Mbah dan rekan2 semua,
dr baca2 beberapa artikel sih, ada bbrp kesimpulan: 
  

-         700B yg mau di-bail out itu toxic asset yg merupakan derivative 
contracts. Rata2 skr derivative contracts itu bisa worthless 5% dr face value, 
dan bisa jg hangus. Mgkn lain dg kasus Indonesia yg mgkn merupakan hard asset 
(yg nilainya selalu bisa kembali). 

 

-         Scenario bail-out msh blm jelas, apakah: 

a)      toxic asset tsb dibeli dr harga sbnrnya (mark-to-market), 

b)      dibeli dg harga yg unrealistic tingginya. 

  

-         di scenario a), tentunya si holdernya (financial institution) bisa 
menghadapi kebangkrutan, kl asset writedown tll besar. (tetapi kl mau ky gini 
buat apa bail out2 an) 

  

-         Di scenario b), ini moral hazard. Efeknya mgkn tdk terasa langsung, 
tp scr long-term point of view, ini adalah alokasi asset bagus utk asset jelek 
(value destruction). Financial institution bisa survive, tp implikasi ekonomis 
akan lbh serius. 

  

-         Pendanaan dr mana, bisa dari: 

a) taxpayer money 

b) printing money, 

c) kombinasi 2 di atas. 

  

-         implikasi dr 3 pilihan ini ya semuanya buruk. Kl dr taxpayer money, 
taxpayer money itu ?kan utk program govt, subsidi sector ini, kembangkan sector 
lain yg prospek growth bagus. Kl dipake utk ky ginian, resource yg ada akan 
habis. Uang yg mestinya bisa utk value creation (penciptaaan lapangan kerja & 
penyerapannya, produk2 bagus & kreatif yg menarik bagi pasar). 

  

-         printing money, scr otomatis akan mengharuskan US treasury terbitkan 
surat utang/obligasi baru dlm jumlah massal. Penerbitan obligasi baru tentunya 
akan membuat harga obligasi US tertekan & bunga obligasi makin menyeret hutang 
US ke dunia/domestic makin tinggi. Harga obligasi turun -> tingkat bunganya 
makin tinggi (jika makin susah utk cari hutang baru, tentunya mesti dirangsang 
dg bunga lbh tinggi). Sbg contoh, keadaan Indonesia skr (bbrp bln terakhir), 
credit mulai tight, bunga deposito pun naik (krn utk memberi kredit, bank mesti 
memiliki tingkat deposit yg cukup - LDR - loan to deposit ratio) 

  

-         Akibatnya USD menurun. Tingkat bunga tinggi -> credit market yg 
tight. Tight credit tentunya akan menghambat pertumbuhan ekonomi, pengangguran 
meningkat, dll. Ini jd negative feedback. 

  

-         Indikasi credit market tight ini sudah kelihatan skr2 ini. Bisa lebih 
serius dg program bail out ky gini. Ini masih belum melihat efek luar biasanya 
kl sampe ada downgrade rating obligasi US treasury.  

 

Jd view bahwa dg bail out spt ini akan recovery, itu adalah falsehood. Utk 
kesalahan sebesar ini, pasti harus dilalui dg resesi. Resesi2 dahulu jg 
"membersihkan" & membetulkan pandangan & premis2 yg salah (contoh: Nasdaq 
bubble, anggapan bahwa "harga rumah tdk akan turun, akan selalu naik"). Sdgkan 
kesalahan yg skr makin dibuat serius, ditambah lg dg moral hazard. Resesi 
ditunda, mungkin bisa... tp terelakkan, tdk mungkin. 

 

Resesi pd hakikatnya, itu membersihkan sistem ekonomi dr alokasi investasi yg 
salah (mal-investment). Kl bail-out, skr good money dibuat beli bad money -> 
value destruction. Jelas mal-investment menjadi lebih parah & konsekuensinya 
akan lebih serius. 

 

Kalau mengenai stock market-nya, itu tergantung persepsi pasar pd saat ini. Ya 
kl memang persepsi positif, stock market bisa naik (uptrend on false premise). 
Jd kl mau masuk pun tdk apa2, istilahnya "being wrong at the right time". Tapi 
hati2, sambil ingat uptrend yg terjadi adalah on false premise. Ketika false 
premise ini ter-expose, efeknya akan catastrophic. Jd siap2 keluar sblm 
premise-nya ter-expose (selalu alert) 





Tapi melihat pengalaman Indonesia dengan BPPN-nya, ternyata hasilnya cukup 
sukses, terbukti ekonomi Indonesia terus membaik dari tahun ke tahun.

Apakah Amerika bisa mengikuti kesuksesan Indonesia?



 

 


Kirim email ke