Mekanisme demokrasi tidak otomatis membentuk demokrasi karena harus
ada niat dan tindakan serta checks-&-balances yg bekerja baik.

Demokrasi tidak sempurna tetapi ada satu hal penting yg merupakan uji
utama dari demokrasi ialah bukan pemilu pada awalnya saja tetapi
apakah pada saat kemudian rakyat memiliki kewenangan utk dapat memecat
atau tidak memilih kembali pemimpin mereka yg sudah tidak disukai lagi?

Di AS dan Inggris bisa.  Bush dan Blair sudah tamat riwayat politiknya.

Tapi apakah Hitler bisa diperhentikan waktu itu?  Tdk bisa. Apakah
Suharto mudah diperhentikan waktu itu?  Tidak juga.

Saya kira kita banyak buang2 waktu kalau cuma mengecam kebijakan
politik AS dan Inggris yg sebenarnya tidak ada sangkut paut langsung
dg kepentingan kita sebagai bangsa Indonesia.  Yg terpaut cuma
sentimen agama.  Sentimen agama bukan unsur terpenting dalam membela
kepentingan bangsa. 

Apa kepentingan bangsa terpenting dalam hubungan kita dg AS dan
Inggris:  investasi dan pendidikan.  Ini yg harus kita kejar dan
manfaatkan sebesar2nya.

Demokrasi AS memang penuh money politics.  Di Inggris tidak spt itu. 
Di Jerman, Belanda, Perancis malah enggak sama sekali.  Varian
demokrasi mana yg paling cocok memang perlu didefinisikan oleh bangsa
itu sendiri.  Tolok ukur keberhasilan demokrasi cukup universal
sehingga ketidaklengkapan dalam praktek selama tolok utamanya OK,
biasanya OK.

--- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "Wikan Danar Sunindyo"
<[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> oke pak, demokrasi memang tidak hanya sekedar pemilu atau voting 50% +
> 1. tapi itu juga kan yang digembar-gemborkan oleh barat selama ini?
> pemilu presiden di Amerika Serikat saja sebelumnya (tahun 2000)
> akhirnya hasilnya ditentukan oleh Makhamah Agung, gara2 suara yang
> seimbang antara George W Bush dan Al Gore. Pada Pemilu 2004 diduga ada
> kecurangan dengan pengabaian suara2 golongan minoritas seperti suku
> asli Amerika, Afro-Amerika, Hispanik dll. Lihat ... negara yang
> demokrasinya maju saja bermain2 dengan pemilunya dan tidak benar-benar
> fair melaksanakan pemilu. Wajar kalau banyak rakyat Amerika saat ini
> yang merasa kecolongan dalam memilih presiden. Ternyata presiden yang
> dipilih bukanlah "sebenar-benar" atau "sejujur-jujur" presiden dalam
> pemilihan yang jujur dan adil.
> 
> Lalu apa? Demokrasi mensyaratkan keterwakilan dari semua golongan,
> termasuk golongan minoritas. Demokrasi juga mensyaratkan pemilu yang
> jujur dan adil, yang kalau Pak Dana baca, pasti banyak pula
> kontroversinya di Amerika Serikat (soal pemilu yang sebenarnya lebih
> didukung oleh calon yang "punya duit" ketimbang kandidat yang benar2
> berprestasi dan mempunyai kinerja yang bagus. tanpa duit dan dukungan
> dari kapitalis termasuk perusahaan minyak, industri senjata, dan
> lobby-lobby yahudi, seorang calon presiden AS tidak bisa meraup suara
> banyak).
> 
> AS sendiri banyak berkoar-koar soal pelaksanaan demokrasi di Timur
> Tengah. Makanya dia menyerbu Irak karena menganggap pemimpinnya
> diktator dan tidak demokratis. Well, okelah. Tapi saat partai Hamas
> menang dalam pemilu di Palestina apa yang dilakukan AS? Berusaha
> memboikot hasil pemilu dan tidak mendukung pemerintahan partai Hamas
> dengan menghentikan bantuan yang selama ini mengalir pada pemerintah
> Palestina. Lelucon macam apa yang dimainkan Amerika, Pak Dana? Ini
> adalah bukti kebijakan standard ganda yang dilakukan oleh pemerintah
> demokratis AS. Tatkala pemerintah demokratis yang tidak sesuai
> kehendaknya yang menang dan berkuasa, maka ia tidak mendukungnya. Tapi
> pemerintahan yang diktator seperti di Arab Saudi atau Pakistan bisa
> didukung oleh AS karena ia sesuai dengan kehendaknya.
> 
> Soal Hitler, itu hal yang lain. Bagaimanapun ia lahir dari pemilu yang
> demokratis dan didukung rakyatnya. Kalau Pak Dana percaya pada
> demokrasi, termasuk mekanisme pemilu di dalamnya, tentu percaya bahwa
> Hitler adalah pemimpin yang didukung oleh rakyatnya. Ambisinya untuk
> menjadikan negara Jerman negara yang maju bukanlah ambisinya pribadi,
> melainkan keinginan sebagian besar rakyat jerman saat itu.
> 
> Sekarang bandingkan Hitler dengan GW Bush. Keduanya sama2 lahir dari
> pemilu yang demokratis. Dan keduanya sama2 berambisi menjadikan
> negaranya sebagai negara yang maju dan terkemuka. Keduanya sama2
> didukung oleh rakyatnya. Penentangnya tentu saja bukan orang yang
> patriotis dari sisi negara. Oke, keduanya juga melakukan penyerangan
> kepada negara lain, pembunuhan dan pembasmian secara massal. Bedanya
> cuman, saat ini Hitler kalah perang dan sudah mati bunuh diri,
> sementara GW Bush belum. Mungkin suatu saat kelak, sejarah juga akan
> mencatat bahwa GW Bush adalah seorang penjahat perang yang menyerang
> negara Irak & Afganishtan tanpa alasan.
> 
> ... dan keduanya lahir dari sistem pemerintahan yang demokratis.
> 
> salam,
> --
> wikan
> http://wikan.multiply.com
> 
> On 3/6/07, Dan <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
> 
> >
> > Jelas memang ini pelanggaran thd demokrasi.  Saya sendiri enggak tahu
> >  persis apa latar belakang militansi di Aljazair dan terimakasih sudah
> >  diberikan di sini.  Saya hanya melihat hasil akhirnya saja bahwa
> >  Aljazair tidak aman karena militansi dari kelompok Islam radikal.
> >
> >  Ada suatu pertimbangan: pemilu sendiri adalah mekanisme demokrasi
> >  tetapi bukan demokrasi itu sendiri.  Seperti Hitler dan partai
> >  Nazi-nya dipilih secara demokratis tetapi setelah itu mereka menjadi
> >  totalitarianisme dan melanggar segala macam HAM.  Demokrasi
memerlukan
> >  lebih dari pemilu. Topik ini pernah saya bahas dg pak HMNA.  Memang
> >  sering demokrasi disalahtafsirkan hanya sbg voting dimana 50%+1
adalah
> >  si pemenang.
> >
> >  Demokrasi memerlukan juga kelembagaan moderen yg berjalan baik. 
Tanpa
> >  itu semua belum demokrasi namanya.  Dan akan menjurus ke sana. 
Contoh
> >  aja jaman Orba, diktator yg di angkat oleh pemilu yg 'demokratis'.
>


Kirim email ke