Untuek adisunsanak nan masih berpikir tentang pemberontakan daerah, mungkin tulisan 
dibawah ini (dari biliak subalah) bisa dilihat sebagai gambargadangnya Indonesia, 
walaupun disitu indak disabuik tentang PRRI.

Semoga bermanfaat,  Abrar.

BELAJAR DARI
  BIOGRAFI RAKYAT
  Oleh: Otto Syamsuddin Ishak


       Dalam kesempatan ini, saya hanya ingin memberikan
  konteks pada apa yang menjadi topic pembicaraan dalam
  sesi politic, dialog dan self-determination. Apa yang
  akan saya sampaikan, terus terang saja, berdasarkan
  pada imaginasi yang tumbuh ketika membaca pengantar
  Benedict R. O'G. Anderson dalam buku: Violence and the
  State ini Suharto's Indonesia.
       Ben Anderson menggambarkan apa yang telah dialami
  oleh orang Indonesia pada setiap tahapan kehidupannya
  yang telah berusia 70 tahun. Tahapan-tahapan tersebut
  dialami oleh hampir setiap orang yang hidup sejak masa
  akhir kolonial balanda hingga di dalam Indonesianya
  Soekarno, Soeharto, Habibie dan Abdurrahman Wahid.
  Namun, sudah barang tentu pula, sebagai orang Aceh,
  meskipun mereka harus hidup di semua episode Indonesia
  tersebut, tetapi mereka juga memiliki
  pengalaman-pengalaman yang lebih khusus dan unik
  sesuai dengan apa yang tercatat sebagai sikap dan
  tindakan mereka dalam setiap tahapan tersebut.
       Kemudian, dengan menggunakan perspektif
  komparatif, maka kita akan bertemu dengan apa dan
  siapa orang Indonesia dan orang Aceh. Lalu, dari
  komparasi ini, kita baru masuk keperbincangan topik
  sesi ini.

  **

       Sejarah hidup orang Indonesia, sebenarnya,
  bukanlah sejarah orang-orang merdeka. Dalam
  penggambaran Ben Anderson, ketika orang Indonesia
  masih duduk di sekolah dasar (1942) sudah mengalami
  perlakuan negara otoritarian di akhir periode kolonial
  Belanda karena masuknya serdadu Jepang. Mereka hidup
  dalam masa transisi keluar dari mulut buaya masuk ke
  mulut harimau. Sementara orang Aceh tidak sepenuhnya
  mengalami masa kolonial karena mereka masih terus
  berjuang untuk kebebasan dari kolonial. Kita bisa
  bayangkan, dalam rentang biografi sebuah keluarga
  Aceh, mereka bisa memiliki 3 hingga 4 generasi yang
  terus berjuang dan  syahid.
       Ketika, orang Indonesia sudah mencapai usia
  muda-remaja maka ia harus hidup di dalam kekuasaan
  rezim militeristik Jepang yang secara reguler
  melakukan aksi kekerasan di dalam kehidupan pribadi
  maupun publik. Mereka menjadi buruh kerja-paksa di
  dalam negerinya sendiri maupun dikirim ke luar, di
  antaranya, sebagai buruh konstruksi rel kereta api di
  Thailand dan Burma.  Dalam episode ini, orang Aceh
  juga tidak sepenuhnya mengalami represi politik
  perbudakan Jepang.
       Masuk ke usia seorang muda-dewasa (1945-49),
  mereka hidup dalam masa transisi kedua karena
  kembalinya Belanda, dan berakhirnya Jepang (keluar
  dari mulut harimau  kembali ke mulut buaya). Sebuah
  masa transisi dari rezim militeristis Jepang kembali
  ke rezim otoritarian Belanda. Sedangkan rezim Soekarno
  sedang mencari-cari konstruk nation-building bagi
  Indonesia. Ben Anderson menyebut masa transisi ini
  sebagai pergulatan pembebasan nasional menentang
  re-imposisi kekuasaan Belanda.
       Di dalam konteks internal, sebenarnya sedang
  terjadi sebuah revolusi social menghancurkan kuasa
  kaum aristocrat dan kolaborator Belanda, dan aksi
  pembunuhan massal yang terorganisasi secara local
  terhadap orang Cina. Di samping itu ada gerakan
  semi-reguler serdadu RI yang dipimpin oleh, di
  antaranya, pasukan mantan milisia (AH Nasution adalah
  milisia Belanda), kaum muda yang dilatih oleh Jepang
  (seperti Soeharto), bandit-bandit social-pejuang
  bersenjata (Kusni Kasdut), dan para mujahidin
  pendukung Negara Islam. Belum lagi konflik-konflik
  antara sipil-militer, atau antara jalan politik yang
  ditempuh sipil dan jalan militeristik yang diambil
  kaum serdadu. Jadi, kita dapat membayangkan bagaimana
  jiwa dan raga rakyat diformat dalam situasi
  transisional yang begitu rumit, brutal dan tidak jelas
  kapan berakhirnya. Sementara orang Aceh baru
  menyelesaikan sebuah revolusi social internal antara
  hulubalang-penguasa dengan ulama-rakyat.
       Sebagai seorang Indonesia yang dewasa (1950-57),
  ia harus hidup di dalam konflik bersenjata antara
  Indonesia dan Aceh (DII/TII), Maluku, Sulawesi
  Selatan, serta Jawa Barat. Sebuah massa pencabikan
  kepribadian antara keindonesiaan (nasionalisme) dengan
  keagamaan yang bersatu dengan keetnikan (Islam dan
  keacehan, kemalukuan, kesulawesian dan kesundaan).
  Setiap pribadi harus memilih di antara 2 pilihan yang
  sangat sulit dan, dengan resiko nyawa dan harta benda.
  Orang Aceh beralih dari konflik horizontal
  (uleebalang-penguasa dan ulama-rakyat) ke konflik
  vertikal antara rakyat Aceh dan Negara Republik
  Indonesia. Dalam periode ini, orang Aceh juga sudah
  mengalami pembunuhan massal dan aksi bumi hangus oleh
  Indonesia yang dikenal sebagai tragedy Pulot-Cot
  Jeumpa. Di samping itu, Indonesianya Soekarno sudah
  mulai beralih dari periode nation-building ke state
  building, di mana dasar-dasar negara militeristis
  mulai dibangun.
       Ketika memasuki tahap kehidupan sebagai seorang
  ibu atau ayah muda (1964-1966), maka ia terjebak lagi
  ke dalam suasana kehidupan konflik ideology yang
  ditutup dengan kebiadaban aksi pembunuhan massal,
  pemerkosaan serdadu di kamp tahanan militer dan
  perburuan kelompok sipil yang diprovokasi serta
  dilatih militer oleh RPKAD, seperti Banser NU,
  terhadap warga sipil yang dilabel PKI dan para anggota
  PKI di seluruh Nusantara. Aceh juga bukan tanah yang
  subur bagi konflik ideology dan provokasi militeristis
  yang jalang oleh serdadu RI yang sedang mengkudeta
  pemerintahan rezim sipil Soekarno. Indonesianya
  Soeharto pun berdiri. Sementara orang Aceh juga sedang
  memasuki masa perdamaian, yang kemudian mereka nilai
  sendiri telah ditipu oleh Indonesia.
       Dalam paruh usia, mereka hidup dalam Indonesianya
  Soeharto yang sudah mapan dalam bentuk sebuah rezim
  militer-birokratis otoritarian yang korup dan brutal.
  Jiwa dan raga setiap orang Indonesia sudah dikontrol
  formatnya sejak di dalam kandungan, misalnya dengan
  labeling bersih lingkungan, yang menghancurkan masa
  depan keturunan para korban 1965. Mereka yang memiliki
  pikiran kritis dan gagasan kerakyatan sudah harus
  dimatikan sejak masih berupa benih di dalam otaknya.
  Kemudian, orang Indonesia memasuki masa pasang
  nasionalisme-militeristis ketika Indonesia menduduki
  Timor Lorosae dan menyebabkan terbunuhnya 200.000
  jiwa.
       Sedangkan di Aceh, sebagian orang Aceh membangun
  dan mendeklarasikan kemerdekaan Aceh pada 4 Desember
  1976 dengan inisiatornya Dr. Muhammad Hasan Di Tiro.
  Pada masa ini perlawanan GAM mulai berhadapan dengan
  operasi-operasi militer dari kesatuan territorial.
  Kemudian orang Aceh memasuki masa operasi militer RI
  yang terencana, sistematis dan sangat biadab, jika
  kita melihatnya dari perspektif hak-hak asasi manusia.
       Dalam usia tua yang sudah matang, orang Indonesia
  masuk ke dalam suasana pergulatan antara  gerakan kaum
  terpelajar muda yang mendapat dukungan moral dan
  kekuatan rakyat dengan rezim Soeharto yang didukung
  oleh serdadu dan Golkar. Di sana tercipta sebuah
  suasana kerusuhan yang biadab (savage riots) Mei 1998.
  Kemudian, orang Indonesia mengalami kekalahan dalam
  pertarungan politik yang demokratis di Timor Timur;
  yang disertai kebangkitan nasionalisme-militeristis
  yang diprovokasi oleh kekuatan militer Indonesia.
       Pada saat itu, gerakan sipil di Aceh tumbuh pesat
  dalam 3 bentuk: pertama, gerakan sipil yang focus pada
  peningkatan percepatan kampanye kejahatan kemanusiaan
  yang paling biadab yang dilakukan oleh Indonesia
  terhadap rakyat Aceh selama satu dasawarsa (era DOM).
  Kedua, gerakan sipil yang berfokus pada aksi
  kemanusiaan untuk membantu korban pelanggaran HAM dan
  IDP. Ketiga, gerakan sipil yang berfokus untuk
  memperjuangkan self-determination dengan isu utama
  referendum, yang tidak terlepas dari suasana politik
  dan kekerasan di Aceh dan pelaksanaan referendum di
  Timor Lorosae.
       Pada saat yang sama muncul kembali ke permukaan
  Gerakan Aceh Merdeka dengan struktur dan kultur
  organisasi yang baru yang memiliki hubungan emosional
  yang kuat dengan rakyat, meskipun pada awalnya tidak
  dikenal dan, bahkan mengejutkan rakyat Aceh sendiri.
  GAM mendapat generasi baru yang lebih energik,
  militan, terdidik dalam berperang gerilya dan
  professional dalam berorganisasi, serta memiliki
  pengalaman yang kosmopolit -- yang sumbernya adalah
  anak-anak rakyat Aceh yang menjadi korban dan saksi
  kejahatan kemanusiaan RI di masa DOM. Di dalam kawasan
  Nusantara lainnya, gerakan pembebasan di Papua bangkit
  kembali dengan energi baru; dan di Maluku serta di
  sejumlah daerah lainnya muncul konflik horizontal
  dengan berbagai penyebabnya, yang ada dugaan kuat
  merupakan output dari politik kekerasan dan
  destabilisasi militer Indonesia.

  ***

       Dari sketsa biografi orang Indonesia dan orang
  Aceh ada sejumlah hal yang diperoleh, khususnya
  tentang apa dan siapa orang Indonesia dan orang Aceh.
  Secara umum dapat disimpulkan bahwa orang Indonesia
  adalah mereka yang selalu hidup di dalam berbagai
  system politik yang sama sekali tidak berorientasi
  kerakyatan, demokratis maupun menghormati hak-hak
  asasi manusia. Orang Indonesia, dalam ungkapan
  Pramoedya, tidak pernah merdeka dari kebebasan elite
  penguasanya untuk menindas. Dalam lain kata, kebabasan
  hanya dimiliki oleh elite penguasa dan digunakan hanya
  untuk menindas rakyat. Sepanjang usia 70 tahun, orang
  Indonesia keluar masuk dari satu rezim politik yang
  brutal ke rezim politik yang brutal lainnya.
       Sementara orang Aceh adalah mereka yang sepanjang
  hidupnya selalu berada dalam perjuangan untuk
  membebaskan dirinya. Dari kacamata elite penguasa,
  maka orang Aceh adalah mereka yang tidak pernah
  berhenti untuk memberontak. Semua system kekuasaan,
  dari zaman kolonial Belanda hingga Indonesianya
  Abdurrahman Wahid, bagi orang Aceh adalah musuh
  bersama (common enemy). Hanya segelintir orang Aceh
  yang berhadap-hadapan dengan orang Aceh sendiri. Dan,
  rakyat melabel mereka sebagai "sarung tangan" penguasa
  bagi elite penguasa lokal, atau pun "cuak" bagi
  informan yang bekerja untuk operasi militer dan aksi
  politik kekerasan.
       Dalam menghadapi suasana politik rakyat yang
  menyebabkan elite penguasa dan serdadunya teralienasi
  (terasingkan) maka elite penguasa mengkambing hitamkan
  setiap organisasi perjuangan sebagai common enemy
  orang Indonesia. Elite penguasa Indonesia  menjadikan
  gerakan DI/TII yang dipimpin oleh Daud Beureueh
  sebagai musuh orang Indonesia, apalagi setelah keluar
  fatwa bughot dari Nahdatul Ulama. Elite penguasa
  Indonesia memprovokasi GAM (Gerakan Aceh Merdeka)
  sebagai musuh orang Indonesia dengan berbagai stigma,
  di antaranya, GPK, GPL, GPLHT, dan sekarang GSA.
       Meskipun demikian, uniknya, apa yang dijadikan
  sebagai common enemy oleh elite penguasa Indonesia,
  justru pahlawan dan menjadi symbol keacehan oleh orang
  Aceh. Sebagaimana DI/TII bukan common enemy bagi orang
  Aceh, maka demikian pula GAM bukanlah common enemy
  bagi orang Aceh. Orang Aceh tak pernah melabel mereka
  sebagai GPK. Orang Aceh tetap menyebut mereka sebagai
  GAM. Sementara, GAM menyebut serdadu NKRI sebagai si
  Pa'i, maka orang Aceh juga menyebutnya demikian. GAM
  menyebut NKRI sebagai Negara Kolonial, maka orang Aceh
  juga menyebutnya demikian.
       Kesemua itu, saya simpulkan sebagai sebuah
  atmosfer yang paling dominan di mana sedang
  berlangsung, pertama, dinamika politik kekerasan NKRI
  dan perjuangan bersenjata GAM; kedua, dinamika politik
  dialog NKRI yang berwatak dualistis dengan watak
  politik dialog GAM yang -dalam metafora orang Aceh:
  "bagaimana retak, begitulah pecahnya"; dan ketiga,
  perjuangan gerakan sipil untuk meraih
  self-determination yang dilabel oleh elite NKRI
  sebagai bagian dari GAM maupun gerakan Hak-hak asasi
  manusia dan kemanusiaan -yang juga dikatagorikan oleh
  elite NKRI sebagai musuh sehingga menjadi target aksi
  kejahatan kemanusiaan NKRI dalam masa Operasi Militer
  Terbatas (OMT) yang kemudian dibungkus dengan sebutan
  Operasi Penegakan Hukum dan Keamanan (OPHK) dan
  mendapat legitimasi politik dari Instruksi Presiden
  No. 4 Tahun 2001. Dan, ternyata Inpres tersebut
  dianggap oleh orang Aceh sebagai Deklarasi Perang
  terhadap Rakyat Aceh, sebagaimana Maklumat Perang yang
  pernah dikeluarkan oleh negara kolonial Belanda pada
  tahun 1873.
       Kembali pada kerangka Ben Anderson, maka apakah
  yang akan dialami oleh orang Indonesia setelah berusia
  70 tahun? Bagaimana pula perjuangan rakyat Aceh esok
  hari? Agaknya, bagi orang Aceh -jika dilihat dari
  bagaimana biografi dan kebijakan politik kekerasan
  elite NKRI, maka- hanya ada 2 pilihan, yakni: "hidup
  sebagaimana orang Indonesia lainnya yang keluar masuk
  mulut Harimau dan Buaya; atau berjuang menjadi orang
  Aceh sebagaimana yang tercatat dalam biografinya
  sendiri.*

  Manhattan, 24 April 2001

  * Paper ini dipersiapkan untuk Seminar IFA di
  Washington DC pada tanggal 28 April 2001.






------------------------------------------------------------
Free Web-email ---> http://mail.rantaunet.web.id
Komunitas Minangkabau  ---> http://www.rantaunet.com

RantauNet http://www.rantaunet.com

Isikan data keanggotaan anda di http://www.rantaunet.com/register.php3
===============================================
Mendaftar atau berhenti menerima RantauNet Mailing List di
http://www.rantaunet.com/subscribe.php3

ATAU Kirimkan email
Ke/To: [EMAIL PROTECTED]
Isi email/Messages, ketik pada baris/kolom pertama:
-mendaftar--> subscribe rantau-net [email_anda]
-berhenti----> unsubscribe rantau-net [email_anda]
Keterangan: [email_anda] = isikan alamat email anda tanpa tanda kurung
===============================================

Kirim email ke