Memberdayakan Migas by : Aris Setyawan
Indonesia dulu dikenal sebagai jawara di bidang sumberdaya minyak dan gas bumi. Bahkan ketika di akhir abad ke19 sudah dilakukan eksplorasi migas yang menemukan lapangan Telaga Said. Begitu pula dengan temuan-temuan lapangan migas di Kalimantan Timur. Memang yang menemukan dan memproduksi lapangan-lapangan tersebut adalah institusi swasta dari Belanda. Migas memang dianggap sebagai aset strategis. Maka begitulah ketika Jepang menyerbu Indonesia di tahun 1942, yamg pertama dikuasai adalah aset-aset lapangan minyak seperti di daerah Tarakan yang merupakan entry point pasukan Jepang. Dengan kekayaan migas di bawah permukaan, Indonesia juga berhasil mendatangkan investasi perusahaan-perusahaan multinasional utamanya di tahun 1970an sehingga menggairahkan dunia eksplorasi dan produksi migas. Indonesia mengalami kejayaan karena melimpahnya asupan petrodolar, dan bisa bergaya memberikan subsidi BBM untuk rakyatnya. *** Namun belakangan ini, industri migas kelihatannya tidak lagi dianggap sebagai industri strategis. Bahkan cenderung diperlakukan seperti sapi perah yang tidak pernah diurus tetapi harus mengeluarkan susu (penghasilan) ke pemerintah pusat mau pun daerah dan pelbagai komponen masyarakat lainnya. Hal ini tercermin dengan target lifting minyak sebagai penerimaan negara yang sekarang selalu dipatok pemerintah dan menjadi target yang harus dipenuhi oleh industri migas. Meski pun target lifting minyak dipatok tinggi, namun justru biayanya dibatasi dengan pembatasan cost recovery. Sebagai perumpamaan mungkin seperti bis antar kota Jakarta ke Surabaya namun cuma diberi jatah bensin lima puluh liter. Jika bensinnya kurang, bis rusak, mogok atau ada pungutan di jalan, maka semua itu ditanggung sopir. Belum lagi kebijakan perpajakan yang mengenakan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) pada setiap jengkal blok eksplorasi. Bahkan ketika upaya eksplorasi belum dilakukan, apalagi terdapat ketidakpastian yang tinggi terhadap keberadaan cadangan migas itu sendiri. Dan juga lahan yang sebenarnya akan dipakai hanya beberapa hektar untuk lokasi tapak sumur dan pembangunan fasilitasnya. Industri migas juga sekarang ini dianggap sama saja dengan industri lainnya, seperti tambang batubara atau pun industri perkebunan. Hal ini menimbulkan permasalahan tumpang tindih lahan antara ketiga industri tersebut. Dan biasanya karena industri migas relatif "manja", mereka selalu kalah bersaing dalam kerasnya permasalahan tumpang tindih lahan. *** Padahal sejatinya industri migas tidak hanya sekadar penghasil lifting minyak untuk penerimaan negara saja. Yang kita en toch tidak tahu kemana saja uang itu mengalir. Namun ketersediaan migas harus disikapi secara strategis. Mengacu kepada Pasal 33 UUD 1945 adalah dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Jadi gas bumi sedapat mungkin dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan energi listrik bagi masyarakat sekitar dan juga dapat sebagai bahan baku industri petrokimia. Sudah cukuplah Indonesia mengasup gas bumi ke Jepang dan Korea sejak tahun 1970an sehingga mereka bisa berkembang menjadi macan asia. Begitu juga minyak bumi sebisa mungkin diolah sendiri dan ditumbuhkembangkan industri pengolahan minyak sehingga tidak hanya bergantung pada pabrik pengolahan yang sudah tua dan tidak efisien lagi. Tidak. Saya tidak mengacu kepada lapangan-lapangan kecil dan tidak ekonomis saja yang digunakan untuk keperluan domestik. Tetapi justru lapangan-lapangan migas besar harus memberikan kontribusi dan komitmennya untuk dipergunakan bagi kesejahteraan rakyat banyak. Dengan demikian industri migas bisa benar-benar menjadi industri strategis yang dibutuhkan dan dicintai rakyat banyak. (dikutip dari status FB Pak Aris) -- "Kebanggaan sejati muncul dari kontribusi anda yang positip". ---------------------------------------------------- Siapkan waktu PIT IAGI ke-43 Mark your date 43rd IAGI Annual Convention & Exhibition JAKARTA,15-18 September 2014 ---------------------------------------------------- Visit IAGI Website: http://iagi.or.id Hubungi Kami: http://www.iagi.or.id/contact ---------------------------------------------------- Iuran tahunan Rp.250.000,- (profesional) dan Rp.100.000,- (mahasiswa) Pembayaran iuran anggota ditujukan ke: Bank Mandiri Cab. Wisma Alia Jakarta No. Rek: 123 0085005314 Atas nama: Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Bank BCA KCP. Manara Mulia No. Rekening: 255-1088580 A/n: Shinta Damayanti ---------------------------------------------------- Subscribe: iagi-net-subscr...@iagi.or.id Unsubscribe: iagi-net-unsubscr...@iagi.or.id ---------------------------------------------------- DISCLAIMER: IAGI disclaims all warranties with regard to information posted on its mailing lists, whether posted by IAGI or others. In no event shall IAGI or its members be liable for any, including but not limited to direct or indirect damages, or damages of any kind whatsoever, resulting from loss of use, data or profits, arising out of or in connection with the use of any information posted on IAGI mailing list. ----------------------------------------------------