Assalaamu'alaykum wa Rahmatullaahi wa Barakatuhu

Argumen yang disampaikan dalam forwardan Sanak Ismet memang cukup menarik
dan kelihatannya logis. Saya cuma mau tanya, kalau memang wanita berhak atas
tubuhnya sendiri, apakah wanita-wanita yang dengan sukarela menggunakan
jilbab yang panjang dan menutup aurat itu bisa dikatakan tidak memenuhi hak
tubuhnya itu?

Saya tidak tahu siapa itu Khotimatul Husna, kalau dia ingin menafsirkan
ayat-ayat Al-Qur'an, saya kira tidak ada larangan bagi wanita untuk
melakukannya. Hanya saja tentu wanita tersebut (dan juga laki-laki yang
ingin menafsirkan Al-Qur'an) mesti memenuhi syarat-syarat yang diperlukan
untuk menjadi ahli tafsir, yaitu hafal Al-Qur'an dan mengetahui asbabul
nuzulnya, hafal ribuan hadits serta konteksnya, dan berbagai persyaratan
lain agar dia memang bisa disebut sebagai ahli tafsir. Kalau hanya mengambil
pendapat orang-orang yang hanya mengandalkan otaknya yang terbatas tanpa mau
mengetahui konteks ayat-ayat Al-Qur'an, janganlah mencoba-coba jadi ahli
tafsir, kasihan, karena hasilnya hanyalah diketawakan orang saja. Terlihat
jelas dia hanya mengambil pendapat orang-orang yang diragukan integritasnya
dalam Islam. Uni Rahima saya kira bisa memberi informasi mengenai siapa itu
Qasim Amin yang pendapatnya dinukil di tulisan itu dan juga mengajukan
pendapat-pendapat sebagian ulama saja yang bisa diserang olehnya tanpa
memberikan informasi apakah itu memang pendapat mayoritas ulama atau tidak.

Jadi sayangnya tulisan itu walaupun kelihatannya logis, dari segi
intelektualitas terlihat jelas membodohi para pembacanya, karena
menyembunyikan informasi yang harus disampaikan. Sebagai penyeimbang,
mudah-mudahan tulisan tentang jilbab di bawah ini bisa bermanfaat.
Wassalaamu'alaykum wa Rahmatullahi wa Barakatuhu
Muhammad Arfian
[EMAIL PROTECTED]
[EMAIL PROTECTED]
090-6149-4886
"Isy Kariman Aw Mut Syahidan"

Menjawab Keraguan Seputar Jilbab
10/19/2001 - Arsip Fiqh
Menghias perbuatan maksiat adalah pekerjaan setan. Sehingga perbuatan dosa
bisa nampak indah, yang haram menjadi suram dan yang maksiat kelihatan
memikat. Begitu pula dalam masalah jilbab dan busana takwa ini. Banyak
syubhat dan keraguan yang bisa jadi sengaja dihembuskan untuk menghalangi
para wanita muslimah memperindah penampilannya dengan busana takwa.

Tulisan ini akan mengupas tentang beberapa hal yang menimbulkan keraguan dan
kebimbangan seputar jilbab, sekaligus menjawabnya insya Allah. Hal-hal
tersebut antara lain:


  1.. Jilbab adalah budaya Arab
  Ada sementara orang yang mengatakan bahwa jilbab adalah budaya dan tradisi
pakaian wanita arab pada masa awal pertumbuhan Islam. Sekarang, setelah
berlalu lebih dari 14 abad, budaya dan tradisi pun berubah. Cara orang
berpakaian pun sudah tak seperti dulu. Karena jilbab adalah pakaian wanita
arab saat itu, maka bukan saatnya lagi untuk dikenakan saat ini. Apalagi
bagi orang yang tinggal di negara-negara non arab yang tentunya mempunyai
budaya dan tradisi sendiri.

  Dari sini paling tidak ada dua hal yang perlu dijawab. Pertama, benarkah
jilbab adalah tradisi berpakaian wanita arab pada awal pertumbuhan Islam?
Kedua, benarkah jilbab hanya khusus untuk wanita arab dan tak wajib bagi
muslimah non arab untuk mengenakannya?

  Imam Hakim meriwayatkan sebuah hadis yang menggambarkan saat-saat setelah
turunnya ayat perintah menutup aurat, yaitu Surat Annur ayat 31:
  (dan hendaklah mereka menutupkan khumur- jilbab- nya ke dada mereka.).
Riwayat lain menerangkan: "Wanita-wanita (ketika turun ayat tersebut) segera
mengambil kain sarung mereka, kemudian merobek sisinya dan memakainya
sebagai jilbab." (HR. Hakim).

  Imam Bukhari juga meriwayatkan hal senada:
  "Bahwasannya 'Aisyah RA. Berkata: "Ketika turun ayat 31 surat Annur (dan
hendaklah mereka menutupkan "khumur" -jilbab- nya ke dada mereka.) maka para
wanita segera mengambil kain sarung, kemudian merobek sisinya dan memakainya
sebagai jilbab." (HR. Bukhari).

  Kedua hadis ini menunjukkan kepada kita bahwa pada saat turunnya ayat
tersebut para shohabiyyah (wanita dari kalangan sahabat) sedang tidak
mengenakan "khumur" (jilbab) dan memang mereka belum biasa mengenakannya.
Buktinya, saat itu mereka harus merobek kain sarung mereka untuk
dialih-fungsikan menjadi jilbab. Jika mereka sudah biasa memakainya tentunya
jilbab itu telah tersedia dan tak perlu lagi untuk menyulap kain sarung
mereka menjadi jilbab "darurat." Dari sini jelaslah bahwa jilbab bukanlah
merupakan budaya dan tradisi wanita arab pada awal pertumbuhan Islam, tetapi
suatu hal yang disyariatkan oleh Islam dan dilaksanakan oleh seluruh
shohabiyyah. Hingga akhirnya pakaian tersebut mentradisi dan menjadi budaya
Islam. Dengan ini, berarti pertanyaan pertama telah terjawab.

  Sedang pertanyaan kedua, yakni apakah jilbab hanya untuk orang arab saja,
maka ini terjawab dengan keuniversalan Islam. Islam adalah agama yang
diperuntukkan bagi seluruh manusia, melampaui batas waktu dan geografi.
Allah berfirman:
  "Dan Kami tidak mengutus kamu melainkan kepada manusia seluruhnya, sebagai
pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui." (Qs. Saba':28). Karena jilbab (busana penutup
aurat) adalah bagian dari syariat Islam maka ia juga diperuntukkan bagi
seluruh wanita muslimah di manapun ia berada hingga hari kiamat kelak.


  2.. Jilbab hanya wajib bagi istri-istri Rasulullah
  Orang yang mengatakan bahwa jilbab (dikenal juga dengan sebutan hijab)
hanyalah wajib bagi istri-istri Rasulullah berdalil dengan ayat 33 surat
Al-Ahzab. Sebab konteks ayat tersebut ditujukan kepada mereka. Karenanya
larangan untuk tabarruj dan kewajiban mengenakan jilbab hanyalah wajib bagi
mereka saja.

  Pernyataan ini terjawab dengan dua hal:


    1.. Para ahli tafsir memberikan komentar atas ayat tersebut bahwa
meninggalkan tabarruj juga diperintahkan kepada seluruh wanita mukminah.
Imam Al-Jashshas berkata: "Semua hal yang tersebut dalam ayat ini adalah
petunjuk-petunjuk Allah bagi istri-istri rasulullah untuk menjaga mereka,
dan semua itu juga ditujukan bagi wanita-wanita mukminah." (lihat, Ahkamu
Al-Qur'an karya Al-Jashshos). Imam Ibnu Katsir berkomentar: "Ini adalah
hal-hal yang diperintahkan Allah kepada istri-istri Nabi, dan seluruh wanita
mukminah dalam hal ini harus mengikuti mereka." (lihat, Tafsir Ibnu Katsir).


    2.. Sebutlah misalnya bahwa, benar ayat surat Al-Ahzab: 33 tersebut
khusus untuk istri-istri Rasulullah, namun ada ayat lain yang dengan jelas
mengatakan bahwa kewajiban berjilbab itu diperuntukkan bagi seluruh wanita
mukminah. Yaitu Firman Allah:
    "Dan katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman: "Hendaklah mereka
menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya dan janganlah mereka
menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak dari padanya. Dan
hendaklah mereka menutupkkan khumur (Ind: jilbab) nya ke dadanya."
(Qs.Annur: 31 - lihat tulisan sebelumnya)


  3.. Jilbab adalah sekedar simbol
  Sementara itu ada yang mengatakan bahwa jilbab hanyalah sebuah simbol.
Sedang yang penting bagi seorang muslim adalah baiknya budi pekerti dan
bersihnya hati. Dari pada berjilbab tapi kelakuannya berantakan, bukankah
lebih baik tidak berjilbab tapi bertingkah laku baik.

  Kelihatannya kata-kata ini baik, namun sebenarnya rancu. Sebab dalam diri
seorang muslim hendaknya tertanam keyakinan bahwa apapun yang diperintahkan
oleh Allah dan Rasulnya adalah baik dan seharusnya dilakukan. Baik itu
simbol atau bukan. Tidaklah hanya karena suatu hal dianggap simbol lantas
kita boleh meninggalkannya. Bahkan lebih dari itu, di sana ada hal-hal yang
tak bisa dilogikakan namun kita tetap wajib melakukan. Misalkan wudlu karena
keluar angin. Mengapa yang harus dibasuh adalah muka, tangan, kepala dan
kaki. Bukankah yang lebih pantas untuk dibasuh adalah tempat keluarnya angin
tersebut. Karena alasan ini pula sayyidina Umar RA. berujar tatkala mencium
hajar aswad: "Sesunguhnya aku tahu kau hanyalah sebuah batu yang tak bisa
mendatangkan faedah dan tidak pula menyebabkan bahaya, namun karena aku
melihat Rasulullah menciummu maka aku menciummu."

  Sikap menerima seperti inilah yang diperintahkan Allah dalam firman-Nya:
  "Tidaklah patut bagi seorang mukmin dan tidak pula bagi seorang mukminah,
apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, kemudian ia
memilih yang lain tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah
dan Rasul-Nya maka sesungguhnya ia telah sesat dengan kesesatan yang nyata."
(Qs. Al-Ahzab: 36).

  Maka seorang muslim seharusnya memandang bahwa berjilbab juga termasuk
akhlak dan perilaku yang baik. Sebab yang baik bagi seorang muslim adalah
yang baik menurut Allah dan yang buruk adalah yang buruk menurut-Nya.
Karenanya, menanggapi komentar di atas seharusnya seorang muslim berkata:
"Lebih baik berjilbab dan mempunyai akhlak yang baik dari pada berperilaku
baik tapi tidak berjilbab." Atau: "Sayang sekali, perilakunya baik tapi kok
tidak berjilbab."


SIAPAKAH YANG MEMIKUL TANGGUNG JAWAB INI?
Permasalahan jilbab ini bukanlah hanya tanggung jawab para muslimah saja.
Tapi setiap muslim ikut bertanggung jawab dalam hal ini. Setiap muslim
berkewajiban untuk bersama-sama menciptakan situasi yang kondusif untuk
pelaksanaan syariat Allah tersebut. Seorang ayah bertanggung jawab atas
istri dan anak-anak putrinya. Seorang ibu bertanggung jawab atas dirinya dan
anak-anak wanitanya. Dan setiap kita bertanggung jawab atas keluarga kita.
Jika kita melalaikan tanggung jawab ini, secara sadar atau tidak kita telah
menjerumuskan diri kita dan orang-orang yang kita cintai dalam jurang api
neraka.

Rasulullah bersabda:
"Ada dua golongan penghuni neraka yang aku belum pernah melihatnya:
Laki-laki yang tangan mereka menggenggam cambuk yang mirip ekor sapi untuk
memukuli orang lain dan wanita-wanita yang berpakaian namun telanjang dan
berlenggak lenggok. Kepalanya bergoyang-goyang bak punuk onta. Mereka itu
tidak masuk surga dan tidak pula mencium baunya. Padahal sesungguhnya bau
surga itu bisa tercium dari jarak sekian dan sekian." (HR. Muslim).

Allah berfirman:
"Wahai orang-orang yang beriman, selamatkanlah dirimu dan keluargamu dari
api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya adalah
malaikat-malaikat yang kejam dan keras, yang tidak mendurhakai Allah
terhadap apa yang diperintahkan-Nya dan melaksanakan apa yang
 diperintahkan." (Qs. Attahrim: 6). Wallahu a'lam bishshowab.

(Ahmad ulil Amin)

Al-Islam, Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia


____________________________________________________
Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: 
http://groups.or.id/mailman/options/rantau-net
____________________________________________________

Kirim email ke