Idealnya, untuk setiap satu barrel minyak atau satu juta kaki kubik gas yang
kita produksikan, ada cadangan baru sejumlah itu yang kita temukan dan kelak
dapat diproduksikan. Jadi, bila di dalam satu tahun kita memproduksikan
sebanyak 384 juta barrel minyak dan 2,9 trilyun kaki kubik gas – sebagaimana
dirata-ratakan dari produksi enam tahun terakhir (2003-2008), maka sejumlah
itulah minimal kita temukan cadangan baru minyak dan gas setahunnya yang kelak
dapat driproduksikan. Mengapa begitu ? Untuk menjaga kelestarian Indonesia
sebagai negara produsen minyak dan gas.
Bagaimana kenyataannya ? Menyedihkan. Cadangan baru yang kita temukan rata-rata
dalam setahunnya hanya 148 juta barrel minyak dan 0,99 trilyun kaki kubik gas
(dirata-ratakan dari data 2003-2008). Itu adalah angka maksimal (hitungan
eksplorasi) sebab akan terpotong lagi secara signifikan saat akan diajukan
dalam POD (plan of development). Maka, penggantian produksi Indonesia oleh
temuan cadangan baru selama enam tahun terakhir ini setahunnya maksimal hanya
39 % untuk minyak dan 33 % untuk gas. Artinya, bila jumlah konsumsi migas
Indonesia semakin bertambah pada masa-masa mendatang, maka Indonesia akan lebih
banyak lagi mengimpor migas dari luar sebab penemuan-penemuan migas Indonesia
tak mampu menggantikan volume yang diproduksikan. Ini belum membicarakan
tingkat produksi Indonesia yang juga bermasalah.. Tahun 2008, kuota produksi
minyak dan gas yang ditetapkan Pemerintah tak mampu kita capai, hanya
mendekatinya, selisih 0.1-4 % dari target, sehingga
produksi minyak Indonesia tahun lalu 357 juta barrel (dari rata-rata 384 juta
barrel dalam enam tahun terakhir)
Keterangan di atas menyimpulkan bahwa eksplorasi kita saat ini terganggu. Itu
harus diakui, sebagai cermin untuk kita berbenah, bukan menjadi terpuruk. Apa
penyebab eksplorasi kita gagal menemukan cadangan-cadangan migas signifikan
yang dapat menggantikan produksi migas ? Saya melihat dua hal utama : (1)
rendahnya realisasi sumur eksplorasi, (2) rendahnya keberanian eksplorasi di
luar lahan klasik.
Data lima tahun terakhir (2004-2008) menunjukkan bahwa tingkat realisasi
sumur-sumur eksplorasi menurun terus dari 73 % sampai 46 %. Harus diingat bahwa
hanya sumur yang nmembuktikan keberadaan cadangan migas, bukan data seismik,
apalagi studi. Maka : “no well no discovery” haruslah dipegang teguh. Tingkat
penemuan sumur-sumur eksplorasi di Indonesia sebenarnya lebih tinggi dari
rata-rata dunia, yaitu di Indonesia rata-rata 46 % (data 2003-2008). Tetapi
jangan terlena dengan hal itu sebab angka ini hanyalah keberhasilan secara
teknis, dan belum tentu paralel dengan penemuan yang ekonomis. Kemudian, yang
harus menjadi perhatian adalah bahwa cadangan-cadangan baru yang ditemukan
kecil. Wajar saja sebab kebanyakan sumur hanya dibor di wilayah-wilayah klasik
yang telah memproduksikan minyak lebih dari 100 tahun.
Kondisi ini kontras sekali dengan “kekayaan” (saya beri tanda petik sebab yang
kekayaan ini harus diselidiki dengan detail) potensi migas Indonesia. Kondisi
geologi Indonesia yang rumit telah membuat negeri ini mempunyai banyak cekungan
besar maupun kecil yang tersebar di seluruh wilayahnya dari pegunungan,
dataran, laut dangkal, sampai laut dalam. Para ahli geologi Indonesia baru-baru
ini telah mengeluarkan peta cekungan sedimen baru yang menyatakan bahwa
Indonesia memiliki 86 cekungan sedimen. Peta ini merupakan peta revisi cekungan
terdahulu (IAGI, 1985) yang menerbitkan 60 cekungan sedimen. Cekungan tentu tak
pernah beranak, menjadi banyak karena dilihat kembali secara lebih detail, atau
yang dulu tak pernah berstatus cekungan, sekarang cukup memenuhi syarat dinamai
cekungan.
Dalam sejarah perminyakan Indonesia, di negeri in pernah diidentifikasi 28
cekungan sedimen (Fletcher dan Soeparjadi, 1976), 40 cekungan (IAGI, 1980), 60
cekungan (IAGI, 1985), 66 cekungan (Pertamina dan Beicip, 1985). Status 60
cekungan ini bertahan cukup lama, 22 tahun. Pada tahun 2007, dimulailah
pekerjaan untuk merevisinya sesuai dengan kemajuan ilmu geologi migas dan
pertambahan data. BPMIGAS-ITB dan konsorsium perguruan tinggi bekerja selama
setahun dan akhirnya mengeluarkan peta yang memuat 86 cekungan (BPMIGAS-ITB,
2008).
Lemigas, ternyata melakukan hal yang sama pula, tetapi menghasilkan produk yang
lain : peta cekungan sedimen Tersier Indonesia dengan jumlah cekungan : 63
(Lemigas, 2008).
Baik Lemigas maupun BPMIGAS-ITB sebenarnya memetakan barang yang sama.
Perbedaan terjadi karena Lemigas berpatokan secara ketat kepada klasifikasi
IAGI (1985) – 60 cekungandan Pertamina-Beicip (1985) -66 cekungan; sementara
BPMIGAS-ITB dan konsorsium perguruan tinggi membuka peluang-peluang baru
cekungan-cekungan sedimen dangkal dan dalam yang sebelumnya belum pernah
dimasukkan ke dalam klasifikasi mana pun. BPMIGAS-ITB pun dalam petanya
mencantumkan cekungan2 Pra-Tersier yang tersebar di Indonesia Timur.
Bulan lalu datang surat ke meja saya, bahwa Badan Geologi berminat memetakan
cekungan-cekungan sedimen di Indonesia. Nah, masalah koordinasi kembali
mencuat. Siapa yang berhak mengeluarkan peta cekungan sedimen dan produk mana
yang nantinya akan dipakai mungkin harus didiskusikan. Klasifikasi 63 cekungan
Lemigas telah diumumkan di Pertemuan IPA 2008 melalui poster (Soenarjanto dkk.,
2008), klasifikasi 86 cekungan BPMIGAS-ITB telah diumumkan di Pertemuan IAGI
2008. Peta cekungan susunan BPMIGAS-ITB ini pun melibatkan kelompok2 keahlian
di IAGI.
Mana saja klasifikasi cekungan yang akan dipakai (jumlah 60, 63, 66, 86 ?)
tetap saja persoalan eksplorasi masa kini untuk mengganti produksi tidak
mendapatkan perhatian dari para operator migas di Indonesia. Sebagian besar
operator migas lama maupun baru tetap mengkonsentrasikan diri di 16 (atau 17
menurut klasifikasi cekungan baru BPMIGAS-ITB) cekungan produktif. Sedikit
sekali para operator yang bekerja di cekungan-cekungan non-produktif (meskipun
sebagian cekungan itu sudah ada penemuan migas, hanya belum ditindaklanjuti
lagi). Padahal, dalam tiga tahun terakhir ini Pemerintah bersama beberapa
perusahaan jasa seismik gencar mengumpulkan data seismik baru dan data geologi
di wilayah-wilayah frontier yang akan berguna untuk evaluasi prospektivitas
cekungan-cekungan tersebut. Bisa dilihat, bahwa pada umumnya area-area frontier
ini masih sedikit diminati, seperti ditunjukkan oleh penambahan 29 area
perminyakan baru pada tahun 2008. Saat harga minyak di
atas 125 USD per barrel, banyak pemain migas bersemangat mulai keluar dari
wilayah klasik, tetapi ketika harga minyak terjun ke sekitar 40 USD, mereka
mengurungkan niatnya semula.
Kapankah eksplorasi akan berjaya kembali mengganti produksi migas Indonesia
melalui penemuan-penemuan migas besar ? Statistik 40 tahun sejak sistem PSC
dibuka di Indonesia menunjukkan bahwa penemuan-penemuan besar diperoleh ketika
hampir 150 sumur-sumur eksplorasi dibor setiap tahunnya pada awal 1970-an dan
pertengahan 1980-an. Gencarnya eksplorasi saat itu telah menyumbang produksi
minyak Indonesia mencapai puncaknya sekitar 1,5 juta sampai melebih 1.6 juta
barrel minyak per hari pada tahun 1976-1981 dan padal 1990-1997. Posisi lima
tahun terakhir ini, jumlah sumur eksplorasi kita paling banyak hanya mencapai
82 sumur (2006) dan produksi minyak hanya di sekitar 1 juta barrel per hari.
Sungguh, kelangsungan Indonesia sebagai produsen minyak lebih dari 10 tahun ke
depan akan sangat terganggu dengan rendahnya eksplorasi pada masa kini. Sudah
saatnya kita harus mengulangi kejayaan eksplorasi pada awal tahun 1970-an dan
pertengahan 1980-an, agar produktivitas Indonesia tetap terpelihara. Dan,
beranilah keluar dari wilayah klasik bila kita ingin menemukan cadangan yang
signifikan. High risk memang, tetapi high reward. Masih ada 69 cekungan yang
bisa berpotensi mengandung migas dan menjadi produktif. Produksi minyak di
Indonesia tidak akan berakhir, tetapi ada tiga hal yang harus kita kerjakan :
eksplorasi, eksplorasi, dan eksplorasi.
Eksplorasi harus ditingkatkan, sumur-sumur eksplorasi harus lebih banyak dibor,
tetapi tetap dengan mengutamakan kaidah keteknikan eksplorasi yang baik.
Meskipun kita memerlukan lebih banyak sumur eksplorasi, tidak berarti bahwa
kaidah teknis bisa diabaikan. Kita mencari minyak, bukan "memberi makan
rig-rig" pemboran atau mengebor dengan alasan2 lain yang non-eksplorasi.
(kalimat terakhir perlu saya tulis sebab terjadi indikasi dari beberapa
operator mengebor dg alasan mencari minyak ditaruh di nomor ke sekian setelah
alasan2 lain yang non-eksplorasi - jangan berharap usulan2 sumur seperti ini
akan disetujui).
salam,
awang