Waalaikumsalam, wr, wb

Mamanda Saafrudin Bahan yang saya muliakan,

Terlebih dahulu saya mengucapkan kepada Mamanda yang telah diberikan gelar 
sasangko adat oleh pihak Pagaruyung. Melalui forum ini, Saya menghaturkan rasa 
terima kasih atas laporan yang Mamak sampaikan kepada sanak sapalanta di 
awang-awang ini. Saya menanggapi sangat postif atas pemberian gelar sasangko 
adat kepada tokoh minang yang telah berkiprah untuk masyarakat minang dan 
bangsa Indonesia. Dari lalporan itu Saya menyimpulkan dan menanggapi kondisi 
yang tengah berlanngsung yang berguna bagi masa depan adat dan budaya 
minangkabau, sebagai berikut :

1. Laporan Mamak ini sesungguhnya berisikan pencerahan kepada yang muda - muda 
dan setengah baya semisal saya, yang masih belum memahami kedudukan kerajaan 
Pagaruyung di alam minangkabau.

2. Sepanjang yang saya alami - kerajaan Pagaruyung3 - adalah kerajaan yang 
terbuka yang menerima siapa saja sesuai tata cara yang berlaku. Seperti yang 
mereka tunjukkan ketika menerima para tamu yang berkunjung ke Ustano si 
Linduang Bulan. Demi mengangkat arus wisatawan dan memperkenalkan budaya ke 
Ranah Minang - tidak kurang pula keterbukaan yang diberikan pihak pewaris 
kerajaan ini kepada  perantau  -   yang menerima secara adat kebesaran - 
bagaikan kita berkunjung kerumah " Bako ". (kunjungan wisata Dharmawanita KBRI 
Singapore Februari tahun 2007 ke Ustano Silinduang Bulan).

3. Kerajaan Pagaruyung adalah satu-satunya kerajaan melayu yang ada di Propinsi 
Sumatera Barat saat ini, yang kita harapkan mampu mempertahankan identitas 
kultural masyarakat hukum adat Minang.

4. Yang masih menjadi kabut bagi saya adalah hubungan tambo - Datuk Maharajo - 
Datuk Ketemanggungan - Datuk Perpatih nan Sabatang - Adityawarman - Darmasraya 
hingga kerajaan Pagaruyung/1. 
Sungguh banyak yang harus digali oleh sejarawan kita - sehingga saya 
benar-benar terusik bila tambo yang spektakuler dianggap bersumber dari sebuah 
mitos oleh pihak non minang dan minang perantauan.

5. Didalam situs Melayu Online : http://melayuonline.com/kerajaan-pagaruyung, 
disebutkan bahwa kerajaan ini didirikan oleh Adityawarman - seorang penguasa 
majapahit dan akhirnya mendirikan kerajaan Pagaruyung/1. 
Nah... bagi saya inilah yang perlu diklarifikasi baik oleh pihak Pagaruyung/3 
sendiri yang kemudian akan diemban oleh oleh para
pemangku adat – khususnya yang sudah bergabung dalam LKAAM dan Bundo
Kanduang.

Bagaimana kedudukan Nagari-nagari bila dikatakan sebagai kesatuan otonomi 
dengan kerajaan pagaruyung, yang merupakan dasar kerajaan.

6. Apakah benar kerajaan ini mencakup seluruh alam minangkabau yang wilayah 
kekuasaannya adalah :
dari sikilang aie bangih hingga taratak aie hitam.
dari durian ditakuak rajo hingga sialang balantak basi.

Dalam hubungan dengan " adat salingka nagari" - maka ini menimbulkan pertanyaan 
kita sejauh mana peran kerajaan Pagaruyung1/2/3 in,  dalam pengembangan adat di 
wilayah-wilayah ranah minangkabau ini dimana dinyatakan bahwa :



" Dahulu Kerajaan Pagaruyung membawahi lebih 
dari 500 nagari yang merupakan satuan wilayah otonom. Nagari-nagari ini 
merupakan dasar kerajaan, dan mempunyai kewenangan yang luas dalam memerintah. 
Misalnya 
nagari punya kekayaan sendiri dan memiliki pengadilan adat sendiri. Bagaimana 
dengan Nagari di daerah darek umumnya 
nagari-nagari ini diperintah oleh para penghulu, yang mengepalai masing-masing 
suku yang berdiam dalam nagari tersebut. Penghulu dipilih oleh anggota suku, 
dan 
warga nagari mengendalikan pemerintahan melalui para penghulu mereka. Keputusan 
pemerintahan diambil melalui kesepakatan para penghulu, setelah dimusyawarahkan 
terlebih dahulu.

Di daerah rantau seperti di Pasaman 
kekuasaan penghulu ini sering berpindah kepada raja-raja kecil, yang memerintah 
turun temurun. Di Inderapura raja mengambil gelar 
sultan.(http://melayuonline.com)
Sementara di wilayah
Sumbar itu sendiri, masih banyak kerajaan kerajaan kecil yang masih
harus ditelusuri oleh kaum sejarawan minangkabau atau pemerhati sejarah.

Demikianlah apresiasi saya terhadap kerajaan Pagaruyung dan tanggapan saya 
berdasarkan laporan Mamak Saaf kepada kami. Hal ini untuk membuka wawasan kita 
semua yang berada diperantauan - sementara Pagaruyung diharapkan dapat tetap 
berkiprah dalam mempertahan esksistensi budaya minangkabau.


Wassalam, 



  3vy Nizhamul 

http://hyvny.wordpress.com
http://bundokanduang.wordpress.com
       


--- On Thu, 1/15/09, Dr.Saafroedin BAHAR <saaf10...@yahoo.com> wrote:
From: Dr.Saafroedin BAHAR <saaf10...@yahoo.com>
Subject: [...@ntau-net] Gelar Sangsako Adat untuk Persatuan Bangsa.
To: "Rantau Net" <rantaunet@googlegroups.com>
Date: Thursday, January 15, 2009, 9:23 AM

Assalamualaikum w.w. para sanak sa palanta,
  
Saya percaya bahwa para sanak sekalian telah membaca di media massa bahwa pada 
hari Sabtu tanggal 10 Januari 2009 yang lalu bahwa Pemangku Daulat Yang 
Dipertuan Raja Alam Pagaruyung mewakili seluruh Pucuak Adat Alam Minangkabau 
yang tergabung dalam Limbago Tertinggi Pucuak Adat Alam Minangkabau,  telah 
menganugerahkan gelar Sangsako Adat kepada sembilan orang tokoh nasional, baik 
yang berasal dari daerah Sumatera Barat maupun yang bukan.  Dua orang 
memperoleh gelar Yang Dipertuan Temenggung Diraja,yaitu Prof Drs H. Soetan Al 
Rasyid Zein Datuk Sinaro dan Prof Dr. Emil Salim; enam orang mendapat gelar 
Tuanku Pujangga Diraja, yaitu Mr.. H. Des Alwi, Prof Dr. H Hasjim Djalal, M.A; 
DR (h.c) Taufiq Ismail; Prof Dr. H. Taufik Abdullah; Ir. H Januar Muin; dan 
Brigjen Pur Dr H. Saafroedin Bahar;  dan satu orang mendapat gelar Tuanku Muda 
Pujangga Diraja, yaitu H. Fadli Zon, SS,M.Sc. Oleh karena Prof Drs Harun Al 
Rasyid Zein Dt Sinaro berhalangan hadir karena
 gangguan kesehatan, maka destar tanda penghargaan kepada beliau akan 
diantarkan panitia ke kediaman beliau di Jakarta. 
Acara ini selain dihadiri oleh para anggota Limbago Pucuak Adat Alam 
Minangkabau tersebut, juga dihadiri oleh Wakil Ketua MPR RI Drs A.M Fatwa, 
Sekretaris Daerah Provinsi Sumatera Barat mewakili Gubernur Gamawan Fauzi, 
pengurus LKAAM dan Bundo Kanduang Sumatera Barat, Bupati Tanah Datar, dan 
Bupati Padang Pariaman.  
Alasan pemberian gelar -- disertai riwayat hidup masing-masing penerima gelar 
-- tercantum dalam sebuah booklet berjudul “ Penganugerahan Gelar Sangsako Adat 
di  Rumah Gadang Yang Dipertuan Gadih Istano Di Linduang Bulan, Pagaruyung, 
Batu Sangkar, Sumatera Barat, 10 Januari 2009.”. [Sekedar catatan: keterbukaan 
seperti itu amat bagus, karena seingat saya belum pernah terjadi dalam 
pemberian tanda penghargaan oleh Pemerintah Pusat sendiri.]. 
Satu penjelasan penting dalam booklet ini – yang kemudian diulas secara lisan 
oleh H.Sutan Muhammad Taufiq Thaib SH sebagai Tuanku Muda Mahkota Alam --  
adalah sebagai berikut: “ Penganugerahan gelar sangsako adat kepada sembilan 
orang tokoh tersebut bukanlah mengurangi penghargaan kita kepada jasa-jasa dan 
pengabdian tokoh-tokoh nasional lainnya, yang pada waktunya nanti, Insya Allah 
akan kita anugerahi pula gelar sangsako adat secara bertahap”.(cursief dari 
penulis). 
Anak kalimat terakhir tersebut merupakan sinyal bahwa penganugerahan ini adalah 
merupakan ‘kloter pertama’ dari rangkaian penganugerahan gelar sangsako adat 
kepada tokoh-tokoh nasional lainnya. 
Sudah barang tentu saya sangat senang sekali membaca pernyataan ini, bukan saja 
oleh karena pernyataan tersebut merupakan ‘lampu hijau’ terhadap gagasan saya 
agar Pagaruyuang mengambil prakarsa dalam mempersatukan seluruh orang 
Minangkabau pada tataran lintas-nagari di Sumatera Barat, tetapi ternyata juga 
berani merintis suatu pendekatan baru bagi kegiatan nation-building, tidak saja 
berupa pemberian bintang dan tanda jasa oleh Negara seperti selama ini, tetapi 
justru oleh masyarakat sendiri. Tidak top-down, tapi bottom-up.Tidak vertikal, 
tapi horizontal.  Ini jelas merupakan suatu terobosan baru. 
Ada dua pokok penting dalam kata sambutan Prof Dr Emil Salim – anggota Dewan 
Pertimbangan Presiden – yang mewakili para penerima gelar sangsako adat dari 
Pemangku Daulat Raja Alam Pagaruyung dalam upacara adat tersebut, sebagai 
berikut. 
Pertama, beliau  menyatakan, antara lain,  bahwa: “ kami sama sekali tidak 
menduga akan menerima penghargaan setinggii itu, khususnya oleh karena kami 
sebagian besar berkiprah di luar Sumatera Barat, dan tidak banyak memahami adat 
Minangkabau”.  Kedua, dalam kemajemukan Bangsa Indonesia setiap suku bangsa 
selain memelihara baik-baik identitas kebudayaannya,  juga perlu membuka 
hubungan dengan suku-suku bangsa lainnya.  
Dalam suasana informal pasca upacara penganugerahan gelar sangsako tersebut 
saya membisikkan kepada Sanak H.Sutan Muhammad Taufiq Thaib SH dan Dr Ir Puti 
Raudhah Thaib, agar pada suatu saat harus ada tokoh nasional yang berasal dari 
Papua yang memperoleh kehormatan tersebut. Secara spontan Sanak H.Sutan 
Muhammad Taufiq Thaib SH merespons bahwa beliau mempunyai seorang calon, yaitu 
Gubernur Papua Bas Suebu, dahulu sesama aktivis pemuda di KNPI. Saya 
manggut-manggut setuju.  
Dalam wacana di RantauNet sebelum ini telah timbul wacana agar Pagaruyung 
memberikan gelar-gelar sangsako kepada tokoh-tokoh alim ulama, para 
cendekiawan, tokoh-tokoh perempuan  Minangkabau, antara lain kepada Buya 
Mas’oed Abidin, Prof Dr K Suheimi, Suryadi, dan tentunya kepada tokoh-tokoh 
lain yang tak kurang perannya bagi pembangunan Minangkabau dan Sumatera Barat. 
Dalam pertemuan di Fakultas Sastra Universitas Andalas beberapa hari kemudian 
saya mendengar beberapa nama guru besar dan peneliti yang telah menghasilkan 
karya-karya besar, yang layak diberi penghargaan, baik oleh Negara maupun oleh 
Masyarakat, dalam hal ini termasuk oleh Pagaruyung.  Saya sangat mendukung 
gagasan ini, oleh karena baik langsung maupun tak langsung hal itu akan
 mempererat persatuan sesama orang Minangkabau. 
Namun, ada empat  pertanyaan yang menggelitik mengenai pemberian gelar sangsako 
adat oleh kerabat Pagaruyung ini, yaitu : 1)  apakah sesungguhnya gelar 
sangsako adat  itu, dan apa yang membedakannya dengan gelar sako ? 2)  untuk 
apakah gelar bagi para tokoh ini ?, 3)  apakah kerajaan Pagaruyung itu dan 4)  
apa posisinya dalam keminangkabauan masa kini dan masa depan ?. Berikut ini 
adalah pemahaman saya secara pribadi. 
Gelar sangsako adat adalah suatu gelar kehormatan adat untuk seseorang, dan 
tidak ada kaitannya dengan gelar sako, dan pusako. Gelar sako menunjukkan 
posisi formal dan struktural seseorang dengan suatu kekerabatan matrilineal 
serta dengan harta pusaka yang dimiliki oleh kaum atau suku di nagari-nagari. 
Demikianlah, tidak ada gelar sako kehormatan. Sebaliknya, sifat gelar sangsako 
adat  lebih pribadi, lebih terbuka, dan bisa bersifat lintas nagari, seperti 
ternyata dalam proses pembahasan yang berlangsung sebelum upacara pemberian 
gelar ini.  
Dengan kata lain, seseorang yang sudah mempunyai gelar sako – seperti yang 
dipunyai oleh hampir setiap orang laki-laki Minangkabau dan para urang sumando 
– juga dapat diberi gelar sangsako adat sebagai kehormatan, seperti halnya 
dengan Prof Drs Harun al Rasyid Zein yang sudah mempunyai gelar sako Datuk 
Sinaro. [Saya sendiri menyandang gelar sako Soetan Madjolelo dari suku 
Tanjuang, Kampung Dalam, Pariaman..] Kelihatannya tradisi pemberian gelar 
kehormatan ini juga dikenal oleh suku-suku lainnya di Indonesia. Kalau saya 
tidak salah, seorang tokoh pengusaha dari Batak yang bermarga Sinambela pernah 
diberi gelar kehormatan Kanjeng Ratu Tumenggung dari keraton
 Solo. 
Pemberian gelar kehormatan seperti ini juga terdapat  dalam bidang-bidang 
kehidupan lain. Dalam dunia akademik, tradisi pemberian gelar kehormatan 
seperti ini dikenal dengan pemberian gelar doctor honoris causa. Dalam dunia 
militer, pemberian gelar kehormatan seperti ini dikenal dengan pemberian 
pangkat titulair. Tidak persis sama, namun pemberian tanda penghargaan Bintang 
Mahaputra, Hadiah Nobel, Hadiah Magsaysay, atau pemberian Piala Oscar – 
misalnya – bisa dimasukkan dalam kategori ini. 
Saya percaya bahwa para penerima gelar sangsako adat ini, yang sebagian besar 
sudah menyelesaikan karirnya di tingkat nasional dengan baik dan sudah hidup 
nyaman di Rantau, secara pribadi tidak  memerlukannya. Beberapa di antara 
beliau-beliau bahkan sudah menerima tanda penghargaan Negara yang cukup tinggi, 
seperti Bintang Mahaputra. Prof Dr Emil Salim bahkan menyatakan sama sekali 
tidak menduga akan mendapat gelar sangsako tersebut.  Namun sudah barang tentu 
mereka senang dengan penghargaan dan penghormatan masyarakat terhadap kinerja 
mereka sebelum itu. Hal itu sungguh manusiawi. 
Kalau saya tidak salah ingat, rasanya gejala kebangkitan perhatian pada 
institusi tradisional seperti ini juga terdapat pada banyak negara-negara baru 
di dunia, yang disebut oleh Ann-Ruth Willner sebagai post-independence 
neo-traditional accommodation. 
Namun, apakah kerajaan Pagaruyung itu dan apakah posisinya dalam 
keminangkabauan masa lampau dan keminangkabauan masa kini ? Sayang, sampai saat 
ini belum ada suatu buku baku yang menerangkan sejarahnya. Oleh karena itu, 
dengan tidak bosan-bosannya secara pribadi saya mendorong berbagai fihak untuk 
menuliskan sejarah kerajaan ini, yang bagaimanapun juga telah memegang peranan 
dalam sejarah Minangkabau dan daerah-daerah sekitarnya selama tujuh abad, 
antara abad ke 14 sampai dengan abad 21 ini. Syukur Alhamdulillah himbauan ini 
didukung oleh Prof Dr Taufik Abdullah dan telah direspons oleh Prof Dr Gusti 
Asnan -- guru besar sejarah Fakultas Sastra Universitas Andalas – yang akan 
mengerahkan para mahasiswa beliau untuk melakukan penelitian. Saya percaya 
bahwa buku sejarah
 kerajaan Pagaruyung ini akan selesai dalam dua atau tiga tahun lagi, mengingat 
bahwa Prof Gusti Asnan sudah banyak menulis buku sejarah Minangkabau ini. 
Lebih dari itu, pada tanggal 14 Januari  2009 telah diadakan pertemuan informal 
di Fakultas Sastra Universitas Andalas di Limau Manih untuk menyusun sebuah 
buku sejarah Minangkabau yang lebih komprehensif, yang meliputi baik sejarah 
nagari-nagari yang dipimpin oleh para penghulu, maupun sejarah 
kerajaan-kerajaan di Minangkabau, yang menurut pemahaman saya bersifat ekstra 
struktural terhadap nagari-nagari, dan terutama berpengaruh di daerah rantau 
dan pesisir. Dengan semangat intelektual yang tinggi, telah disetujui 
terbentuknya sebuah tim penulisan, yang terdiri dari Nopriyasman selaku 
koordinator yang sekaligus akan menulis sejarah kerajaan-kerajaan di 
Minangkabau, dengan anggota Zuriatin yang akan menulis tentang nagari-nagari, 
didukung oleh Prof Gusti Asnan, Ph D, Drs M.Yusuf, M.Hum, Dr.
 Anatona, M.Hum, Fitra Alida, dan Prof Dr.Nadra,M.A.  
Sudah barang tentu setelah manuskrip bisa disusun, masalah berikutnya adalah 
mencari dana untuk menerbitkannya. Dalam hubungan ini saya pernah diberi 
informasi oleh Dr Fasli Jalal, Dirjen Pendidikan Tinggi Depdiknas, bahwa 
Depdiknas mempunyai anggaran untuk penerbitan buku-buku, yang kiranya bisa 
dimanfaatkan. Syukur Alhamdulillah. 
Mendahului selesainya buku tersebut, secara pribadi saya melihat ada tiga 
gelombang kerajaan Pagaruyung, yaitu Pagaruyung/1 yang Hindu Budha; 
Pararuyung/2 yang Islam; dan Pagaruyung/3 – sekarang ini – yang lebih bersifat 
kultural. Seperti saya tulis di atas, seluruhnya berada di luar struktur 
nagari-nagari yang merupakan desa-desa pertanian dan [dahulu] dikelola oleh 
para penghulu. Bersama dengan berbagai kerajaan dan keraton lainnya di 
Indonesia, Pagaruyung/3 masih dapat berperan sesuai dengan Peraturan Menteri 
Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2007, yaitu dalam pelestarian  identitas kultural 
masyarakat hukum adat dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti 
yang sudah dilakukannya pada tanggal 10
 Januari 2009 yang lalu. Dalam hubungan ini utusan berbagai asosiasi keraton 
dan kerajaan di Indonesia telah ikut aktif dalam Sarasehan Nasional Masyarakat 
Hukum Adat yang diselenggarakan di Jakarta tanggal 13-14 Desember 2008 yang 
lalu. 
Walaupun peran kultural dari kerajaan Pagaruyung ini juga bisa diemban oleh 
para pemangku adat – khususnya yang sudah bergabung dalam LKAAM dan Bundo 
Kanduang – namun karena struktur yang sangat terfragmentasi -- sesuai dengan 
kaidah ‘adat salingka nagari’ -- peran tersebut sampai saat ini belum dapat 
dilaksanakan oleh beliau-beliau. Kalaupun ada yang melaksanakan peran tersebut, 
kegiatan tersebut sifatnya sangat pribadi dan bukan bersifat kelembagaan, 
seperti yang dilakukan oleh Idrus Hakimy Dt Rajo Penghulu (almarhum), Amir M.S. 
Dt Manggung nan Sati, atau  Yus Dt Parpatiah Guguak. 
Menurut penglihatan saya, kerabat Pagaruyung/3  ini cukup tanggap dengan 
semangat zaman, yang terlihat dalam prakarsanya memberikan gelar sangsako adat 
tersebut, baik yang telah diberikan kepada sembilan orang tokoh nasional 
tersebut, maupun rencananya lebih lanjut untuk memberikan gelar yang sama 
kepada tokoh-tokoh nasional lainnya, baik yang berasal dari Minangkabau maupun 
yang bukan. Dengan demikian, kerabat Pararuyung ini telah menempatkan dirinya 
sebagai salah satu kekuatan kebangsaan yang bertekad untuk mempertahankan 
kesatuan dan persatuan dari bangsa yang bermasyarakat majemuk ini. Dapat diduga 
bahwa pengalaman pribadi Sanak H.Sutan Muhammad Taufiq Thaib SH, yang selain 
cukup lama berkiprah di organisasi kepemudaan KNPI dan berpengalaman selama dua 
periode sebagai anggota
 DPR RI , cukup berperan dalam kebijaksanaan ini. 
Suatu pertanyaan yang cukup menggelitik untuk dibahas lebih lanjut adalah: 
apakah peran kelembagaan – dalam kehidupan kebangsaan dan kenegaraan -- yang 
akan diemban oleh para pemangku adat yang menyandang gelar sako dan menjadi 
pengelola pusako, baik yang bermukim di nagari-nagari maupun yang lumayan 
banyak bermukim di Rantau ?  
Saya tidak mempunyai bahan yang cukup untuk menjawab pertanyaan ini dan senang 
sekali sewaktu mengetahui – dalam kesempatan sosialisasi Tim Perumus ABS SBK di 
Jakarta  beberapa waktu yang lalu-- bahwa masalah ini sedang diteliti oleh 
seorang mahasiswa S2 Universitas Andalas.. Jadi, dalam dua tiga tahun lagi kita 
akan mendapat gambaran yang agak komprehensif dan aktual mengenai sistem nilai 
dan struktur sosial Minangkabau serta perannya dalam Minangkabau masa kini, 
yang selama ini hanya bersandar pada rangkaian asumsi belaka. Sekali lagi, 
syukur Alhamdulillah. 
Wassalam,
Saafroedin Bahar
(L, masuk 72 th, Jakarta)
Alternate e-mail address: saaf10...@gmail.com;
saafroedin.ba...@rantaunet.org







      
--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
=============================================================== 
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi/dibanned:
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi di setiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tidak dengan mereply email lama 
- DILARANG: 1. Email attachment, tawarkan disini & kirim melalui jalur pribadi; 
2. Posting email besar dari 200KB; 3. One Liner
=============================================================== 
Berhenti, kirim email kosong ke: rantaunet-unsubscr...@googlegroups.com 
Daftarkan email anda yg terdaftar disini pada Google Account di: 
https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id
Untuk melakukan konfigurasi keanggotaan di:
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
===============================================================
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke