali sebagai syarat sahnya nikah.

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullaah berkata, “Para ulama berselisih tentang 
disyaratkannya wali dalam pernikahan. Jumhur berpendapat demikian. Mereka 
berpendapat bahwa pada prinsipnya wanita tidak dapat menikahkan dirinya 
sendiri. Mereka berdalil dengan hadits-hadits yang telah disebutkan di atas 
tentang perwalian. Jika tidak, niscaya penolakannya (untuk menikahkan wanita 
yang berada di bawah perwaliannya) tidak ada artinya. Seandainya wanita tadi 
mempunyai hak menikahkan dirinya, niscaya ia tidak membutuhkan saudara 
laki-lakinya. Ibnu Mundzir menyebutkan bahwa tidak ada seorang Shahabat pun 
yang menyelisihi hal itu.” [7]

Imam asy-Syafi’i rahimahullaah berkata, “Siapa pun wanita yang menikah tanpa 
izin walinya, maka tidak ada nikah baginya (tidak sah). Karena Nabi 
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Maka nikahnya bathil (tidak sah).’”[8]

Imam Ibnu Hazm rahimahullaah berkata, “Tidak halal bagi wanita untuk menikah, 
baik janda maupun gadis, melainkan dengan izin walinya: ayahnya, saudara 
laki-lakinya, kakeknya, pamannya, atau anak laki-laki pamannya...” [9]

Imam Ibnu Qudamah rahimahullaah berkata, “Nikah tidak sah kecuali dengan wali. 
Wanita tidak berhak menikahkan dirinya sendiri, tidak pula selain (wali)nya. 
Juga tidak boleh mewakilkan 

RE: [assunnah]Tanya akad nikah dua kali

2013-07-01 Terurut Topik Abu Harits
 From: emmy_atmah...@yahoo.com
 Date: Fri, 10 May 2013 13:01:19 +
 Assalamu'alaikum ,
 Saya ingin menanyakan apakah hukumnya diperbolehkan/sah menurut Islam bila 
 melakukan akad nikah dua kali, akad pertama dilakukan dg alasan takut berzina 
 krn hari pernikahannya masih satu tahun mendatang, menjelang sehari sebelum 
 walimah pernikahan dilakukan akad nikah lagi ( si wanita sedang mengandung 3 
 bulan) alasannya akad pertama cuma dihadiri orang tua kedua belah pihak , 
 akad kedua dihadiri keluarga besar/ tetangga 


 

A. Akad nikah apabila telah memenuhi syarat, rukun dan kewajibannya maka 
pernikahan itu sah, walau hanya dihadiri orang tua kedua belah pihak, dan tidak 
perlu diulang kembali dilain waktu dengan alasan tidak dihadiri oleh keluarga 
besar/tetangga.


Dalam aqad nikah ada beberapa syarat, rukun dan kewajiban yang harus dipenuhi, 
yaitu adanya:

1. Rasa suka sama suka dari kedua calon mempelai
2. Izin dari wali
3. Saksi-saksi (minimal dua saksi yang adil)
4. Mahar
5. Ijab Qabul

• Wali
Yang dikatakan wali adalah orang yang paling dekat dengan si wanita. Dan orang 
paling berhak untuk menikahkan wanita merdeka adalah ayahnya, lalu kakeknya, 
dan seterusnya ke atas. Boleh juga anaknya dan cucunya, kemudian saudara seayah 
seibu, kemudian saudara seayah, kemudian paman. [1]

Ibnu Baththal rahimahullaah berkata, “Mereka (para ulama) ikhtilaf tentang 
wali. Jumhur ulama di antaranya adalah Imam Malik, ats-Tsauri, al-Laits, Imam 
asy-Syafi’i, dan selainnya berkata, “Wali dalam pernikahan adalah ‘ashabah 
(dari pihak bapak), sedangkan paman dari saudara ibu, ayahnya ibu, dan 
saudara-saudara dari pihak ibu tidak memiliki hak wali.” [2]

Disyaratkan adanya wali bagi wanita. Islam mensyaratkan adanya wali bagi wanita 
sebagai penghormatan bagi wanita, memuliakan dan menjaga masa depan mereka. 
Walinya lebih mengetahui daripada wanita tersebut. Jadi bagi wanita, wajib ada 
wali yang membimbing urusannya, mengurus aqad nikahnya. Tidak boleh bagi 
seorang wanita menikah tanpa wali, dan apabila ini terjadi maka tidak sah 
pernikahannya.
Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/3230/slash/0/syarat-rukun-dan-kewajiban-dalam-aqad-nikah/
http://almanhaj.or.id/content/3229/slash/0/walimatul-urus-pesta-pernikahan/
 
B. Terjadinya pernikahan dengan dua kali akad, dimungkinkan tidak mengetahui 
pihak wali (orang tua) tentang syarat sahnya suatu pernikahan. Dijelaskan bahwa 
akad pertama dilakukan dg alasan takut berzina krn hari pernikahannya masih 
satu tahun mendatang. (cuma dihadiri orang tua kedua belah pihak).

 

Akad nikah seperti ini (yang disembunyikan) disebut dengan Perkawinan Sirri. 
Pengertian nikah sirri dalam perspektif ulama fiqih, ialah pernikahan yang 
ditutup-tutupi. Ia berasal dari kata as-sirru yang bermakna rahasia. 

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman : 

وَلَكِن لاَّ تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا

...Dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara 
rahasia. [al- Baqarah/2: 235]. 

Pernikahan sirri juga didefinisikan sebagai pernikahan yang diwasiatkan untuk 
disembunyikan [1], tidak diumumkan [2]. Oleh karena itu, kawin sirri adalah 
pernikahan yang dirahasiakan dan ditutupi, serta tidak disebarluaskan. 

Menurut pandangan ulama, nikah sirri terbagi menjadi dua. 

Pertama : Dilangsungkannya pernikahan suami istri tanpa kehadiran wali dan 
saksi-saksi, atau hanya dihadiri wali tanpa diketahui oleh saksi-saksi. 
Kemudian pihak-pihak yang hadir (suami-istri dan wali) menyepakati untuk 
menyembunyikan pernikahan tersebut. 

Menurut pandangan seluruh ulama fiqih, pernikahan yang dilaksanakan seperti ini 
batil. Lantaran tidak memenuhi syarat pernikahan, seperti keberadaan wali dan 
saksi-saksi. Ini bahkan termasuk nikah sifâh (perzinaan) atau 
ittikhâdzul-akhdân (menjadikan wanita atau lelaki sebagai piaraan untuk pemuas 
nafsu) sebagaimana disinggung dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala : 

غَيْرَ مُسَافِحَاتٍ وَلاَمُتَّخِذَاتِ أّخْدَانٍ

... Bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai 
piaraannya … [an- Nisâ`/4:25]. 

Adapun bila dua saksi telah berada di tengah acara, menyertai mempelai lelaki 
dan perempuan, sementara itu pihak wali belum hadir, kemudian mereka bersepakat 
untuk menutupi pernikahan dari telinga wali dan masyarakat, ini juga termasuk 
pernikahan sirri yang batil. Karena tidak memenuhi syarat mengenai keberadaan 
wali. 

Kedua : Pernikahan terlaksana dengan syarat-syarat dan rukun-rukun yang 
terpenuhi, seperti ijab, qabul, wali dan saksi-saksi. Akan tetapi, mereka 
(suami, istri, wali dan saksi) satu kata untuk merahasiakan pernikahan ini dari 
telinga masyarakat atau sejumlah orang. Dalam hal ini, sering kali pihak 
mempelai lelakilah yang berpesan supaya dua saksi menutup rapat-rapat berita 
mengenai pernikahan yang terjadi. 

Dalam masalah ini, para ulama Rahimahullah berselisih pendapat. Jumhur ulama 
Rahimahullah memandang pernikahan seperti ini sah, tetapi hukumnya dilarang. 
Hukumnya sah, resmi 

RE: [assunnah]Tanya : donor darah

2013-06-29 Terurut Topik Abu Harits
From: yahya_abdurrah...@yahoo.co.id
Date: Thu, 27 Jun 2013 09:29:30 +0800










Assalamu'alaikum, 
Bagaimana status darah orang kafir yg di donorkan bagi umat manusia? Orang 
kafir tersebut sdh biasa makan daging babi.
Mohon penjelasannya bagi yg mengetahui. 

Jazaakumullaahu khairan


 

Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh ditanya : Apakah boleh mendonorkan darah 
non muslim ke dalam tubuh seorang muslim pada saat dibutuhkan, seperti dalam 
kondisi kritis atau mengalami operasi atau tidak boleh?

Jawaban
Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu berbicara tentang tiga hal. Pertama : 
Siapakah orang yang dberi tambahan darah? Kedua: Siapakah si pendonor darah? 
Ketiga : Siapakah orang yang menjadi rujukan dalam masalah perlu transfusi 
darah ini?

Yang Pertama : Orang yang perlu diberi tambahan darah ialah orang sakit atau 
terluka, yang keberlangsungan hidupnya sangat tergantung pada donor darah. 
Dasarnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنزِيرِ وَمَا 
أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ ۖ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا 
إِثْمَ عَلَيْهِ

“Artinya : Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging 
babi, dan binatang (yang ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi 
barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak meginginkannya 
dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya” [Al-Baqarah : 
173]

Dalam ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِّإِثْمٍ ۙ فَإِنَّ اللَّهَ 
غَفُورٌ رَّحِيمٌ

“Artinya : Maka barangsiapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat 
dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [Al-Maidah : 3]

Allah berfirman.

وَقَدْ فَصَّلَ لَكُم مَّا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ

“Artinya : Padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang 
diharamkanNya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya” [Al-An’am : 
199]

Sisi pendalilan ayat-ayat ini adalah, ayat-ayat ini memberikan pengertian, jika 
kesembuhan orang yang sakit atau terluka serta keberlangsungan hidupnya 
tergantung pada transfusi darah dari orang lain kepadanya, sementara tidak ada 
obat yang mubah yang dapat menggantikan darah dalam usaha penyembuhan dan 
penyelamatannya, maka boleh mentransfusi darah kepadanya. Ini sebenarnya, bukan 
pengobatan namun hanya memberi tambahan yang diperlukan.

Yang Kedua : Si pendonor darah adalah orang yang tidak terancam resiko jika ia 
mendonorkan darah. Berdasarkan keumuman sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa 
sallam.

لَا ضَرَ وَلاَ ضِرَارَ 

“Artinya : Tidak membahayakan diri dan orang lain” [Riwayat Imam Ibnu Majah dan 
dishahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani]

Yang Ketiga : Orang yang didengar ucapannya dalam masalah perlunya transfusi 
darah adalah dokter muslim. Jika kesulitan mendapatkannya, saya tidak 
mengetahui adanya larangan untuk mendengar ucapan dari dokter non muslim, baik 
Yahudi ataupun Nasrani, jika ia ahli dan dipercaya orang banyak.

Dalilnya yaitu kisah yang terdapat dalam hadits shahih, bahwa pada saat 
melakukan hijrah, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyewa seorang musyrik 
yang lihai sebagai pemandu jalan.

Ibnul Qayyim rahimahullahu mengatakan dalam kitabnya (Bada’i Al-Fawaid) : 
“Dalam (kisah) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyewa Abdullah bin Uraiqith 
Ad-Daili sebagai pemandu saat berhijrah padahal dia seorang kafir, terdapat 
dalil bolehnya meruju’ kepada orang kafir dalam bidang kedokteran, celak, obat, 
tulis menulis, hitungan, cacat atau yang lainnya, selama tidak masuk wilayah 
yang mengandung keadilan.

Keberadaannya sebagai seorang kafir tidak serta merta menyebabkannya tidak bisa 
dipercaya sama sekali dalam segala hal. Dan tidak ada yang lebih beresiko 
ketimbang menjadikannya sebagai pemandu jalan, terutama seperti perjalanan 
melakukan hijrah”.

Ibnul Muflih, dalam kitab Al-Adab Asy-Syar’iyah, menukil perkataan Syaikhul 
Islam Ibnu Taimiyyah.

“Jika ada seorang Yahudi atau Nasrani yang ahli dalam masalah kedokteran serta 
dipercaya banyak orang, maka boleh bagi seorang muslim untuk berobat kepadanya, 
sebagaimana juga boleh menitipkan harta kepadanya dan bermu’amalah dengannya. 
Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

وَمِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ مَنْ إِن تَأْمَنْهُ بِقِنطَارٍ يُؤَدِّهِ إِلَيْكَ 
وَمِنْهُم مَّنْ إِن تَأْمَنْهُ بِدِينَارٍ لَّا يُؤَدِّهِ إِلَيْكَ إِلَّا مَا 
دُمْتَ عَلَيْهِ قَائِمًا

“Artinya : Di antara Ahli Kitab ada orang yang jika kamu mempercayakan 
kepadanya harta yang banyak, dikembalikannya kepadamu ; dan di antara mereka 
ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya satu dinar, tidak 
dikembalikannya kepadamu, kecuali jika kamu selalu menagihnya” [Ali-Imran : 75]

Dalam hadits shahih (yang diriwayatkan Imam Bukhari, red) bahwa saat Nabi 
Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan hijrah, beliau Shallallahu ‘alaihi wa 
sallam 

  1   2   3   4   5   6   7   8   9   10   >