Jadi, sebutan "ketua" itu pengakuan pribadi Moeslim Abdurrahman,dan bukan 
jabatan struktural dalam Muhammadiyah.

Pengakuan atau penghargaan seperti itu ya hal biasa saja sebagaimana 
orang NU menghargai Moeslim Abdurrahman sebagai tokoh 
Muhammadiyah yang dekat dengan NU. Kedekatan ini akan mudah 
dipahami saat Moeslim Abdurrahman (alm) mengungkapkan pemikirannya 
tentang "modernisasi" Islam - yang tentu saja bukan sekedar melahirkan 
islam-modern.
--- nesare1@... wrote:
Mestinya tetua bukan ketua. Sorri salah tulis.

Tetua ini istilah yg dipakai oleh almarhum moeslim Abdurrahman yg saya dengar 
ditahun 1996 di amerika serikat.
Kalau salah mohon dikoreksi.

Nesare
From: ajeg


--- nesare1@... wrote:

Cak nur = nurcholish madjid ini kalau tidak salah pernah saya tinggal selintas 
didiskusi dimilis lain.

Saya tidak kenal pribadi tapi  yg saya dengar banyak orang tidak percaya sama 
dia.
Dia itu ketua muhammadiyah, rector paramadina (dia jalur masuknya anies 
baswedan ke paramadina), duduk di ICMI tapi anehnya tidak pernah duduk 
dipemerintahan. Bukan dia tidak mau tetapi ada rasa kurang percaya sama dia 
baik dari kalangan islam sendiri maupun dari kalangan non islam. Ini yg saya 
dengar.

Walaupun demikian dia jauh lebih waras krn masih bisa menerima kemajemukan di 
Indonesia dibandingkan dengan kelompok FPI misalnya. Mottonya: islam iya dan 
partai islam tidak itu cukup mengena sekurang2nya bagi saya. Begitu juga saya 
percaya kalau ada radikalisme baik agama, ras dll sebaiknya jangan bikin 
partai2 berbau sectarian. Sudah tidak jalannya lagi. Sekarang orang sudah 
blend/mix. Mikirnya sudah harus dalam konteks “semuanya”. Boleh representasi 
golongan dalam wadah yg plural bukan representasi golongan dalam golongan itu 
sendiri.
Nesare


Kirim email ke