Re: [budaya_tionghua] Re: Amoy Singkawang-Taiwan

2007-10-31 Terurut Topik PK Lim
Fenomena Amoy Singkawang ada unsur paralelnya dengan fenomena TKW yang 
mencari kerja ke luar negeri, sampai2 ke Arab Saudi yang sangat notorius.  Ini 
semua mencerminkan masalah sosial, masalah kemiskinan.  Dimana rakyat 
manganggap tidak lagi dapat mencari penghidupan dinegeri sendiri, sehingga 
harus hidrah kenegeri orang biarpun dengan resiko pelecahan sampai2 perlakuan 
kasar terhadap mental dan fisik.  Bukankah ini mencerminkan ketidak-mampuan 
pemerintah menciptakan lahan pencaharian dan penghidupan bagi rakyatnya ?  Yang 
lebih menyedihkan lagi perlakuan yang diterima para TKW, yang secara ironis 
disebut pahlawan devisa di bandara.  Para TKW malah di peras oleh siapa saja 
yang menyambut mereka, tidak terkecuali petugas imigrasi atau pabean.  
Fenomena Amoy Singkawang hanya merupakan subgroup dari fenomena kemiskinan 
secara keseluruhan, yang kebetulan menimpa saudara2 suku Tionghoa.  Suatu fakta 
yang perlu penangan kemanusiaan.  Saya masih ingat, belum beberapa tahun
 yang lalu, kalau melihat TKW Filipina di Lucky Plaza Singapur, atau Central 
Hongkong, kita merasa iba.  Tapi sekarang tiba giliran TKW asal Indonesia.  
Sebaliknya TKW Filipina telah berhasil menaikan derajatnya menjadi tenaga 
trampil seperti perawat (RN) di Amerika.

salam,
PK Lim

@}PurPLe;[EMAIL PROTECTED];--- [EMAIL PROTECTED] wrote:
   Dalam situasi kemiskinan yang menjerat, perempuan (termasuk 
anak-anak)
 memang menjadi kelompok masyarakat yang paling rentan untuk menjadi korban.
 Kasus pernikahan perempuan tionghoa singkawang dengan pria Taiwan merupakan
 salah satu contoh nyata dampak dari stereotype yg di/terbangun yang semakin
 meminggirkan tionghoa. Stereotype dan penomorduaan kewarganegaraan membuat
 tionghoa yg tidak mampu memperoleh akses terhadap bantuan-bantuan yang
 seharusnya menjadi kewajiban negara terhadap warga negara yg tidak mampu (i
 e. Kasus tegal alur, cina benteng). Kisah seorang ayah yang meracuni semua
 anggota keluarganya, dan kemudian membunuh dirinya sendiri, karena tidak
 lagi mampu menghidupi mereka, merefleksikan tingkat kemiskinan yg terjadi di
 komunitas tionghoa kal-bar. 
 
 Saya pernah mendengar istilah mai moi (arti: menjual anak perempuan-bahasa
 Ho Pho Hakka-komunitas Hakka di Singkawang dan sekitarnya) yang digunakan
 utk menggambarkan fenomena pernikahan perempuan tionghoa singkawang dengan
 pria Taiwan.  Istilah ini menggambarkan dengan baik posisi perempuan
 tionghoa yang sangat rentan dalam komunitas tionghoa miskin. Sebagai
 komunitas yg menganut sistim patrialkal, perempuan memperoleh tempat kedua
 dalam sistim komunitas tionghoa. Penempatan itu membuat perempuan tidak
 memperoleh kesempatan akses yang sama terhadap bidang-bidang yang
 mempengaruhi perkembangan hidupnya, misalnya pendidikan. Posisi laki-laki
 yang menjadi garis penerus keluarga, mendapat privilege utk memperoleh
 kesempatan akses utama untuk pendidikan, keuangan, etc. Diskriminasi global
 dan struktural yang menciptakan kondisi kemiskinan + sistim masyarakat yg
 menomorduakan perempuan membuat perempuan tionghoa ibarat sudah jatuh ke
 comberan tertimpa tangga dan tembok runtuh (multi-layered discrimination).
 
 Kondisi miskin yang menjerat keluarga tionghoa menempatkan beban yang besar
 kepada (anak) perempuan di keluarga tersebut. Mereka digunakan sbg tameng
 utama dan jalan pintas untuk mengeluarkan keluarganya dari kubangan
 kemiskinan. Alhasil mereka tidak memiliki kebebasan bahkan hak untuk membuat
 keputusan terhadap kehidupan mereka sendiri. Hidup mereka ditentukan oleh
 para penentu keputusan di keluarga. Tingkat pendidikan dan akses informasi
 yang rendah membuat mereka dalam kondisi terbebat matanya dan berjalan bak
 sapi dicucuk hidungnya. Iming-iming hidup yang modern dan lebih nyaman
 (krn tidak perlu bercocok tanam di sawah) di negeri seberang sana yang agak
 dekat dengan tanah leluhur dan masih orang Kita, juga membuat hati dan
 harapan para perempuan tionghoa miskin ini melambung tinggi.Dengan bekal
 jaminan masih orang Kita dan passport yg biasanya memalsukan umur yang
 sebenarnya (asli 16, menjadi 23), berangkatlah perempuan itu dengan harapan
 bercampur kekhawatiran. Harapan akan bisa mengirimkan uang utk membantu
 keluarga mereka di kal-bar, dan kekhawatiran mengenai kehidupan yg harus
 mereka jalani di tanah asing (tapi pemikiran masih orang Kita bisa sedikit
 menenangkan). 
 
 Memang tidak disangkal ada kisah-kisah yang berakhir bahagia (walau Ga
 seperti Cinderella, tapi paling tdk, kehidupan yang normal dan tingkat
 ekonomi yang  baik dan keluarga di kalbar bisa membangun rumah yang lebih
 besar lengkap dengan parabola), namun kisah-kisah yang berakhir memilukan
 juga tidak sedikit (kl tidak bisa dibilang lebih banyak), kisah sang
 perempuan yang kemudian dicerai paksa dan diusir oleh mertua-nya setelah
 melahirkan anak laki-laki untuk keluarga suaminya (yg tentu saja didukung
 oleh si suami), Dan lebih banyak lagi kisah pernikahan yang ternyata jebakan
 saja, 

Re: [budaya_tionghua] Re: Amoy Singkawang-Taiwan

2007-10-30 Terurut Topik @}PurPLe;[EMAIL PROTECTED];---
Dalam situasi kemiskinan yang menjerat, perempuan (termasuk anak-anak)
memang menjadi kelompok masyarakat yang paling rentan untuk menjadi korban.
Kasus pernikahan perempuan tionghoa singkawang dengan pria Taiwan merupakan
salah satu contoh nyata dampak dari stereotype yg di/terbangun yang semakin
meminggirkan tionghoa. Stereotype dan penomorduaan kewarganegaraan membuat
tionghoa yg tidak mampu memperoleh akses terhadap bantuan-bantuan yang
seharusnya menjadi kewajiban negara terhadap warga negara yg tidak mampu (i
e. Kasus tegal alur, cina benteng). Kisah seorang ayah yang meracuni semua
anggota keluarganya, dan kemudian membunuh dirinya sendiri, karena tidak
lagi mampu menghidupi mereka, merefleksikan tingkat kemiskinan yg terjadi di
komunitas tionghoa kal-bar. 

Saya pernah mendengar istilah mai moi (arti: menjual anak perempuan-bahasa
Ho Pho Hakka-komunitas Hakka di Singkawang dan sekitarnya) yang digunakan
utk menggambarkan fenomena pernikahan perempuan tionghoa singkawang dengan
pria Taiwan.  Istilah ini menggambarkan dengan baik posisi perempuan
tionghoa yang sangat rentan dalam komunitas tionghoa miskin. Sebagai
komunitas yg menganut sistim patrialkal, perempuan memperoleh tempat kedua
dalam sistim komunitas tionghoa. Penempatan itu membuat perempuan tidak
memperoleh kesempatan akses yang sama terhadap bidang-bidang yang
mempengaruhi perkembangan hidupnya, misalnya pendidikan. Posisi laki-laki
yang menjadi garis penerus keluarga, mendapat privilege utk memperoleh
kesempatan akses utama untuk pendidikan, keuangan, etc. Diskriminasi global
dan struktural yang menciptakan kondisi kemiskinan + sistim masyarakat yg
menomorduakan perempuan membuat perempuan tionghoa ibarat sudah jatuh ke
comberan tertimpa tangga dan tembok runtuh (multi-layered discrimination).

Kondisi miskin yang menjerat keluarga tionghoa menempatkan beban yang besar
kepada (anak) perempuan di keluarga tersebut. Mereka digunakan sbg tameng
utama dan jalan pintas untuk mengeluarkan keluarganya dari kubangan
kemiskinan. Alhasil mereka tidak memiliki kebebasan bahkan hak untuk membuat
keputusan terhadap kehidupan mereka sendiri. Hidup mereka ditentukan oleh
para penentu keputusan di keluarga. Tingkat pendidikan dan akses informasi
yang rendah membuat mereka dalam kondisi terbebat matanya dan berjalan bak
sapi dicucuk hidungnya. Iming-iming hidup yang modern dan lebih nyaman
(krn tidak perlu bercocok tanam di sawah) di negeri seberang sana yang agak
dekat dengan tanah leluhur dan masih orang Kita, juga membuat hati dan
harapan para perempuan tionghoa miskin ini melambung tinggi.Dengan bekal
jaminan masih orang Kita dan passport yg biasanya memalsukan umur yang
sebenarnya (asli 16, menjadi 23), berangkatlah perempuan itu dengan harapan
bercampur kekhawatiran. Harapan akan bisa mengirimkan uang utk membantu
keluarga mereka di kal-bar, dan kekhawatiran mengenai kehidupan yg harus
mereka jalani di tanah asing (tapi pemikiran masih orang Kita bisa sedikit
menenangkan). 

Memang tidak disangkal ada kisah-kisah yang berakhir bahagia (walau Ga
seperti Cinderella, tapi paling tdk, kehidupan yang normal dan tingkat
ekonomi yang  baik dan keluarga di kalbar bisa membangun rumah yang lebih
besar lengkap dengan parabola), namun kisah-kisah yang berakhir memilukan
juga tidak sedikit (kl tidak bisa dibilang lebih banyak), kisah sang
perempuan yang kemudian dicerai paksa dan diusir oleh mertua-nya setelah
melahirkan anak laki-laki untuk keluarga suaminya (yg tentu saja didukung
oleh si suami), Dan lebih banyak lagi kisah pernikahan yang ternyata jebakan
saja, karena setibanya di tempat tujuan, ternyata mereka dijual oleh para
suami mereka menjadi pelacur. Jaminan orang Kita hanya tinggal kata-kata
kosong belaka. Bangsa yang berkebudayaan dan peradaban tinggi dalam
situasi ini akhirnya hanya menjadi kalimat lumpuh yang kehilangan makna. 
Ingin pulang? Darimana uangnya? Setelah pulang? Harus menyiapkan dan
menebalkan hati dicibir-cibir dan dihina oleh komunitasnya sendiri?
Memperoleh label perempuan kotor murahan yang diasingkan dimana-mana? 

Saat ini, menjadi perempuan tionghoa yang menikah pria Taiwan sudah memiliki
stigma tersendiri di komunitas tionghoa. Menciptakan kondisi perempuan yg
kehilangan kontrol akan hidupnya sendiri dan meletakkan nasib-nya sepenuhnya
ditangan para asing orang Kita itu. Ibarat bermain judi, jika menemukan
jodoh yang baik, sukur, jika tidak, walahualam deh nasibnya. Hanya Tuhan
yang bisa menolong. 

Istilah Amoy Singkawang sesungguhnya juga membawa makna derogatif saat ini.
Istilah ini menciptakan image perempuan tionghoa singkawang yang sudah
dijadikan komoditi/barang dagangan, selain asal penggunaan kata Amoy yang
juga adalah terutama saat melecehkan perempuan tionghoa secara verbal di
kal-bar. Karena itu saya sendiri sangat berkeberatan dengan penggunaan
istilah ini. 

Tionghoa memang beragam, tidak satu macam saja.

Julia 
---Original Message---
 
From: Alfonso
Date: 10/31/07 06:28:12
To: 

Istilah (Re: [budaya_tionghua] Re: Amoy Singkawang-Taiwan)

2007-10-30 Terurut Topik Akhmad Bukhari Saleh

- Original Message - 
From: @}PurPLe;[EMAIL PROTECTED];--- 
To: budaya_tionghua@yahoogroups.com
Sent: Wednesday, October 31, 2007 11:17 AM
Subject: Re: [budaya_tionghua] Re: Amoy Singkawang-Taiwan

 Istilah Amoy Singkawang sesungguhnya juga membawa
 makna derogatif saat ini.
 Istilah ini menciptakan image perempuan tionghoa singkawang
 yang sudah dijadikan komoditi/barang dagangan,
 selain asal penggunaan kata Amoy yang juga adalah terutama
 saat melecehkan perempuan tionghoa secara verbal di kal-bar.
 Karena itu saya sendiri sangat berkeberatan dengan
 penggunaan istilah ini.

---

Repot juga kalau peristilahan sedikit-sedikit di-'politisasi'-kan, dan lalu 
terus-menerus di-pro-kontra-kan.

Banyak rekan di milis ini yang saya yakin juga tahu bahwa di Jakarta, 
terutama di daerah Kota sana,  sekarang ini istilah Cungkuo, yang hanya 
sekedar berarti Tiongkok, juga sudah mempunyai makna derogatif.

Apa lalu kita harus mem-pro-kontra-kan juga istilah Cungkuo ini?? Seperti 
halnya dengan kasus Cina versus China, barangkali besok-besok akan ada 
anjuran untuk jangan bilang Cungkuo, bilang saja Zhungguo, he he he...

Wasalam.