--- In [EMAIL PROTECTED], Anwar Djaelani <[EMAIL PROTECTED]> 
wrote:

Ass. Wr. Wb.
Berikut terlampir artikel saya di Jawa Pos 16/11/07
menanggapi Mohamad Guntur Romli yang menulis "Sesatnya
Kriteria Sesat" (Jawa Pos 14/11/07) dan Pradana Boy
yang menulis "Relativitas Kesesatan Aliran Sesat"
(Jawa Pos 9/11/07).

M. Anwar Djaelani 


Ulama dan Relativisme Kaum Liberal
Oleh M. Anwar Djaelani *
"JIMAT" yang kerap dijadikan amunisi kaum liberal
–antara lain- adalah pluralisme, liberalisme,
persamaan tanpa batas, antiotoritas, dan relativisme.
Maka, menyusul maraknya diskusi di seputar aliran
sesat, terlihat bahwa dua "jimat" yang disebut
terakhir itu, yang paling banyak dipakai kaum liberal
saat membela kelompok semisal Al-Qiyadah Al-Islamiyah.

Lihat –misalnya- dua tulisan di Jawa Pos. Pada
14/11/07 Mohamad Guntur Romli menulis "Sesatnya
Kriteria Sesat". Pada dasarnya, dia menyatakan bahwa
kriteria penyesatan versi Majelis Ulama Indonesia
(MUI) harus ditolak, sebab semua orang atau kelompok
memiliki derajat yang sama ketika berusaha memahami
wahyu. Itupun –kata dia- hakikat kebenarannya baru
sampai pada tahap "kebenaran manusiawi" dan bukan
"kebenarann Ilahi". Untuk itu, dia bersandar pada
hadits bahwa "Perbedaan (pendapat) umatku adalah
rahmat".
Bisakah hadits itu dijadikan sandaran hujjah? Prof. KH
Ali Mustafa Yaqub, MA lewat buku berjudul
Hadits-Hadits Bermasalah menilai bahwa hadits itu tak
dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan –oleh
karena itu- tidak dapat dijadikan dalil sama sekali.
Siapa Ali Mustafa Yaqub? Sekarang, dia salah seorang
dari sedikit ahli hadits di Indonesia. Dulu, awal
1970-an- dia mahasiswa Universitas Hasyim Asy'ari,
Tebuireng. Dia santri Gus Dur, saat di Jombang. 
Sebagai tambahan, jika ada yang menilai bahwa kasus
Al-Qiyadah Al-Islamiyah tak lebih sekadar perbedaan
pendapat saja, maka mengherankan sekali karena
kesalahan kelompok itu telah begitu terang. Dari segi
nama kelompok, mereka dapat dipastikan tetap beragama
Islam. Tetapi, lihatlah syahadatnya! "Asyhadu alla
ilaha illa-Alla wa asyhadu anna Masih al-Mau'ud
Rasul-Allah." Mereka pun menyatakan shalat dan puasa
tak wajib dikerjakam. Maka, pertanyaannya, benarkah
ajaran itu sekadar perbedaan pendapat? Itukah contoh
dari "kebenaran manusiawi" yang harus kita hormati?
Lalu lewat tulisan di Jawa pos, 9/11/07 berjudul
"Relativitas Kesesatan Aliran Sesat", Pradana Boy ZTF
(dosen Fakultas Ilmu Agama Universitas Muhammadiyah
Malang) juga membela aliran sesat dengan merelatifkan
fatwa MUI. 
Dia menggugat -untuk tak menyebut menghujat- ulama,
dengan menyatakan bahwa fatwa itu memiliki potensi
"pemaksaan" kebenaran yang sangat tinggi. Hal itu,
dikaitkannya dengan pendapat MUI bahwa salah satu
kriteria aliran sesat adalah "ketika menafsirkan
Al-Qur'an di luar ketentuan kaidah-kaidah tafsir yang
berlaku". 
Boy mendasarkan pemikirannya atas paham relativisme
(tafsir), salah satu "jimat" kaum liberal. Tampak, dia
berusaha untuk menghilangkan otoritas ulama dalam
penafsiran Al-Qur'an. Perhatikanlah pernyataan dia:
"Jika MUI merujuk kepada seperangkat kaidah yang
dihasilkan oleh ulama
tertentu, MUI telah melakukan kesewenang-wenangan.
Seolah-olah MUI
memiliki hak paling mutlak untuk menentukan metode ini
benar dan metode
ini salah". 
Boy menyergah, kaidah tafsir menurut siapa? Boy
menyoal, model pendekatan versi siapa? Bukankah
–lanjut dia- ahli tafsir itu banyak, seraya menyebut
sejumlah "mufassir" liberal seperti Nasr Hamid Abu
Zayd, Arkoun, Hassan Hanafi, dan sejumlah nama lain
yang "sejenis" dengan itu. Bahkan, yang luar biasa,
tanpa ragu dia ajak pula agar kita membandingkan
dengan "tafsir" dari kalangan nonMuslim seperti
Anthony John, John Wansbrough, atau Andrew Rippin.
Siapa Nasr Hamid Abu Zayd? Atas sejumlah pendapat
kontroversialnya, Nasr Hamid Abu Zayd dinilai ulama
Mesir bahwa dia telah keluar dari Islam. Maka, ulama
Mesir-pun menetapkan dia harus diseret ke pengadilan
dan diharuskan bercerai dengan istrinya. Dia kemudian
melarikan diri ke Belanda.  
Siapa John Wansbrough? Muhammad Nasrin bin M. Nasir
menulis tesis yang berjudul "A Critique of John
Wansbrough's Methodology and Conclusion" dan telah
dipertahankannya di Islamic College for Advanced
Studies, London, pada 2002. Bahwa, John Wansbrough
adalah tokoh utama yang mempunyai gagasan untuk
"melemahkan" Al-Qur'an. Pemikiran dia berakar pada
ungkapan bahwa, "Sebagai sebuah  teks, Al-Qur'an harus
dikaji dengan analisa sastra karena kelahirannya
berada pada masa kejayaan kesusasteraan". Salah satu
implikasinya, adalah klaim bahwa Al-Qur'an telah
mengalami evolusi sejalan dengan waktu sehingga
Al-Qur'an yang dipahami Muslim sekarang ini bukan
kitab yang telah diwahyukan kepada Nabi Muhammad lebih
dari 1400 tahun lalu.
Tentu saja, pemahaman John Wansbrough itu sangat
menyimpang dari sisi pemahaman normatif kaum muslimin.

Lantas, siapa Andrew Rippin? Dia adalah salah satu
murid John Wansbrough. Rippin melakukan kajian tafsir
teks dengan skeptismenya Wansbrough.

Otoritas Itu
Telah kita rasakan, kecuali berusaha "melemahkan"
Al-Qur'an, kaum liberal juga melakukan pengerdilan
terhadap otoritas ulama. Padahal, siapapun tahu, di
lapangan hidup apa saja, mesti ada otoritas dalam
menilai sesuatu. Di bidang kesehatan, hanya dokterlah
yang punya otoritas untuk menilai seseorang itu sakit
atau tidak. Begitu juga, di aspek keagamaan. Untuk
Islam, maka yang memiliki otoritas menentukan tafsir
(tentu saja termasuk menetapakan sebuah aliran itu
sesat atau tidak) adalah ulama yaitu ulama yang
istiqomah, dan bukan ulamaus-su' / ulama jahat.
Bukankah ulama itu pewaris para Nabi?
Dengan posisi itu, ulama menjalankan fungsi kenabian
seperti mendampingi umat menuju kehidupan yang Islami.
Dengan demikian, salah satu peran ulama adalah sebagai
pemberi fatwa, baik diminta ataupun tidak.
Dengan demikian, ide relativisme (tafsir) adalah
pemikiran yang tak berdasar. Berbekal "senjata" itu,
mereka ingin meniadakan otoritas dalam penafsiran, dan
mereka tidak mengakui adanya satu kebenaran untuk
semua manusia. Tentu saja, itu tak mungkin. 
Bagi kaum liberal –seperti Boy- kajian seorang
nonMuslim lebih dia hargai ketimbang fatwa MUI. Maka,
berhati-hatilah dengan fenomena "proyek" yang
ditujukan untuk "mengurangi' nilai Al-Qur'an dan untuk
meruntuhkan otoritas ulama. Wallahu a'lam. []
* M. Anwar Djaelani, 
dosen STAIL Pesantren Hidayatullah - Surabaya
 


      
______________________________________________________________________
______________
Get easy, one-click access to your favorites. 
Make Yahoo! your homepage.
http://www.yahoo.com/r/hs

--- End forwarded message ---


Kirim email ke