Hehehe, salah kaprah teruuuuuuuus.
 
Pertanyaan saya, kenapa tidak Anda coba rekrut saja lulusan STM dari Jawa. Lalu 
bandingkan hasilnya kalo disuruh mengikuti ujian masuk perusahaan "bertaraf SD" 
itu: sama jebloknya nggak? Sebab akan bisa terlihat, mutu sekolah di daerah 
yang Anda kunjungi itu dengan mutu sekolah di Jawa sudah setara atau belum.
 
Di dalam melihat apakah mutu sudah setara atau belum inilah UN bisa berguna. 
Output dari UN itu lalu dipakai Diknas untuk membantu sekolah-sekolah 
tertinggal agar bisa mengejar peningkatan mutunya. Caranya macam-macam: gurunya 
dilatih lagi, fasilitas belajar-mengajarnya dilengkapi, lingkungan sosial 
tempat para siswa hidup dijadikan faktor pertimbangan, dll.
 
Tapi kenyataannya bukan ini toh yang terjadi? Kenyataannya, UN dipakai untuk 
menentukan siswa lulus SMA atau tidak, dan siswa bisa masuk perguruan tinggi 
negeri atau tidak. Mash belum jelas jugakah persoalannya? Ini juga kan salah 
satu alasan kenapa MA membuat keputusan agar UN dihentikan dulu sampai 
tujuannya bisa diluruskan kembali?
 
Anda malah nambahin "peran" yang makin kacau buat UN. Lha UN kok gunanya 
dipakai buat nakut-nakutin supaya siswa belajar serius? Ndak usah pakai UN, 
pakai EBTANAS biasa pun, kalo gak belajar serius juga tak akan lulus kok. Gak 
usah pakai UN, kalo tak belajar serius juga tak bisa lulus saringan masuk 
perguruan tinggi negeri kok. Kalo bicara soal kecurangan, mau UN kek, mau 
EBTANAS kek, mau ujian masuk perguruan tinggi kek, selalu ada kecurangan. Malah 
kecurangan di UN itu yang paling seru ceritanya! Caranya ya kecurangannya yang 
diberantas, bukan ujiannya yang ditambah.
 
Anda tidak bisa mendidik anak-anak muda yang sedang berada dalam transisi dari 
remaja menuju ke dewasa dengan cara menakut-nakuti mereka, Bung. Ini cara kuno, 
dan juga bagian dari taktik kolonial. Bukan begini cara memberi motivasi. 
Buktinya, dengan adanya UN, motivasi siswa malah makin ancur kok.
 
Lagian, siapa bilang bahwa para siswa SMA itu "menganggap UN remeh"? Enggak, 
Bung, Jangan keburu berasumsi. Mereka bukan menganggap UN remeh, mereka MENOLAK 
UN!
 
manneke
 

 Mon, 12/14/09, Zulkifli Harahap <zulk_...@yahoo.com> wrote:


From: Zulkifli Harahap <zulk_...@yahoo.com>
Subject: Re: [Forum-Pembaca-KOMPAS] Re: UN seperti IELTS/TOEFL, Lagi
To: Forum-Pembaca-Kompas@yahoogroups.com
Received: Monday, December 14, 2009, 5:20 AM


 



Saya dan kawan-kawan lokal (5 orang di antara 15 orang) merupakan tim untuk 
penerimaan lulusan STM karyawan di daerah. Kami membuat materi ujian saringan 
yang "mutu"nya sedikit dengan materi ujian sekolah dasar. Dari 700 orang kami 
hanya berhasil menjaring 30 orang (dari 45 orang) dengan nilai antara 25 - 35. 
Melihat kenyataan ini ada niat perusahaan untuk merekrutnya dari P. Jawa. 
Untung usulan kami masih di dengan perusahaan. Dengan bersusah payah selama 3 
bulan, mereka ini bisa "lulus" dengan nilai 65 -85 (yang 85 cuma seorang yang 
kemudian kami usulkan dia berhenti dan mengikuti UMPTN dan lulus). Kami tidak 
punya pengalaman mengajar tetapi dengan tekad kuat kami berhasil memoles mereka 
sehingga tidak memperlakukan orang lokal. Pertanyaannya: Ini kejanggalan di 
guru STM-nya atau siswanya? Apakah karena di perusahaan kami tersedia 
laboratorium/ alat peraga yang lengkap? Tidak juga; untuk membuat para peserta 
latih mudah memahami cara kerja gerdang
 mobil
saya cuma menggunakan tiga buah asbak! Dalam 15 menit semua peserta latih dapat 
memperagakan bagaimana fungsi ketiga asbak itu ketika mobil berbelok ke kiri, 
ke kanan, dan berjalan lurus. Kejanggalan kedua: Apakah fungsi para guru STM 
yang berani meluluskan siswa yang tidak bisa menjelaskan cara kerja gerdang 
mobil? Kejanggalan lain: Apa manfaatnya pengalaman mengajar para guru yang 
bertahun-tahun itu bagi warga daerah kami? Kalau kami berhasil memoles mereka 
dalam waktu 3 bulan, seharusnya para guru berpengalan lebih cepat dari kami. 
Kalau kami berhasil karena takut dicemoohperusahaan/ teman-teman luar daerah 
seharusnya para guru harus berhasil dengan "comoohan" UN. Kalau para peserta 
itu termotivasi oleh ancaman tidak lulus alias tidak di-phk, tentunya mereka 
juga akan termotivasi oleh ancaman ketidak-lulusan yang jika tidak tentunya 
mereka memang menganggap remeh UN karena provokasi para guru yang tidak becus 
yang sangat becus menjadikan
ketidak-lulusan ini sebagai akibat UN.

Mungkin kami berhasil karena kamilah yang akan menjadi rekan kerja mereka  
sementara para guru tidak: bisa bekerja bagus atau tidak egp . . . . EGP hanya 
bisa dikikis oleh UN karena UN akan menyumpal ruang Kelas I mereka. UN jadi 
cambuk. Kejanggalan kecurangan seharusnya ditindak tegas demi kemajuan siswa 
daerah.

Zul

Kirim email ke