Re: [budaya_tionghua] Re: Amoy Singkawang-Taiwan
Fenomena Amoy Singkawang ada unsur paralelnya dengan fenomena TKW yang mencari kerja ke luar negeri, sampai2 ke Arab Saudi yang sangat notorius. Ini semua mencerminkan masalah sosial, masalah kemiskinan. Dimana rakyat manganggap tidak lagi dapat mencari penghidupan dinegeri sendiri, sehingga harus hidrah kenegeri orang biarpun dengan resiko pelecahan sampai2 perlakuan kasar terhadap mental dan fisik. Bukankah ini mencerminkan ketidak-mampuan pemerintah menciptakan lahan pencaharian dan penghidupan bagi rakyatnya ? Yang lebih menyedihkan lagi perlakuan yang diterima para TKW, yang secara ironis disebut pahlawan devisa di bandara. Para TKW malah di peras oleh siapa saja yang menyambut mereka, tidak terkecuali petugas imigrasi atau pabean. Fenomena Amoy Singkawang hanya merupakan subgroup dari fenomena kemiskinan secara keseluruhan, yang kebetulan menimpa saudara2 suku Tionghoa. Suatu fakta yang perlu penangan kemanusiaan. Saya masih ingat, belum beberapa tahun yang lalu, kalau melihat TKW Filipina di Lucky Plaza Singapur, atau Central Hongkong, kita merasa iba. Tapi sekarang tiba giliran TKW asal Indonesia. Sebaliknya TKW Filipina telah berhasil menaikan derajatnya menjadi tenaga trampil seperti perawat (RN) di Amerika. salam, PK Lim @}PurPLe;[EMAIL PROTECTED];--- [EMAIL PROTECTED] wrote: Dalam situasi kemiskinan yang menjerat, perempuan (termasuk anak-anak) memang menjadi kelompok masyarakat yang paling rentan untuk menjadi korban. Kasus pernikahan perempuan tionghoa singkawang dengan pria Taiwan merupakan salah satu contoh nyata dampak dari stereotype yg di/terbangun yang semakin meminggirkan tionghoa. Stereotype dan penomorduaan kewarganegaraan membuat tionghoa yg tidak mampu memperoleh akses terhadap bantuan-bantuan yang seharusnya menjadi kewajiban negara terhadap warga negara yg tidak mampu (i e. Kasus tegal alur, cina benteng). Kisah seorang ayah yang meracuni semua anggota keluarganya, dan kemudian membunuh dirinya sendiri, karena tidak lagi mampu menghidupi mereka, merefleksikan tingkat kemiskinan yg terjadi di komunitas tionghoa kal-bar. Saya pernah mendengar istilah mai moi (arti: menjual anak perempuan-bahasa Ho Pho Hakka-komunitas Hakka di Singkawang dan sekitarnya) yang digunakan utk menggambarkan fenomena pernikahan perempuan tionghoa singkawang dengan pria Taiwan. Istilah ini menggambarkan dengan baik posisi perempuan tionghoa yang sangat rentan dalam komunitas tionghoa miskin. Sebagai komunitas yg menganut sistim patrialkal, perempuan memperoleh tempat kedua dalam sistim komunitas tionghoa. Penempatan itu membuat perempuan tidak memperoleh kesempatan akses yang sama terhadap bidang-bidang yang mempengaruhi perkembangan hidupnya, misalnya pendidikan. Posisi laki-laki yang menjadi garis penerus keluarga, mendapat privilege utk memperoleh kesempatan akses utama untuk pendidikan, keuangan, etc. Diskriminasi global dan struktural yang menciptakan kondisi kemiskinan + sistim masyarakat yg menomorduakan perempuan membuat perempuan tionghoa ibarat sudah jatuh ke comberan tertimpa tangga dan tembok runtuh (multi-layered discrimination). Kondisi miskin yang menjerat keluarga tionghoa menempatkan beban yang besar kepada (anak) perempuan di keluarga tersebut. Mereka digunakan sbg tameng utama dan jalan pintas untuk mengeluarkan keluarganya dari kubangan kemiskinan. Alhasil mereka tidak memiliki kebebasan bahkan hak untuk membuat keputusan terhadap kehidupan mereka sendiri. Hidup mereka ditentukan oleh para penentu keputusan di keluarga. Tingkat pendidikan dan akses informasi yang rendah membuat mereka dalam kondisi terbebat matanya dan berjalan bak sapi dicucuk hidungnya. Iming-iming hidup yang modern dan lebih nyaman (krn tidak perlu bercocok tanam di sawah) di negeri seberang sana yang agak dekat dengan tanah leluhur dan masih orang Kita, juga membuat hati dan harapan para perempuan tionghoa miskin ini melambung tinggi.Dengan bekal jaminan masih orang Kita dan passport yg biasanya memalsukan umur yang sebenarnya (asli 16, menjadi 23), berangkatlah perempuan itu dengan harapan bercampur kekhawatiran. Harapan akan bisa mengirimkan uang utk membantu keluarga mereka di kal-bar, dan kekhawatiran mengenai kehidupan yg harus mereka jalani di tanah asing (tapi pemikiran masih orang Kita bisa sedikit menenangkan). Memang tidak disangkal ada kisah-kisah yang berakhir bahagia (walau Ga seperti Cinderella, tapi paling tdk, kehidupan yang normal dan tingkat ekonomi yang baik dan keluarga di kalbar bisa membangun rumah yang lebih besar lengkap dengan parabola), namun kisah-kisah yang berakhir memilukan juga tidak sedikit (kl tidak bisa dibilang lebih banyak), kisah sang perempuan yang kemudian dicerai paksa dan diusir oleh mertua-nya setelah melahirkan anak laki-laki untuk keluarga suaminya (yg tentu saja didukung oleh si suami), Dan lebih banyak lagi kisah pernikahan yang ternyata jebakan saja,
Re: [budaya_tionghua] Re: Amoy Singkawang-Taiwan
Dalam situasi kemiskinan yang menjerat, perempuan (termasuk anak-anak) memang menjadi kelompok masyarakat yang paling rentan untuk menjadi korban. Kasus pernikahan perempuan tionghoa singkawang dengan pria Taiwan merupakan salah satu contoh nyata dampak dari stereotype yg di/terbangun yang semakin meminggirkan tionghoa. Stereotype dan penomorduaan kewarganegaraan membuat tionghoa yg tidak mampu memperoleh akses terhadap bantuan-bantuan yang seharusnya menjadi kewajiban negara terhadap warga negara yg tidak mampu (i e. Kasus tegal alur, cina benteng). Kisah seorang ayah yang meracuni semua anggota keluarganya, dan kemudian membunuh dirinya sendiri, karena tidak lagi mampu menghidupi mereka, merefleksikan tingkat kemiskinan yg terjadi di komunitas tionghoa kal-bar. Saya pernah mendengar istilah mai moi (arti: menjual anak perempuan-bahasa Ho Pho Hakka-komunitas Hakka di Singkawang dan sekitarnya) yang digunakan utk menggambarkan fenomena pernikahan perempuan tionghoa singkawang dengan pria Taiwan. Istilah ini menggambarkan dengan baik posisi perempuan tionghoa yang sangat rentan dalam komunitas tionghoa miskin. Sebagai komunitas yg menganut sistim patrialkal, perempuan memperoleh tempat kedua dalam sistim komunitas tionghoa. Penempatan itu membuat perempuan tidak memperoleh kesempatan akses yang sama terhadap bidang-bidang yang mempengaruhi perkembangan hidupnya, misalnya pendidikan. Posisi laki-laki yang menjadi garis penerus keluarga, mendapat privilege utk memperoleh kesempatan akses utama untuk pendidikan, keuangan, etc. Diskriminasi global dan struktural yang menciptakan kondisi kemiskinan + sistim masyarakat yg menomorduakan perempuan membuat perempuan tionghoa ibarat sudah jatuh ke comberan tertimpa tangga dan tembok runtuh (multi-layered discrimination). Kondisi miskin yang menjerat keluarga tionghoa menempatkan beban yang besar kepada (anak) perempuan di keluarga tersebut. Mereka digunakan sbg tameng utama dan jalan pintas untuk mengeluarkan keluarganya dari kubangan kemiskinan. Alhasil mereka tidak memiliki kebebasan bahkan hak untuk membuat keputusan terhadap kehidupan mereka sendiri. Hidup mereka ditentukan oleh para penentu keputusan di keluarga. Tingkat pendidikan dan akses informasi yang rendah membuat mereka dalam kondisi terbebat matanya dan berjalan bak sapi dicucuk hidungnya. Iming-iming hidup yang modern dan lebih nyaman (krn tidak perlu bercocok tanam di sawah) di negeri seberang sana yang agak dekat dengan tanah leluhur dan masih orang Kita, juga membuat hati dan harapan para perempuan tionghoa miskin ini melambung tinggi.Dengan bekal jaminan masih orang Kita dan passport yg biasanya memalsukan umur yang sebenarnya (asli 16, menjadi 23), berangkatlah perempuan itu dengan harapan bercampur kekhawatiran. Harapan akan bisa mengirimkan uang utk membantu keluarga mereka di kal-bar, dan kekhawatiran mengenai kehidupan yg harus mereka jalani di tanah asing (tapi pemikiran masih orang Kita bisa sedikit menenangkan). Memang tidak disangkal ada kisah-kisah yang berakhir bahagia (walau Ga seperti Cinderella, tapi paling tdk, kehidupan yang normal dan tingkat ekonomi yang baik dan keluarga di kalbar bisa membangun rumah yang lebih besar lengkap dengan parabola), namun kisah-kisah yang berakhir memilukan juga tidak sedikit (kl tidak bisa dibilang lebih banyak), kisah sang perempuan yang kemudian dicerai paksa dan diusir oleh mertua-nya setelah melahirkan anak laki-laki untuk keluarga suaminya (yg tentu saja didukung oleh si suami), Dan lebih banyak lagi kisah pernikahan yang ternyata jebakan saja, karena setibanya di tempat tujuan, ternyata mereka dijual oleh para suami mereka menjadi pelacur. Jaminan orang Kita hanya tinggal kata-kata kosong belaka. Bangsa yang berkebudayaan dan peradaban tinggi dalam situasi ini akhirnya hanya menjadi kalimat lumpuh yang kehilangan makna. Ingin pulang? Darimana uangnya? Setelah pulang? Harus menyiapkan dan menebalkan hati dicibir-cibir dan dihina oleh komunitasnya sendiri? Memperoleh label perempuan kotor murahan yang diasingkan dimana-mana? Saat ini, menjadi perempuan tionghoa yang menikah pria Taiwan sudah memiliki stigma tersendiri di komunitas tionghoa. Menciptakan kondisi perempuan yg kehilangan kontrol akan hidupnya sendiri dan meletakkan nasib-nya sepenuhnya ditangan para asing orang Kita itu. Ibarat bermain judi, jika menemukan jodoh yang baik, sukur, jika tidak, walahualam deh nasibnya. Hanya Tuhan yang bisa menolong. Istilah Amoy Singkawang sesungguhnya juga membawa makna derogatif saat ini. Istilah ini menciptakan image perempuan tionghoa singkawang yang sudah dijadikan komoditi/barang dagangan, selain asal penggunaan kata Amoy yang juga adalah terutama saat melecehkan perempuan tionghoa secara verbal di kal-bar. Karena itu saya sendiri sangat berkeberatan dengan penggunaan istilah ini. Tionghoa memang beragam, tidak satu macam saja. Julia ---Original Message--- From: Alfonso Date: 10/31/07 06:28:12 To:
Istilah (Re: [budaya_tionghua] Re: Amoy Singkawang-Taiwan)
- Original Message - From: @}PurPLe;[EMAIL PROTECTED];--- To: budaya_tionghua@yahoogroups.com Sent: Wednesday, October 31, 2007 11:17 AM Subject: Re: [budaya_tionghua] Re: Amoy Singkawang-Taiwan Istilah Amoy Singkawang sesungguhnya juga membawa makna derogatif saat ini. Istilah ini menciptakan image perempuan tionghoa singkawang yang sudah dijadikan komoditi/barang dagangan, selain asal penggunaan kata Amoy yang juga adalah terutama saat melecehkan perempuan tionghoa secara verbal di kal-bar. Karena itu saya sendiri sangat berkeberatan dengan penggunaan istilah ini. --- Repot juga kalau peristilahan sedikit-sedikit di-'politisasi'-kan, dan lalu terus-menerus di-pro-kontra-kan. Banyak rekan di milis ini yang saya yakin juga tahu bahwa di Jakarta, terutama di daerah Kota sana, sekarang ini istilah Cungkuo, yang hanya sekedar berarti Tiongkok, juga sudah mempunyai makna derogatif. Apa lalu kita harus mem-pro-kontra-kan juga istilah Cungkuo ini?? Seperti halnya dengan kasus Cina versus China, barangkali besok-besok akan ada anjuran untuk jangan bilang Cungkuo, bilang saja Zhungguo, he he he... Wasalam.