RE: RE: [iagi-net-l] Re: Poster vs Oral Presentation

2008-04-28 Terurut Topik yanto R.Sumantri



 Awang 

Jangan bilang ndak dapat apapun akh , Anda
melakukan sesuatu dengan dasar cinta maka cinta pula yang akan datang pada
Anda .
Apa itu ?
Anda dicintai oleh seluruh rekan ahli kebumian,
PERCAYAl-ah bahwa hal itu telah terjadi.

Si Abah



   Nah, itu juga alasan yang selalu dikemukakan
kebanyakan teman akademisi
 saat saya minta menyumbang tulisan
untuk Majalah Geologi Indonesia (MGI).
 Saat ini MGI punya no.
ISSN 0216-1061. Wah, kalau hanya ISSN malas-lah,
 coba
naikkan dulu ke status ISBN, baru nanti saya kontribusi tulisan
 begitu kata seorang teman dari Perguruan Tinggi. Nilai kum jurnal
ber-ISBN
 lebih tinggi daripada nilai kum jurnal ber-ISSN.
Hm...ada maksud lain
 rupanya dengan menyumbang tulisan itu,
tadinya saya hanya berpikir
 scientist must write
Maka MGI pun sangat sepi dikontribusi...
 
 Seorang
kandidat doktor pernah menghubungi saya bertanya bagaimana caranya
 memasukkan paper ke jurnal internasional, bila masuk, maka
predikat
 judicium-nya akan naik. Memang begitulah aturan2 di
akademik kelihatannya,
 semua ada perhitungannya. Berapa paper di
simposium, berapa paper di
 jurnal (jurnal mana dulu nih; jurnal
internasional dengan ISBN, yang
 terkenal, yang ada peer
review-nya tentu akan dinilai tinggi kreditnya);
 semua ada
nilainya (untuk jadi profesor atau menduduki jenjang2 akademik).


 Di dunia akademik internasional pun mungkin kelihatannya
begitu. Maka
 Robert Hall yang duduk bersebelahan dengan saya
saat pertemuan IPA 2007
 (kami saat itu sebagai dua pembicara
yang berurutan tentang tektonik Jawa)
 tercenung melihat kartu
nama saya bukan dari afiliasi pusat riset atau
 perguruan tinggi,
tetapi dari BPMIGAS. You did your research as a hobby

?, begitu tanyanya. Yes, I did, jawab saya. Sebenarnya
bukan hobi,
 tetapi ekspresi cinta. Orang yang jatuh cinta tak
akan pernah berhitung,
 just do it (kata Abah),
walaupun dengan nilai kum : 0.
 
 Siapapun bisa dan
boleh melakukan riset, syaratnya hanya : cinta, tekad,
 tekun,
berani. Cinta menjadi pendorong utamanya. Tekad dan tekun menjadi
 bahan bakar perjalanan risetnya. Berani menjadi pijakannya saat ia
bertemu
 dan berdebat dengan periset lain. Benar atau tidak
risetnya (karena ia
 bukan seorang doktor riset atau bukan doktor
akademik) akan ditentukan
 dengan pertemuan dan perdebatan
melalui forum-forum ilmiah.
 
 Mari meneliti dan menulis
walaupun tanpa apresiasi apa pun !
 
 Salam,

awang
 
 -Original Message-

From:
[EMAIL PROTECTED] [mailto:[EMAIL PROTECTED]
 Sent:
Friday, April 25, 2008 2:07 C++
 To: iagi-net@iagi.or.id;
[EMAIL PROTECTED]; [EMAIL PROTECTED]
 Subject: RE:
[iagi-net-l] Re: Poster vs Oral Presentation
 
 Saya mau
sharing betapa susahnya untuk meminta akademisi untuk menulis di

majalah Berita Sedimentologi dan aktif di Forum Sedimentologi Indonesia
 (FOSI). Saya pernah tanya kenapa tidak menyumbang tulisan,
alasannya
 mula-mula karena tidak ada nomor ISSN / ISBN. Karena
hal ini kami
 mendaftarkan majalah ini ke LIPI. Setelah mendapat
ISSN / ISBN masih juga
 tidak banyak mendapat kontribusi. Tapi
alasannya ganti: FOSI / Berita
 Sedimentologi ini adalah majalah
atau organisasi LOKAL. Jadi sayang kalau
 papernya di publish
secara domestik, lebih baik sekalian INTERNATIONAL.
 

Akhirnya kami cenderung untuk minta kawan-kawan dari industri untuk
 menyumbangkan tulisan. Mungkin karena mereka tidak cari cum /
credit point
 dan mungkin mereka memang 'jatuh cinta' jadi mau
menulis seperti Awang
 sampaikan sebelumnya.
 

Herman
 
 
 
 
 -Original
Message-

From: Awang Satyana
[mailto:[EMAIL PROTECTED]
 Sent: Thursday, April 24, 2008
6:53 PM
 To: iagi-net@iagi.or.id; Geo Unpad; Forum HAGI

Subject: Re: [iagi-net-l] Re: Poster vs Oral Presentation
 
 
 Perasaan bahwa poster kelas dua harus
dihapuskan baik dari panitia
 konvensi maupun peserta konvensi,
juga penulisnya. Tidak bisa dinafikan
 bahwa perasaan kelas dua
itu masih ada. IPA dalam lima tahun terakhir ini
 boleh dikatakan
tak menganut pembedaan itu, sekali paper lengkapnya dimuat
 dalam
proceedings, maka hilanglah mana paper oral mana paper poster.


   Menyiapkan poster lebih susah daripada sekedar menyiapkan
presentasi
 oral. Menyiapkan poster lebih makan waktu, tenaga,
dan biaya. Dulu saat
 presentasi oral masih menggunakan slide 35
mm menyiapkan presentasi oral
 sama susahnya dengan menyiapkan
poster. Sekarang, dengan menggunakan
 power point presentation,
10 menit sebelum presentasi pun kita masih
 bisa melakukan
perubahan atas bahan presentasi bila diperlukan.
 
  
Presentasi oral hanya 15-20 menit, lalu diskusi 5-10 menit; habis itu
 orang melupakannya. Pembicara hanya cukup membawa flash disk dan
 memberikan bahannya ke panitia untuk di-copy. Nah, poster :
booth-nya
 dijagai pembuatnya bisa setengah hari-sehari. Lalu
ia/mereka juga mesti
 siap sedia menjawab pertanyaan pengunjung
selama posternya digantung.
 Membawanya ke tempat konvensi pun
tak sederhana, tak hanya 

RE: RE: [iagi-net-l] Re: Poster vs Oral Presentation

2008-04-28 Terurut Topik Awang Satyana
Hm..filosofi yang dalam Abah, terima kasih atas pengingatannya, benar dan saya 
percaya.
   
  Jadi ingat nasihat Sang Guru kepada Almitra :
   
  Pabila cinta memanggilmu, ikutilah dia, walau jalannya terjal berliku-liku. 
Dan pabila sayapnya merangkummu, pasrahlah serta menyerah, walau pedang 
tersembunyi di sela sayap itu melukaimu.
   
  Cinta tak memberikan apa-apa, kecuali keseluruhan dirinya,utuh-penuh. Pun 
tidak mengambil apa-apa, kecuali dirinya sendiri. (Kahlil Gibran - Sang Nabi)
   
  salam,
  awang
   
   
   
   
  
yanto R.Sumantri [EMAIL PROTECTED] wrote:
  


 Awang 

Jangan bilang ndak dapat apapun akh , Anda
melakukan sesuatu dengan dasar cinta maka cinta pula yang akan datang pada
Anda .
Apa itu ?
Anda dicintai oleh seluruh rekan ahli kebumian,
PERCAYAl-ah bahwa hal itu telah terjadi.

Si Abah


   
-
Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile.  Try it now.

RE: RE: [iagi-net-l] Re: Poster vs Oral Presentation

2008-04-25 Terurut Topik Awang Harun Satyana
Nah, itu juga alasan yang selalu dikemukakan kebanyakan teman akademisi saat 
saya minta menyumbang tulisan untuk Majalah Geologi Indonesia (MGI). Saat ini 
MGI punya no. ISSN 0216-1061. Wah, kalau hanya ISSN malas-lah, coba naikkan 
dulu ke status ISBN, baru nanti saya kontribusi tulisan begitu kata seorang 
teman dari Perguruan Tinggi. Nilai kum jurnal ber-ISBN lebih tinggi daripada 
nilai kum jurnal ber-ISSN. Hm...ada maksud lain rupanya dengan menyumbang 
tulisan itu, tadinya saya hanya berpikir scientist must write Maka MGI pun 
sangat sepi dikontribusi...

Seorang kandidat doktor pernah menghubungi saya bertanya bagaimana caranya 
memasukkan paper ke jurnal internasional, bila masuk, maka predikat 
judicium-nya akan naik. Memang begitulah aturan2 di akademik kelihatannya, 
semua ada perhitungannya. Berapa paper di simposium, berapa paper di jurnal 
(jurnal mana dulu nih; jurnal internasional dengan ISBN, yang terkenal, yang 
ada peer review-nya tentu akan dinilai tinggi kreditnya); semua ada nilainya 
(untuk jadi profesor atau menduduki jenjang2 akademik).

Di dunia akademik internasional pun mungkin kelihatannya begitu. Maka Robert 
Hall yang duduk bersebelahan dengan saya saat pertemuan IPA 2007 (kami saat itu 
sebagai dua pembicara yang berurutan tentang tektonik Jawa) tercenung melihat 
kartu nama saya bukan dari afiliasi pusat riset atau perguruan tinggi, tetapi 
dari BPMIGAS. You did your research as a hobby ?, begitu tanyanya. Yes, I 
did, jawab saya. Sebenarnya bukan hobi, tetapi ekspresi cinta. Orang yang 
jatuh cinta tak akan pernah berhitung, just do it (kata Abah), walaupun 
dengan nilai kum : 0.

Siapapun bisa dan boleh melakukan riset, syaratnya hanya : cinta, tekad, tekun, 
berani. Cinta menjadi pendorong utamanya. Tekad dan tekun menjadi bahan bakar 
perjalanan risetnya. Berani menjadi pijakannya saat ia bertemu dan berdebat 
dengan periset lain. Benar atau tidak risetnya (karena ia bukan seorang doktor 
riset atau bukan doktor akademik) akan ditentukan dengan pertemuan dan 
perdebatan melalui forum-forum ilmiah.

Mari meneliti dan menulis walaupun tanpa apresiasi apa pun !

Salam,
awang

-Original Message-
From: [EMAIL PROTECTED] [mailto:[EMAIL PROTECTED]
Sent: Friday, April 25, 2008 2:07 C++
To: iagi-net@iagi.or.id; [EMAIL PROTECTED]; [EMAIL PROTECTED]
Subject: RE: [iagi-net-l] Re: Poster vs Oral Presentation

Saya mau sharing betapa susahnya untuk meminta akademisi untuk menulis di 
majalah Berita Sedimentologi dan aktif di Forum Sedimentologi Indonesia (FOSI). 
Saya pernah tanya kenapa tidak menyumbang tulisan, alasannya mula-mula karena 
tidak ada nomor ISSN / ISBN. Karena hal ini kami mendaftarkan majalah ini ke 
LIPI. Setelah mendapat ISSN / ISBN masih juga tidak banyak mendapat kontribusi. 
Tapi alasannya ganti: FOSI / Berita Sedimentologi ini adalah majalah atau 
organisasi LOKAL. Jadi sayang kalau papernya di publish secara domestik, lebih 
baik sekalian INTERNATIONAL.

Akhirnya kami cenderung untuk minta kawan-kawan dari industri untuk 
menyumbangkan tulisan. Mungkin karena mereka tidak cari cum / credit point dan 
mungkin mereka memang 'jatuh cinta' jadi mau menulis seperti Awang sampaikan 
sebelumnya.

Herman




-Original Message-
From: Awang Satyana [mailto:[EMAIL PROTECTED]
Sent: Thursday, April 24, 2008 6:53 PM
To: iagi-net@iagi.or.id; Geo Unpad; Forum HAGI
Subject: Re: [iagi-net-l] Re: Poster vs Oral Presentation


Perasaan bahwa poster kelas dua harus dihapuskan baik dari panitia konvensi 
maupun peserta konvensi, juga penulisnya. Tidak bisa dinafikan bahwa perasaan 
kelas dua itu masih ada. IPA dalam lima tahun terakhir ini boleh dikatakan tak 
menganut pembedaan itu, sekali paper lengkapnya dimuat dalam proceedings, maka 
hilanglah mana paper oral mana paper poster.

  Menyiapkan poster lebih susah daripada sekedar menyiapkan presentasi oral. 
Menyiapkan poster lebih makan waktu, tenaga, dan biaya. Dulu saat presentasi 
oral masih menggunakan slide 35 mm menyiapkan presentasi oral sama susahnya 
dengan menyiapkan poster. Sekarang, dengan menggunakan power point 
presentation, 10 menit sebelum presentasi pun kita masih bisa melakukan 
perubahan atas bahan presentasi bila diperlukan.

  Presentasi oral hanya 15-20 menit, lalu diskusi 5-10 menit; habis itu orang 
melupakannya. Pembicara hanya cukup membawa flash disk dan memberikan bahannya 
ke panitia untuk di-copy. Nah, poster : booth-nya dijagai pembuatnya bisa 
setengah hari-sehari. Lalu ia/mereka juga mesti siap sedia menjawab pertanyaan 
pengunjung selama posternya digantung. Membawanya ke tempat konvensi pun tak 
sederhana, tak hanya disakui seperti flash disk; tapi mesti dibawa menggunakan 
tabung pipa, dibawa terbang, jauh melintasi benua2 (kalau mengikuti konvensi 
internasional), merepotkan. Dan, biaya membuat poster dengan kualitas cetak 
yang prima sungguh tak murah biayanya. Maka, sungguh tak adil kalau poster 
dikelasduakan sebab dalam banyak hal menyiapkannya lebih susah daripada 

RE: RE: [iagi-net-l] Re: Poster vs Oral Presentation

2008-04-25 Terurut Topik Eddy Subroto
Mas Awang,

Saya mau memperjelas sedikit, karena saya tidak yakin kalau ada permintaan
pengubahan dari ISSN ke ISBN. Karena MGI adalah majalah/jurnal, maka ya
tentu saja pendaftarannya akan memakai ISSN (serial) dan bukan ISBN
(book). Di dunia akademik, keduanya diakui dan mendapat nilai yang cukup
tinggi. Yang menjadi perhatian para akademisi adalah aturan yang
menyebutkan adanya akreditasi jurnal. Depdiknas melalui Dikti (Pendidikan
Tinggi) mengeluarkan akreditasi jurnal; A, B, C, dan tidak terakreditasi,
sekarang berubah menjadi A, B dan tidak terakreditasi. Untuk naik jabatan
ke Lektor Kepala, apalagi ke Guru Besar maka makalah yang dapat
diperhitungkan adalah makalah yang dimuat di jurnal terakreditasi. Jadi
kalau makalah seorang akademisi dimuat di jurnal tidak terakreditasi, maka
makalahnya masih dapat poin akan tetapi tidak dapat digunakan sebagai
makalah utama untuk kenaikan jabatannya.

Saya tadi bertemu di dua rapat dengan Pak Zaim dan karena cerita saya
dianggap sudah jelas maka beliau tidak mau menambah komentarnya di milis
ini. Nah, bagi kami yang hobi menulis, tidak masalah apakah makalah kami
akan dimuat di buku prosidings atau di CD (yang sulit dipakai naik
jabatan). Walau AAPG mentradisikan CD toh kami tetap saja memasukkan
makalah ke situ. Kalau tidak ada orang yang ngotot seperti kami, bagaimana
mungkin kita akan mengubah tradisi?

Wasalam,
EAS


 Nah, itu juga alasan yang selalu dikemukakan kebanyakan teman akademisi
 saat saya minta menyumbang tulisan untuk Majalah Geologi Indonesia (MGI).
 Saat ini MGI punya no. ISSN 0216-1061. Wah, kalau hanya ISSN malas-lah,
 coba naikkan dulu ke status ISBN, baru nanti saya kontribusi tulisan
 begitu kata seorang teman dari Perguruan Tinggi. Nilai kum jurnal ber-ISBN
 lebih tinggi daripada nilai kum jurnal ber-ISSN. Hm...ada maksud lain
 rupanya dengan menyumbang tulisan itu, tadinya saya hanya berpikir
 scientist must write Maka MGI pun sangat sepi dikontribusi...

 Seorang kandidat doktor pernah menghubungi saya bertanya bagaimana caranya
 memasukkan paper ke jurnal internasional, bila masuk, maka predikat
 judicium-nya akan naik. Memang begitulah aturan2 di akademik kelihatannya,
 semua ada perhitungannya. Berapa paper di simposium, berapa paper di
 jurnal (jurnal mana dulu nih; jurnal internasional dengan ISBN, yang
 terkenal, yang ada peer review-nya tentu akan dinilai tinggi kreditnya);
 semua ada nilainya (untuk jadi profesor atau menduduki jenjang2 akademik).

 Di dunia akademik internasional pun mungkin kelihatannya begitu. Maka
 Robert Hall yang duduk bersebelahan dengan saya saat pertemuan IPA 2007
 (kami saat itu sebagai dua pembicara yang berurutan tentang tektonik Jawa)
 tercenung melihat kartu nama saya bukan dari afiliasi pusat riset atau
 perguruan tinggi, tetapi dari BPMIGAS. You did your research as a hobby
 ?, begitu tanyanya. Yes, I did, jawab saya. Sebenarnya bukan hobi,
 tetapi ekspresi cinta. Orang yang jatuh cinta tak akan pernah berhitung,
 just do it (kata Abah), walaupun dengan nilai kum : 0.

 Siapapun bisa dan boleh melakukan riset, syaratnya hanya : cinta, tekad,
 tekun, berani. Cinta menjadi pendorong utamanya. Tekad dan tekun menjadi
 bahan bakar perjalanan risetnya. Berani menjadi pijakannya saat ia bertemu
 dan berdebat dengan periset lain. Benar atau tidak risetnya (karena ia
 bukan seorang doktor riset atau bukan doktor akademik) akan ditentukan
 dengan pertemuan dan perdebatan melalui forum-forum ilmiah.

 Mari meneliti dan menulis walaupun tanpa apresiasi apa pun !

 Salam,
 awang

 -Original Message-
 From: [EMAIL PROTECTED] [mailto:[EMAIL PROTECTED]
 Sent: Friday, April 25, 2008 2:07 C++
 To: iagi-net@iagi.or.id; [EMAIL PROTECTED]; [EMAIL PROTECTED]
 Subject: RE: [iagi-net-l] Re: Poster vs Oral Presentation

 Saya mau sharing betapa susahnya untuk meminta akademisi untuk menulis di
 majalah Berita Sedimentologi dan aktif di Forum Sedimentologi Indonesia
 (FOSI). Saya pernah tanya kenapa tidak menyumbang tulisan, alasannya
 mula-mula karena tidak ada nomor ISSN / ISBN. Karena hal ini kami
 mendaftarkan majalah ini ke LIPI. Setelah mendapat ISSN / ISBN masih juga
 tidak banyak mendapat kontribusi. Tapi alasannya ganti: FOSI / Berita
 Sedimentologi ini adalah majalah atau organisasi LOKAL. Jadi sayang kalau
 papernya di publish secara domestik, lebih baik sekalian INTERNATIONAL.

 Akhirnya kami cenderung untuk minta kawan-kawan dari industri untuk
 menyumbangkan tulisan. Mungkin karena mereka tidak cari cum / credit point
 dan mungkin mereka memang 'jatuh cinta' jadi mau menulis seperti Awang
 sampaikan sebelumnya.

 Herman




 -Original Message-
 From: Awang Satyana [mailto:[EMAIL PROTECTED]
 Sent: Thursday, April 24, 2008 6:53 PM
 To: iagi-net@iagi.or.id; Geo Unpad; Forum HAGI
 Subject: Re: [iagi-net-l] Re: Poster vs Oral Presentation


 Perasaan bahwa poster kelas dua harus dihapuskan baik dari panitia
 konvensi maupun peserta konvensi, juga penulisnya. Tidak bisa dinafikan
 bahwa perasaan 

Re: RE: [iagi-net-l] Re: Poster vs Oral Presentation

2008-04-25 Terurut Topik Ismail Zaini

Mari meneliti dan menulis walaupun tanpa apresiasi apa pun !

Paling tidak nulis di millis , tapi itupun kdg kdg  msh   susah juga.. 
kalau tidak hoby..itu tadi )


ISM

- Original Message - 
From: Awang Harun Satyana [EMAIL PROTECTED]

To: iagi-net@iagi.or.id
Sent: Friday, April 25, 2008 1:09 AM
Subject: RE: RE: [iagi-net-l] Re: Poster vs Oral Presentation


Nah, itu juga alasan yang selalu dikemukakan kebanyakan teman akademisi saat 
saya minta menyumbang tulisan untuk Majalah Geologi Indonesia (MGI). Saat 
ini MGI punya no. ISSN 0216-1061. Wah, kalau hanya ISSN malas-lah, coba 
naikkan dulu ke status ISBN, baru nanti saya kontribusi tulisan begitu kata 
seorang teman dari Perguruan Tinggi. Nilai kum jurnal ber-ISBN lebih tinggi 
daripada nilai kum jurnal ber-ISSN. Hm...ada maksud lain rupanya dengan 
menyumbang tulisan itu, tadinya saya hanya berpikir scientist must write 
Maka MGI pun sangat sepi dikontribusi...


Seorang kandidat doktor pernah menghubungi saya bertanya bagaimana caranya 
memasukkan paper ke jurnal internasional, bila masuk, maka predikat 
judicium-nya akan naik. Memang begitulah aturan2 di akademik kelihatannya, 
semua ada perhitungannya. Berapa paper di simposium, berapa paper di jurnal 
(jurnal mana dulu nih; jurnal internasional dengan ISBN, yang terkenal, yang 
ada peer review-nya tentu akan dinilai tinggi kreditnya); semua ada nilainya 
(untuk jadi profesor atau menduduki jenjang2 akademik).


Di dunia akademik internasional pun mungkin kelihatannya begitu. Maka Robert 
Hall yang duduk bersebelahan dengan saya saat pertemuan IPA 2007 (kami saat 
itu sebagai dua pembicara yang berurutan tentang tektonik Jawa) tercenung 
melihat kartu nama saya bukan dari afiliasi pusat riset atau perguruan 
tinggi, tetapi dari BPMIGAS. You did your research as a hobby ?, begitu 
tanyanya. Yes, I did, jawab saya. Sebenarnya bukan hobi, tetapi ekspresi 
cinta. Orang yang jatuh cinta tak akan pernah berhitung, just do it (kata 
Abah), walaupun dengan nilai kum : 0.


Siapapun bisa dan boleh melakukan riset, syaratnya hanya : cinta, tekad, 
tekun, berani. Cinta menjadi pendorong utamanya. Tekad dan tekun menjadi 
bahan bakar perjalanan risetnya. Berani menjadi pijakannya saat ia bertemu 
dan berdebat dengan periset lain. Benar atau tidak risetnya (karena ia bukan 
seorang doktor riset atau bukan doktor akademik) akan ditentukan dengan 
pertemuan dan perdebatan melalui forum-forum ilmiah.


Mari meneliti dan menulis walaupun tanpa apresiasi apa pun !

Salam,
awang

-Original Message-
From: [EMAIL PROTECTED] [mailto:[EMAIL PROTECTED]
Sent: Friday, April 25, 2008 2:07 C++
To: iagi-net@iagi.or.id; [EMAIL PROTECTED]; [EMAIL PROTECTED]
Subject: RE: [iagi-net-l] Re: Poster vs Oral Presentation

Saya mau sharing betapa susahnya untuk meminta akademisi untuk menulis di 
majalah Berita Sedimentologi dan aktif di Forum Sedimentologi Indonesia 
(FOSI). Saya pernah tanya kenapa tidak menyumbang tulisan, alasannya 
mula-mula karena tidak ada nomor ISSN / ISBN. Karena hal ini kami 
mendaftarkan majalah ini ke LIPI. Setelah mendapat ISSN / ISBN masih juga 
tidak banyak mendapat kontribusi. Tapi alasannya ganti: FOSI / Berita 
Sedimentologi ini adalah majalah atau organisasi LOKAL. Jadi sayang kalau 
papernya di publish secara domestik, lebih baik sekalian INTERNATIONAL.


Akhirnya kami cenderung untuk minta kawan-kawan dari industri untuk 
menyumbangkan tulisan. Mungkin karena mereka tidak cari cum / credit point 
dan mungkin mereka memang 'jatuh cinta' jadi mau menulis seperti Awang 
sampaikan sebelumnya.


Herman




-Original Message-
From: Awang Satyana [mailto:[EMAIL PROTECTED]
Sent: Thursday, April 24, 2008 6:53 PM
To: iagi-net@iagi.or.id; Geo Unpad; Forum HAGI
Subject: Re: [iagi-net-l] Re: Poster vs Oral Presentation


Perasaan bahwa poster kelas dua harus dihapuskan baik dari panitia 
konvensi maupun peserta konvensi, juga penulisnya. Tidak bisa dinafikan 
bahwa perasaan kelas dua itu masih ada. IPA dalam lima tahun terakhir ini 
boleh dikatakan tak menganut pembedaan itu, sekali paper lengkapnya dimuat 
dalam proceedings, maka hilanglah mana paper oral mana paper poster.


 Menyiapkan poster lebih susah daripada sekedar menyiapkan presentasi oral. 
Menyiapkan poster lebih makan waktu, tenaga, dan biaya. Dulu saat presentasi 
oral masih menggunakan slide 35 mm menyiapkan presentasi oral sama susahnya 
dengan menyiapkan poster. Sekarang, dengan menggunakan power point 
presentation, 10 menit sebelum presentasi pun kita masih bisa melakukan 
perubahan atas bahan presentasi bila diperlukan.


 Presentasi oral hanya 15-20 menit, lalu diskusi 5-10 menit; habis itu 
orang melupakannya. Pembicara hanya cukup membawa flash disk dan memberikan 
bahannya ke panitia untuk di-copy. Nah, poster : booth-nya dijagai 
pembuatnya bisa setengah hari-sehari. Lalu ia/mereka juga mesti siap sedia 
menjawab pertanyaan pengunjung selama posternya digantung. Membawanya ke 
tempat

Re: RE: [iagi-net-l] Re: Poster vs Oral Presentation

2008-04-25 Terurut Topik mohammad syaiful
tampaknya perlu diadakan pertemuan yg mengundang perwakilan dari
organisasi2 (profesi) utk berdiskusi tentang presentasi dalam bentuk
oral dan poster ini. ada ipa, ada hagi, ada iatmi, dan tentu saja ada
iagi, dll.

bayangan saya, tentunya ada standar yg sama di antara para organisasi
tsb utk pengadaan makalah dan pelaksanaan presentasinya (sekali lagi,
baik oral maupun poster).

hasilnya enggak usah muluk2, tidak terlalu mengikat, tetapi berupa
kesepakatan saja agar penulisan makalah di tanah-air semakin baik dan
pelaksanaan pit-nya bertambah ok.

salam,
syaiful

On 4/25/08, Ismail Zaini [EMAIL PROTECTED] wrote:
 Mari meneliti dan menulis walaupun tanpa apresiasi apa pun !
  
  Paling tidak nulis di millis , tapi itupun kdg kdg  msh   susah juga..
 kalau tidak hoby..itu tadi )

  ISM

  - Original Message - From: Awang Harun Satyana
 [EMAIL PROTECTED]
  To: iagi-net@iagi.or.id
  Sent: Friday, April 25, 2008 1:09 AM
  Subject: RE: RE: [iagi-net-l] Re: Poster vs Oral Presentation



  Nah, itu juga alasan yang selalu dikemukakan kebanyakan teman akademisi
 saat saya minta menyumbang tulisan untuk Majalah Geologi Indonesia (MGI).
 Saat ini MGI punya no. ISSN 0216-1061. Wah, kalau hanya ISSN malas-lah,
 coba naikkan dulu ke status ISBN, baru nanti saya kontribusi tulisan begitu
 kata seorang teman dari Perguruan Tinggi. Nilai kum jurnal ber-ISBN lebih
 tinggi daripada nilai kum jurnal ber-ISSN. Hm...ada maksud lain rupanya
 dengan menyumbang tulisan itu, tadinya saya hanya berpikir scientist must
 write Maka MGI pun sangat sepi dikontribusi...

  Seorang kandidat doktor pernah menghubungi saya bertanya bagaimana caranya
 memasukkan paper ke jurnal internasional, bila masuk, maka predikat
 judicium-nya akan naik. Memang begitulah aturan2 di akademik kelihatannya,
 semua ada perhitungannya. Berapa paper di simposium, berapa paper di jurnal
 (jurnal mana dulu nih; jurnal internasional dengan ISBN, yang terkenal, yang
 ada peer review-nya tentu akan dinilai tinggi kreditnya); semua ada nilainya
 (untuk jadi profesor atau menduduki jenjang2 akademik).

  Di dunia akademik internasional pun mungkin kelihatannya begitu. Maka
 Robert Hall yang duduk bersebelahan dengan saya saat pertemuan IPA 2007
 (kami saat itu sebagai dua pembicara yang berurutan tentang tektonik Jawa)
 tercenung melihat kartu nama saya bukan dari afiliasi pusat riset atau
 perguruan tinggi, tetapi dari BPMIGAS. You did your research as a hobby ?,
 begitu tanyanya. Yes, I did, jawab saya. Sebenarnya bukan hobi, tetapi
 ekspresi cinta. Orang yang jatuh cinta tak akan pernah berhitung, just do
 it (kata Abah), walaupun dengan nilai kum : 0.

  Siapapun bisa dan boleh melakukan riset, syaratnya hanya : cinta, tekad,
 tekun, berani. Cinta menjadi pendorong utamanya. Tekad dan tekun menjadi
 bahan bakar perjalanan risetnya. Berani menjadi pijakannya saat ia bertemu
 dan berdebat dengan periset lain. Benar atau tidak risetnya (karena ia bukan
 seorang doktor riset atau bukan doktor akademik) akan ditentukan dengan
 pertemuan dan perdebatan melalui forum-forum ilmiah.

  Mari meneliti dan menulis walaupun tanpa apresiasi apa pun !

  Salam,
  awang

  -Original Message-
  From: [EMAIL PROTECTED] [mailto:[EMAIL PROTECTED]
  Sent: Friday, April 25, 2008 2:07 C++
  To: iagi-net@iagi.or.id; [EMAIL PROTECTED]; [EMAIL PROTECTED]
  Subject: RE: [iagi-net-l] Re: Poster vs Oral Presentation

  Saya mau sharing betapa susahnya untuk meminta akademisi untuk menulis di
 majalah Berita Sedimentologi dan aktif di Forum Sedimentologi Indonesia
 (FOSI). Saya pernah tanya kenapa tidak menyumbang tulisan, alasannya
 mula-mula karena tidak ada nomor ISSN / ISBN. Karena hal ini kami
 mendaftarkan majalah ini ke LIPI. Setelah mendapat ISSN / ISBN masih juga
 tidak banyak mendapat kontribusi. Tapi alasannya ganti: FOSI / Berita
 Sedimentologi ini adalah majalah atau organisasi LOKAL. Jadi sayang kalau
 papernya di publish secara domestik, lebih baik sekalian INTERNATIONAL.

  Akhirnya kami cenderung untuk minta kawan-kawan dari industri untuk
 menyumbangkan tulisan. Mungkin karena mereka tidak cari cum / credit point
 dan mungkin mereka memang 'jatuh cinta' jadi mau menulis seperti Awang
 sampaikan sebelumnya.

  Herman




  -Original Message-
  From: Awang Satyana [mailto:[EMAIL PROTECTED]
  Sent: Thursday, April 24, 2008 6:53 PM
  To: iagi-net@iagi.or.id; Geo Unpad; Forum HAGI
  Subject: Re: [iagi-net-l] Re: Poster vs Oral Presentation


  Perasaan bahwa poster kelas dua harus dihapuskan baik dari panitia
 konvensi maupun peserta konvensi, juga penulisnya. Tidak bisa dinafikan
 bahwa perasaan kelas dua itu masih ada. IPA dalam lima tahun terakhir ini
 boleh dikatakan tak menganut pembedaan itu, sekali paper lengkapnya dimuat
 dalam proceedings, maka hilanglah mana paper oral mana paper poster.

   Menyiapkan poster lebih susah daripada sekedar menyiapkan presentasi oral.
 Menyiapkan poster lebih makan waktu, tenaga, dan

RE: RE: [iagi-net-l] Re: Poster vs Oral Presentation

2008-04-25 Terurut Topik Awang Satyana
Terima kasih Pak Eddy atas penjelesannya, mungkin saya salah dengar dulu itu, 
yang dimaksudkannya barangkali adalah dari ISSN ke ISSN tetapi dengan status 
akreditasi yang berbeda.
   
  CD IPA sama persis dengan buku proceedings-nya, hanya yang bukunya telah 
memiliki ISBN. Aneh rasanya kalau makalah yang sama di CD dan bukunya, tetapi 
tak bisa di-claim hanya gara-gara di dalam CD. Bagaimana kalau di-print saja 
Pak yang di CD itu dan cukup ditanyakan saja ke IPA berapa nomor ISBN 
proceedings-nya.
   
  salam,
  awang

Eddy Subroto [EMAIL PROTECTED] wrote:
  Mas Awang,

Saya mau memperjelas sedikit, karena saya tidak yakin kalau ada permintaan
pengubahan dari ISSN ke ISBN. Karena MGI adalah majalah/jurnal, maka ya
tentu saja pendaftarannya akan memakai ISSN (serial) dan bukan ISBN
(book). Di dunia akademik, keduanya diakui dan mendapat nilai yang cukup
tinggi. Yang menjadi perhatian para akademisi adalah aturan yang
menyebutkan adanya akreditasi jurnal. Depdiknas melalui Dikti (Pendidikan
Tinggi) mengeluarkan akreditasi jurnal; A, B, C, dan tidak terakreditasi,
sekarang berubah menjadi A, B dan tidak terakreditasi. Untuk naik jabatan
ke Lektor Kepala, apalagi ke Guru Besar maka makalah yang dapat
diperhitungkan adalah makalah yang dimuat di jurnal terakreditasi. Jadi
kalau makalah seorang akademisi dimuat di jurnal tidak terakreditasi, maka
makalahnya masih dapat poin akan tetapi tidak dapat digunakan sebagai
makalah utama untuk kenaikan jabatannya.

Saya tadi bertemu di dua rapat dengan Pak Zaim dan karena cerita saya
dianggap sudah jelas maka beliau tidak mau menambah komentarnya di milis
ini. Nah, bagi kami yang hobi menulis, tidak masalah apakah makalah kami
akan dimuat di buku prosidings atau di CD (yang sulit dipakai naik
jabatan). Walau AAPG mentradisikan CD toh kami tetap saja memasukkan
makalah ke situ. Kalau tidak ada orang yang ngotot seperti kami, bagaimana
mungkin kita akan mengubah tradisi?

Wasalam,
EAS


 Nah, itu juga alasan yang selalu dikemukakan kebanyakan teman akademisi
 saat saya minta menyumbang tulisan untuk Majalah Geologi Indonesia (MGI).
 Saat ini MGI punya no. ISSN 0216-1061. Wah, kalau hanya ISSN malas-lah,
 coba naikkan dulu ke status ISBN, baru nanti saya kontribusi tulisan
 begitu kata seorang teman dari Perguruan Tinggi. Nilai kum jurnal ber-ISBN
 lebih tinggi daripada nilai kum jurnal ber-ISSN. Hm...ada maksud lain
 rupanya dengan menyumbang tulisan itu, tadinya saya hanya berpikir
 scientist must write Maka MGI pun sangat sepi dikontribusi...

 Seorang kandidat doktor pernah menghubungi saya bertanya bagaimana caranya
 memasukkan paper ke jurnal internasional, bila masuk, maka predikat
 judicium-nya akan naik. Memang begitulah aturan2 di akademik kelihatannya,
 semua ada perhitungannya. Berapa paper di simposium, berapa paper di
 jurnal (jurnal mana dulu nih; jurnal internasional dengan ISBN, yang
 terkenal, yang ada peer review-nya tentu akan dinilai tinggi kreditnya);
 semua ada nilainya (untuk jadi profesor atau menduduki jenjang2 akademik).

 Di dunia akademik internasional pun mungkin kelihatannya begitu. Maka
 Robert Hall yang duduk bersebelahan dengan saya saat pertemuan IPA 2007
 (kami saat itu sebagai dua pembicara yang berurutan tentang tektonik Jawa)
 tercenung melihat kartu nama saya bukan dari afiliasi pusat riset atau
 perguruan tinggi, tetapi dari BPMIGAS. You did your research as a hobby
 ?, begitu tanyanya. Yes, I did, jawab saya. Sebenarnya bukan hobi,
 tetapi ekspresi cinta. Orang yang jatuh cinta tak akan pernah berhitung,
 just do it (kata Abah), walaupun dengan nilai kum : 0.

 Siapapun bisa dan boleh melakukan riset, syaratnya hanya : cinta, tekad,
 tekun, berani. Cinta menjadi pendorong utamanya. Tekad dan tekun menjadi
 bahan bakar perjalanan risetnya. Berani menjadi pijakannya saat ia bertemu
 dan berdebat dengan periset lain. Benar atau tidak risetnya (karena ia
 bukan seorang doktor riset atau bukan doktor akademik) akan ditentukan
 dengan pertemuan dan perdebatan melalui forum-forum ilmiah.

 Mari meneliti dan menulis walaupun tanpa apresiasi apa pun !

 Salam,
 awang

 -Original Message-
 From: [EMAIL PROTECTED] [mailto:[EMAIL PROTECTED]
 Sent: Friday, April 25, 2008 2:07 C++
 To: iagi-net@iagi.or.id; [EMAIL PROTECTED]; [EMAIL PROTECTED]
 Subject: RE: [iagi-net-l] Re: Poster vs Oral Presentation

 Saya mau sharing betapa susahnya untuk meminta akademisi untuk menulis di
 majalah Berita Sedimentologi dan aktif di Forum Sedimentologi Indonesia
 (FOSI). Saya pernah tanya kenapa tidak menyumbang tulisan, alasannya
 mula-mula karena tidak ada nomor ISSN / ISBN. Karena hal ini kami
 mendaftarkan majalah ini ke LIPI. Setelah mendapat ISSN / ISBN masih juga
 tidak banyak mendapat kontribusi. Tapi alasannya ganti: FOSI / Berita
 Sedimentologi ini adalah majalah atau organisasi LOKAL. Jadi sayang kalau
 papernya di publish secara domestik, lebih baik sekalian INTERNATIONAL.

 Akhirnya kami cenderung untuk minta kawan-kawan dari industri