RE: RE: [iagi-net-l] Re: Poster vs Oral Presentation
Awang Jangan bilang ndak dapat apapun akh , Anda melakukan sesuatu dengan dasar cinta maka cinta pula yang akan datang pada Anda . Apa itu ? Anda dicintai oleh seluruh rekan ahli kebumian, PERCAYAl-ah bahwa hal itu telah terjadi. Si Abah Nah, itu juga alasan yang selalu dikemukakan kebanyakan teman akademisi saat saya minta menyumbang tulisan untuk Majalah Geologi Indonesia (MGI). Saat ini MGI punya no. ISSN 0216-1061. Wah, kalau hanya ISSN malas-lah, coba naikkan dulu ke status ISBN, baru nanti saya kontribusi tulisan begitu kata seorang teman dari Perguruan Tinggi. Nilai kum jurnal ber-ISBN lebih tinggi daripada nilai kum jurnal ber-ISSN. Hm...ada maksud lain rupanya dengan menyumbang tulisan itu, tadinya saya hanya berpikir scientist must write Maka MGI pun sangat sepi dikontribusi... Seorang kandidat doktor pernah menghubungi saya bertanya bagaimana caranya memasukkan paper ke jurnal internasional, bila masuk, maka predikat judicium-nya akan naik. Memang begitulah aturan2 di akademik kelihatannya, semua ada perhitungannya. Berapa paper di simposium, berapa paper di jurnal (jurnal mana dulu nih; jurnal internasional dengan ISBN, yang terkenal, yang ada peer review-nya tentu akan dinilai tinggi kreditnya); semua ada nilainya (untuk jadi profesor atau menduduki jenjang2 akademik). Di dunia akademik internasional pun mungkin kelihatannya begitu. Maka Robert Hall yang duduk bersebelahan dengan saya saat pertemuan IPA 2007 (kami saat itu sebagai dua pembicara yang berurutan tentang tektonik Jawa) tercenung melihat kartu nama saya bukan dari afiliasi pusat riset atau perguruan tinggi, tetapi dari BPMIGAS. You did your research as a hobby ?, begitu tanyanya. Yes, I did, jawab saya. Sebenarnya bukan hobi, tetapi ekspresi cinta. Orang yang jatuh cinta tak akan pernah berhitung, just do it (kata Abah), walaupun dengan nilai kum : 0. Siapapun bisa dan boleh melakukan riset, syaratnya hanya : cinta, tekad, tekun, berani. Cinta menjadi pendorong utamanya. Tekad dan tekun menjadi bahan bakar perjalanan risetnya. Berani menjadi pijakannya saat ia bertemu dan berdebat dengan periset lain. Benar atau tidak risetnya (karena ia bukan seorang doktor riset atau bukan doktor akademik) akan ditentukan dengan pertemuan dan perdebatan melalui forum-forum ilmiah. Mari meneliti dan menulis walaupun tanpa apresiasi apa pun ! Salam, awang -Original Message- From: [EMAIL PROTECTED] [mailto:[EMAIL PROTECTED] Sent: Friday, April 25, 2008 2:07 C++ To: iagi-net@iagi.or.id; [EMAIL PROTECTED]; [EMAIL PROTECTED] Subject: RE: [iagi-net-l] Re: Poster vs Oral Presentation Saya mau sharing betapa susahnya untuk meminta akademisi untuk menulis di majalah Berita Sedimentologi dan aktif di Forum Sedimentologi Indonesia (FOSI). Saya pernah tanya kenapa tidak menyumbang tulisan, alasannya mula-mula karena tidak ada nomor ISSN / ISBN. Karena hal ini kami mendaftarkan majalah ini ke LIPI. Setelah mendapat ISSN / ISBN masih juga tidak banyak mendapat kontribusi. Tapi alasannya ganti: FOSI / Berita Sedimentologi ini adalah majalah atau organisasi LOKAL. Jadi sayang kalau papernya di publish secara domestik, lebih baik sekalian INTERNATIONAL. Akhirnya kami cenderung untuk minta kawan-kawan dari industri untuk menyumbangkan tulisan. Mungkin karena mereka tidak cari cum / credit point dan mungkin mereka memang 'jatuh cinta' jadi mau menulis seperti Awang sampaikan sebelumnya. Herman -Original Message- From: Awang Satyana [mailto:[EMAIL PROTECTED] Sent: Thursday, April 24, 2008 6:53 PM To: iagi-net@iagi.or.id; Geo Unpad; Forum HAGI Subject: Re: [iagi-net-l] Re: Poster vs Oral Presentation Perasaan bahwa poster kelas dua harus dihapuskan baik dari panitia konvensi maupun peserta konvensi, juga penulisnya. Tidak bisa dinafikan bahwa perasaan kelas dua itu masih ada. IPA dalam lima tahun terakhir ini boleh dikatakan tak menganut pembedaan itu, sekali paper lengkapnya dimuat dalam proceedings, maka hilanglah mana paper oral mana paper poster. Menyiapkan poster lebih susah daripada sekedar menyiapkan presentasi oral. Menyiapkan poster lebih makan waktu, tenaga, dan biaya. Dulu saat presentasi oral masih menggunakan slide 35 mm menyiapkan presentasi oral sama susahnya dengan menyiapkan poster. Sekarang, dengan menggunakan power point presentation, 10 menit sebelum presentasi pun kita masih bisa melakukan perubahan atas bahan presentasi bila diperlukan. Presentasi oral hanya 15-20 menit, lalu diskusi 5-10 menit; habis itu orang melupakannya. Pembicara hanya cukup membawa flash disk dan memberikan bahannya ke panitia untuk di-copy. Nah, poster : booth-nya dijagai pembuatnya bisa setengah hari-sehari. Lalu ia/mereka juga mesti siap sedia menjawab pertanyaan pengunjung selama posternya digantung. Membawanya ke tempat konvensi pun tak sederhana, tak hanya
RE: RE: [iagi-net-l] Re: Poster vs Oral Presentation
Hm..filosofi yang dalam Abah, terima kasih atas pengingatannya, benar dan saya percaya. Jadi ingat nasihat Sang Guru kepada Almitra : Pabila cinta memanggilmu, ikutilah dia, walau jalannya terjal berliku-liku. Dan pabila sayapnya merangkummu, pasrahlah serta menyerah, walau pedang tersembunyi di sela sayap itu melukaimu. Cinta tak memberikan apa-apa, kecuali keseluruhan dirinya,utuh-penuh. Pun tidak mengambil apa-apa, kecuali dirinya sendiri. (Kahlil Gibran - Sang Nabi) salam, awang yanto R.Sumantri [EMAIL PROTECTED] wrote: Awang Jangan bilang ndak dapat apapun akh , Anda melakukan sesuatu dengan dasar cinta maka cinta pula yang akan datang pada Anda . Apa itu ? Anda dicintai oleh seluruh rekan ahli kebumian, PERCAYAl-ah bahwa hal itu telah terjadi. Si Abah - Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile. Try it now.
RE: RE: [iagi-net-l] Re: Poster vs Oral Presentation
Nah, itu juga alasan yang selalu dikemukakan kebanyakan teman akademisi saat saya minta menyumbang tulisan untuk Majalah Geologi Indonesia (MGI). Saat ini MGI punya no. ISSN 0216-1061. Wah, kalau hanya ISSN malas-lah, coba naikkan dulu ke status ISBN, baru nanti saya kontribusi tulisan begitu kata seorang teman dari Perguruan Tinggi. Nilai kum jurnal ber-ISBN lebih tinggi daripada nilai kum jurnal ber-ISSN. Hm...ada maksud lain rupanya dengan menyumbang tulisan itu, tadinya saya hanya berpikir scientist must write Maka MGI pun sangat sepi dikontribusi... Seorang kandidat doktor pernah menghubungi saya bertanya bagaimana caranya memasukkan paper ke jurnal internasional, bila masuk, maka predikat judicium-nya akan naik. Memang begitulah aturan2 di akademik kelihatannya, semua ada perhitungannya. Berapa paper di simposium, berapa paper di jurnal (jurnal mana dulu nih; jurnal internasional dengan ISBN, yang terkenal, yang ada peer review-nya tentu akan dinilai tinggi kreditnya); semua ada nilainya (untuk jadi profesor atau menduduki jenjang2 akademik). Di dunia akademik internasional pun mungkin kelihatannya begitu. Maka Robert Hall yang duduk bersebelahan dengan saya saat pertemuan IPA 2007 (kami saat itu sebagai dua pembicara yang berurutan tentang tektonik Jawa) tercenung melihat kartu nama saya bukan dari afiliasi pusat riset atau perguruan tinggi, tetapi dari BPMIGAS. You did your research as a hobby ?, begitu tanyanya. Yes, I did, jawab saya. Sebenarnya bukan hobi, tetapi ekspresi cinta. Orang yang jatuh cinta tak akan pernah berhitung, just do it (kata Abah), walaupun dengan nilai kum : 0. Siapapun bisa dan boleh melakukan riset, syaratnya hanya : cinta, tekad, tekun, berani. Cinta menjadi pendorong utamanya. Tekad dan tekun menjadi bahan bakar perjalanan risetnya. Berani menjadi pijakannya saat ia bertemu dan berdebat dengan periset lain. Benar atau tidak risetnya (karena ia bukan seorang doktor riset atau bukan doktor akademik) akan ditentukan dengan pertemuan dan perdebatan melalui forum-forum ilmiah. Mari meneliti dan menulis walaupun tanpa apresiasi apa pun ! Salam, awang -Original Message- From: [EMAIL PROTECTED] [mailto:[EMAIL PROTECTED] Sent: Friday, April 25, 2008 2:07 C++ To: iagi-net@iagi.or.id; [EMAIL PROTECTED]; [EMAIL PROTECTED] Subject: RE: [iagi-net-l] Re: Poster vs Oral Presentation Saya mau sharing betapa susahnya untuk meminta akademisi untuk menulis di majalah Berita Sedimentologi dan aktif di Forum Sedimentologi Indonesia (FOSI). Saya pernah tanya kenapa tidak menyumbang tulisan, alasannya mula-mula karena tidak ada nomor ISSN / ISBN. Karena hal ini kami mendaftarkan majalah ini ke LIPI. Setelah mendapat ISSN / ISBN masih juga tidak banyak mendapat kontribusi. Tapi alasannya ganti: FOSI / Berita Sedimentologi ini adalah majalah atau organisasi LOKAL. Jadi sayang kalau papernya di publish secara domestik, lebih baik sekalian INTERNATIONAL. Akhirnya kami cenderung untuk minta kawan-kawan dari industri untuk menyumbangkan tulisan. Mungkin karena mereka tidak cari cum / credit point dan mungkin mereka memang 'jatuh cinta' jadi mau menulis seperti Awang sampaikan sebelumnya. Herman -Original Message- From: Awang Satyana [mailto:[EMAIL PROTECTED] Sent: Thursday, April 24, 2008 6:53 PM To: iagi-net@iagi.or.id; Geo Unpad; Forum HAGI Subject: Re: [iagi-net-l] Re: Poster vs Oral Presentation Perasaan bahwa poster kelas dua harus dihapuskan baik dari panitia konvensi maupun peserta konvensi, juga penulisnya. Tidak bisa dinafikan bahwa perasaan kelas dua itu masih ada. IPA dalam lima tahun terakhir ini boleh dikatakan tak menganut pembedaan itu, sekali paper lengkapnya dimuat dalam proceedings, maka hilanglah mana paper oral mana paper poster. Menyiapkan poster lebih susah daripada sekedar menyiapkan presentasi oral. Menyiapkan poster lebih makan waktu, tenaga, dan biaya. Dulu saat presentasi oral masih menggunakan slide 35 mm menyiapkan presentasi oral sama susahnya dengan menyiapkan poster. Sekarang, dengan menggunakan power point presentation, 10 menit sebelum presentasi pun kita masih bisa melakukan perubahan atas bahan presentasi bila diperlukan. Presentasi oral hanya 15-20 menit, lalu diskusi 5-10 menit; habis itu orang melupakannya. Pembicara hanya cukup membawa flash disk dan memberikan bahannya ke panitia untuk di-copy. Nah, poster : booth-nya dijagai pembuatnya bisa setengah hari-sehari. Lalu ia/mereka juga mesti siap sedia menjawab pertanyaan pengunjung selama posternya digantung. Membawanya ke tempat konvensi pun tak sederhana, tak hanya disakui seperti flash disk; tapi mesti dibawa menggunakan tabung pipa, dibawa terbang, jauh melintasi benua2 (kalau mengikuti konvensi internasional), merepotkan. Dan, biaya membuat poster dengan kualitas cetak yang prima sungguh tak murah biayanya. Maka, sungguh tak adil kalau poster dikelasduakan sebab dalam banyak hal menyiapkannya lebih susah daripada
RE: RE: [iagi-net-l] Re: Poster vs Oral Presentation
Mas Awang, Saya mau memperjelas sedikit, karena saya tidak yakin kalau ada permintaan pengubahan dari ISSN ke ISBN. Karena MGI adalah majalah/jurnal, maka ya tentu saja pendaftarannya akan memakai ISSN (serial) dan bukan ISBN (book). Di dunia akademik, keduanya diakui dan mendapat nilai yang cukup tinggi. Yang menjadi perhatian para akademisi adalah aturan yang menyebutkan adanya akreditasi jurnal. Depdiknas melalui Dikti (Pendidikan Tinggi) mengeluarkan akreditasi jurnal; A, B, C, dan tidak terakreditasi, sekarang berubah menjadi A, B dan tidak terakreditasi. Untuk naik jabatan ke Lektor Kepala, apalagi ke Guru Besar maka makalah yang dapat diperhitungkan adalah makalah yang dimuat di jurnal terakreditasi. Jadi kalau makalah seorang akademisi dimuat di jurnal tidak terakreditasi, maka makalahnya masih dapat poin akan tetapi tidak dapat digunakan sebagai makalah utama untuk kenaikan jabatannya. Saya tadi bertemu di dua rapat dengan Pak Zaim dan karena cerita saya dianggap sudah jelas maka beliau tidak mau menambah komentarnya di milis ini. Nah, bagi kami yang hobi menulis, tidak masalah apakah makalah kami akan dimuat di buku prosidings atau di CD (yang sulit dipakai naik jabatan). Walau AAPG mentradisikan CD toh kami tetap saja memasukkan makalah ke situ. Kalau tidak ada orang yang ngotot seperti kami, bagaimana mungkin kita akan mengubah tradisi? Wasalam, EAS Nah, itu juga alasan yang selalu dikemukakan kebanyakan teman akademisi saat saya minta menyumbang tulisan untuk Majalah Geologi Indonesia (MGI). Saat ini MGI punya no. ISSN 0216-1061. Wah, kalau hanya ISSN malas-lah, coba naikkan dulu ke status ISBN, baru nanti saya kontribusi tulisan begitu kata seorang teman dari Perguruan Tinggi. Nilai kum jurnal ber-ISBN lebih tinggi daripada nilai kum jurnal ber-ISSN. Hm...ada maksud lain rupanya dengan menyumbang tulisan itu, tadinya saya hanya berpikir scientist must write Maka MGI pun sangat sepi dikontribusi... Seorang kandidat doktor pernah menghubungi saya bertanya bagaimana caranya memasukkan paper ke jurnal internasional, bila masuk, maka predikat judicium-nya akan naik. Memang begitulah aturan2 di akademik kelihatannya, semua ada perhitungannya. Berapa paper di simposium, berapa paper di jurnal (jurnal mana dulu nih; jurnal internasional dengan ISBN, yang terkenal, yang ada peer review-nya tentu akan dinilai tinggi kreditnya); semua ada nilainya (untuk jadi profesor atau menduduki jenjang2 akademik). Di dunia akademik internasional pun mungkin kelihatannya begitu. Maka Robert Hall yang duduk bersebelahan dengan saya saat pertemuan IPA 2007 (kami saat itu sebagai dua pembicara yang berurutan tentang tektonik Jawa) tercenung melihat kartu nama saya bukan dari afiliasi pusat riset atau perguruan tinggi, tetapi dari BPMIGAS. You did your research as a hobby ?, begitu tanyanya. Yes, I did, jawab saya. Sebenarnya bukan hobi, tetapi ekspresi cinta. Orang yang jatuh cinta tak akan pernah berhitung, just do it (kata Abah), walaupun dengan nilai kum : 0. Siapapun bisa dan boleh melakukan riset, syaratnya hanya : cinta, tekad, tekun, berani. Cinta menjadi pendorong utamanya. Tekad dan tekun menjadi bahan bakar perjalanan risetnya. Berani menjadi pijakannya saat ia bertemu dan berdebat dengan periset lain. Benar atau tidak risetnya (karena ia bukan seorang doktor riset atau bukan doktor akademik) akan ditentukan dengan pertemuan dan perdebatan melalui forum-forum ilmiah. Mari meneliti dan menulis walaupun tanpa apresiasi apa pun ! Salam, awang -Original Message- From: [EMAIL PROTECTED] [mailto:[EMAIL PROTECTED] Sent: Friday, April 25, 2008 2:07 C++ To: iagi-net@iagi.or.id; [EMAIL PROTECTED]; [EMAIL PROTECTED] Subject: RE: [iagi-net-l] Re: Poster vs Oral Presentation Saya mau sharing betapa susahnya untuk meminta akademisi untuk menulis di majalah Berita Sedimentologi dan aktif di Forum Sedimentologi Indonesia (FOSI). Saya pernah tanya kenapa tidak menyumbang tulisan, alasannya mula-mula karena tidak ada nomor ISSN / ISBN. Karena hal ini kami mendaftarkan majalah ini ke LIPI. Setelah mendapat ISSN / ISBN masih juga tidak banyak mendapat kontribusi. Tapi alasannya ganti: FOSI / Berita Sedimentologi ini adalah majalah atau organisasi LOKAL. Jadi sayang kalau papernya di publish secara domestik, lebih baik sekalian INTERNATIONAL. Akhirnya kami cenderung untuk minta kawan-kawan dari industri untuk menyumbangkan tulisan. Mungkin karena mereka tidak cari cum / credit point dan mungkin mereka memang 'jatuh cinta' jadi mau menulis seperti Awang sampaikan sebelumnya. Herman -Original Message- From: Awang Satyana [mailto:[EMAIL PROTECTED] Sent: Thursday, April 24, 2008 6:53 PM To: iagi-net@iagi.or.id; Geo Unpad; Forum HAGI Subject: Re: [iagi-net-l] Re: Poster vs Oral Presentation Perasaan bahwa poster kelas dua harus dihapuskan baik dari panitia konvensi maupun peserta konvensi, juga penulisnya. Tidak bisa dinafikan bahwa perasaan
Re: RE: [iagi-net-l] Re: Poster vs Oral Presentation
Mari meneliti dan menulis walaupun tanpa apresiasi apa pun ! Paling tidak nulis di millis , tapi itupun kdg kdg msh susah juga.. kalau tidak hoby..itu tadi ) ISM - Original Message - From: Awang Harun Satyana [EMAIL PROTECTED] To: iagi-net@iagi.or.id Sent: Friday, April 25, 2008 1:09 AM Subject: RE: RE: [iagi-net-l] Re: Poster vs Oral Presentation Nah, itu juga alasan yang selalu dikemukakan kebanyakan teman akademisi saat saya minta menyumbang tulisan untuk Majalah Geologi Indonesia (MGI). Saat ini MGI punya no. ISSN 0216-1061. Wah, kalau hanya ISSN malas-lah, coba naikkan dulu ke status ISBN, baru nanti saya kontribusi tulisan begitu kata seorang teman dari Perguruan Tinggi. Nilai kum jurnal ber-ISBN lebih tinggi daripada nilai kum jurnal ber-ISSN. Hm...ada maksud lain rupanya dengan menyumbang tulisan itu, tadinya saya hanya berpikir scientist must write Maka MGI pun sangat sepi dikontribusi... Seorang kandidat doktor pernah menghubungi saya bertanya bagaimana caranya memasukkan paper ke jurnal internasional, bila masuk, maka predikat judicium-nya akan naik. Memang begitulah aturan2 di akademik kelihatannya, semua ada perhitungannya. Berapa paper di simposium, berapa paper di jurnal (jurnal mana dulu nih; jurnal internasional dengan ISBN, yang terkenal, yang ada peer review-nya tentu akan dinilai tinggi kreditnya); semua ada nilainya (untuk jadi profesor atau menduduki jenjang2 akademik). Di dunia akademik internasional pun mungkin kelihatannya begitu. Maka Robert Hall yang duduk bersebelahan dengan saya saat pertemuan IPA 2007 (kami saat itu sebagai dua pembicara yang berurutan tentang tektonik Jawa) tercenung melihat kartu nama saya bukan dari afiliasi pusat riset atau perguruan tinggi, tetapi dari BPMIGAS. You did your research as a hobby ?, begitu tanyanya. Yes, I did, jawab saya. Sebenarnya bukan hobi, tetapi ekspresi cinta. Orang yang jatuh cinta tak akan pernah berhitung, just do it (kata Abah), walaupun dengan nilai kum : 0. Siapapun bisa dan boleh melakukan riset, syaratnya hanya : cinta, tekad, tekun, berani. Cinta menjadi pendorong utamanya. Tekad dan tekun menjadi bahan bakar perjalanan risetnya. Berani menjadi pijakannya saat ia bertemu dan berdebat dengan periset lain. Benar atau tidak risetnya (karena ia bukan seorang doktor riset atau bukan doktor akademik) akan ditentukan dengan pertemuan dan perdebatan melalui forum-forum ilmiah. Mari meneliti dan menulis walaupun tanpa apresiasi apa pun ! Salam, awang -Original Message- From: [EMAIL PROTECTED] [mailto:[EMAIL PROTECTED] Sent: Friday, April 25, 2008 2:07 C++ To: iagi-net@iagi.or.id; [EMAIL PROTECTED]; [EMAIL PROTECTED] Subject: RE: [iagi-net-l] Re: Poster vs Oral Presentation Saya mau sharing betapa susahnya untuk meminta akademisi untuk menulis di majalah Berita Sedimentologi dan aktif di Forum Sedimentologi Indonesia (FOSI). Saya pernah tanya kenapa tidak menyumbang tulisan, alasannya mula-mula karena tidak ada nomor ISSN / ISBN. Karena hal ini kami mendaftarkan majalah ini ke LIPI. Setelah mendapat ISSN / ISBN masih juga tidak banyak mendapat kontribusi. Tapi alasannya ganti: FOSI / Berita Sedimentologi ini adalah majalah atau organisasi LOKAL. Jadi sayang kalau papernya di publish secara domestik, lebih baik sekalian INTERNATIONAL. Akhirnya kami cenderung untuk minta kawan-kawan dari industri untuk menyumbangkan tulisan. Mungkin karena mereka tidak cari cum / credit point dan mungkin mereka memang 'jatuh cinta' jadi mau menulis seperti Awang sampaikan sebelumnya. Herman -Original Message- From: Awang Satyana [mailto:[EMAIL PROTECTED] Sent: Thursday, April 24, 2008 6:53 PM To: iagi-net@iagi.or.id; Geo Unpad; Forum HAGI Subject: Re: [iagi-net-l] Re: Poster vs Oral Presentation Perasaan bahwa poster kelas dua harus dihapuskan baik dari panitia konvensi maupun peserta konvensi, juga penulisnya. Tidak bisa dinafikan bahwa perasaan kelas dua itu masih ada. IPA dalam lima tahun terakhir ini boleh dikatakan tak menganut pembedaan itu, sekali paper lengkapnya dimuat dalam proceedings, maka hilanglah mana paper oral mana paper poster. Menyiapkan poster lebih susah daripada sekedar menyiapkan presentasi oral. Menyiapkan poster lebih makan waktu, tenaga, dan biaya. Dulu saat presentasi oral masih menggunakan slide 35 mm menyiapkan presentasi oral sama susahnya dengan menyiapkan poster. Sekarang, dengan menggunakan power point presentation, 10 menit sebelum presentasi pun kita masih bisa melakukan perubahan atas bahan presentasi bila diperlukan. Presentasi oral hanya 15-20 menit, lalu diskusi 5-10 menit; habis itu orang melupakannya. Pembicara hanya cukup membawa flash disk dan memberikan bahannya ke panitia untuk di-copy. Nah, poster : booth-nya dijagai pembuatnya bisa setengah hari-sehari. Lalu ia/mereka juga mesti siap sedia menjawab pertanyaan pengunjung selama posternya digantung. Membawanya ke tempat
Re: RE: [iagi-net-l] Re: Poster vs Oral Presentation
tampaknya perlu diadakan pertemuan yg mengundang perwakilan dari organisasi2 (profesi) utk berdiskusi tentang presentasi dalam bentuk oral dan poster ini. ada ipa, ada hagi, ada iatmi, dan tentu saja ada iagi, dll. bayangan saya, tentunya ada standar yg sama di antara para organisasi tsb utk pengadaan makalah dan pelaksanaan presentasinya (sekali lagi, baik oral maupun poster). hasilnya enggak usah muluk2, tidak terlalu mengikat, tetapi berupa kesepakatan saja agar penulisan makalah di tanah-air semakin baik dan pelaksanaan pit-nya bertambah ok. salam, syaiful On 4/25/08, Ismail Zaini [EMAIL PROTECTED] wrote: Mari meneliti dan menulis walaupun tanpa apresiasi apa pun ! Paling tidak nulis di millis , tapi itupun kdg kdg msh susah juga.. kalau tidak hoby..itu tadi ) ISM - Original Message - From: Awang Harun Satyana [EMAIL PROTECTED] To: iagi-net@iagi.or.id Sent: Friday, April 25, 2008 1:09 AM Subject: RE: RE: [iagi-net-l] Re: Poster vs Oral Presentation Nah, itu juga alasan yang selalu dikemukakan kebanyakan teman akademisi saat saya minta menyumbang tulisan untuk Majalah Geologi Indonesia (MGI). Saat ini MGI punya no. ISSN 0216-1061. Wah, kalau hanya ISSN malas-lah, coba naikkan dulu ke status ISBN, baru nanti saya kontribusi tulisan begitu kata seorang teman dari Perguruan Tinggi. Nilai kum jurnal ber-ISBN lebih tinggi daripada nilai kum jurnal ber-ISSN. Hm...ada maksud lain rupanya dengan menyumbang tulisan itu, tadinya saya hanya berpikir scientist must write Maka MGI pun sangat sepi dikontribusi... Seorang kandidat doktor pernah menghubungi saya bertanya bagaimana caranya memasukkan paper ke jurnal internasional, bila masuk, maka predikat judicium-nya akan naik. Memang begitulah aturan2 di akademik kelihatannya, semua ada perhitungannya. Berapa paper di simposium, berapa paper di jurnal (jurnal mana dulu nih; jurnal internasional dengan ISBN, yang terkenal, yang ada peer review-nya tentu akan dinilai tinggi kreditnya); semua ada nilainya (untuk jadi profesor atau menduduki jenjang2 akademik). Di dunia akademik internasional pun mungkin kelihatannya begitu. Maka Robert Hall yang duduk bersebelahan dengan saya saat pertemuan IPA 2007 (kami saat itu sebagai dua pembicara yang berurutan tentang tektonik Jawa) tercenung melihat kartu nama saya bukan dari afiliasi pusat riset atau perguruan tinggi, tetapi dari BPMIGAS. You did your research as a hobby ?, begitu tanyanya. Yes, I did, jawab saya. Sebenarnya bukan hobi, tetapi ekspresi cinta. Orang yang jatuh cinta tak akan pernah berhitung, just do it (kata Abah), walaupun dengan nilai kum : 0. Siapapun bisa dan boleh melakukan riset, syaratnya hanya : cinta, tekad, tekun, berani. Cinta menjadi pendorong utamanya. Tekad dan tekun menjadi bahan bakar perjalanan risetnya. Berani menjadi pijakannya saat ia bertemu dan berdebat dengan periset lain. Benar atau tidak risetnya (karena ia bukan seorang doktor riset atau bukan doktor akademik) akan ditentukan dengan pertemuan dan perdebatan melalui forum-forum ilmiah. Mari meneliti dan menulis walaupun tanpa apresiasi apa pun ! Salam, awang -Original Message- From: [EMAIL PROTECTED] [mailto:[EMAIL PROTECTED] Sent: Friday, April 25, 2008 2:07 C++ To: iagi-net@iagi.or.id; [EMAIL PROTECTED]; [EMAIL PROTECTED] Subject: RE: [iagi-net-l] Re: Poster vs Oral Presentation Saya mau sharing betapa susahnya untuk meminta akademisi untuk menulis di majalah Berita Sedimentologi dan aktif di Forum Sedimentologi Indonesia (FOSI). Saya pernah tanya kenapa tidak menyumbang tulisan, alasannya mula-mula karena tidak ada nomor ISSN / ISBN. Karena hal ini kami mendaftarkan majalah ini ke LIPI. Setelah mendapat ISSN / ISBN masih juga tidak banyak mendapat kontribusi. Tapi alasannya ganti: FOSI / Berita Sedimentologi ini adalah majalah atau organisasi LOKAL. Jadi sayang kalau papernya di publish secara domestik, lebih baik sekalian INTERNATIONAL. Akhirnya kami cenderung untuk minta kawan-kawan dari industri untuk menyumbangkan tulisan. Mungkin karena mereka tidak cari cum / credit point dan mungkin mereka memang 'jatuh cinta' jadi mau menulis seperti Awang sampaikan sebelumnya. Herman -Original Message- From: Awang Satyana [mailto:[EMAIL PROTECTED] Sent: Thursday, April 24, 2008 6:53 PM To: iagi-net@iagi.or.id; Geo Unpad; Forum HAGI Subject: Re: [iagi-net-l] Re: Poster vs Oral Presentation Perasaan bahwa poster kelas dua harus dihapuskan baik dari panitia konvensi maupun peserta konvensi, juga penulisnya. Tidak bisa dinafikan bahwa perasaan kelas dua itu masih ada. IPA dalam lima tahun terakhir ini boleh dikatakan tak menganut pembedaan itu, sekali paper lengkapnya dimuat dalam proceedings, maka hilanglah mana paper oral mana paper poster. Menyiapkan poster lebih susah daripada sekedar menyiapkan presentasi oral. Menyiapkan poster lebih makan waktu, tenaga, dan
RE: RE: [iagi-net-l] Re: Poster vs Oral Presentation
Terima kasih Pak Eddy atas penjelesannya, mungkin saya salah dengar dulu itu, yang dimaksudkannya barangkali adalah dari ISSN ke ISSN tetapi dengan status akreditasi yang berbeda. CD IPA sama persis dengan buku proceedings-nya, hanya yang bukunya telah memiliki ISBN. Aneh rasanya kalau makalah yang sama di CD dan bukunya, tetapi tak bisa di-claim hanya gara-gara di dalam CD. Bagaimana kalau di-print saja Pak yang di CD itu dan cukup ditanyakan saja ke IPA berapa nomor ISBN proceedings-nya. salam, awang Eddy Subroto [EMAIL PROTECTED] wrote: Mas Awang, Saya mau memperjelas sedikit, karena saya tidak yakin kalau ada permintaan pengubahan dari ISSN ke ISBN. Karena MGI adalah majalah/jurnal, maka ya tentu saja pendaftarannya akan memakai ISSN (serial) dan bukan ISBN (book). Di dunia akademik, keduanya diakui dan mendapat nilai yang cukup tinggi. Yang menjadi perhatian para akademisi adalah aturan yang menyebutkan adanya akreditasi jurnal. Depdiknas melalui Dikti (Pendidikan Tinggi) mengeluarkan akreditasi jurnal; A, B, C, dan tidak terakreditasi, sekarang berubah menjadi A, B dan tidak terakreditasi. Untuk naik jabatan ke Lektor Kepala, apalagi ke Guru Besar maka makalah yang dapat diperhitungkan adalah makalah yang dimuat di jurnal terakreditasi. Jadi kalau makalah seorang akademisi dimuat di jurnal tidak terakreditasi, maka makalahnya masih dapat poin akan tetapi tidak dapat digunakan sebagai makalah utama untuk kenaikan jabatannya. Saya tadi bertemu di dua rapat dengan Pak Zaim dan karena cerita saya dianggap sudah jelas maka beliau tidak mau menambah komentarnya di milis ini. Nah, bagi kami yang hobi menulis, tidak masalah apakah makalah kami akan dimuat di buku prosidings atau di CD (yang sulit dipakai naik jabatan). Walau AAPG mentradisikan CD toh kami tetap saja memasukkan makalah ke situ. Kalau tidak ada orang yang ngotot seperti kami, bagaimana mungkin kita akan mengubah tradisi? Wasalam, EAS Nah, itu juga alasan yang selalu dikemukakan kebanyakan teman akademisi saat saya minta menyumbang tulisan untuk Majalah Geologi Indonesia (MGI). Saat ini MGI punya no. ISSN 0216-1061. Wah, kalau hanya ISSN malas-lah, coba naikkan dulu ke status ISBN, baru nanti saya kontribusi tulisan begitu kata seorang teman dari Perguruan Tinggi. Nilai kum jurnal ber-ISBN lebih tinggi daripada nilai kum jurnal ber-ISSN. Hm...ada maksud lain rupanya dengan menyumbang tulisan itu, tadinya saya hanya berpikir scientist must write Maka MGI pun sangat sepi dikontribusi... Seorang kandidat doktor pernah menghubungi saya bertanya bagaimana caranya memasukkan paper ke jurnal internasional, bila masuk, maka predikat judicium-nya akan naik. Memang begitulah aturan2 di akademik kelihatannya, semua ada perhitungannya. Berapa paper di simposium, berapa paper di jurnal (jurnal mana dulu nih; jurnal internasional dengan ISBN, yang terkenal, yang ada peer review-nya tentu akan dinilai tinggi kreditnya); semua ada nilainya (untuk jadi profesor atau menduduki jenjang2 akademik). Di dunia akademik internasional pun mungkin kelihatannya begitu. Maka Robert Hall yang duduk bersebelahan dengan saya saat pertemuan IPA 2007 (kami saat itu sebagai dua pembicara yang berurutan tentang tektonik Jawa) tercenung melihat kartu nama saya bukan dari afiliasi pusat riset atau perguruan tinggi, tetapi dari BPMIGAS. You did your research as a hobby ?, begitu tanyanya. Yes, I did, jawab saya. Sebenarnya bukan hobi, tetapi ekspresi cinta. Orang yang jatuh cinta tak akan pernah berhitung, just do it (kata Abah), walaupun dengan nilai kum : 0. Siapapun bisa dan boleh melakukan riset, syaratnya hanya : cinta, tekad, tekun, berani. Cinta menjadi pendorong utamanya. Tekad dan tekun menjadi bahan bakar perjalanan risetnya. Berani menjadi pijakannya saat ia bertemu dan berdebat dengan periset lain. Benar atau tidak risetnya (karena ia bukan seorang doktor riset atau bukan doktor akademik) akan ditentukan dengan pertemuan dan perdebatan melalui forum-forum ilmiah. Mari meneliti dan menulis walaupun tanpa apresiasi apa pun ! Salam, awang -Original Message- From: [EMAIL PROTECTED] [mailto:[EMAIL PROTECTED] Sent: Friday, April 25, 2008 2:07 C++ To: iagi-net@iagi.or.id; [EMAIL PROTECTED]; [EMAIL PROTECTED] Subject: RE: [iagi-net-l] Re: Poster vs Oral Presentation Saya mau sharing betapa susahnya untuk meminta akademisi untuk menulis di majalah Berita Sedimentologi dan aktif di Forum Sedimentologi Indonesia (FOSI). Saya pernah tanya kenapa tidak menyumbang tulisan, alasannya mula-mula karena tidak ada nomor ISSN / ISBN. Karena hal ini kami mendaftarkan majalah ini ke LIPI. Setelah mendapat ISSN / ISBN masih juga tidak banyak mendapat kontribusi. Tapi alasannya ganti: FOSI / Berita Sedimentologi ini adalah majalah atau organisasi LOKAL. Jadi sayang kalau papernya di publish secara domestik, lebih baik sekalian INTERNATIONAL. Akhirnya kami cenderung untuk minta kawan-kawan dari industri