Tulisan dibawah dari WA, tanpa nama penulis yang jelas. Sekadar untuk
bahan pertimbangan saja:
*Tionghoa dlm perang 10 November 1945*
*PERISTIWA SURABAYA*
Pertempuran Surabaya merupakan peristiwa sejarah perang antara pihak
tentara Indonesia dan pasukan Belanda. Peristiwa besar ini terjadi pada
tanggal 10 November 1945 di Kota Surabaya, Jawa Timur. Pertempuran ini
adalah perang pertama pasukan Indonesia dengan pasukan asing setelah
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan satu pertempuran terbesar dan
terberat dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia yang menjadi simbol
nasional atas perlawanan Indonesia terhadap kolonialisme.
Keterangan dari Henry Boen, keponakan Tony Wen dan lihat (Siauw Giok
Tjhan , 1981) , (Leo Suryadinata ,1981) , etc Apakah Almarhum Tony Wen
menjadi salah satu pemrakarsa merobek bagian biru dari bendera Holland,
dan mengibarkannya kembali sebagai Merah Putih tidak ditulis dalam buku
ini. Tentunya akan baik sekali kalau kita dapat mendengar/membaca
keseluruhan peristiwa ini. Sebenarnya peristiwa perobekan bendera di
Hotel Yamato (Oranye) itu terjadi tanggal 19 September 1945.
Ternyata memang banyak sekali keturunan Tionghoa yang punya kontribusi
dalam sejarah termasuk perkembangan budaya dan ekonomi di Indonesia.
Saya katakan ternyata karena lewat buku ini saya membaca (data +
tulisan) banyak nama keturunan Tionghoa yang tidak familiar banyak jasa,
paling tidak berjuang ber-sama2 bangsa Indonesia di Indonesia.
Sebagai tambahan: Bung Tomo yang disebut sebagai pahlawan karena
peristiwa di Surabaya ini adalah Pemimpin Besar BPRI (Barisan
Pemberontak Rakjat Indonesia) yang melalui radio melakukan pidato yang
ber-kobar untuk membakar semangat para pemuda di Surabaya dan
sekitarnya. Namun sayangnya pidato2 Bung Tomo tersebut tidak bebas dari
sikap rasialisnya yg anti-Tionghoa. Tema2 anti Tionghoa dlm pidatonya
sudah tentu menumbuhkan sentimen anti Tionghoa di kalangan masyarakat
Jawa Timur.
Untuk menanggulanginya, Go Gien Tjwan sebagai jurubicara Angkatan Muda
Tionghoa (AMT) mengucapkan pidato yang menekankan bahwa musuh rakyat
Indonesia bukan etnis Tionghoa melainkan Belanda. Ia juga menyatakan
bahwa etnis Tionghoa juga menjadi korban penjajahan Belanda dan tidak
menginginkan kembalinya penjajahan Belanda.
Siaw Giok Tjhan bersama kawan2nya pergi menemui Bung Tomo agar mengubah
sikapnya terhadap etnis Tionghoa, namun Bung Tomo tidak bisa diyakinkan
dan tetap berpendapat bahwa sebagian besar entis Tionghoa pro-Belanda.
Pada akhir Oktober 1945, Siauw Giok Tjhan memimpin delegasi pemuda
Tionghoa untuk bertemu dengan Bung Tomo dan sejumlah tokoh Pemuda
Sosialis Indonesia (Pesindo) Soemarsono dan Soedisman di Nangkajajar,
sebuah kota kecil yang terletak antara Surabaya dan Malang. Di dalam
pertemuan tersebut berhasil disepakati bahwa para pemuda Tionghoa akan
bergabung dengan BPRI dan Pesindo.
Dalam pertempuran itu, warga Tionghoa menyebut diri sebagai TKR
Chungking dan membawa bendera Kuo Min Tang sebagai identitasnya.
Perlengkapan temput yang digunakan juga sedikit berbeda dengan pejuang
lainnya, mereka menggunakan Fritz Helmet yang digunakan pasukan
Wehrmacht (Jerman), lengkap dengan senapan Karaben (Kar) 98-K yang
didapatkan dari Nazi Jerman pada 1930-an.
Tak hanya ikut dalam pertempuran, warga Tionghoa juga terlibat dalam
pengobatan terhadap pejuang yang terluka. Korps medis ini diberi nama
Barisan Palang Merah Tionghoa. Satuan ini diberangkatkan dari RS Militer
di Malang dan mendapat tugas untuk memasok ransum bagi para pejuang yang
berasa di garis depan,
Ikut merawat korban pertempuran 10 November 1945 yang dibawa ke Malang,
Letnan Kolonel (Purn) Ong Tjong Bing alias Daya Sabdo Kasworo (90). Pria
asal Desa Kerebet itu mengikuti pendidikan tekniker gigi dan dokter gigi
lalu bergabung dengan militer pada 1953 sebagai pegawai sipil. Dia mulai
menyandang pangkat militer sebagai kapten pada 1955 di bawah Resimen
Infanteri RI-18 Jawa Timur.
Para pemuda Tionghoa dari Malang juga bergabung dengan Barisan
Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI) yang dipimpin langsung oleh Bung
Tomo. Mereka adalah Giam Hian Tjong dan Auwyang Tjoe Tek, Auwyang
berperan sebagai ahli amunisi dan peledak yang didapat dari pertempuran
antara China dengan Jepang.
Selama berlangsungnya pertempuran mempertahankan Surabaya dari serangan
pasukan sekutu, warga Tionghoa telah mendirikan 10 pos dengan 10 dokter
ditambah tenaga medis lainnya. Seluruh biaya ditanggung sepenuhnya oleh
organisasi Chung Hua Chung Hui. Tak hanya sebagai tenaga medis, beberapa
di antaranya ikut terlibat dalam serbuan 'berani mati' saat penyerbuan
ke sarang serdadu sekutu dan Gurkha.
Guna memperoleh kemenangan besar, pasukan sekutu banyak menjatuhkan bom
dan menembaki beberapa lokasi yang diduga menjadi tempat persembunyian
para pejuang. Tindakan itu membuat banyak korban berjatuhan, termasuk
warga sipil yang tak ikut mengangkat senjata.
Serangan demi serangan yang sebagian besar diarahkan ke warga membuat
rakyat Indonesia marah, tak terkecuali warga Tionghoa, mengingat
sebagian besar korban merupakan orang Tionghoa. Apalagi, pos kesehatan
yang didirikan juga ikut diserang sekutu.
Dari pertempuran ini, diperkirakan 1.000 penduduk Tionghoa tewas dan
melukai 5.000 orang lainnya. Secara keseluruhan, jumlah korban tewas
mencapai 20.000 orang Indonesia sementara sekutu hanya 1.500 orang.
Soal perang di Surabaya ini, bahkan ada kumpulan fotokopi potongan
berita koran United Press terbitan Inggris. Dalam surat kabar bertanggal
22 November 1945 tertulis bahwa penyerangan sekutu di Kota Surabaya
diduga telah menyebabkan 60.000 warga Kota Surabaya tewas, termasuk
sekitar 5.000 warga etnis Tionghoa yang bermukim di Surabaya.
Kalau dalam peperangan 10 November para pejuang Indonesia kalah, mengapa
tanggal itu justru diperingati sebagai Hari Pahlawan?
Menurut Eddy Emanuel Samson, yang juga ketua de Indo Club Surabaya,
peperangan tersebut tak bisa dilihat sebagai persoalan kalah atau menang
dalam jangka pendek.
Eddy –yang lahir di Tambaksari dan berusia 12 tahun saat terjadi perang
10 November—menjelaskan, awalnya pasukan Sekutu mengira bahwa dengan
persenjataan modern dalam jumlah besar, mereka akan bisa tundukkan
Surabaya dalam 3 hari.
Nyatanya, perang tersebut berlangsung hampir 100 hari hingga melewati
Desember 1945. Ini karena tak hanya pasukan resmi Republik Indonesia
(yakni Tentara Keamanan Rakyat) yang terlibat perang. Milisi-milisi
rakyat yang dibentuk oleh organisasi-organisasi keagamaan sepertu NU
juga ikut mendukung setelah munculnya resolusi jihad yang dicetuskan
para ulama Jatim, di antaranya KH Hasyim Asy`ari (pendiri NU), KH. Wahab
Hasbullah serta para kyai pesantren lainnya.
Meskipun kalah, kegigihan dan militansi para pejuang arek-arek Suroboyo
dalam menghadapi pasukan penjajah telah mengilhami rakyat di
daerah-daerah lain di Indonesia untuk berani melawan penjajah baru. Di
antaranya di Jakarta pada tanggal 18 November, di Semarang pada 18
November, di Riau 18 November, di Ambarawa tanggal 21 November, di
Bandung 6 Desember dan di Medan pada 6 Desember.
”Perjuangan arek-arek Suroboyo telah menggugah rasa kebersamaan
patriotik dalam perjuangan,” kata Eddy. Itu pula tampaknya alasan yang
mendasari Pemerintah di zaman Soekarno menetapkan 10 November sebagai
Hari Pahlawan.
Sebagian kisah ini ditulis dalam buku Tionghoa Dalam Sejarah
Kemiliteran: Sejak Nusantara Sampai Indonesia yang ditulis Iwan Sentosa
dan diterbitkan Yayasan Nabil dan Kompas Gramedia terbitan 2014.
Keterlibatan warga Tionghoa ini juga direkam oleh Harian Merdeka edisi
17 Februari 1946. Lewat laporan khususnya, harian memuji peran mereka
dalam pertempuran besar yang diberi judul Pendoedoek Tionghoa Membantoe
Kita.
"SELAMAT HARI PAHLAWAN"
Sumber :
http://m.merdeka.com/peristiwa/para-pejuang-tionghoa-dalam-pertempuran-10-november-1945.html
http://m.forum.detik.com/pejuang-pahlawan-kemerdekaan-indonesia-etnis-tionghoa-yang-terlupakan-t766373.html
http://suwandi-sosialbudaya.blogspot.co.id/2010/11/mengenang-heroisme-pertempuran-10.html?m=1
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Peristiwa_10_November
---
此電子郵件已由 AVG 檢查病毒。
http://www.avg.com