Saya dan kawan-kawan lokal (5 orang di antara 15 orang) merupakan tim untuk penerimaan lulusan STM karyawan di daerah. Kami membuat materi ujian saringan yang "mutu"nya sedikit dengan materi ujian sekolah dasar. Dari 700 orang kami hanya berhasil menjaring 30 orang (dari 45 orang) dengan nilai antara 25 - 35. Melihat kenyataan ini ada niat perusahaan untuk merekrutnya dari P. Jawa. Untung usulan kami masih di dengan perusahaan. Dengan bersusah payah selama 3 bulan, mereka ini bisa "lulus" dengan nilai 65 -85 (yang 85 cuma seorang yang kemudian kami usulkan dia berhenti dan mengikuti UMPTN dan lulus). Kami tidak punya pengalaman mengajar tetapi dengan tekad kuat kami berhasil memoles mereka sehingga tidak memperlakukan orang lokal. Pertanyaannya: Ini kejanggalan di guru STM-nya atau siswanya? Apakah karena di perusahaan kami tersedia laboratorium/alat peraga yang lengkap? Tidak juga; untuk membuat para peserta latih mudah memahami cara kerja gerdang mobil saya cuma menggunakan tiga buah asbak! Dalam 15 menit semua peserta latih dapat memperagakan bagaimana fungsi ketiga asbak itu ketika mobil berbelok ke kiri, ke kanan, dan berjalan lurus. Kejanggalan kedua: Apakah fungsi para guru STM yang berani meluluskan siswa yang tidak bisa menjelaskan cara kerja gerdang mobil? Kejanggalan lain: Apa manfaatnya pengalaman mengajar para guru yang bertahun-tahun itu bagi warga daerah kami? Kalau kami berhasil memoles mereka dalam waktu 3 bulan, seharusnya para guru berpengalan lebih cepat dari kami. Kalau kami berhasil karena takut dicemoohperusahaan/teman-teman luar daerah seharusnya para guru harus berhasil dengan "comoohan" UN. Kalau para peserta itu termotivasi oleh ancaman tidak lulus alias tidak di-phk, tentunya mereka juga akan termotivasi oleh ancaman ketidak-lulusan yang jika tidak tentunya mereka memang menganggap remeh UN karena provokasi para guru yang tidak becus yang sangat becus menjadikan ketidak-lulusan ini sebagai akibat UN.
Mungkin kami berhasil karena kamilah yang akan menjadi rekan kerja mereka sementara para guru tidak: bisa bekerja bagus atau tidak egp . . . . EGP hanya bisa dikikis oleh UN karena UN akan menyumpal ruang Kelas I mereka. UN jadi cambuk. Kejanggalan kecurangan seharusnya ditindak tegas demi kemajuan siswa daerah. Zul --- On Fri, 12/11/09, PH <patrick_huta...@yahoo.com> wrote: From: PH <patrick_huta...@yahoo.com> Subject: [Forum-Pembaca-KOMPAS] Re: UN seperti IELTS/TOEFL To: Forum-Pembaca-Kompas@yahoogroups.com Date: Friday, December 11, 2009, 6:31 AM Pak Manneke & rekan-rekan, Rasanya lelah jg karena UN berulang kali menimbulkan perdebatan. Sy sudah 2 tahun terlibat sebagai Tim Pemantau Independen UN di Kota Bandung. Banyak sekali pengalaman yg justru membuat saya meragukan pelaksanaan UN. Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), lembaga independen yg dibentuk berdasarkan PP No. 19/2005, seharusnya bersikap lebih kritis terhadap pelaksanan UN sebab BSNP ialah pihak penyelenggara UN. Meskipun dlm struktur BSNP terdapat pejabat Depdiknas yg menjabat secara 'ex officio', harusnya BSNP bisa mengungkapkan evaluasi yg mencerahkan kita semua terkait UN. Salam, Patrick Hutapea