http://www.gatra.com/artikel.php?id=110321


Nabi Itu Monogami


BAHAGIAKAN DIRI DENGAN SATU ISTRI
Penulis: Cahyadi Takariawan
Penerbit: Era Intermedia, 2007, xxxi + 278 halaman

Terbitnya buku ini tak kalah kontroversialnya dari poligami Aa Gym, beberapa 
waktu lalu, yang berakibat pesantren dan bisnisnya makin sepi. Konon, saking 
kontroversialnya, buku ini sempat ditarik dari peredaran karena membuat gerah 
aktivis dan petinggi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Padahal, pengantar buku 
ini ditulis istri pertama presiden partai itu, Sri Rahayu Tifatul Sembiring.

Membuat gerah, lumrah saja, karena buku ini ditulis Ustad Cahyadi Takariawan, 
anggota Majelis Syuro PKS. Sementara itu, sudah jadi rahasia umum bahwa ikhwan 
partai ini lazim melaksanakan praktek poligami dengan tujuan perluasan dakwah 
Islam.

Di sinilah menarik dan beraninya buku ini. Meski gaya penulisannya populer dan 
santun, isinya memang benar-benar menelanjangi praktek poligami yang banyak 
menyengsarakan kaum istri dan anak. Lebih khusus lagi, kata penulis, berakibat 
buruk pada dakwah Islam. Artinya, Cahyadi mendekonstruksi pemahaman dan 
keyakinan sebagian besar koleganya di partai dan umat Islam tentang poligami.

Sedari awal Cahyadi menekankan, ia menulis buku ini bukan dalam rangka menolak 
hukum atau ajaran Islam tentang poligami. Yang ia tolak adalah praktek poligami 
itu sendiri. Sebab banyak fakta dan kasus poligami yang menghancurkan institusi 
keluarga, khususnya perempuan dan anak.

Cahyadi tetap mengakui, pada kasus-kasus tertentu, seperti menolong janda dan 
anak korban konflik, poligami tetaplah menjadi solusi. Tapi jarang sekali suami 
berpoligami karena alasan tersebut. Alasannya lebih karena perempuan yang akan 
dijadikan istri selanjutnya itu lebih muda, lebih menarik, lebih pintar, dan 
lebih segalanya dibandingkan dengan istri sebelumnya.

Seperti diketahui, biasanya para pelaku poligami membenarkan perbuatannya itu 
berdasarkan dua hal: Al-Quran surat An-Nisa ayat 3 dan mengikuti sunah Nabi. 
Padahal, bila merujuk pada kehidupan Nabi secara cermat, sesungguhnya Nabi 
melakukan monogami. Dalam kurun waktu kehidupan rumah tangganya, Nabi sangat 
monogami.

Kehidupan rumah tangga Nabi dengan Khadijah berlangsung 25 tahun. Sedangkan 
poligami yang dilakukan Nabi hanya berlangsung 10 tahun. Itu pun setelah 
Khadijah wafat dan kebanyakan pernikahannya itu lebih karena menolong 
janda-janda sahabat beliau yang wafat akibat perang membela Islam (halaman 
xviii).

Sementara itu, ayat Al-Quran yang menjadi acuan poligami itu pun titik tekannya 
pada sikap suami yang bisa berlaku adil. Sikap ini sulit sekali ditentukan 
ukurannya karena sangat melibatkan perasaan, tidak hanya kecukupan materi dan 
kepuasan seksual. Seperti diulas dengan baik oleh Bintu Syathi dalam bukunya, 
Istri-istri Nabi, kehidupan istri-istri Nabi saja tak sepenuhnya harmonis, 
malah cenderung saling cemburu.

Untuk lelaki setingkat Nabi saja, yang banyak diberi kelebihan oleh Allah, 
mengelola perasaan dan menghadapi istri-istrinya itu cukup merepotkan. Apalagi 
untuk lelaki biasa. Cahyadi pun menyimpulkan, karena kita bukan Nabi, istri 
kita pun bukan Aisyah, maka jangan coba-coba berpoligami (halaman 238).

Ada juga yang berargumen, poligami dilakukan untuk menghindari zina. Cahyadi 
mengkritik, kok bisa poligami disejajarkan dengan zina (selingkuh). 
Penyejajaran seperti ini adalah cara berpikir yang tak nyambung. Ia menyodorkan 
beberapa pilihan selain poligami. Misalnya, daripada suami berpoligami, lebih 
baik berpuasa untuk menjaga diri atau berkonsentrasi dan fokus pada istri atau 
onani dan masturbasi atau banyak pilihan perbuatan yang lebih baik dan positif 
(halaman 99).

Di tengah komunitas yang menjadikan poligami sebagai praktek yang lazim, banyak 
yang bertanya, kenapa Cahyadi tak berpoligami. Dengan memarodikan lagu Aa Gym, 
ia menjawab, ''Jagalah istri, jangan kau sakiti. Sayangi istri, amanah Ilahi. 
Bila diri kian bersih, satu istri terasa lebih. Bila bisa jaga diri, tidak 
perlu menikah lagi. Bila suami berpoligami, dakwah akan terbebani. Demarketing 
menjadi-jadi, dakwah bisa dibenci....''

Tentu saja buku ini tak hanya layak dibaca para lelaki. Bagi perempuan pun, 
buku ini sangat bermanfaat, karena banyak kiat dan nasihat agar para istri 
tidak dimadu. Sayang sekali, sekarang buku ini sangat sulit didapat.

Nong Darol Mahmada
Manajer program di Freedom Institute, Jakarta
[Buku, Gatra Nomor 4 Beredar Kamis, 6 Desember 2007] 



[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke