Assalamualaikum.Wr.Wb. Netter yang berbahagia.
Sengaja saya copykan beberapa perbincangan mahasiswa S2-S3 di kairo beserta mahasiswa lainnya di Eropah,seputar masalah " Tragedi Mina ",yang baru-baru ini terjadi. Sehingga timbul suatu permasalahan yang di ucapkan oleh salah seorang tammatan Timteng juga,tapi orang ini semenjak dari dulunya memang selalu berpendapat kontradiksi dengan hukum2 Islam sebenarnya. Dan pada hakikatnya hal semacam ini sangat banyak terjadi dikalangan orang yang berpredikat cukup terpandang ( ngak perlu saya sebutkan siapa saja mereka2 itu ). Mereka-meraka ini hanya mengambil satu ayat,melalaikan ayat yang lainnya,akibat kelemahan pandangan,dan kedangkalan mereka terhadap ajaran islam,yang pada hakikatnya kita punya Al Qur'an Sunnah,Fiqh,Ushul Fiqh,kaedah Bhs Arab,dan sebagainya itu. Betapa banyak diantara mereka yang hanya berpegang pada Al Qur'an saja ( itupun ngak pula sepenuh,dan sedalam yang diinginkan ),melupakan bahwa didalam agama kita ada Al Hadist,ada Fiqh dan kaedah-kaedah dalam penetapan suatu hukum. Salah satu penyebab tragde Mina adalah kurangnya diantara kita mengetahui apa itu Fiqh Awwaliyat ( fiqh prioritas ). Sehingga banyaknya terjadi perasaan ingin mengambil afdhaliyah ( sunnat ),melalaikan yang utama ( wajib ).melempar jumrah,mencium hajarul aswad,adalah suatu hal yang Sunnah,sedangkan menjaga keselamatan jiwa adalah yang terutama.Penjelasan2 seperti ini tidak pernah,bahkan jarang sekali di ungkapkan sebelum jamaah haji berangkat.Seharusnya semua ini jadi catatan penting bagi pihak yang berkompoten dalam masalah pemberangkatan haji ini. Maaf foto copy ini cukup panjang,sebaiknya di print saja baru dibaca.Hal ini cukup penting diketahui oleh kita,terutama yang masih awam,agar jangan gampang terpengaruh dengan pendapat seseorang ,meskipun ia tammatan Timteng,karena di Al Azhar itu sendiri,orang-orang semacam ini sering di hantam baku pemikirannya oleh mahasiswa Al Azhar lainnya. Saya ngak ingin ini jadi polemik,tapi cukup dijadikan pelajaran saja.Saya kaget sekali Masdar ini mengatakan kaji ulang pelaksanaan haji,agar di jalankan kapan saja asalkan di bulan haram ( Syawal,dzulkaedah,dzulhijjah ),dengan mengambil dalil ayat Allah " Al Hajju Ashurummaklumaat = ,haji ini adalah di bulan-bulan yang berbilang ".Jadi wukuf di Arafahnya itu tidak harus pd tgl 9 dzulhijjah,bisa saja kita berbagi di bulan yang lain,demi pengaturan banyaknya jumlah jemaah haji.Bisa dilaksanakan di bulan syawal dan sebagainya itu. Bagi mereka yang awam bisa saja terpengaruh.Padahal,di dalam ayat yang lain ada disebutkan haji itu tepatnya kapan.Begitupun dengan Hadist-hadist Rasulullah SAW,tapi biasanya mereka melalaikan hadist.Tapi sayang,orang semacam ini ( dan cukup banyak di Indonesia ),baru mengetahui sedikit ilmu sudah ngeludak.Begitulah adanya Air beriak tanda tak dalam. Wassalam.Rahima.( 34 ) Assalamualaikum Saya setuju tuh dengan istilah "Mujtahid Picisan". Sebenarnya saya berharap setelah beberapa hari tanggapan saya sampaikan ke Masdar (sabtu) dia akan beri tanggapan balik, tapi kok sepi-sepi aja sampai dia pulang (senin). Yaah, mereka telah kembali dengan meninggalkan "bau" setelah ..........(maaf) 'kentut' di sini. Muchlis "Ahmad Hadi Yasin (AHAY)" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: "H. M. Surya Alinegara" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: >From: "Sofjan Siregar" >Reply-To: [EMAIL PROTECTED] >To: [EMAIL PROTECTED], [EMAIL PROTECTED],[EMAIL PROTECTED], [EMAIL PROTECTED], [EMAIL PROTECTED],[EMAIL PROTECTED], [EMAIL PROTECTED], -------------------------------------------------------------------------------- MSN Search, for accurate results! Click here Subject: Re: [ICMI-Belanda] FW: [icmi-orwileropa] Kabar dari Kairo Tanggapan ICMI Orwil Eropa terhadap Mujtahid wacana dan hypothetisch. Terima kasih atas perhatian ICMI Kairo atas kehati-hatiannya terhadap ijtihad picisan yang dilontarkan oleh Masdar F Masudi. Tahun 1997 saya di undang oleh sdr. Slamet Effendy Yusuf (ketua Golkar)di Jakarta untuk menjadi pembanding dalam diskusi informal tentang bukunya Masdar masudi mengenai peninjauan ulang waktu haji. Masdar sebagai pemrasaran memaparkan ijtihadnya, kemudian oleh moderator Slamet Effendy saya dipersilahkan menanggapinya. Setelah saya tanggapi semua dalil yang dipergunakannya, selain tidak akurat juga menunjukkan dia kurang menguasai masalah dengan methode analogi yang tidak tepat, apa lagi terlalu gegabah mengatakan pelaksanaan haji selama ini melanggar nash Qur'an sejak 14 abad silam, maka tanggapan saya singkat saja sbb: Kalau anda ( Masdar F Masudi) yakin dengan ijtihad ini bahwa selama ini umat Islam melanggar nash qur'an dan menurut anda haji boleh dalam waktu tiga bulan syawal, zulqa'dah dan zul hijjah, tolong buktikan dan lakukan haji pada bulan tahun depan(1998) wukuf pada awal syawal di Arafah atau akhir bulan Zul Hijjah. segala ongkos dan pembiayaan anda selama naik haji dan kain ihram anda akan saya tanggung. Okay? Tapi jawaban mujtahid picisan ini hanya" jangan gitu dong, ini kan baru wacana". Beginilah tipe mujtahid wacana dan hypothetisch yang asbun . Sofjan S Siregar Ketua ICMI Orwil Eropa >From: "Ahmad Hadi Yasin (AHAY)" >Reply-To: [EMAIL PROTECTED] >To: [EMAIL PROTECTED] >Subject: [icmi-orwileropa] Kabar dari Kairo >Date: Sat, 7 Feb 2004 10:49:56 -0800 (PST) > >Assalaamu alaikum > >Rekan-rekan, IKhwan dan Akhwat di Eropa dan di mana saja >Pak Masdar F Masudi kali ini sedang di Kairo, rencananya mo ngadain acara yaaa semacam pendidikan Emansipatoris, tapi ternyata acara tersebut tidak bisa dilaksanakan karena tidak memperoleh izin dari pemerintah Mesir. >Ketiadaan Izin tersebut tentu saja di antaranya karena permintaan Mayoritas Mhs Mesir. > >Tapi silahkan dilihat tanggapan teman kami di sekitar pemikiran Hajinya Pak Masdar. SElamatMembaca: > >PERLUKAH WAKTU PELAKSANAAN HAJI DITINJAU ULANG? > >(Tanggapan atas Masdar F Masudi) > >Oleh: Muchlis M. Hanafi > > > > > >Di tengah hiruk pikuk dan kemelut persoalan haji, mulai di tanah air sampai pada tingkat pelaksanaannya di tanah suci, yang tak kunjung usai, khususnya setelah tragedi Mina terbaru (2004) yang menelan korban 244 orang, berbagai ide dilontarkan. Di antara yang menarik untuk dikaji dan didiskusikan, apa yang disampaikan oleh Masdar F Masudi, Katib Syuriah PBNU dan Anggota Komisi Fatwa MUI, seputar peninjauan ulang kembali waktu-waktu pelaksanaan ibadah haji, dan ‘dipasarkan’ oleh Ulil Absar Abdallah dalam tulisannya di Media Indonesia, Selasa, 3 Februari 2004 (Tulisan dan wawancara Masdar dapat dilihat di www.islamlib.com, Jawa Pos, Minggu, 18 Januari 2004). > >Kesimpulannya, menurut Masdar, selama ini telah terjadi kesalahan dalam pemahaman menyangkut waktu-waktu pelaksanaan ibadah haji. Puncak ibadah haji yang dilakukan tanaggal 8, 9, 10, 11, 12 dan13 Dzulhijjah, menurutnya, bertentangan dengan nash sharih dalam Alquran, “al-hajju asyhurun ma`lűmât” (waktu haji adalah beberapa bulan yang sudah maklum, yaitu Syawwal, Dzulqa`dah dan Dzulhijjah, dengan perbedaan apakah Dzulhijjah seluruhnya atau atau hanya 9 atau 10 hari pertama). Berdasarkan ayat tersebut, ibadah haji dapat dilakukan kapan saja, dalam hari-hari selama tiga bulan tersebut, tanpa terfokus pada hari-hari yang selama ini kita kenal sebagai puncak pelaksanaan ibadah haji. Demikian singkatnya, secara lengkap argumentasinya dapat dibaca di sumber yang kami sebutkan di atas. > >Sebagai wacana, pendapat ini sah-sah saja, apalagi jika MF melontarkannya dengan niat ikhlas ‘berijtihad’ menemukan solusi hukum. Tetapi kesalahan dalam berijtihad, apalagi jika peran akal sangat dominan, bisa terjadi jika tidak didukung dengan argumentasi yang kuat dan perangkat yang memadai. Untuk itu diskusi aktif dan produktif seputar maslah itu perlu dilakukan. > >Sebagai wacana, hemat saya, mendiskusikannya dalam forum terbatas cerdik cendekia jauh lebih baik dari pada mem-floor-kannya ke khalayak awam melalui media umum. Alangkah baiknya jika sebelum disajikan ide tersebut diuji dulu kesahihannya di laboratorium tempat berkumpulnya para ahli. Sebab kita berharap jangan sampai ada yang ‘kepincut’ dengan buah yang belum masak padahal ada yang lebih sehat dan lezat dari itu. Atau, jangan sampai ada orang yang digambarkan oleh Imam Al-Alusi, pengarang tafsir Rűh al-Ma`âni, ketika menggambarkan dirinya yang kepincut pertama kali dengan madzhab Syafi`i tetapi kemudian menemukan ‘jodohnya’ di madzhab Hanafi, dia menggambarkannya seperti berikut: Atânî hawâhâ qabla an a`rifal hawâ – fashâdafa qalban khâliyan fatamakkanâ. > >Di Mesir, wacana seperti itu bukanlah baru. Beberapa tahun lalu, seorang Jenderal (Purn) Mesir bernama Muhammad Syibl pernah mengutarakan ide tersebut dengan argumentasi yang sama. Likulli sâqith lâqith (Setiap yang ‘jatuh’ akan ada yang memungut), demikian kata pepatah Arab. > > > >Sebagai bentuk sumbangsih dalam wacana tersebut, berikut ini saya sampaikan tanggapan saya terhadap ide tersebut. Sebagian, terutama menyangkut penjelasan hadis, saya kutip dari guru hadis saya di Al-Azhar, Prof. Abdul Muhdi, dalam bukunya Al-Radd `alâ Mushthafa Mahmud fi Inkâr al-Syafâ`ah wa Liwâ Muhmmad Syibl fi Inkâr Yawm `Arafah, Dar al-I`tisham, Kairo. Jazâhullâhu `annî khayra al-jazâ. Untuk menjaga obyektifitas dalam pemahaman terhadap argumentasi MF saya kutip tulisannya secara utuh dan saya blok dengan huruf tebal (dapat dicocokkan dengan tulisan aslinya). > > > > > > > >1 > > > >MF melontarkan idenya atas dasar dua asusmsi; pertama, pelaksanaan ibadah haji selama ini, karena terkonsentrasinya masa pada satu titik tempat dan waktu, telah menimbulkan masalah, bahkan penyimpangan yang dapat mengganggu kesempurnaan atau keabsahan ibadah haji itu sendiri. MF memberikan contoh-contoh penyimpangan (dalam hal manasik) dan permasalahan yang terjadi sebagai berikut (saya kutipkan tulisan MF): > >“Penyimpangan yang dimaksud, antara lain sbb: > > >a. Dalam pelaksanaan sai'y (lari kecil) dari bukit Shafa ke bukit Marwa; tidak sedikit di antara jemaah haji bukan saja yang berusia lanjut dan udzur, yang bersa'iy dengan kerata, tapi juga yang masih sehat, ternyata pelaksanaan sa'iy mereka bukan lagi dari bukit Shafa ke bukit Marwa melainkan hanya dari kaki bukitnya belaka; > >b. Pelaksanaan mabit di Muzdalifah; karena antrian kendaraan dalam kemacetan yang luar biasa, tidak sedikit jemaah haji yang seharusnya mabit (singgah di malam hari) di Muzdalifah untuk mengambil kerikil (jamarat), ternyata mereka baru tiba di Muzdalifah sesudah mata hari terbit, bahkan ada yang menjelang tengah hari. > >c. Mabit di lembah Mina; Disebabkan oleh keterbatasan area lembah Mina untuk menapung jemaah haji yang (baru) 2,5 juta orang, hampir 1 juta di antara mereka dalam beberapa tahun belakangan ini terpaksa harus diinapkan (mabit) di luar kawasan Mina; Pelaksanaan lempar batu (ramyul jamarat); Juga disebabkan oleh ketidak mampuan kawasan jamarat maka ratusan ribu bahkan jutaan jemaah terpaksa tidak dapat mengejar waktu afdlaliyat pelemparan, yakni ba'daz zawal.” > >Dalam hal permasalahan dan kesulitan (masyaqqat) yang timbul, MF memberikan contoh dengan mengatakan: > >“a. Dalam pelaksanaan lempar Jamarat, sekali lagi disebabkan oleh penumpukan jemaah yang luar biasa banyak pada satu titik waktu dan tempat yang sama, selalu saja terjadi musibah yang fatal, yakni kematian jemaah karena terinjak atau terjatuh. Segala sesuatu memang terjadi atas takdir Allah, akan tetapi merupakan perintah Allah juga agar kita berikhtiar semaksimal mungkin untuk menghindari petaka. Allah berfirman: "Wala tulqu bi aidiikum ila at-tahlukah/ Jangan jerumuskan dirimu dalam petaka" (Q-Al-Baqarah: 195), "Maa ja'alal laahu 'alaikum fid diini min haraj/ Allah sekali-kali tidak mau merepotkan kalian dalam beragama" (Q-Al-Hajj: 78); > >b. Telah terjadi pemubadziran yang luar biasa atas berbagai fasilitas mabit di Mina (berupa bangunan penginapan dan tenda-tenda permanen dengan alat pendinginnya, berikut sarana jaringan air minum dan telekomunikasi), serta jaringan jalan tol Makkah-Arafah-Mudzdalifah-Mina-Makkah. Kesemuanya itu terpakai maksimal hanya 4 hari selama 1 tahun. Bagaimana pun hal ini merupakan tabdzir yang tidak diizinkan oleh Allah SWT, "Innal mubadzziriina kaanuu ikhwans syaiyaathin wa kaanas syaithaanu li rabbihi kafuura/ Sungguh orang-orang yang suka membuat kesia-siaan adalah teman-temannya syetan..." (Q: Al-Isra: 27); > >c. Telah terjadi kesulitan serius di kalangan para penyelenggara Perjalanan Haji, baik di tanah suci maupun di masing-masing negara asal, sejak mulai dari tahap pendaftaran, pembayaran, persiapan keberangkatan, pengangkutan ke tanah suci, dalam penyediaan akomodasi dan pelayanan-pelayanan lain.” > >Asumsi kedua yang menjadi landasan ide tersebut adalah seperti diungkapkan oleh MF : “bahwa manasik haji pada dasarnya adalah ibadah yang konsep dasarnya adalah "napak tilas" atas jejak Nabiyullah Adam AS (sang bapa makhluk manusia) dan Nabiyullah Ibrahim AS (sang bapak tauhid manusia) dalam menemukan Tuhan Yang Maha Esa, Allah subhanahu wa ta'ala. Sebagai proses napak tilas, maka dimensi ruang atau tempat kejadian menjadi sangat penting untuk dijaga akurasinya, dibanding dengan dimensi yang lain termasuk dimensi waktu.” > >Kerena itu, MF berpandangan perlu ada solusi radikal berupa peninjauan ulang kembali waktu pelaksanaan haji yang selama ini berpuncak pada tanggal 8, 9, 10, 11, 12 dan 13 Dzul Hijjah. Solusi yang ditempuh selama ini, berupa pembatasan jumlah jamaah dengan sistem quota dan penjebolan batas-batas ruang manasik (seperti di Mina) dianggap tidak realistik dan secara syar`i bermasalah. > >Demikian landasan utama pemikirannya yang kemudian didukung oleh beberapa dalil seperti akan kami jelaskan kemudian. > > > >2 > > > >Hemat kami, asumsi pertama tertolak karena : > >1. Beberapa contoh penyimpangan yang disebutkan pada poin a, b dan c (sa`i di kaki bukit, pelemparan jamarat tidak ba`da zawal) lebih disebabkan karena kurangnya pemahaman manasik sebagian jemaah dan berpulang kepada kesadaran beribadah. Penggunaan alat bantu bantu seperti tandu, kursi roda atau kendaraan binatang (seperti pada zaman Rasulullah saw.) disepakati oleh ulama hanya diperkenankan dalam keadaan uzur seperti sakit, lanjut usia atau lainnya. Dalam mazhab Hanafi, sa`i atau thawaf dengan alat bantu tanpa uzur syar`i makruh hukumnya. Bahkan Sayyidah Aisyah RA. rela tidak berhaji lantaran tidak kuat bersa`i, padahal bisa menggunakan alat bantu, karena enggan menggunakannya. Ia mengatakan: > >** ***** ** **** ******* *** ***** *** ***** ******* **** ***** ****** > >Tidak ada yang menghalangi berhaji dan berumrah kecuali sa`i antara bukit Shafa dan Marwah, dan saya tidak suka berkendaraan. > >Fenomena orang yang berpura-pura sakit agar ditandu atau naik kendaraan tidak hanya terjadi sekarang. Sahabat Urwah bin Zubair, kemenakan Aisyah RA, pernah memarahi seseorang yang berthawaf/bersa`i dengan alat bantu dan berpura-pura sakit dengan mengatakan, khâba hâ`ulâ`i wa khasirű (merugilah mereka itu, dan merugilah) (lihat: Ahkâm al-Qur`ân, karya al-Jashshâh, 1/120). > >2. Tentang pelaksanaan sa`i yang “bukan lagi dari bukit Shafa ke bukit Marwa melainkan hanya dari kaki bukitnya belaka”, saya katakan, dalam kondisi biasa, seluruh ulama dari berbagai mazhab membolehkan berhenti sampai di kaki bukit (Bidâyat al-Mujtahid, 1/340), apalagi dalam kondisi berjejalan. Yang wajib adalah bersa`i antara bukit Shafa dan Marwah. Memang ada anjuran untuk naik dan berdoa, tetapi menurut Wahbah Zuhaili, itu hanya berlaku bagi laki-laki, wanita cukup di bawah (kaki bukit) (Al-Fiqh al-Islâmiy wa Adillatuh, 3/172). Pendapat senada dalam mazhab Syafi`i dapat dilihat misalnya dalam Mughni al-Muhtâj, karya al-Syarbiniy, 1/664. > >3. Klaim MF: “karena antrian kendaraan dalam kemacetan yang luar biasa, tidak sedikit jemaah haji yang seharusnya mabit (singgah di malam hari) di Muzdalifah untuk mengambil kerikil (jamarat), ternyata mereka baru tiba di Muzdalifah sesudah mata hari terbit, bahkan ada yang menjelang tengah hari”, tidak faktual dan terkesan mengada-ada. Sebab Muzdalifah berada di antara Arafah dan Mina, tempat tujuan berikutnya (saling berbatasan). Begitu keluar dari Arafah menuju ke arah Mina dengan sendirinya kita telah berada di Muzdalifah. Dengan lokasi yang berbatasan seperti ini sulit dibayangkan, dalam kondisi apa pun, seseorang bergerak dari Arafah ke Muzdalifah selama 12 jam, bahkan 18 jam, mulai dari ba`da maghrib (waktu diperkenankan bertolak dari Arafah) sampai keesokan paginya bahkan siang harinya. Kecuali jika jemaah mengambil jalur menuju Mekkah atau tersesat jalan. Dengan sistem Shuttle Trip (taraddudiy) yang pada tahun ini berhasil mengangkut 33% dari keseluruh an jemaah (asal Turki, > Eropa dan Asia Tenggara) klaim MF itu sulit dibayangkan dapat terjadi. Kalaupun terjadi sifatnya kasuistis yang tidak bisa menjadi landasan pembentukan hukum. Yang selama ini terjadi, sebagian jemaah tidak bisa melaksanakan mabit dengan pengertian bermalam dan menginap sampai salat subuh di Masy`aril Haram(Muzdalifah) seperti dilakukan Rasulullah Saw, atau paling tidak sampai pertengahan malam. Para ulama empat mazhab sepakat, mabit di Muzdlaifah wajib hukumnya, tetapi sebagian mereka seperti Hanafi dan Syafi`i membolehkan mabit dengan sekadar berlalu, tanpa menetap atau menginap (Al-Fiqh al-Islâmiy wa Adillatuh, 3/186). Yang wajib, menurut mazhab Syafi`i dalam mabit adalah cukup berada di sana walau sekejap meski hanya berlalu setelah pertengahan malam. Al-Syarbiniy dalam Mughni al-Muhtaj mengatakan: > >***** ** ****** *** ****** *** **** ******* ***** * ***** ****** *** *** ** **** * ***** *** *** ***** *** ** **** ** **** (**** ******* * 1/671) > >4. Tentang mabit di lembah Mina, MF menyebut dua penyimpangan yang dianggap mengganggu kesempurnaan atau keabsahan ibadah haji; pertama, penjebolan batas ruang dengan menginapkan jemaah di luar kawasan Mina; dan kedua, “karena ketidakmampuan kawasan jamarat maka ratusan ribu bahkan jutaan jemaah terpaksa tidak dapat mengejar waktu afdhaliyat pelemparan, yakni ba`da zawal”. Berkenaan dengan dua hal ini saya katakan, kedua hal tersebut tidak dapat dikatakan mengganggu kesempurnaan atau keabsahan ibadah. > >Untuk yang pertama, MF hendaknya dapat membaca lebih cermat lagi landasan syar`i yang dikemukakan para ulama (Saudia Arabia, Indonesia dan Majma Fiqih Rabithah) sehubungan dengan perluasan ke tempat yang disebut Mina II (di kawasan Muzdalifah). Sebagian negara, seperti Indonesia, menyiasati kebijakan pemerintah Arab Saudia tersebut dengan memperkenankan jemaahnya yang merasa tidak ‘nyaman’ dengan fatwa tersebut dan mendapat lokasi di sana, untuk berada di lokasi Mina ‘yang sebenarnya’ selama mu`zham al-lail, setelah itu kembali ke tenda di Mina II. Sebagian jemaah bahkan kembali ke pemondokan di Mekkah (di luar Mina) setelah mu`zham al-lail berada di Mina, dan secara syar`i itu tidak masalah. Dalam beberapa kondisi (uzur syar`i) ulama juga membolehkan tidak bermabit di Mina dan Muzdalifah. Rasulullah pernah memberi rukhshah (keringanan) kepada Al-Abbas untuk tidak mabit di Mina karena tugas siqâyah (memberi minum/ melayani jemaah) di Mekkah di malam hari. Bahka n, sampai pun ada yang > tidak mabit tanpa uzur sekali pun ulama mazhab Hanafi membolehkannya, sementara ulama mazhab Maliki, Syafi`i dan Hanbali mewajibkannya membayar dam. (Al-Fiqh al-Islâmiy wa Adillatuh, 3/205). Dari sini, sampai pun terjadi penjebolan batas ruang dalam mabit di Mina, itu tidak sampai pada tingkat mengganggu kesempurnaan dan keabsahan haji, apalagi jika yang dimaksud dengan kata ‘mengganggu’ di sini menyebabkan tidak sah atau sempurna. Haji dianggap tidak sah, jika meninggalkan salah satu rukun haji seperti berihram, thawaf, wukuf dan sebagainya. Sementara kesempurnaan ibadah haji lebih berpulang kepada keikhlasan hati seseorang. Firman Allah: > >****** **** ******* *** (****** * 196) >Dan sempurnakanlah haji dan umrah karena Allah >Jika kata atimmű di sini diartikan sebagai ‘menyempurnakan dengan melakukan semua bagian dalam prosesi ibadah haji’, maka yang perlu diperhatikan adalah ikhtiar untuk menghindari petaka seperti diperintahkan Tuhan persis sebelum ayat di atas (ayat 195): > >*** ***** ******* *** ******* (****** * 195) > >Dan janganlah kamu jerumuskan dirimu ke dalam kerusakan. > >Kedua, sehubungan dengan waktu afdhal pelemparan, yakni ba`da zawal, tidak seorang ulama pun mengatakan, melempar jumrah di luar waktu afdhaliyah (ba`da zawal) menyebabkan kesempurnaan atau keabsahan ibadah haji terganggu. Pendapat para ulama seputar teknis dan waktu melontar sangat beragam dan cukup memberi kelonggaran bagi para jemaah. Ada benarnya di sini ungkapan “Ikhtilâfu Ummatî Rahmah” (perbedaan umatku membawa rahmah). Justru petaka yang sering terjadi di jamarat selama ini karena jemaah terlalu saklek dalam memahami waktu afdhaliyah dalam melontar seperti pagi hari saat jumrah Aqabah (tanggal 10) dan ba`da zawal untuk tanggal 11, 12 dan 13. Karena itu, anggapan MF tidak dapat dapat mengejar waktu afdhaliyah pelemparan, yakni ba`da zawal, sebagai bentuk penyimpangan yang dapat mengganggu kesempurnaan atau keabsahan ibadah haji, hemat saya, sangat berlebihan. Bahkan ungkapan MF ini kontradiksi dengan ungkapannya tentang dimensi waktu: “Sebagai proses nap ak tilas, maka dimensi > ruang atau tempat kejadian menjadi sangat penting untuk dijaga akurasinya, dibanding dengan dimensi yang lain termasuk dimensi waktu”. Kontradiksi ini mengesankan, demi mengejar afdhaliyat ba`da zawal (yang dalil-dalilnya masih diperdebatkan), MF rela mengorbankan waktu wukuf dan lainnya (mabit di Mizdalifah dan Mina) yang dalil-dalilnya sangat kuat dan menjadi konsensus (ijma) umat selama 15 abad. Dalam ilmu hadis, riwayat seorang perawi yang bertentangan dengan perawi-perawi lain yang lebih kuat dinilai syâdz yang membuatnya tertolak. Demikian pendapat MF yang ‘terasa’ syâdz di tengah kesepakatan umat dari dulu sampai sekarang. > > > >3 > > > >Sehubungan dengan masalah dan kesulitan teknis (masyaqqat) yang juga dianggap menyebabkan hal seperti di atas MF memberikan contoh berikut: > >a. Dalam pelaksanaan lempar Jamarat, sekali lagi disebabkan oleh penumpukan jemaah yang luar biasa banyak pada satu titik waktu dan tempat yang sama, selalu saja terjadi musibah yang fatal, yakni kematian jemaah karena terinjak atau terjatuh. Segala sesuatu memang terjadi atas takdir Allah, akan tetapi merupakan perintah Allah juga agar kita berikhtiar semaksimal mungkin untuk menghindari petaka. Allah berfirman: "Wala tulqu bi aidiikum ila at-tahlukah/ Jangan jerumuskan dirimu dalam petaka" (Q-Al-Baqarah: 195), "Maa ja'alal laahu 'alaikum fid diini min haraj/ Allah sekali-kali tidak mau merepotkan kalian dalam beragama" (Q-Al-Hajj: 78); > >b. Telah terjadi pemubadziran yang luar biasa atas berbagai fasilitas mabit di Mina (berupa bangunan penginapan dan tenda-tenda permanen dengan alat pendinginnya, berikut sarana jaringan air minum dan telekomunikasi), serta jaringan jalan tol Makkah-Arafah-Mudzdalifah-Mina-Makkah. Kesemuanya itu terpakai maksimal hanya 4 hari selama 1 tahun. Bagaimana pun hal ini merupakan tabdzir yang tidak diizinkan oleh Allah SWT, "Innal mubadzziriina kaanuu ikhwans syaiyaathin wa kaanas syaithaanu li rabbihi kafuura/ Sungguh orang-orang yang suka membuat kesia-siaan adalah teman-temannya syetan..." (Q: Al-Isra: 27); > >c. Telah terjadi kesulitan serius di kalangan para penyelenggara Perjalanan Haji, baik di tanah suci maupun di masing-masing negara asal, sejak mulai dari tahap pendaftaran, pembayaran, persiapan keberangkatan, pengangkutan ke tanah suci, dalam penyediaan akomodasi dan pelayanan-pelayanan lain. > > > >Jawab: > >Musibah yang sering terjadi di lokasi jamarat, menurut data peristiwa, biasanya berbentuk; a) desak-desakan di saat melontar jumrah, khususnya di waktu-waktu yang dianggap afdhaliyyat (pagi hari tanggal 10 Dzulhijjah dan ba`da zawal pada hari-hari tasyriq), b) tabrakan arus antara yang akan menuju lokasi dan yang akan kembali, dan c) kebakaran tenda di Mina. Hemat saya, kecelakaan yang sering terjadi di situ terjadi, jika ingin mengenyampingkan faktor takdir, karena beberapa faktor berikut: > >a. Pemahaman yang sempit dan cenderung skripturalis terhadap waktu-waktu yang utama (afdhaliyyat) dalam melontar, padahal zaman dan situasi telah jauh berubah. > >b. Ketidakpatuhan jemaah terhadap taklimat/ peraturan haji yang ditetapkan oleh pemerintah Saudi dengan alasan mementingkan nilai keutamaan ibadahnya. Peraturan yang dimaksud, misalnya, adalah pengaturan jadwal pelemparan batu jumrah bagi tiap-tiap negara. > >c. Kurangnya sosialisasi peraturan-peraturan tersebut oleh pihak penyelenggara. Sebab, aturan-aturan itu bagaimanapun bagusnya, pelaksanaannya tentu tidak dapat dilepaskan dari manusia-manusia yang diberi aturan-aturan itu. Dalam hal ini aturan-aturan itu diperuntukkan sekitar dua juta orang dari berbagai bangsa, ras, dan adat-istiadat dengan taraf pendidikan --termasuk di bidang agama-- yang rata-rata awam. Maka perlu cukup waktu untuk sosialisasi. > >Suasana desak-desakan ketika jemaah bertolak dari Arafah ke Muzdalifah dan Mina sudah diprediksi sejak jauh hari oleh Alquran. Kata afîdhű dalam Q.,s. Al-Baqarah: 199 menggambarkan betapa saat itu akan terjadi ‘luapan masa yang besar’ pada satu titik waktu dan tempat yang sama. Dalam Mu`jam Maqâyîs al-Lughah (Ibnu Faris/ w. 395 H), akar kata fa ya dha menunjukkan ‘sesuatu yang mengalir lancar, deras dan melebihi batas’. Banjir dalam bahasa Arab disebut fayadhân karena derasnya air yang meluap. Gelas yang diisi sampai penuh dan meluber disebut yafîdh. (2/336). Karena itu, dalam beberapa riwayat Rasulullah Saw. menyeru kepada para jemaah haji agar menjaga ketenangan ketika bertolak dari Arafah dengan mengatakan, “al-sakînah ayyuhâ al-nâs, “al-sakînah ayyuhâ al-nâs” (jagalah ketenangan wahai manusia, jagalah ketenangan wahai manusia). (HR. Abu Daud, 5/380, Ibnu Majah, Ahkâm al-Qur`an, Al-Thahawi, 1/177). Dalam riwayat lain, Ibnu Abbas yang turut serta bertolak ber sama Rasulullah dari > Arafah mengisahkan, ketika mendengar suara gemuruh manusia dan onta yang dipacu kencang, beliau mengacungkan cambuknya seraya berkata: > >**** ***** ***** ******** *** **** *** ******** (***** ******* * 3/522) > >Wahai manusia, jagalah ketenangan, sesungguhnya kebajikan (ibadah) itu bukan dengan ketergesa-gesaan. (HR. Imam Bukhari, 3/522) > >Fiqih haji semacam ini sedikit sekali yang mengamalkanya, yang sering terjadi masing-masing berlomba mengejar afdhaliyyah seperti juga yang ingin dicapai MF. > >Dari sini, meninjau ulang kembali pemahaman manasik haji menyangkut teknis yang sifatnya ijtihadiyyah agar sejalah dengan kondisi lebih mendesak dan tidak beresiko seperti halnya jika ijtihad dilakukan pada hal-hal yang muttafaq, seperti hari-hari pelaksanaan prosesi. > >Selanjutnya MF mengatakan: “Telah terjadi pemubadziran yang luar biasa atas berbagai fasilitas mabit di Mina (berupa bangunan penginapan dan tenda-tenda permanen dengan alat pendinginnya, berikut sarana jaringan air minum dan telekomunikasi), serta jaringan jalan tol Makkah-Arafah-Mudzdalifah-Mina-Makkah. Kesemuanya itu terpakai maksimal hanya 4 hari selama 1 tahun. Bagaimana pun hal ini merupakan tabdzir yang tidak diizinkan oleh Allah SWT, "Innal mubadzziriina kaanuu ikhwans syaiyaathin wa kaanas syaithaanu li rabbihi kafuura/ Sungguh orang-orang yang suka membuat kesia-siaan adalah teman-temannya syetan..." (Q: Al-Isra: 27)”. > >Saya katakan: > >Dalil yang digunakan MF (Q.,s. Al-Isrâ: 27) tidak sesuai jika digunakan dalam konteks fasilitas mabit di Mina dan lainnya, dan terkesan dipaksakan selain tidak sesuai dengan konteks (siyâq) ayat tersebut. Kata tabdzîr pada ayat tersebut, menurut Ibnu Abbas, Tarjumân Al-Qur`ân, dan Ibnu Mas`ud, bermakna ‘menafkahkan harta di jalan yang tidak benar’. Al-Mawardi (w. 450 H), pengarang Al-Ahkaam al-Sulthaaniyyah dan tafsir Al-Nukat wa al-`Uyűn seperti dikutip Abu Hayyan, mengartikannya sebagai bentuk pengeluaran harta yang berlebihan dan merusak harta (Tafsir al-Bahral-Muhith, 6/27). Menurut Al-Qurthubi, mengeluarkan harta dengan tetap menjaga modal dasarnya bukan termasuk tabdzîr. Mengutip Imam Syafi`I dan jumhur ulama, Qurthubi menegaskan, penggunaan harta di jalan kebaikan, seberapun banyaknya, tidak termasuk tabdzîr. (Tafsir Qurthubi, 10/223) Lebih tegas, kata ikhwân yang menunjukkan adanya talian persaudaraan antara setan dengan orang yang melakukan tabdzîr men gisyaratkan bahwa > pembelanjaan harta yang masuk kategori tabdzîr adalah jika dilakukan di jalan maksiat (fî ma`shiyatillâh) (Al-Bahr al-Muhith, 6/27). > >Demikian makna tabdzîr seperti dalam buku-buku tafsir. Pembuatan fasilitas di Mina dan lainnya adalah dalam rangka menegakkan syiar agama (jalan kebenaran) dan tidak merusak modal dasar, karena masih dapat digunakan pada tahun-tahun berikutnya. Karena itu, tidak tepat kiranya jika dikatakan sebagai bentuk pemubadziran. > >Demikian jawaban saya untuk asumsi MF yang pertama. > > > >4 > > > >Berkenaan dengan asumsi MF yang kedua saya katakan; > >a. (bahwa manasik haji pada dasarnya adalah ibadah yang konsep dasarnya adalah "napak tilas" atas jejak Nabiyullah Adam AS (sang bapa makhluk manusia) dan Nabiyullah Ibrahim AS (sang bapak tauhid manusia) dalam menemukan Tuhan Yang Maha Esa, Allah subhanahu wa ta'ala) adalah benar adanya, akan tetapi bahwa (Sebagai proses napak tilas, maka dimensi ruang atau tempat kejadian menjadi sangat penting untuk dijaga akurasinya, dibanding dengan dimensi yang lain termasuk dimensi waktu) tidak selamanya demikian. Sebab napak tilas biasanya juga dimaksudkan untuk mengenang suatu peristiwa. Keakuratan waktu dan ruang dalam suatu peringatan akan menambah kekhusyukan tersendiri. Kalaulah dalam proses napak tilas perjalanan Jenderal Sudirman dimensi waktu tidak terlalu penting, tidak demikian halnya napak tilas yang kita lakukan terhadap proklamasi kemerdekaan yang dikumandangkan Bung Karno dan Bung Hatta setiap tanggal 17 Agustus; dimensi waktu justru yang terpenting. Kalau lah kita dibolehkan > menganalogikan peristiwa-peristiwa seperti itu, tidaklah demikian halnya dalam ibadah yang ketentuan dasarnya al-ittibâ. >*** ***** ****** ***** *** ***** *** ******* >Apa yang dibawa Rasul kepada kalian ambillah, dan apa yang dilarangnya jauhilah. > >b. Sampai pada masa Rasulullah, dimensi waktu dan ruang tetap dijaga keakuratannya. Misalnya, dalam riwayat Ikrimah, Atha dan Mujahid (tabi’in) disebutkan kaum musyrik/ kafir Quraisy turut berwukuf bersamaan dengan Rasulullah di hari Arafah (tgl 9 Dzul Hijjah), hanya saja mereka melakukannya di Muzdalifah dengan alasan agar tidak keluar dari tanah suci (al-haram) (HR. Imam Bukhari, 2/175, riwayat serupa dapat dilihat di Ahkâm al-Qur`an, Al-Thahawi, 1/173). Mayoritas ulama tafsir memandang peristiwa itu sebagai sebab nuzul ayat : > >** ****** ** *** **** ***** (****** : 199) > >Maksudnya, bertolaklah kalian dari tempat/ waktu (biasanya) orang bertolak, yaitu Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah. (Tafsir Al-Tahrir wa al-Tanwir, Ibnu Asyur, 1/242). Kata haytsu, menurut Al-Farra, pakar bahasa Alquran, tidak selalu menunjukkan tempat, tetapi juga waktu. (Al-Itqân, Suyuthi, 1/512) > >c. Sebagian ahli tafsir mengatakan, kata al-nâs pada ayat di atas berarti Nabi Ibrahim AS. Sebab dalam ayat lain Nabi Ibrahim disebut sebagai “ummat” (Q., s. Al-Nahl: 120) karena beliau menjadi panutan. Ulama lain, seperti Said bin Jubair dan Al-Zuhri (tabi`in) menafsirkannya sebagai Adam AS. (Tafsir Al-Râzi, 5/199). Ini menunjukkan bahwa dimensi waktu dan ruang selalu dijaga keakuratannya dari dulu, zaman Adam AS dan Ibrahim AS, sampai sekarang. Tidak ditemukan satu riwayat pun yang menunjukkan bahwa wukuf di Arafah dilakukan di luar waktu yang kita ketahui seperti sekarang ini. Kalau pun ada, dan kenyataannya tidak ada, sudah pasti akan diluruskan seperti kasus wukufnya orang Quraisy di Muzdalifah. > > > >5 > > > >Atas dasar dua asumsi di atas MF mengajak untuk meninjau ulang kembali, meminjam istilah MF “untuk mengakhiri kekeliruan kita dalam memahami konsep waktu (baca: hari) pelaksanaan ibadah haji”, yaitu dengan kembali kepada petunjuk Alquran (Q.,s. Al-Baqarah: 197). Argumentasi yang disampaikan MF dapat disimpulkan sebagai berikut: > >1. Berdasarkan ayat : Al-hajju asyhurun ma`lűmât (waktu haji adalah beberapa bulan yang sudah maklum), “seluruh prosesi (manasik) haji mulai dari pengenaan pakaian ihram, thawaf, sa-'iy, wuquf di Arafah, wuquf di Muzdalifah, mabit di Mina, melempar batu, dan potong rambut, sebagai satu paket peribadatan dapat (baca: sah) dilaksanakan secara berurut (tertib) pada hari-hari mana saja selama asyhurun ma'lumat (3 bulan) tersebut”. “Tidak sesempit yang kita pahami selama ini, seolah-olah hanya sekitar 6 hari saja, yakni hari-hari ke 8,9,10,11,12,13 dari bulan Dzulhijjah”. > >2. Dalam hal waktu pelaksanaan, MF mengkiaskan ibadah haji dengan salat. Keduanya sama-sama termasuk kategori ibadah yang waktunya longgar (muwassa`), artinya waktu yang disediakan oleh Syara' dan sah untuk pelaksanaan ibadah yang dimaksud lebih panjang dibanding dengan waktu yang secara riil dibutuhkan. Seperti halnya salat dapat (sah) dilaksanakan di awal, pertengahan atau akhir waktu yang disediakan, demikian pula haji sah dilakukan kapan saja selama dalam waktu tiga bulan yang sudah maklum. Tanggal 8, 9, 10, 11, 12 dan 13 Dzul Hijjah hanyalah waktu-waktu utama seperti halnya awal waktu adalah waktu utama salat. > >3. Haji Rasulullah yang hanya sekali dalam hidupnya tidak bisa dijadikan dasar bahwa haji di luar hari-hari tersebut tidak sah. Apalagi, tidak ada satu nash pun, baik ayat al-Qur'an maupun hadits Nabi, bahkan yang dlaif sekalipun, yang menyatakan dengan tegas bahwa di luar hari-hari ke 8 sampai dengan ke 13 Dzulhijjah tidak sah untuk menunaikan manasik haji. > >4. Hadis : Al-Hajju `Arafah “cukup dipahami bahwa puncak ibadah hajji adalah wuquf di Arafah. Sementara pada hari mana atau tanggal berapa haji dengan puncaknya berupa wuquf di Arafah itu dilaksanakan adalah "selama beberapa (3) bulan musim haji itu sendiri.” Memahaminya dengan “puncak ibadah haji adalah wuquf di padang Arafah dan DI HARI Arafah tanggal 9 Dzulhijjah” berarti mengorbankan (mengilghokan) nash Alquran yang sharih tentang waktu haji yang beberapa (3) bulan itu. > >5. Hadis: "Khudzuu 'anniy manasikakum/ Ambillah dariku manasik kalian" harus kita ikuti sebatas menyangkut prosesi (manasik) ibadah haji (baik syarat, rukun, kewajiban dan kesunatan haji serta tertib atau urut-urutannya), juga menyangkut waktu (siang, malam, qabla atau ba'da fajr atau zawal). Tapi bukan menyangkut waktu dalam arti tanggal atau hari-harinya. Karena perihal yang tersebut terakhir (hari-hari atau tanggal) sekali lagi Al-Qur'an telah menegaskannya, asyhurun maklumat ?Waktu haji adalah beberapa (3) bulan yang sudah maklum". > >Demikian argumentasi yang diajukan MF. > >Hemat saya, kelemahan dan kekeliruan dalil tersebut dapat dilihat, paling tidak, dari beberapa hal berikut: > >1. Pemahaman ayat Alquran yang sangat parsial. Ini sangat bertentangan sekali dengan semangat hermeneutika dalam memahami teks Alquran yang kerap kali didengungkan dalam ‘ijtihad’ modern, yaitu keharusan memahami teks secara komperhensif agar tercipta pemahaman obyektif. MF hanya berpegangan pada ayat “Alhajju asyhurun ma`lűmât” untuk menetapkan idenya itu. Kalaupun hanya itu yang dipegang, tetapi MF memahami siyâq (konteks penyebutan), sibâq (pra penyebutan) dan lihâq (pasca penyebutan) ayat itu, kesimpulan tergesa-gesa itu juga dapat dihindari MF. > >2. ‘Keengganan’ menggunakan hadis. Keengganan ini tidak hanya berbentuk penolakan, tetapi juga pentakwilan jika tidak sesuai dengan pikiran ‘prematur’. Ini yang dilakukan MF. Sikap para “Qur`âniyyűn” semisal MF ini sudah diprediksi oleh Rasulullah Saw seperti dalam sebuah sabdanya: > >******* ****** ********* ***** *********** ***** ****** *** ***** : ** **** * ***** ****** **** **** * ***** ******** ***** **** ****** ********* * *** ***** *** ***** ********* . > >Akan datang (pada suatu masa) seseorang yang kekenyangan sambil bersandar di dipan, ketika datang penjelasan hadis dariku dia mengatakan, “saya tidak tahu (itu), antara kami dan kalian hanyalah Alquran; suatu yang halal di situ kami halalkan, dan yang haram kami haramkan (HR. Abu Daud, 5/10, Al-Tirmidzi, 7/310) > >3. Tahkîm al-ra`y wa al-hawâ `ala al-nashsh, setidaknya dapat dilihat dari sikapnya yang menggunakan dalil sesuai selera dan qiyas yang tidak pada tempatnya (qiyas waktu haji dengan waktu salat). Abdullah Diraz menyebut sikap seperti ini sebagai “bid`ah pemikiran” (Al-Mîzân bayna al-sunnah wa al-bid`ah, 110). > >Rincian penjelasannya dapat saya kemukakan sebagai berikut: > > > >6 > > > >1. Pemahaman Alquran yang parsial > >Seperti diakui MF ketika diwawancarai Ulil Absar dari Jaringan Islam Liberal (19/1/2004), dalilnya hanya ayat Alquran (Q.s. Al-Baqarah : 197) (ULIL: Apa hujjah Anda sendiri dalam soal ini, selain ayat Alquran tadi? MASDAR: Kalau hujjah naqli (alasan tekstual) selain ayat Alquran saya belum punya). Padahal terdapat sekian ayat (seperti Q.,s. Al-Baqarah : 158, 196-203, Ali Imran: 97, Al-Ma`idah: 95, Al-Hajj: 27-37, Al-Tawbah: 3) yang dapat memberi pemahaman utuh, setidaknya gambaran umum tentang prosesi ibadah haji. Hanya berpegangan pada al-hajju asyhurun ma`lűmât akan bertabrakan dengan ayat-ayat lain semisal: > >a. Q.,s. Al-Tawbah: 3 > > >Ayat ini menegaskan bahwa haji dilakukan pada hari tertentu dalam satu tahun. Ulama berbeda pendapat tentang “yawmul hajjil akbar”. Menurut Sayyidina Umar, Usman dan Ibnu Abbas (sahabat), Thawus, Mujahid dan Ibnu Sirin (Tabi`in) hari haji akbar adalah hari Arafah (9 Dzul Hijjah), sebab saat itu seluruh yang melakukan haji berkumpul di satu tempat. Pendapat ini dipegang oleh Ahu Hanifah dan Imam Syafi`i. Pendapat lain mengatakan hari itu adalah yawmu al-nahr (tanggal 10 Dzul Hijjah), sebab saat itu semua orang berkumpul di satu tempat (Mina), termasuk “al-Hums” (Arab Quraish, Kinanah dan Jadilah Qais) yang melakukan wukufnya di Muzdalifah, bukan Arafah seperti lainnya. Pendapat ini dikemukakan Imam Ali, Ibnu Umar, Ibnu Mas`ud dan lainnya, termasuk Imam Malik, pendiri mazhab Maliki. (Tafsir Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, 6/108). Pendapat kedua ini didukung oleh sebuah hadis dari Ibnu Umar RA: > >** **** **** *** *** ***** *** ******* ** ***** **** ** **** : ** *** **** ***** : *** ***** * *** : *** *** **** ****** > >Sesungguhnya Rasulullah berhenti pada yawm al-nahr (tgl 10 Dzulhijjah) di jamarat ketika berhaji, lalu beliau bertanya: hari apa ini? Para sahabat menjawab: hari nahar, beliau bersabda: inilah hari haji akbar (yawm al-hajji al-akbar) (HR. Abu Daud, di dalam kitab Bukhari, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad terdapat mutâbi` dan syâhid-nya). > >Terlepas dari pendapat mana yang benar, yang jelas hari-hari itu adalah yang ditentukan untuk melaksanakan haji, tidak lainnya. > >b. Q.,s. Al-Baqarah: 203: > >(#răŤä.ř*$#ur ©!$# ţ*Îű 5Q$*r& ;Nşy*rß*÷č¨B 4 `yJsů [EMAIL PROTECTED] *Îű Čű÷ütBöqt* Ixsů zNřOÎ) Ďmř*n=tă `tBur tŤ¨zr's? Ixsů zNřOÎ) Ďmř*n=tă 4 Ç`yJĎ9 4*s+¨?$# 3 > >Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang. Barangsiapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka tiada dosa baginya. Dan barangsiapa yang ingin menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu) maka tidak ada dosa pula baginya. > >Ayat ini menerangkan bahwa manasik haji memiliki waktu-waktu tertentu. Para ulama sepakat hari-hari tertentu itu adalah hari-hari tasyrîq (11, 12, 13 Dzul Hijjah). Disebut tasyrîq yang berasal dari kata syaraqa (terbit), karena pada hari-hari itu, di Mina, daging dari sembelihan dijemur dibawah terik matahari agar kering. Atau karena hewan-hewan itu tidak disembelih kecuali ketika terbit (syurűq) matahari (Al-Nihayah fi Gharîb al-Hadîts wa al-Atsar, Ibnu al-Atsir, 2/416). Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Ali, Umar, Ibnu Abbas, Ibnu Umar dan lainnya, dan dikuatkan oleh hadis sahih dari Rasulullah yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, Ahmad, Abu Daud, Annasa`i, Ibnu Majah, Addarimi dan lainnya: > >**** ***** * **** ****** **** ****** **** *** **** *** **** ** ***** *** *** **** *** **** *** *** **** * *** **** **** *** ** **** ***** *** **** **** > >Haji adalah Arafah , haji adalah Arafah, haji adalah Arafah, bilangan hari di Mina tiga hari. Barangsiapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka tiada dosa baginya. Dan barangsiapa yang ingin menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu) maka tidak ada dosa pula baginya. Barangsiapa (berwukuf) di Arafah sebelum terbit fajar maka ia (terhitung) sudah berhaji. > >Lihat penjelasan hadis lainnya dalam Ahkâm al-Qur`ân, Attahawi, 1/201. Sedemikian kuatnya penjelasan hadis tersebut terhadap ayat di atas membuat Imam Ahmad berpandangan bahwa ayat itu termasuk muhkamât (yang tidak mengandung kemungkinan arti lain). Demikian seperti dikutip Attahawi (w. 321 H) (1/201). > >c. Di ayat lain Allah berfirman : > >(#rß*ygô±u*Ďj9 yěĎ˙»oYtB öNßgs9 (#răŤŕ2ő*t*ur zNó*$# «!$# ţ*Îű 5Q$*r& BM»tBqč=÷č¨B 4*n?tă $tB Nßgs%y*u* .`ĎiB ĎpyJ*Îgt/ ÉO»yč÷RF{$# ( > >…… Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak (Q.,s. Al-Hajj: 28) > >Ayat ini secara tegas menyatakan waktu menyembelih kurban adalah pada hari-hari tertentu yang sudah dimaklumi (ayyâm ma`lűmât) oleh Rasulullah dan para sahabatnya, kemudian diwarisi turun temurun, yaitu tanggal 10, 11, 12 dan 13 Dzul Hijjah). Kalaulah pelaksanaan haji, yang diantara prosesinya menyembelih kurban, boleh dilakukan kapan saja dalam tiga bulan, yang berarti hari-hari dalam ketiga bulan itu boleh dijadikan waktu berkurban, maka ‘yang adil’ ayat tersebut berbunyi : “fî asyhurin ma`lűmât”. > >Selain akan bertabrakan dengan ayat-ayat di atas, memahami al-hajju asyhurun ma`lűmât sebagai waktu sah melaksanakan haji juga dapat dinilai keliru jika dilihat dari sibâq, siyâq dan lihâq ayat tersebut. Para ulama Alquran menekankan pentingnya memahami ketiga unsur tersebut dalam memahami sebuah ayat agar lebih obyektif dan tidak parsial. Inilah yang disebut cabang kajian munâsabât antara surah, ayat, bahkan kalimat seperti dalam `ulűm al-Qur`ân. Kekeliruannya dapat dijelaskan sebagai berikut: > >a. Pada sibâq ayat tersebut (ayat 196), ketika menjelaskan salah satu bentuk prosesi haji Allah berfirman: > >`yJsů yěGyJs? ÍotŤ÷Kăčř9$$Î/ *n<Î) Ćdkptř:$# $yJsů uŽyŁř*tGó*$# z`ĎB Ä*ô*olů;$# 4 > >Kata “ilâ” pada (penggalan) ayat tersebut menunjukkan ada batas waktu/ tempat yang dituju, karena “ilâ” dalam bahasa Arab bermakna li al-ghâyah/ intihâ al-ghâyah zamânan aw makânan (Al-Itqân, 1/482). Dengan demikian, ayat tersebut dapat dipahami ‘barangsiapa bertamattu dengan melepas pakaian ihram sampai datang waktu haji maka sedapat mungkin dia membayar dam’. Penggunaan kata “ilâ” mengesankan ada waktu tertentu untuk berhaji yang akan dituju dan ditunggu. > >b. Jika dilihat dari konteks penyebutannya (siyâq al-âyat) al-hajju asyhurun ma`lűmât tidak menunjukkan waktu pelaksanaan haji dapat dilakukan setiap saat dalam tiga bulan itu. Pertama, alif lam (lâm al-ta`rîf) dalam kata al-hajju menunjukkan suatu bentuk ibadah haji yang sudah diketahui umum, yaitu mengunjungi tanah suci pada musim dan hari-hari tertentu, sebab tidak ditemukan sebuah riwayat pun yang menyatakan mereka berwukuf di bulan Syawwal atau waktu-waktu lain diluar yang sudah maklum (8, 9, 10, 11, 12, 13 Dzul Hijjah). Kedua, al-hajju asyhurun ma`luumaat merupakan mukaddinah dari falâ rafatsa wa lâ fusűqa walâ jidâla fi al-hajj, sehingga diharapkan ketika saat-saat puncak pelaksanaan haji seseorang yang berhaji berada dalam kesempurnaan batin/jiwa. (Lihat Ibnu Aysur, 2/218). Dengan demikian, seperti disinyalir oleh Rasulullah, selesai berhaji dia akan kembali seperti orang yang baru dilahirkan. > >** ** *** **** *** **** *** **** ***** *** (**** *** *****) > >Kendati meninggalkan ketiga kebiasaan buruk itu adalah suatu hal yang sulit dilakukan oleh kebanyakan orang, apalagi dalam tiga bulan, Alquran mengisyaratkan sesungguhnya itu bukanlah waktu yang lama. Bentuk jam`ul qillah (asyhur) bukan syuhűr mengesankan itu. Ketiga, pada ayat ini terdapat penggalan wamâ taf`alű min khayrin ya`lamhullâh dan wa tazawwadű fa`inna khayra al-zâdi al-taqwâ, yang menekankan kualitas pekerjaan. Dengan ditambah penggalan falâ rafatsa wa lâ fusűqa walâ jidâla fi al-hajj, hemat saya, lengkaplah bahwa sebenarnya ayat ini lebih menekankan persoalan etis untuk mendukung kesempurnaan haji seperti diperintahkan pada ayat sebelumnya (wa atimmű al-hajja wa al-`umrata). > >c. Pada lihâq (pasca penyebutan ayat) terdapat sebuah ayat fî ayyâmin ma`dűdât seperti sudah dijelaskan isyaratnya pada hari-hari tertentu di musim haji, tidak keseluruhan hari. > > > >7 > > > >2. ‘Keengganan’ menggunakan hadis > >Sekiranya MF tidak menutup mata dan mau berendah hati menyimak dengan teliti, keseluruhan penjelasan sunnah Rasulullah Saw., tidak hanya satu atau dua hadis, hemat saya MF tidak akan sampai pada kesimpulan haji dapat dilakukan kapan saja dalam asyhurun ma`lűmât. Penjelasan dimaksud antara lain: > >a. Sabda Rasulullah Saw.: > >** *** ******* **** ** **** *** **** *** **** *** **** *** ** *** **** * *** *** *** *** *** ** **** ****** ****** **** ** ****** ****** (***** **** ** ****** * 1/422) > >Setan tidak pernah terlihat lebih kecil, terkucil, tertipu dan marah dari pada ketika hari Arafah. Itu karena dia melihat rahmat (Allah) turun dan segala dosa yang besar diampuni (HR. Imam Malik dalam al-Muwaththa, 1/422) > >Hadis ini menjelaskan bahwa hari Arafah adalah satu hari dalam setahun yang telah diketahui semua orang, yaitu hari agung yang penuh rahmat dan ampunan. Hari itu tidak lain adalah saat para jemaah haji berwukuf di Arafah. Kalau hari-hari dalam asyhurun ma`lűmât dapat dijadikan waktu wukuf, seperti kata MF, hadis itu akan berbunyi fi ayyâmi Arafah, bukan fi yawmi Arafah. > >b. Sabda Rasulullah yang lain: > >**** *** **** ***** *** **** ** **** ***** **** **** ****** **** **** * ***** *** ******* ***** *** **** ** **** ***** **** **** (***** **** * 3/226) > >Puasa hari Arafah diberi balasan oleh Allah berupa ampunan terhadap dosa-dosa di tahun sebelum dan sesudahnya, dan puasa hari Asyura dibalas oleh Allah dengan ampunan terhadap dosa-dosa di tahun sebelumnya (HR. Muslim, 3/226) > >Hadis ini menunjukkan hari Arafah adalah hari yang sudah diketahui bersama, yaitu tanggal 9 Dzul Hijjah, seperti halnya hari Asyura adalah tanggal 10 Muharram. Dalam hadis lain Rasul mengatakan : Al-Hajju Arafah. Ini berarti haji hanya dapat dilakukan satu kali dalam setahun yang salah satu rukunnya berada di padang Arafah pada hari kesembilan Dzulhijjah. Kalau setiap hari dalam asyhurun ma`lűmât dapat dijadikan hari wukuf maka bunyi hadisnya tidak akan seperti itu. > >c. Dalam sebuah sabdanya Rasulullah melarang umatnya berpuasa pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Idul fitri jatuh pada 1 Syawwal setelah puasa Ramadhan, sedangkan Idul Adha jatuh pada tanggal 10 Dzul Hijjah setelah wukuf di Arafah. Ini menunjukkan, diantara prosesi haji ada yang dilakukan pada tanggal 9 dan 10 Dzul Hijjah. Kalau haji diperkenankan selama hari-hari dalam 3 bulan (90) hari maka sulit dibayangkan kita akan berlebaran Idul Adha sebanyak 90 kali dalam setahun, sebab boleh jadi setiap hari dalam asyhurun ma`luumaat akan ada yang menjadikannya hari wukuf. > >d. Dalam sejarah hidup Rasulullah terhitung beliau melaksanakan umrah 3 kali, seluruhnya pada bulan Dzulqa`dah; pertama, pada masa Hudaybiyah tahun 6 H dan sempat tertahan oleh musyrikin Mekkah; kedua, pada bulan Dzulqa`dah tahun berikutnya; ketiga, pada Dzulqa`dah tahun 8 H ketika pembebasan kota Mekkah. Dalam kitab Shahih Muslim (3/390) disebutkan 4 kali dengan menambahkan umrah yang dilakukannya ketika haji. Timbul pertanyaan, Rasulullah mengerjakan umrah beberapa kali pada Dzulqa`dah yang termasuk asyhurun ma`lűmât, tetapi mengapa beliau tidak sekalian berhaji, padahal haji pahalanya jauh lebih besar dari sekadar umrah? Ini menunjukkan bahwa sebenarnya haji memiliki waktu tertentu untuk berwukuf, dan saat itu waktunya belum datang. > >e. Sabdanya yang lain: > >** *** **** ****** *** : ***** ** **** **** *** **** **** **** **** ***** ***** * **** ***** *** ***** ** ****** **** *** ** *** ***** * **** *** *** ******* ***** *** *** ****** ***** (***** **** * 3/388) > >Abu Said al-Khudriy berkata: Kami keluar bersama Rasulullah untuk berhaji, ketika tiba di Mekkah kami diperintahkan mengerjakan umrah, kecuali yang membawa sembelihan, ketika hari tarwiyah (8 dzulqa`dah) datang dan kita berangkat ke Mina dengan bertalbiah haji. (HR. Muslim, 3/388) > >Kalaulah berhaji boleh kapan saja selama dalam “tiga bulan yang maklum” saat itu Rasulullah bersama sahabatnya akan langsung berhaji, tanpa membuka pakaian ihram dan menunggu sampai datang hari tarwiyah. Ini menunjukkan ada waktu-waktu tertentu dalam pelaksanaan ibadah haji. > >f. Berdasarkan hadis-hadis di atas maka tidak adil jika hadis al-hajju `arafah, dalam riwayat lain al-hajju `arafât (plural), dipahami hanya dengan “puncak haji adalah wukuf di Arafah”. Seperti halnya ayat-ayat Alquran harus dipahami secara komperhensif, tidak parsial, demikian pula hadis; bagian-bagiannya saling menafsirkan. Apalagi kelanjutan hadis tersebut berbunyi: > >**** *** **** *** **** ** ***** *** *** **** *** **** *** *** **** * *** **** **** *** ** **** ***** *** **** **** (***** ******* ***** * ***** **** ****) > >Memahami hadis tersebut sebatas menjelaskan tempat kurang tepat, sebab bagian terbesar hadis itu juga menjelaskan hitungan waktu. Bahkan hadis ini disepakati para ulama sebagai penjelasan pasti bagi ayat : wadzkurullâha fî ayyâmin ma`dűdât…. (Q.,s. Al-Baqarah: 203) > >Begitu juga akan terasa tidak adil jika hadis : khudzű `annî manâsikakum / Ambillah dariku manasik kalian" dipahami “sebatas menyangkut prosesi (manasik) ibadah haji (baik syarat, rukun, kewajiban dan kesunatan haji serta tertib atau urut-urutannya), juga menyangkut waktu (siang, malam, qabla atau ba'da fajr atau zawal). Tapi bukan menyangkut waktu dalam arti tanggal atau hari-harinya. Karena perihal yang tersebut terakhir (hari-hari atau tanggal) sekali lagi Al-Qur'an telah menegaskannya, asyhurun maklumat ? Waktu haji adalah beberapa (3) bulan yang sudah maklum". > >Mengapa hal yang sama tidak dilakukan MF terhadap hadis : Shallű kamâ ra`aytuműnî ushallî/ salatlah kalian sebagaimana kalian lihat aku salat, padahal ada ayat: innashshalâta kânat `alal mu`minîna kitâban mawqűtâ, dan : aqimishshalâta lidulűkisysyamsi ilâ ghasaqillayli, dan : aqimishshalâta lidzikrî, sehingga kita bisa salat kapan saja asal untuk mengingat Tuhan. Pengkhususan terhadap sebuah teks harus disertai mukhashshis (teks lain yang mengkhususkannya) yang bersifat pasti. MF hanya mengira-ngira dari redaksi “asyhurun ma`luumaat” bahwa ayat tersebut mentakhshish hadis “al-hajuu `arafah” dan khudzű `annî manâsikakum demi meng-`i`mal-kan keduanya, padahal sesungguhnya itu bertentangan dengan nash-nash lain dan realita haji dari zaman Ibrahim sampai sekarang. Takhshish seperti itu dapat dikategorikan, menurut istilah ushűliyyűn, takhshish bila mukhashshsish. > >Memang benar Rasulullah berhaji hanya sekali, tetapi berdasarkan hadis-hadis kita telah diberitahu secara detail waktu-waktu dalam prosesi haji. Sikap seorang mukmin yang baik, seperti digambarkan Alquran, yaitu melaksanakan ketentuan Allah dan Rasul-Nya seketika, tanpa menunda sampai dua atau tiga kali diberitahu. > >$tBur tb%x. 9`ĎB÷sßJĎ9 *wur >puZĎB÷săB #s*Î) Ó|Ós% Ş!$# ˙Ľă&č!qß*u*ur #·ŤřBr& br& tbqä3t* ăNßgs9 äouŽzŤĎ*ř:$# ô`ĎB öNĎdĚŤřBr& 3 `tBur ÄČ÷čt* ©!$# Ľă&s!qß*u*ur ô*s )sů ¨@|Ę Wx»n=|Ę $YZŹÎ7*B ÇĚĎČ > >Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan mereka mengambil pilihan lain dalam hal urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguh dia telah sesat yang nyata. (Q.,s. Al-Ahzâb: 36) > > > >7 > > > >3. Mendahulukan akal daripada nash, dan qiyas yang tidak pada tempatnya. > >MF mengkiaskan ibadah haji dengan salat. Keduanya sama-sama termasuk kategori ibadah yang waktunya longgar (muwassa`), artinya waktu yang disediakan oleh Syara' dan sah untuk pelaksanaan ibadah yang dimaksud lebih panjang dibanding dengan waktu yang secara riil dibutuhkan. Seperti halnya salat dapat (sah) dilaksanakan di awal, pertengahan atau akhir waktu yang disediakan, demikian pula haji sah dilakukan kapan saja selama dalam waktu tiga bulan yang sudah maklum. Tanggal 8, 9, 10, 11, 12 dan 13 Dzul Hijjah hanyalah waktu-waktu utama seperti halnya awal waktu adalah waktu utama salat. > >Hemat saya, qiyas semacam ini tidak pada tempatnya, sebab dalam qiyas harus ada kesamaan atau kesesuaian antara maqîs dan maqîs `alayhi, dalam hal ini waktu pelaksanaan salat dan waktu pelaksanaan haji, atau dapat juga disebut qiyâs ma`al fâriq. Keduanya, menurut saya, tidak bisa dikiaskan, sebab keduanya berbeda. Salat adalah suatu prosesi ibadah yang harus dilakukan secara utuh, tidak boleh dipisah-pisah; mulai dari takbiratul ihram sampai salam. Anda boleh melakukannya kapan saja, asal jangan dipisah. Tidak demikian halnya haji, selesai umrah Anda bisa melepas pakaian ihram dan bertamattu (perhatikan kembali ayat: faman tamatta`a bil`umrati ilal hajji dan haji Rasulullah). Bahkan sebagian ulama membolehkan mulai ihram haji dan tawaf ifadhah di luar musim haji (3 bulan yang maklum) (Ahkâm al-Qur`ân, al-Jashshâsh, 1/363, Al-Mughni, Ibnu Quddamah, 3/474)). > >Kekeliruan MF dalam hal ini, hemat saya, karena MF menggunakan akalnya dengan mengkias dalam bidang yang sudah ada ketentuan nashnya (Alquran dan sunnah). Para ulama sepakat: lâ qiyâsa fi al-`ibâdah (tidak berlaku kias dalam ibadah). Memang, peran akal tidak selamanya tercela. Dalam hal yang tidak ada nashnya, atau nash tersebut bersifat zhanniy, atau lemah riwayatnya, atau ‘bertentangan’ dengan akal sehat, pendapat yang dihasilkan bisa jadi terpuji. Tidak demikian halnya jika dilakukan pada bidang yang nashsnya sudah sangat jelas. (Lihat peran akal dalam pembentukan pokok-pokok akidah dan syariah dalam al-`Itishâm, karya Syathibi, yang diringkas oleh penyuntingnya, Prof. Abdullah Diraz dalam Al-Mîzân bayna al-Sunnah wa al-Bid`ah). > > > >8 > > > >Demikian tanggapan saya. Al-Khilâfu fi al-ra`yi la yufsidu fil wuddi qadhiyyah/ perbedaan pendapat tidak akan merusak persaudaraan, demikian ungkapan yang sangat masyhur dalam etika berbeda pendapat. Sebab boleh jadi : ra`yi shawâb yahtamil al-khtha`, wa ra`yu ghayri khatha` yahtamil al-shawâb. Wallahu a`lam. > > > > > >Kairo, 31 Januari 2004 > > > >Muchlis M. Hanafi __________________________________ Do you Yahoo!? Yahoo! Finance: Get your refund fast by filing online. http://taxes.yahoo.com/filing.html ____________________________________________________ Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: http://groups.or.id/mailman/options/rantau-net ____________________________________________________