Demokrasi :
Gambaran Sebuah Sampah Peradaban

Oleh: Ahmad Sajid

Syabab Hizb ut-Tahrir wilayah Indonesia


Istilah "demokrasi" saat ini tidak dapat dilepaskan dari wacana politik
apapun, baik dalam konteks mendukung, setengah mendukung, atau menentang.
Mulai dari skala warung kopi pinggir jalan sampai hotel berbintang lima,
demokrasi menjadi obyek yang paling sering dibicarakan, paling tidak di
negeri ini.

Dengan logika antitesis, lawan kata demokrasi adalah totaliter. Jika tidak
demokratis, pasti totaliter. Totaliter sendiri memiliki kesan buruk, kejam,
bengis, sehingga negara-negara komunis sekalipus tidak ketinggalan ikut
memakai istilah demokrasi, walaupun diembel-embeli sebagai "Demokrasi
Sosialis" atau "Demokrasi Kerakyatan". Dalam kaitannya dengan masalah ini,
UNESCO pada tahun 1949 menyatakan:

".mungkin untuk pertama kali dalam sejarah, demokrasi dinyatakan sebagai
nama yang paling baik dan wajar untuk semua sistem organisasi politik dan
sosial yang diperjuangkan oleh pendukung-pendukung yang berpengaruh." 1

Gejala serupa juga melanda dunia Islam. Para intelektual muslim berupaya
mencari titik temu antara demokrasi dan ajaran Islam. Partai-partai politik
Islam, misalnya di negeri ini, berlomba-lomba mengklaim diri sebagai "paling
demokratis" agar tidak terkena serangan panah beracun dari pihak
Islamophobia yang mencap Islam sebagai agama totaliter dan dogmatis.
Putra-putri Islam dengan susah-payah berupaya "melindungi" nama baik
agamanya dengan ungkapan-ungkapan bernada defensif apologetik 2 , walaupun
hal itu menyebabkan ajaran Islam menjadi kabur atau malah lenyap.

Bagaimana hakikat demokrasi yang sebenarnya? Apakah Islam memiliki titik
temu dengan demokrasi? Bagaimana realitas demokrasi sesungguhnya? Dan apa
peranan negara-negara adidaya dalam pemaksaan ide demokrasi kepada
negeri-negeri Islam? Tulisan berikut ini akan menguraikannya.

Sekularisme : Nenek Moyang Demokrasi

Sejak memudarnya kejayaan Imperium Romawi (abad ke-3 M), gereja Kristen
mulai masuk ke arena kekuasaan politik. Kaisar Konstantin, penguasa Romawi
yang pertamakali memeluk agama Kristen, menggabungkan kekuasaan negara
dengan urusan gereja sehingga pihak gereja memiliki peranan besar dalam
pengambilan keputusan politik.

Kerajaan-kerajaan lokal mulai muncul di Eropa sejak tahun 476 M. Seperti
halnya Romawi, gereja turut menjadi penentu dalam sepak-terjang penguasa
kerajaan. Para bangsawan dan politikus-yang umumnya dari keluarga
kaya-menjadi boneka yang dikendalikan penuh oleh gereja. Tetapi karena
ajaran Kristen tidak mengatur urusan kenegaraan, gereja membuat berbagai
fatwa menurut kemauan mereka sendiri dan hal itu diklaim sebagai wewenang
yang diterimanya dari Tuhan. Tidak heran jika sosok kerajaan-kerajaan Eropa
saat itu lebih mirip dengan Imperium Romawi Kuno yang paganistis dan belum
mengenal agama.

Gereja memiliki supremasi yang sangat tinggi hampir dalam setiap urusan.
Para pemuka gereja diyakini sebagai satu-satunya pihak yang berhak
berkomunikasi langsung dengan Tuhan, dan hasil "komunikasi" itu diajukan
kepada penguasa kerajaan untuk ditetapkan sebagai keputusan politik. Eropa
memiliki sejarah yang cukup berdarah mengenai hal ini : ribuan wanita
dibunuh ketika gereja mencap perempuan sebagai tukang sihir 3 , kaum ilmuwan
yang tidak setuju dengan pendapat gereja harus rela dipenjara atau bahkan
dibunuh (seperti yang menimpa Galileo Galilei dan Nicolaus Copernicus),
perampasan tanah milik rakyat untuk dibagi-bagikan kepada penguasa dan
pemuka gereja, sampai orang yang hendak matipun tak luput dari pemerasan
oleh gereja. Pendapatan terbesar gereja berasal dari penjualan Kunci Surga
(Keys to Heaven), yaitu menjual surat pertobatan kepada orang-orang yang
hendak meninggal. Dengan membayar sejumlah uang, gereja meyakinkan orang
tersebut bahwa dosa-dosanya telah diampuni dan boleh memasuki surga.

Kelaliman gereja (yang difasilitasi oleh penguasa), kekalahan telak pasukan
salib dari tentara Khilafah Islamiyyah, dan kegeraman para pemikir Eropa
kepada gereja, menumbuhkan benih-benih pemberontakan pada abad ke-14. Hal
ini juga disebabkan oleh gencarnya penerjemahan buku-buku berbahasa Arab ke
dalam bahasa Latin Eropa sejak abad ke-10 yang berpusat di Andalusia
(Spanyol). Kegemilangan peradaban Islam telah memberi inspirasi kepada para
pemikir Eropa untuk mendobrak kejumudan yang meliputi seluruh daratan Eropa
saat itu, yang dikenal sebagai Dark Ages (Masa Kegelapan).

Pada tahun 1618 meletus perang sipil di seluruh daratan Eropa antara
pendukung dan penentang supremasi gereja. Perang itu berlangsung selama 30
tahun dan menghabiskan sepertiga penduduk Eropa serta meruntuhkan sebagian
besar kerajaan yang bercokol di Eropa. Perang terlama terjadi antara
Perancis dan Spanyol sampai tahun 1659. Akibatnya, para pemikir terpecah
menjadi 2 kelompok:

1. yang mempelajari filsafat Yunani, disebut Naturalis, dan meyakini bahwa
akal manusia mampu menyelesaikan semua persoalan;

2. yang berpihak pada gereja, disebut Realisme, dan meyakini ajaran gereja
sebagai kebenaran.

Di Itali, dua kelompok ini dikenal sebagai Gulf dan Ghibelline, dan mereka
saling berperang memperebutkan kekuasaan. Pertentangan panjang itu akhirnya
dimenangkan oleh kelompok naturalis yang mendasarkan pemikirannya pada
penyingkiran peran agama (Kristen) dari kehidupan negara, atau dikenal
dengan sekularisme.

Sekularisme benar-benar menggembirakan hati para filosof dan politikus.
Tidak ada lagi gereja yang memenjarakan kebebasan berpikir mereka. Politik
dan segala urusan duniawi telah menjadi sangat bebas nilai. Tidak ada
satupun yang membatasi. Tidak nilai agama. Tidak pula nilai moral. Salahsatu
lambang betapa liarnya dunia politik sekuler adalah buku karya Niccolo
Machiavelli yang berjudul The Discourses on the First Ten Books of Livy dan
The Prince. Salahsatu pilar pemikiran politiknya adalah: "..politik adalah
sesuatu yang sekuler. Politik adalah pertarungan antar manusia untuk mencari
kekuasaan. Semua orang pada dasarnya sama, brutal, dan egoisme politik harus
mengikuti aturan universal yang sama untuk semua orang. Penguasa yang sukses
harus belajar dari sejarah, harus mengamati para pesaingnya, dan mampu
memanfaatkan kelemahan mereka."

Sekularisme tetap dianut hingga masa kini. Menteri Luar Negeri AS, Madeleine
Albright, pada tanggal 23 Oktober 1997 di depan sivitas akademika Columbus
School of Law, The Catholic University, Washington D.C. menyatakan: "Di AS,
kita meyakini pemisahan gereja dan negara. Konstitusi kita merefleksikan
ketakutan atas penggunaan agama sebagai alat penyiksaan, yang pada abad
ke-17 dan 18 menyebabkan banyak orang melarikan diri ke daratan Amerika." 4

Sekularisme merupakan akar demokrasi. Dalam sistem politik yang
sekularistik, dimana agama hanya menjadi "inspirasi moral dan alat
penyembuhan" 5 , kehendak akal manusia menjadi penentu semua keputusan. Dan
inilah ciri yang utama dari demokrasi, yaitu menyerahkan keputusan politik
kepada kehendak masyarakat (the will of the people), sesuai dengan
pertimbangan akal manusia.

Islam vs Demokrasi

Ditinjau dari akar kelahirannya, Islam jelas berbeda dengan demokrasi.
Sistem Islam tidak lahir dari akal-akalan manusia, tetapi merupakan wahyu
Allah swt. Tetapi memang ada sementara pihak yang mencoba menyebut Islam
sebagai Mohammedanism untuk menimbulkan kesan sebagai agama buatan Muhammad,
seperti yang dinyatakan oleh H.A.R. Gibb.6  Dalam hal ini Allah swt
berfirman:

"Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah
Kucukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam menjadi agama
bagi kalian." (QS al-Maaidah : 3)

Selain dari segi akar kelahirannya, pilar-pilar demokrasi bertentangan
secara diametral dengan Islam. Beberapa elemen pokok demokrasi adalah: 7

1. kedaulatan ada di tangan rakyat;

2. rakyat sebagai sumber kekuasaan;

3. penjaminan terhadap empat kebebasan pokok, yaitu kebebasan beragama
(freedom of religion), kebebasan berpendapat (freedom of speech), kebebasan
pemilikan (freedom of ownership), dan kebebasan bertingkah laku (personal
freedom).

1. Kedaulatan

Kedaulatan (as siyadah) didefinisikan sebagai "menangani dan menjalankan
suatu kehendak atau aspirasi tertentu" 8 . Dalam sistem demokrasi kedaulatan
berada di tangan rakyat. Hal ini berarti rakyat sebagai sumber aspirasi
(hukum) dan berhak menangani serta menjalankan aspirasi tersebut.

Dalam sistem demokrasi, rakyat berfungsi sebagai sumber hukum. Semua produk
hukum diambil atas persetujuan mayoritas rakyat, baik secara langsung
(demokrasi langsung) maupun melalui wakil-wakilnya di parlemen (demokrasi
perwakilan). Inilah cacat terbesar dari sistem demokrasi. Manusia dengan
segala kelemahannya dipaksa untuk menetapkan hukum atas dirinya sendiri.
Pikiran manusia akan sangat dipengaruhi lingkungan dan pengalaman
pribadinya. Pikiran manusia juga dibatasi oleh ruang dan waktu. Atas
pengaruh-pengaruh itulah maka manusia bisa memandang neraka sebagai surga,
dan surga sebagai neraka. 9

Dalam sistem demokrasi, jika mayoritas rakyat menghendaki dihalalkannya
perzinaan, maka negara harus mengikuti pendapat tersebut. Budaya sebagian
suku di Sumatera Utara yang terbiasa meminum tuak, dapat memaksa penguasa
setempat untuk mengizinkan peredaran minuman keras. Mayoritas rakyat Iran
pada Revolusi Islam 1979 menginginkan diterapkannya sistem pemerintahan
Wilayatul Faqih, tetapi sekarang muncul gugatan terhadap sistem tersebut,
maka penguasa harus memperhatikan kehendak tersebut. Walaupun dalam konsep
Syi'ah, sistem Wilayatul Faqih adalah sesuatu yang tidak dapat
ditawar-tawar.

Dalam sistem demokrasi, masyarakat kehilangan standar nilai baik-buruk.
Siapapun berhak mengklaim baik-buruk terhadap sesuatu. Masyarakat bersikap
"apapun boleh". Di San Fransisco, para eksekutif makan siang di restoran
yang dilayani oleh pelayan wanita yang bertelanjang dada. Tetapi di New York
(masih di AS), seorang wanita telah ditangkap karena memainkan musik dalam
suatu konser tanpa pakaian penutup dada. Newsweek menyatakan: ".kita adalah
suatu masyarakat yang telah kehilangan kesepakatan..suatu masyarakat yang
tidak dapat bersepakat dalam menentukan standar tingkah laku, bahasa, dan
sopan santun, tentang apa yang patut dilihat dan didengar." 10

Dalam Islam, penetapan hukum adalah wewenang Allah swt. Penetapan hukum
tidak bermakna teknis, tetapi bermakna penentuan status baik-buruk,
halal-haram, terhadap sesuatu hal. Allah swt berfirman:

"Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah." (QS al-An'aam : 57)

"Kemudian jika kamu (rakyat dan negara) berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah kepada Allah (al-Qur'an) dan Rasul (Sunnahnya)." (QS
an-Nisaa : 59)

"Tentang apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah."
(QS asy-Syuuraa : 10)

"Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang
lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin." (QS
al-Maaidah : 50)

Abdul Qadim Zallum mengomentari ayat di atas: "Hukum Jahiliyah adalah hukum
yang tidak dibawa Muhammad saw dari Tuhannya, yaitu hukum kufur yang dibuat
oleh manusia." 11

Dengan demikian jelaslah bahwa Islam menempatkan kedaulatan di tangan Allah
sebagai Musyarri' (Pembuat Hukum), sebagai pihak yang paling berhak
menentukan status baik-buruk terhadap suatu masalah. Segala produk hukum
dalam sistem Islam harus merujuk kepada keempat sumber hukum Islam, yaitu
al-Qur'an, as-Sunnah, Ijma Shahabat, dan Qiyas (ijtihad).

2. Kekuasaan

Dalam sistem demokrasi, kekuasaan berada di tangan rakyat dan mereka
"mengontrak" seorang penguasa untuk mengatur urusan dan kehendak rakyat.
Jika penguasa dipandang sudah tidak akomodatif terhadap kehendak rakyat,
penguasa dapat dipecat karena penguasa tersebut merupakan "buruh" yang
digaji oleh rakyat untuk mengatur negara. Konsep inilah yang diperkenalkan
oleh John Locke (1632-1704) dan Montesquieu (1689-1755), dikenal dengan
sebutan Kontrak Sosial. 12

Dalam sistem Islam, kekuasaan ada di tangan rakyat. Dan atas dasar itu
rakyat dapat memilih seorang penguasa (Khalifah) untuk memimpin negara.
Pengangkatan seorang Khalifah harus didahului dengan suatu pemilihan dan
dilandasi perasaan sukarela tanpa paksaan (ridha wal ikhtiar). Tetapi
berbeda dengan sistem demokrasi, Khalifah dipilih oleh rakyat bukan untuk
melaksanakan kehendak rakyat, tetapi untuk melaksanakan dan menjaga hukum
Islam 13 . Maka seorang Khalifah tidak dapat dipecat hanya karena rakyat
sudah tidak suka lagi kepadanya, tetapi dapat dipecat jika tidak lagi
melaksanakan hukum Islam walaupun baru sehari menjabat. Bukhari, Muslim,
Ahmad, an-Nasai, dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Ubadah bin ash-Shamit:

"Kami membaiat Rasulullah saw (sebagai kepala negara) untuk mendengar dan
mentaatinya dalam keadaan suka maupun terpaksa, dalam keadaan sempit maupun
lapang, serta dalam hal yang tidak mendahulukan urusan kami (lebih dari
urusan agama), juga agar kami tidak merebut kekuasaan dari seorang pemimpin,
kecuali (sabda Rasulullah): 'Kalau kalian melihat kekufuran yang mulai
nampak secara terang-terangan (kufran bawaahan), yang dapat dibuktikan
berdasarkan keterangan dari Allah."

Untuk memutuskan apakah seorang Khalifah lalai dalam pelaksanaan hukum
Islam, negara mempunyai instrumen hukum berupa Mahkamah Mazhalim yang berhak
mengadili dan memecat penguasa. Dan kaum muslimin juga didorong untuk selalu
mengoreksi penguasa. Rasulullah saw bersabda:

"Pemimpin para syuhada adalah Hamzah bin Abdul Mutthalib, dan seseorang yang
berdiri di hadapan penguasa yang lalim, lalu ia menyuruhnya berbuat baik dan
mencegahnya berbuat munkar, lalu penguasa itu membunuhnya (karena marah)."
14

3. Kebebasan

Dalam sistem demokrasi, kebebasan adalah faktor utama untuk memberi
kesempatan kepada masyarakat untuk mengekspresikan kehendaknya-apapun
bentuknya-secara terbuka dan tanpa batasan atau tekanan.

Masyarakat demokratis bebas memeluk agama apapun, berpindah-pindah agama,
bahkan tidak beragama sekalipun. Juga bebas mengeluarkan pendapat, walaupun
pendapat itu bertentangan dengan batasan-batasan agama. Bebas pula memiliki
segala sesuatu yang ada di muka bumi, termasuk sungai, pulau, laut, bahkan
bulan dan planet jika sanggup. Harta dapat diperoleh dari segala sumber,
baik dengan berdagang ataupun dengan berjudi dan korupsi. Dalam sistem
demokrasi, masyarakat juga bebas bertingkah laku tanpa peduli dengan
mengabaikan tata susila dan kesopanan.

Islam tidak mengenal kebebasan mutlak. Islam telah merinci dengan jelas apa
saja yang menjadi hak dan kewajiban manusia. Islam bukan hanya berorientasi
kepada kewajiban, tetapi juga hak sebagai warganegara dan individu.

Islam melarang seorang muslim untuk mempermainkan agama dengan cara
berpindah-pindah agama. Rasulullah saw bersabda:

"Barangsiapa mengganti agamanya (Islam), maka jatuhkanlah hukuman mati
atasnya." (HSR Muslim dan Ashabus Sunan)

Islam juga membatasi seorang muslim untuk hanya mengatakan kebenaran dan
melarangnya untuk berpendapat dengan sesuatu yang batil. Ubadah bin
ash-Shamit meriwayatkan:

".dan kami akan mengatakan kebenaran di manapun kami berada. Kami tidak
takut karena Allah terhadap celaan orang yang mencela."

Ummu Athiyah dari Abu Said ra meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda:

"Jihad paling utama adalah (menyampaikan) perkataan yang haq kepada penguasa
yang zalim."

Islam melarang seseorang untuk memiliki benda-benda yang tidak berhak
dimilikinya, baik secara pribadi maupun kelompok. Islam telah merinci
beberapa cara pemilikan yang terlarang, misalnya pencurian, perampasan, suap
(riswah), korupsi, judi, dan sebaliknya menghalalkan beberapa sebab
pemilikan, yaitu bekerja, waris, mengambil harta orang lain dalam keadaan
terdesak yang mengancam jiwanya, serta harta yang diperoleh tanpa
pengorbanan semisal hadiah, hibah, sedekah, atau zakat.

Dalam masalah tingkah laku, Islam memberikan batasan susila yang jelas,
terutama masalah interaksi pria-wanita (ijtima'iy). Di dalam sistem
demokrasi, interaksi pria-wanita yang sangat bebas telah memunculkan
berbagai masalah pelik, seperti menyebarnya berbagai penyakit menular
seksual (PMS) mulai dari sifilis sampai AIDS yang sukar disembuhkan. Belum
lagi lahirnya anak-anak yang identitasnya tidak jelas, dan konon 75%
generasi muda Inggris saat ini dilahirkan dari orangtua yang tidak menikah
secara resmi (zina).

Hingga masalah-masalah kesusilaan yang ringan pun, Islam memberi aturan yang
rinci semata-mata untuk menjaga kehormatan manusia. Misalnya, al-Qur'an
melarang seseorang untuk memasuki rumah orang lain tanpa izin pemilik rumah.
Allah swt berfirman:

"Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah orang lain,
sampai kamu mendapatkan izin, dan kamu mengucapkan salam kepada
penghuninya." (QS an-Nuur : 27)

Syura = Demokrasi ?

Adanya prinsip syura dalam sistem Islam dan musyawarah dalam sistem
demokrasi tidak dapat dijadikan alasan untuk menyamakan Islam dengan
demokrasi. Becak memiliki roda, demikian pula dengan mobil. Tetapi bukankah
becak jauh berbeda dengan mobil?

Tidak semua masalah dapat dimusyawarahkan dalam Islam. Hal inilah yang
membedakannya dengan sistem demokrasi yang mengharuskan setiap keputusan
diambil dengan suara terbanyak, tidak peduli apakah hasil keputusan itu
melanggar batasan-batasan agama yang sudah mereka singkirkan jauh-jauh dari
panggung kehidupan dunia. Islam membatasi musyawarah hanya untuk
masalah-masalah yang mubah. Adapun masalah-masalah yang telah jelas
halal-haramnya, tidak dapat dimusyawarahkan untuk dicabut atau sekedar
mencari jalan tengah.

Rasulullah saw pernah menolak keberatan sebagian besar Shahabat ketika
beliau menyetujui tawaran pihak Quraisy dalam Perjanjian Hudaibiyah. Umar
bin Khatthab menunjukkan penentangan yang paling keras. Tetapi Rasulullah
saw mengatakan: "Wahai Ibnul Khatthab, aku adalah Rasulullah, dan aku tidak
akan mendurhakai-Nya. Dia adalah penolongku dan sekali-kali tidak akan
menelantarkan aku." Setelah itu turunlah surat al-Fath yang menjanjikan
kemenangan bagi kaum muslimin. 15

Untuk masalah-masalah teknis dan menyangkut keterampilan tertentu,
Rasulullah saw menyerahkan keputusannya kepada para pakar dalam bidang
tersebut. Ketika meletus perang Badar Kubra, Rasulullah saw menempatkan
pasukannya jauh di belakang sebuah sumur (sumber air). Melihat hal ini,
Hubbab bin al-Mundzir bertanya: "Wahai Rasulullah, apakah ini wahyu atau
sekedar pendapatmu?" Lantas dijawab oleh beliau: "Ini hanyalah pendapatku."
Hubbab al-Mundzir kemudian mengusulkan kepada beliau untuk menempatkan
pasukannya di depan sumur, sehingga mereka dapat menguasai sumur tersebut
dan menimbunnya jika pasukan Quraisy menyerang sehingga musuh tidak dapat
mengambil air dari sumur itu. Rasulullah saw lantas mengubah pendapatnya
dengan pendapat Hubbab tersebut. 16

Untuk masalah-masalah yang sifatnya mubah (boleh), Rasulullah saw meminta
pendapat kaum muslimin. Ketika Perang Uhud, beliau dan sebagian Shahabat
yang terlibat dalam Perang Badar memilih menyambut musuh dari dalam benteng
kota Madinah. Tetapi mayoritas penduduk Madinah dan sebagian Shahabat yang
tidak ikut Perang Badar memilih untuk menyongsong musuh di lur benteng.
Melihat semangat yang begitu membara, ditambah ucapan Hamzah bin
Abdul-Mutthalib yang ketika Perang Badar tidak turun ke medan laga, akhirnya
Rasulullah saw memutuskan untuk menyambut musuh di luar benteng.17  Dalam
hal ini, beliau hanya meminta pendapat mengenai lokasi penyambutan musuh.
Adapun kewajiban jihad tidak beliau musyawarahkan karena jihad merupakan
kewajiban yang tidak berhenti hingga hari kiamat. Allah swt berfirman:

"Wahai orang-orang yang beriman, telah diperintahkan kalian untuk berperang,
padahal berperang itu merupakan sesuatu yang kalian benci." (QS al-Baqarah :
216)

Rasulullah saw bersabda:

"Jihad itu wajib atas kalian, bersama seorang pemimpin, apakah dia pemimpin
yang taat maupun yang buruk." (HR Abu Dawud dan Abu Ya'la dari Abu Hurairah)
18

Dan memang pada kenyataannya, menyerahkan setiap keputusan politik kepada
seluruh warganegara adalah sesuatu yang mustahil dan justru dapat
mengkhianati kebenaran. Sistem polis di Yunani Kuno yang digembar-gemborkan
telah menerapkan demokrasi langsung (direct democracy), ternyata melakukan
diskriminasi rasial dengan memberikan hak bersuara hanya kepada golongan
penduduk kaya dan menengah. Adapun golongan pedagang asing dan budak (yang
merupakan mayoritas penduduk) tidak memiliki hak suara samasekali.

Dalam lapangan peradilan, sistem juri seperti yang dipakai di AS dan Inggris
telah mengundang kritik yang sangat keras. Para juri dipilih mewakili setiap
komunitas di suatu kota/distrik tanpa melihat kemampuan masing-masing
sedangkan hakim hanya bertugas mengatur persidangan agar sesuai dengan hukum
acara. Vonis terhadap terdakwa dijatuhkan berdasarkan kesepakatan atau suara
mayoritas anggota juri. Dengan sistem seperti ini, diharapkan akan lahir
keputusan pengadilan yang "demokratis".

Tetapi layakkah nasib seorang terdakwa (apalagi terdakwa hukuman mati)
diserahkan kepada 10-12 orang yang samasekali buta hukum? Mereka (para juri)
bisa jadi buta huruf, tidak menguasai asas-asas hukum pidana, atau bahkan
pernah melakukan kejahatan yang sama dengan si terdakwa. Atau termakan oleh
kepandaian bersilat lidah dari para pengacara sehingga vonis yang dijatuhkan
tidak lagi didasarkan pada bukti-bukti materiil yang memang hanya dapat
dipahami oleh para ahli hukum. Sistem juri adalah pengadilan primitif,
sisa-sisa peradilan hukum rimba, yang tidak menjunjung kebenaran hukum,
tetapi mengambil suara mayoritas (siapapun orangnya) sebagai kebenaran.



Demokrasi sebagai Alat Penjajahan

Benarkah Amerika Serikat-sebagai kampiun demokrasi di dunia-telah memberi
contoh terbaik tentang demokrasi? Ralph Nader pada tahun 1972 menerbitkan
buku Who Really Runs Congress?, yang menceritakan betapa kuatnya para
pemilik modal mempengaruhi dan membiayai lobi-lobi Kongres. Diperkuat oleh
The Powergame (1986) karya Hedrick Smith yang menegaskan bahwa unsur
terpenting dalam kehidupan politik Amerika adalah: (1) uang, (2) duit, dan
(3) fulus. Sehingga benarlah apa yang diteriakkan Huey Newton, pemimpin
Black Panther pada tahun 1960-an: "Power to the people, for those who can
afford it." (kekuasaan diperuntukkan bagi siapa saja yang mampu membayar
untuk itu). 19

Sejak terbentuknya negara federasi pada tahun 1776, Amerika memerlukan waktu
11 tahun untuk menyusun konstitusi, 89 tahun untuk menghapus perbudakan, 144
tahun untuk memberi hak pilih pada kaum wanita, dan 188 tahun untuk menyusun
draf konstitusi yang "melindungi" seluruh warganegara.20  Dengan masa lalu
yang demikian kelam dan masa kini yang demikian jorok, Amerika dengan arogan
mencoba memberi kuliah tentang demokrasi kepada negara-negara berkembang
yang mayoritas negeri-negeri Islam.

Kampanye demokrasi dan hak asasi manusia yang dilakukan Amerika ke seluruh
dunia mempunyai dua tujuan: (1) untuk melindungi keamanan Amerika, dan (2)
meningkatkan kesejahteraan Amerika. Dan promosi hak asasi manusia serta
demokrasi tersebut telah ditetapkan sebagai salahsatu tujuan fundamental
dari kebijakan luar negeri Amerika. 21

Negara adidaya tersebut mempunyai kepentingan untuk membuka pasar global
seluas-luasnya sehingga perusahaan Amerika dapat masuk dan menguasai pasar
di negara setempat. Untuk mencapai hal itu, dibutuhkan suatu rezim yang
lemah, yang dapat ditekan oleh para pemilik modal atau badan-badan keuangan
internasional. Rezim yang lemah ini diharapkan dapat bekerjasama secara
lebih kooperatif dengan para investor Amerika dalam sektor perdagangan, dan
tentunya mudah tunduk pada tekanan politik Amerika dalam sektor diplomatik.
22

Untuk menciptakan para penguasa yang lemah di tiap-tiap negara, dikembangkan
konsep civil society (masyarakat sipil) yang mengebiri peran negara menjadi
seminimal mungkin. Lembaga swadaya masyarakat (LSM) didorong untuk menjadi
"pemerintah-pemerintah kecil" sehingga masyarakat dapat mengurus dirinya
sendiri. Melalui skema Regional Democracy Funds, tahun 1999 ini Amerika
telah mengajukan proyeksi dana bagi LSM-LSM sebesar US$ 39,75 juta dengan
perincian US$ 15 juta untuk Afrika, US$ 5 juta untuk Asia Timur dan Pasifik,
US$ 2,75 juta untuk Asia Selatan, dan US$ 13 juta untuk Amerika Latin serta
Karibia. Khusus untuk ASEAN, tahun lalu telah dikucurkan dana US$ 500.000
untuk membangun jaringan LSM-LSM di wilayah tersebut. 23

Di Indonesia, pemerintah Amerika memberi bantuan kepada Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia (Komnas HAM), suatu badan semi-independen, untuk "mengekspos
segala tindak kekerasan sipil dan militer". Atas bantuan Amerika pula,
Komnas HAM membuka kantor cabang di Timor Timur dan mengadakan program
pelatihan mengenai hak asasi manusia. Bantuan serupa diberikan pula kepada
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). 24

Untuk membentuk opini dunia, Amerika melalui Departemen Luar Negeri setiap
tahun secara rutin mengelurkan laporan tahunan mengenai pelaksanaan HAM di
setiap negara-tentunya dengan menggunakan standar Amerika yang diklaim
sebagai "standar universal". Beberapa negara yang dianggap belum
mengembangkan demokrasi sesuai dengan keinginan Amerika, dimasukkan dalam
golongan negara-negara kunci (key countries). Untuk tahun 1998,
negara-negara yang digolongkan key countries adalah Cina, Tibet dan
Xinjiang, Kuba, Serbia, Sierra Leone, Nigeria, dan Indonesia. Khusus untuk
Indonesia, Menteri Luar Negeri AS, Madeleine Albright, menyebutnya sebagai
"sebuah transisi yang mendapat prioritas." 25

Tak hanya pihak pemerintah, lembaga-lembaga swasta pun turut andil dalam
penyebaran opini global tentang nilai-nilai demokrasi universal. Freedom
House telah mengeluarkan laporan tentang indeks kebebasan negara-negara di
dunia, yang terdiri dari beberapa parameter: kebebasan berbicara, kebebasan
berserikat, kebebasan pers, persamaan di depan hukum, dan partisipasi aktif
dalam politik berupa kebebasan memilih dan kompetisi antar partai politik.
Atas dasar parameter-parameter tersebut, Freedom House membuat rating indeks
kebebasan antara 1 sampai 7-makin besar rating berarti makin tidak bebas.
Untuk tahun 1997/1998, hanya 8,7% dari 48 negeri-negeri Islam digolongkan
demokratis, 30% tergolong semi-demokratis, dan sebagian besar (60,9%)
digolongkan sebagai negara otoriter. "Fakta" ini dihadapkan pada kondisi
negara-negara non-muslim yang 23,3% otoriter, 30,1% semi-demokratis, dan
46,6% demokratis. 26

Sudah terlalu jelas fakta yang dapat disodorkan bahwa Amerika menggunakan
demokrasi sebagai alat untuk menekan negara-negara berkembang (terutama
negeri-negeri Islam) agar tunduk pada keinginannya. Tidak pernah ada itikad
baik Amerika untuk mendorong kesejahteraan negara-negara yang dijadikan
sasaran promosi demokrasi dan hak asasi manusia. Walaupun negara tersebut
"tidak demokratis"-menurut pandangan Amerika-asalkan mau tunduk pada kemauan
Amerika, maka negara tersebut tidak akan diusik sedikitpun. Inilah yang
dilakukan Amerika pada negara-negara Timur Tengah yang penguasanya telah
berkhidmat 150% kepada Amerika.

Amerika (dan negara-negara Barat) mempunyai kepentingan politik dan ekonomi
untuk menjaga kelangsungan hidup rezim-rezim penguasa Timur Tengah. Jika
demokratisasi diartikan sebagai tampilnya kekuatan oposisi ( yang didominasi
oleh gerakan Islam "fundamentalis") sebagaimana terjadi di Kuwait, Aljazair,
Yordania, dan Yaman, maka Barat akan menghambat proses demokratisasi itu.27
Kontinuitas suplai minyak dan keberadaan pangkalan militer Barat adalah
sesuatu yang jauh lebih berharga ketimbang demokratisasi.

Demokrasi tidak pernah dan tidak akan terwujud dalam aspek kehidupan
praktis. Demokrasi hanyalah alat penekan dan dominasi Amerika (termasuk
Barat) kepada negeri-negeri Islam untuk tunduk pada kepentingan mereka. Jika
Prof. Dr. Ahmad Syafii Ma'arif menyebut penjajahan sebagai sampah peradaban,
maka demikian pulalah julukan yang tepat untuk demokrasi. Wallahu a'lam.



Selesai atas pertolongan Allah pada 26 September 1999.



Catatan Kaki:

1 S.I. Benn and R.S. Peters, Principles of Political Thoughts, Collier
Books, 1964, hal.363

 2 Defensif apologetik adalah upaya pembelaan diri dengan menggunakan pola
pikir pihak penyerang karena takut dianggap berbeda dengan orang lain.
Misalnya "Tidak, Islam justru sangat demokratis", atau "Islam tidak
dogmatis.", dan lain-lain. Orang yang menggunakan pola defensif apologetik
biasanya akan terseret untuk terjebak dalam alur pemikiran pihak penyerang

 3 Konon, fondasi London Bridge dibuat dari bahan-bahan yang dicampur dengan
tulang-belulang perawan (lihat Munawar Ahmad Anees, Islam dan Masa Depan
Biologis Umat Manusia (Etika, Gender, Teknologi), Penerbit Mizan, 1992,
hal.43)

 4 Released by The Office of The Spokesman, U.S. Department of State,
October 24, 1997

 5 Ibid

 6 H.A.R. Gibb, Mohammedanism, Oxford, 1969

 7 Abdul Qadim Zallum, Dimuqrathiyah Nidham Kufr, 1990, hal.8-9 (edisi
Indonesia)

 8 Taqiyuddin an-Nabhani, Nidhamul Hukm fil Islam, 1990, hal.40; Mahmud
Abdul Majid al-Khalidi, Qawaid Nidhamul Hukm fil Islam, t.t., hal.46

 9 Amien Rais, Khilafah dan Kerajaan (Kata Pengantar) karya Abul A'la
al-Maududi, Penerbit Mizan, 1998

 10 Alvin Toffler, Future Shock, 1989, hal.271-272 (edisi Indonesia)

 11 Abdul Qadim Zallum, Dimuqrathiyah Nidham Kufr, 1990, hal.55 (edisi
Indonesia)

 12 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, 1995, hal.55-56

 13 Taqiyuddin an-Nabhani, Nidhamul Hukm fil Islam, 1990, hal.41-42

 14 Al-Hakim an-Naisaburi, al-Mustadrak III/195; Imam ath-Thabrani, al-Mu'
jam ash-Shaghir I/264

 15 Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarakfury, Rahiqul Makhtum : Sirah
Nabawiyyah, hal.451-452 (edisi Indonesia)

 16 Ibid, hal.278-279

 17 Ibid, hal.328-329

 18 Imam as-Suyuthi, al-Jami' as-Shaghir I/564

 19 Juwono Sudarsono, Demokrasi, Bereskah?, Gatra, 15 Juli 1995

 20 Strobe Talbott, Democracy and the International Interest, remarks to the
Denver Summit of the Eight Initiative on Democracy and Human Rights,
Washington, DC, October 1, 1997

 21 John Shattuck, Human Rights and Democracy, statement before the House
Committee on Appropriations, Subcommittee on Foreign Operations, Washington,
DC, April 1, 1998

 22 Strobe Talbott, ibid

 23 John Shattuck, ibid

 24 John Shattuck, U.S. Democracy Promotion in Asia, statement before the
House International Relations Committee, Washington, DC, September 17, 1997

 25 Harold Hongju Koh, 1998 Annual Country Reports on Human Rights
Practises, testimony before the Subcommittee on Human Rights and
International Operations, U.S. House of Representatives, Washington, DC,
February 26, 1999.

 26 Saiful Mujani, Islam, Civic Culture dan Demokratisasi (Sebuah Agenda
Riset Komparatif), Student Circle Paramadina, 11 Agustus 1999

 27 Riza Sihbudi, Bara Timur Tengah, Penerbit Mizan, 1992 (lihat juga Saad
Eddin Ibrahim, Crises, Elites, and Democratization in the Arab World, Middle
East Journal, vol.17 no.2, Spring 1993)



____________________________________________________
Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: 
http://groups.or.id/mailman/options/rantau-net
____________________________________________________

Kirim email ke