Re: [iagi-net-l] Cowboy Bojonegore

2005-04-21 Terurut Topik Taufik Manan
Seandainya dulu Bupati Cowboy Bojonegoro ini
diundang bersama IAGI mengisi acara Goin' Country di
Metro TV beberapa tahun yang silam, mungkin
pandangannya berbeda.

Setelah diajak dansa dengan petinggi IAGI, Kang Andang
Bachtiar, Pak Yanto Si Abah Sumantri, Bambang
Sheriff Istadi, Parvita Cowgirl Siregar, dll, juga
mendengar keterangan bukti partisipasi IAGI terhadap
Tsunami di Aceh, pasti Beliau akan tergugah juga jiwa
sosialnya.

Beliau tetap manusia yang mungkin tidak tahu dan
khilaf. Tugas kita memberikan sosialisasi kegiatan
kita, sehingga Beliau mengerti dan mau bersinergi
menjadi mitra kerja yang baik dengan industri migas.

Salam buat semua.

TAM
anggota HAGI yang aktif di milis IAGI juga
serta ikut juga dalam acara Goin' Country IAGI di
Metro TV (yang sempat berphoto berdua dengan Tantowi
Cowboy beneran Yahya)


--- [EMAIL PROTECTED] wrote:
  Lagi-lagi kalau aku lebih mementingkan penjelasan
 serta pendidikan ke
  cowboy-cowboy ini.
  Mereka perlu diberitahukan bagaimana proses
 eksplorasi itu berjalan di
  Indonesia, termasuk didalamnya 'cost recovery'.
 Mereka mana tau adanya
  kerugian disemua pihak kalau sebuah project
 terbengkalai.
 
  Apakah hanya pendidikan ke rakyat ? ... tentunya
 tidak ... semua pihak
  (explorer, pemerintah pusat dan juga daerah) juga
 harus saling mengerti
  kepentingannya. Rakyat lokal sering merasa tidak
 mendapatkan haknya.
  Walopun akau jg ga tau mana yg lebih berhak atas
 kekayaan alam, karena
  mana yg disebut proporsional itu ya harus
 dirundingkan dan ada tata
  caranya.
  Entah dengan otonomi, perserikatan, ataupun
 terpusat semuanya mesti dengan
  perundingan.
 
  Temen-temen yg operasinya di darat tentunya lebih
 banyak tahu ttg konflik
  ini, terutama setelah ada otoda.
 
  Nah lagi2 saya yakin proses perundingan yg
 merugikan semua pihak ini perlu
  penengah yg bener2 netral  siapa ?
  LSM ? IAGI lagi ?
  Berat juga rek ...
  Salah-salah 'gajah bertarung hebat, kucing
 ke-injek2 dibawahnya'.
 
  RDP
  'emang iagi kucing ?
 
   Emang ..bukan !
 
   Si Abah
 
  On 4/21/05, sugeng.hartono
 [EMAIL PROTECTED] wrote:
 
  Artikel ini juga dimuat di koran lokal Jambi
 edisi kemarin.
  Apakah tidak ada cara yang lebih arif, misalnya
 pemboran tetap berjalan,
  tetapi perundingan juga berjalan sehingga tidak
 ada kerugian yang
  semestinya
  tidak perlu.
 
  Sugeng
 
  - Original Message -
  From: Musakti, Oki [EMAIL PROTECTED]
 
  Maka, sudah hampir sebulan ini (larangan tersebut
 terhitung sejak 23
  Maret 2005), rig itu nganggur. Sewa rig tersebut
 sekitar USD 20.000
  (sekitar Rp 180 juta) per hari. Maka, kalau
 sebulan ini tidak ada
  pencabutan surat bupati tersebut, kerugian
 langsungnya saja sudah hampir
  Rp 3 miliar. Gelisahkah investor asing atas
 munculnya kerugian itu?
 
  Tidak!
 
 
 
  --
  Education can't stop natural disasters from
 occurring,
  but it can help people prepare for the
 possibilities ---
 
 
 
 

-
 To unsubscribe, send email to:
 [EMAIL PROTECTED]
 To subscribe, send email to:
 [EMAIL PROTECTED]
 Visit IAGI Website: http://iagi.or.id
 IAGI-net Archive 1:
 http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/
 IAGI-net Archive 2:
 http://groups.yahoo.com/group/iagi
 Komisi Sedimentologi (FOSI) : Deddy

Sebayang([EMAIL PROTECTED])-http://fosi.iagi.or.id
 Komisi SDM/Pendidikan : Edy
 Sunardi([EMAIL PROTECTED])
 Komisi Karst : Hanang Samodra([EMAIL PROTECTED])
 Komisi Sertifikasi : M. Suryowibowo([EMAIL PROTECTED])
 Komisi OTODA : Ridwan Djamaluddin([EMAIL PROTECTED]
 atau [EMAIL PROTECTED]), Arif Zardi
 Dahlius([EMAIL PROTECTED])
 Komisi Database Geologi : Aria A.
 Mulhadiono([EMAIL PROTECTED])

-
 
 

__
Do You Yahoo!?
Tired of spam?  Yahoo! Mail has the best spam protection around 
http://mail.yahoo.com 

-
To unsubscribe, send email to: [EMAIL PROTECTED]
To subscribe, send email to: [EMAIL PROTECTED]
Visit IAGI Website: http://iagi.or.id
IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/
IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi
Komisi Sedimentologi (FOSI) : Deddy Sebayang([EMAIL 
PROTECTED])-http://fosi.iagi.or.id
Komisi SDM/Pendidikan : Edy Sunardi([EMAIL PROTECTED])
Komisi Karst : Hanang Samodra([EMAIL PROTECTED])
Komisi Sertifikasi : M. Suryowibowo([EMAIL PROTECTED])
Komisi OTODA : Ridwan Djamaluddin([EMAIL PROTECTED] atau [EMAIL PROTECTED]), 
Arif Zardi Dahlius([EMAIL PROTECTED])
Komisi Database Geologi : Aria A. Mulhadiono([EMAIL PROTECTED])
-



[iagi-net-l] Cowboy Bojonegore

2005-04-20 Terurut Topik Musakti, Oki
Cowboy Bojonegoro

Oleh: Dahlan Iskan, CEO Jawa Pos
CITRA Jatim di mata investor asing baru saja tercemar oleh tindakan
Bupati Bojonegoro Santoso. Bupati mengeluarkan surat yang isinya
menghentikan kegiatan pengeboran minyak di wilayahnya. Bupati juga
mengerahkan pasukannya untuk memblokade lahan yang sudah dipasangi rig
(alat pengeboran minyak) tersebut. Alasannya: sesuai dengan UU Migas,
daerah boleh mendapatkan saham 10 persen dari setiap usaha minyak di
daerah.

Maka, sudah hampir sebulan ini (larangan tersebut terhitung sejak 23
Maret 2005), rig itu nganggur. Sewa rig tersebut sekitar USD 20.000
(sekitar Rp 180 juta) per hari. Maka, kalau sebulan ini tidak ada
pencabutan surat bupati tersebut, kerugian langsungnya saja sudah hampir
Rp 3 miliar. Gelisahkah investor asing atas munculnya kerugian itu?

Tidak!
Semua biaya itu akan dicatat oleh si investor. Sesuai dengan peraturan
pemerintah Indonesia, semua biaya pengeboran minyak memang harus
ditanggung dulu oleh investor. Namun, kalau usaha pencarian minyaknya
berhasil, biaya tersebut akan diganti oleh pemerintah. Cara
penggantiannya adalah: dipotongkan dari bagian yang harus disetorkan ke
pemerintah. Bukan hanya biaya itu yang diganti pemerintah, tapi masih
ditambah 30 persennya lagi, sebagai semacam cost of fund.

Maka, investor asingnya tenang-tenang saja. Dilarang setahun pun si
investor tidak akan terlalu gelisah. Apalagi dalam kasus Bojonegoro itu
sudah jelas minyaknya sudah ditemukan. Investor tinggal terus membukukan
biaya selama dihentikan tersebut. Kelak, yang gigit jari pemerintah
Indonesia sendiri (termasuk pemerintah Jatim dan Bojonegoro). Bagi hasil
untuk pemerintah berkurang. Ini juga berarti jatah untuk Jatim dan
Bojonegoro juga akan berkurang.

Bupati Bojonegoro, rupanya, kurang teliti membaca UU Migas. Atau tukang
kipasnya begitu hebat sehingga bisa ngompori bupati yang memang
temperamental itu. Dia saya kenal dengan baik. Sejak masih berpangkat
mayor, sampai menjadi kepala Dolog Jatim, ketua PSSI Jatim, dan terakhir
kepala Dolog Papua. Setelah agak lama tanpa jabatan, lalu mencalonkan
diri jadi bupati Sidoarjo lewat pintu PDI Perjuangan. Entah sudah berapa
banyak dananya habis untuk proses itu. Gagal. Tak lama kemudian, muncul
namanya sebagai calon bupati Bojonegoro lewat pintu PKB. Kali ini jadi.

Jadi bupati Bojonegoro memang menggiurkan, kelihatannya. Di situlah
ditemukan cadangan minyak terbesar di Jatim yang dikenal sebagai Ladang
Cepu. Meski namanya Ladang Cepu, sebenarnya wilayah itu masuk
Bojonegoro. Ladang tersebut dulu diberikan kepada Tommy Soeharto. Tapi
setelah dilakukan pengeboran dan memakan biaya besar, tidak ditemukan
minyak yang memadai. Tommy rugi besar sekali di sini. Termasuk proyek
pengilangan minyaknya yang sudah telanjur dibeli tidak jadi beroperasi.
Tidak cukup ada minyak di situ.

Lalu, Pertamina mengerjasamakan ladang tersebut dengan Exxon Mobil dari
AS. Dicobalah oleh perusahaan AS tersebut untuk dibor lebih dalam.
Ternyata ditemukan cadangan minyak sekitar 700 juta barel. Luar biasa
besarnya. Dengan harga minyak mentah Indonesia saat ini (sekitar USD 44
per barel), nilai kekayaan di bawah Bojonegoro itu Rp 280 triliun).
Tapi, untuk mengambil kekayaan tersebut, harus ada modal Rp 40
triliunan.

Gambaran yang serba triliunan itulah, yang kini membuat Pertamina dan
Exxon bersitegang. Pertamina minta pembayaran di depan Rp 4 triliun
dulu, tapi Exxon masih menawar separonya. Sudah lima tahun dan sudah
tiga presiden naik singgasana di Indonesia, tapi belum ada yang bisa
membuat keputusan. Exxon, rupanya, tahu tiga kekuatan dia yang sekaligus
tiga kelemahan Indonesia: kontrak harus dihormati, modal untuk menggali
minyak tersebut sangat besar, dan Indonesia sangat memerlukan minyak
tersebut segera diambil. Kalau tidak, pada 2009, kekurangan minyak
Indonesia semakin kritis.

Di tengah-tengah dua gajah itu ada semut yang dapat angin: Pemda
Bojonegoro. Lewat UU Migas yang baru, juga UU Otonomi Daerah, bupati
merasa pemda juga punya hak 10 persen.

Selain cadangan minyak yang besar itu, di Bojonegoro juga ditemukan
beberapa cadangan minyak kecil-kecil. Inilah yang diusahakan oleh Petro
China dengan Medco-nya Arifin Panigoro. Dan, ladang inilah yang distop
oleh bupati.

Bupati sungguh kurang teliti dan hati-hati. Hak 10 persen tersebut baru
berlaku untuk kontrak baru setelah UU itu lahir. Yang dia persoalkan itu
kontrak lama. Mungkin secara hukum memang masih bisa dipersoalkan, lepas
akhirnya kalah atau menang. Tapi, cacat citra Jatim di mata investor
asing sudah terjadi. Dulu ketika terjadi masalah pengelolaan minyak di
Kabupaten Siak, Riau, hebohnya bukan main. Yang terjadi di Bojonegoro
ini lebih berat daripada itu. Tidak berlebihan kalau lantas ada yang
menyebutnya sebagai cowboy Bojonegoro. Kita bisa bayangkan, apa yang
dibicarakan di forum-forum investor internasional mengenai kasus
Bojonegoro itu.

Bupati atau wali kota di era transisi demokrasi seperti ini memang
rawan. Banyak kasus bupati atau wali kota 

Re: [iagi-net-l] Cowboy Bojonegore

2005-04-20 Terurut Topik yrsnki

  Rekan rekan

  Baru sajaa kemarin saya berbincang - bincang dengan salah seorang
  rekan PTM yang ditugasi untuk menyelesaikan hal ini.
  Saya perisi menamakan Bupati yang satu ini Koboy koboyan , dan
  sangat tidak pantas sebagai seorang aparat pemerintah melakukan
  tuntutan secara anarkis seperti ini.

  Kalau hal ini diikuti oleh Bupati/Walikota lainnya di Indonesia
  dan dilakukan dalam semua sektor bisnis , wah bener bener kita jadi
  wild west dijaman moderen.

  Saya tidak habis fikri , apa yang ada dibenak Bapa Bupati ini.

  Si Abah.

  Cowboy Bojonegoro

 Oleh: Dahlan Iskan, CEO Jawa Pos
 CITRA Jatim di mata investor asing baru saja tercemar oleh tindakan
 Bupati Bojonegoro Santoso. Bupati mengeluarkan surat yang isinya
 menghentikan kegiatan pengeboran minyak di wilayahnya. Bupati juga
 mengerahkan pasukannya untuk memblokade lahan yang sudah dipasangi rig
 (alat pengeboran minyak) tersebut. Alasannya: sesuai dengan UU Migas,
 daerah boleh mendapatkan saham 10 persen dari setiap usaha minyak di
 daerah.

 Maka, sudah hampir sebulan ini (larangan tersebut terhitung sejak 23
 Maret 2005), rig itu nganggur. Sewa rig tersebut sekitar USD 20.000
 (sekitar Rp 180 juta) per hari. Maka, kalau sebulan ini tidak ada
 pencabutan surat bupati tersebut, kerugian langsungnya saja sudah hampir
 Rp 3 miliar. Gelisahkah investor asing atas munculnya kerugian itu?

 Tidak!
 Semua biaya itu akan dicatat oleh si investor. Sesuai dengan peraturan
 pemerintah Indonesia, semua biaya pengeboran minyak memang harus
 ditanggung dulu oleh investor. Namun, kalau usaha pencarian minyaknya
 berhasil, biaya tersebut akan diganti oleh pemerintah. Cara
 penggantiannya adalah: dipotongkan dari bagian yang harus disetorkan ke
 pemerintah. Bukan hanya biaya itu yang diganti pemerintah, tapi masih
 ditambah 30 persennya lagi, sebagai semacam cost of fund.

 Maka, investor asingnya tenang-tenang saja. Dilarang setahun pun si
 investor tidak akan terlalu gelisah. Apalagi dalam kasus Bojonegoro itu
 sudah jelas minyaknya sudah ditemukan. Investor tinggal terus membukukan
 biaya selama dihentikan tersebut. Kelak, yang gigit jari pemerintah
 Indonesia sendiri (termasuk pemerintah Jatim dan Bojonegoro). Bagi hasil
 untuk pemerintah berkurang. Ini juga berarti jatah untuk Jatim dan
 Bojonegoro juga akan berkurang.

 Bupati Bojonegoro, rupanya, kurang teliti membaca UU Migas. Atau tukang
 kipasnya begitu hebat sehingga bisa ngompori bupati yang memang
 temperamental itu. Dia saya kenal dengan baik. Sejak masih berpangkat
 mayor, sampai menjadi kepala Dolog Jatim, ketua PSSI Jatim, dan terakhir
 kepala Dolog Papua. Setelah agak lama tanpa jabatan, lalu mencalonkan
 diri jadi bupati Sidoarjo lewat pintu PDI Perjuangan. Entah sudah berapa
 banyak dananya habis untuk proses itu. Gagal. Tak lama kemudian, muncul
 namanya sebagai calon bupati Bojonegoro lewat pintu PKB. Kali ini jadi.

 Jadi bupati Bojonegoro memang menggiurkan, kelihatannya. Di situlah
 ditemukan cadangan minyak terbesar di Jatim yang dikenal sebagai Ladang
 Cepu. Meski namanya Ladang Cepu, sebenarnya wilayah itu masuk
 Bojonegoro. Ladang tersebut dulu diberikan kepada Tommy Soeharto. Tapi
 setelah dilakukan pengeboran dan memakan biaya besar, tidak ditemukan
 minyak yang memadai. Tommy rugi besar sekali di sini. Termasuk proyek
 pengilangan minyaknya yang sudah telanjur dibeli tidak jadi beroperasi.
 Tidak cukup ada minyak di situ.

 Lalu, Pertamina mengerjasamakan ladang tersebut dengan Exxon Mobil dari
 AS. Dicobalah oleh perusahaan AS tersebut untuk dibor lebih dalam.
 Ternyata ditemukan cadangan minyak sekitar 700 juta barel. Luar biasa
 besarnya. Dengan harga minyak mentah Indonesia saat ini (sekitar USD 44
 per barel), nilai kekayaan di bawah Bojonegoro itu Rp 280 triliun).
 Tapi, untuk mengambil kekayaan tersebut, harus ada modal Rp 40
 triliunan.

 Gambaran yang serba triliunan itulah, yang kini membuat Pertamina dan
 Exxon bersitegang. Pertamina minta pembayaran di depan Rp 4 triliun
 dulu, tapi Exxon masih menawar separonya. Sudah lima tahun dan sudah
 tiga presiden naik singgasana di Indonesia, tapi belum ada yang bisa
 membuat keputusan. Exxon, rupanya, tahu tiga kekuatan dia yang sekaligus
 tiga kelemahan Indonesia: kontrak harus dihormati, modal untuk menggali
 minyak tersebut sangat besar, dan Indonesia sangat memerlukan minyak
 tersebut segera diambil. Kalau tidak, pada 2009, kekurangan minyak
 Indonesia semakin kritis.

 Di tengah-tengah dua gajah itu ada semut yang dapat angin: Pemda
 Bojonegoro. Lewat UU Migas yang baru, juga UU Otonomi Daerah, bupati
 merasa pemda juga punya hak 10 persen.

 Selain cadangan minyak yang besar itu, di Bojonegoro juga ditemukan
 beberapa cadangan minyak kecil-kecil. Inilah yang diusahakan oleh Petro
 China dengan Medco-nya Arifin Panigoro. Dan, ladang inilah yang distop
 oleh bupati.

 Bupati sungguh kurang teliti dan hati-hati. Hak 10 persen tersebut baru
 berlaku untuk kontrak baru setelah UU itu lahir. Yang dia 

Re: [iagi-net-l] Cowboy Bojonegore

2005-04-20 Terurut Topik sugeng.hartono
Artikel ini juga dimuat di koran lokal Jambi edisi kemarin.
Apakah tidak ada cara yang lebih arif, misalnya pemboran tetap berjalan,
tetapi perundingan juga berjalan sehingga tidak ada kerugian yang semestinya
tidak perlu.

Sugeng

- Original Message -
From: Musakti, Oki [EMAIL PROTECTED]
To: iagi-net@iagi.or.id
Sent: Wednesday, April 20, 2005 4:38 PM
Subject: [iagi-net-l] Cowboy Bojonegore


Cowboy Bojonegoro

Oleh: Dahlan Iskan, CEO Jawa Pos
CITRA Jatim di mata investor asing baru saja tercemar oleh tindakan
Bupati Bojonegoro Santoso. Bupati mengeluarkan surat yang isinya
menghentikan kegiatan pengeboran minyak di wilayahnya. Bupati juga
mengerahkan pasukannya untuk memblokade lahan yang sudah dipasangi rig
(alat pengeboran minyak) tersebut. Alasannya: sesuai dengan UU Migas,
daerah boleh mendapatkan saham 10 persen dari setiap usaha minyak di
daerah.

Maka, sudah hampir sebulan ini (larangan tersebut terhitung sejak 23
Maret 2005), rig itu nganggur. Sewa rig tersebut sekitar USD 20.000
(sekitar Rp 180 juta) per hari. Maka, kalau sebulan ini tidak ada
pencabutan surat bupati tersebut, kerugian langsungnya saja sudah hampir
Rp 3 miliar. Gelisahkah investor asing atas munculnya kerugian itu?

Tidak!
Semua biaya itu akan dicatat oleh si investor. Sesuai dengan peraturan
pemerintah Indonesia, semua biaya pengeboran minyak memang harus
ditanggung dulu oleh investor. Namun, kalau usaha pencarian minyaknya
berhasil, biaya tersebut akan diganti oleh pemerintah. Cara
penggantiannya adalah: dipotongkan dari bagian yang harus disetorkan ke
pemerintah. Bukan hanya biaya itu yang diganti pemerintah, tapi masih
ditambah 30 persennya lagi, sebagai semacam cost of fund.

Maka, investor asingnya tenang-tenang saja. Dilarang setahun pun si
investor tidak akan terlalu gelisah. Apalagi dalam kasus Bojonegoro itu
sudah jelas minyaknya sudah ditemukan. Investor tinggal terus membukukan
biaya selama dihentikan tersebut. Kelak, yang gigit jari pemerintah
Indonesia sendiri (termasuk pemerintah Jatim dan Bojonegoro). Bagi hasil
untuk pemerintah berkurang. Ini juga berarti jatah untuk Jatim dan
Bojonegoro juga akan berkurang.

Bupati Bojonegoro, rupanya, kurang teliti membaca UU Migas. Atau tukang
kipasnya begitu hebat sehingga bisa ngompori bupati yang memang
temperamental itu. Dia saya kenal dengan baik. Sejak masih berpangkat
mayor, sampai menjadi kepala Dolog Jatim, ketua PSSI Jatim, dan terakhir
kepala Dolog Papua. Setelah agak lama tanpa jabatan, lalu mencalonkan
diri jadi bupati Sidoarjo lewat pintu PDI Perjuangan. Entah sudah berapa
banyak dananya habis untuk proses itu. Gagal. Tak lama kemudian, muncul
namanya sebagai calon bupati Bojonegoro lewat pintu PKB. Kali ini jadi.

Jadi bupati Bojonegoro memang menggiurkan, kelihatannya. Di situlah
ditemukan cadangan minyak terbesar di Jatim yang dikenal sebagai Ladang
Cepu. Meski namanya Ladang Cepu, sebenarnya wilayah itu masuk
Bojonegoro. Ladang tersebut dulu diberikan kepada Tommy Soeharto. Tapi
setelah dilakukan pengeboran dan memakan biaya besar, tidak ditemukan
minyak yang memadai. Tommy rugi besar sekali di sini. Termasuk proyek
pengilangan minyaknya yang sudah telanjur dibeli tidak jadi beroperasi.
Tidak cukup ada minyak di situ.

Lalu, Pertamina mengerjasamakan ladang tersebut dengan Exxon Mobil dari
AS. Dicobalah oleh perusahaan AS tersebut untuk dibor lebih dalam.
Ternyata ditemukan cadangan minyak sekitar 700 juta barel. Luar biasa
besarnya. Dengan harga minyak mentah Indonesia saat ini (sekitar USD 44
per barel), nilai kekayaan di bawah Bojonegoro itu Rp 280 triliun).
Tapi, untuk mengambil kekayaan tersebut, harus ada modal Rp 40
triliunan.

Gambaran yang serba triliunan itulah, yang kini membuat Pertamina dan
Exxon bersitegang. Pertamina minta pembayaran di depan Rp 4 triliun
dulu, tapi Exxon masih menawar separonya. Sudah lima tahun dan sudah
tiga presiden naik singgasana di Indonesia, tapi belum ada yang bisa
membuat keputusan. Exxon, rupanya, tahu tiga kekuatan dia yang sekaligus
tiga kelemahan Indonesia: kontrak harus dihormati, modal untuk menggali
minyak tersebut sangat besar, dan Indonesia sangat memerlukan minyak
tersebut segera diambil. Kalau tidak, pada 2009, kekurangan minyak
Indonesia semakin kritis.

Di tengah-tengah dua gajah itu ada semut yang dapat angin: Pemda
Bojonegoro. Lewat UU Migas yang baru, juga UU Otonomi Daerah, bupati
merasa pemda juga punya hak 10 persen.

Selain cadangan minyak yang besar itu, di Bojonegoro juga ditemukan
beberapa cadangan minyak kecil-kecil. Inilah yang diusahakan oleh Petro
China dengan Medco-nya Arifin Panigoro. Dan, ladang inilah yang distop
oleh bupati.

Bupati sungguh kurang teliti dan hati-hati. Hak 10 persen tersebut baru
berlaku untuk kontrak baru setelah UU itu lahir. Yang dia persoalkan itu
kontrak lama. Mungkin secara hukum memang masih bisa dipersoalkan, lepas
akhirnya kalah atau menang. Tapi, cacat citra Jatim di mata investor
asing sudah terjadi. Dulu ketika terjadi masalah pengelolaan minyak di

RE: [iagi-net-l] Cowboy Bojonegore

2005-04-20 Terurut Topik Eko Prasetyo
saya kira kalo BP Migas arif mencermati masalah ini, mereka akan mengajukan 
kepada pemerintah pusat untuk menendang sang bupati koboi keluar dari 
pemerintahan atas dasar Melakukan Tindakan Yang Telah Pasti Akan Menyebabkan 
Kerugian Bagi Negara

Entah Kalo BP MIGAS dapat bagian dari sang kontraktor rig.

 -Original Message-
 From: sugeng.hartono [mailto:[EMAIL PROTECTED]
 Sent: Thursday, April 21, 2005 9:27 AM
 To: iagi-net@iagi.or.id
 Subject: Re: [iagi-net-l] Cowboy Bojonegore
 
 
 Artikel ini juga dimuat di koran lokal Jambi edisi kemarin.
 Apakah tidak ada cara yang lebih arif, misalnya pemboran 
 tetap berjalan,
 tetapi perundingan juga berjalan sehingga tidak ada kerugian 
 yang semestinya
 tidak perlu.
 
 Sugeng
 
 - Original Message -
 From: Musakti, Oki [EMAIL PROTECTED]
 To: iagi-net@iagi.or.id
 Sent: Wednesday, April 20, 2005 4:38 PM
 Subject: [iagi-net-l] Cowboy Bojonegore
 
 
 Cowboy Bojonegoro
 
 Oleh: Dahlan Iskan, CEO Jawa Pos
 CITRA Jatim di mata investor asing baru saja tercemar oleh tindakan
 Bupati Bojonegoro Santoso. Bupati mengeluarkan surat yang isinya
 menghentikan kegiatan pengeboran minyak di wilayahnya. Bupati juga
 mengerahkan pasukannya untuk memblokade lahan yang sudah dipasangi rig
 (alat pengeboran minyak) tersebut. Alasannya: sesuai dengan UU Migas,
 daerah boleh mendapatkan saham 10 persen dari setiap usaha minyak di
 daerah.
 
 Maka, sudah hampir sebulan ini (larangan tersebut terhitung sejak 23
 Maret 2005), rig itu nganggur. Sewa rig tersebut sekitar USD 20.000
 (sekitar Rp 180 juta) per hari. Maka, kalau sebulan ini tidak ada
 pencabutan surat bupati tersebut, kerugian langsungnya saja 
 sudah hampir
 Rp 3 miliar. Gelisahkah investor asing atas munculnya kerugian itu?
 
 Tidak!
 Semua biaya itu akan dicatat oleh si investor. Sesuai dengan peraturan
 pemerintah Indonesia, semua biaya pengeboran minyak memang harus
 ditanggung dulu oleh investor. Namun, kalau usaha pencarian minyaknya
 berhasil, biaya tersebut akan diganti oleh pemerintah. Cara
 penggantiannya adalah: dipotongkan dari bagian yang harus 
 disetorkan ke
 pemerintah. Bukan hanya biaya itu yang diganti pemerintah, tapi masih
 ditambah 30 persennya lagi, sebagai semacam cost of fund.
 
 Maka, investor asingnya tenang-tenang saja. Dilarang setahun pun si
 investor tidak akan terlalu gelisah. Apalagi dalam kasus 
 Bojonegoro itu
 sudah jelas minyaknya sudah ditemukan. Investor tinggal terus 
 membukukan
 biaya selama dihentikan tersebut. Kelak, yang gigit jari pemerintah
 Indonesia sendiri (termasuk pemerintah Jatim dan Bojonegoro). 
 Bagi hasil
 untuk pemerintah berkurang. Ini juga berarti jatah untuk Jatim dan
 Bojonegoro juga akan berkurang.
 
 Bupati Bojonegoro, rupanya, kurang teliti membaca UU Migas. 
 Atau tukang
 kipasnya begitu hebat sehingga bisa ngompori bupati yang memang
 temperamental itu. Dia saya kenal dengan baik. Sejak masih berpangkat
 mayor, sampai menjadi kepala Dolog Jatim, ketua PSSI Jatim, 
 dan terakhir
 kepala Dolog Papua. Setelah agak lama tanpa jabatan, lalu mencalonkan
 diri jadi bupati Sidoarjo lewat pintu PDI Perjuangan. Entah 
 sudah berapa
 banyak dananya habis untuk proses itu. Gagal. Tak lama 
 kemudian, muncul
 namanya sebagai calon bupati Bojonegoro lewat pintu PKB. Kali 
 ini jadi.
 
 Jadi bupati Bojonegoro memang menggiurkan, kelihatannya. Di situlah
 ditemukan cadangan minyak terbesar di Jatim yang dikenal 
 sebagai Ladang
 Cepu. Meski namanya Ladang Cepu, sebenarnya wilayah itu masuk
 Bojonegoro. Ladang tersebut dulu diberikan kepada Tommy Soeharto. Tapi
 setelah dilakukan pengeboran dan memakan biaya besar, tidak ditemukan
 minyak yang memadai. Tommy rugi besar sekali di sini. Termasuk proyek
 pengilangan minyaknya yang sudah telanjur dibeli tidak jadi 
 beroperasi.
 Tidak cukup ada minyak di situ.
 
 Lalu, Pertamina mengerjasamakan ladang tersebut dengan Exxon 
 Mobil dari
 AS. Dicobalah oleh perusahaan AS tersebut untuk dibor lebih dalam.
 Ternyata ditemukan cadangan minyak sekitar 700 juta barel. Luar biasa
 besarnya. Dengan harga minyak mentah Indonesia saat ini 
 (sekitar USD 44
 per barel), nilai kekayaan di bawah Bojonegoro itu Rp 280 triliun).
 Tapi, untuk mengambil kekayaan tersebut, harus ada modal Rp 40
 triliunan.
 
 Gambaran yang serba triliunan itulah, yang kini membuat Pertamina dan
 Exxon bersitegang. Pertamina minta pembayaran di depan Rp 4 triliun
 dulu, tapi Exxon masih menawar separonya. Sudah lima tahun dan sudah
 tiga presiden naik singgasana di Indonesia, tapi belum ada yang bisa
 membuat keputusan. Exxon, rupanya, tahu tiga kekuatan dia 
 yang sekaligus
 tiga kelemahan Indonesia: kontrak harus dihormati, modal 
 untuk menggali
 minyak tersebut sangat besar, dan Indonesia sangat memerlukan minyak
 tersebut segera diambil. Kalau tidak, pada 2009, kekurangan minyak
 Indonesia semakin kritis.
 
 Di tengah-tengah dua gajah itu ada semut yang dapat angin: Pemda
 Bojonegoro. Lewat UU Migas yang baru, juga UU Otonomi Daerah, bupati

Re: [iagi-net-l] Cowboy Bojonegore

2005-04-20 Terurut Topik Rovicky Dwi Putrohari
Lagi-lagi kalau aku lebih mementingkan penjelasan serta pendidikan ke 
cowboy-cowboy ini.
Mereka perlu diberitahukan bagaimana proses eksplorasi itu berjalan di 
Indonesia, termasuk didalamnya 'cost recovery'. Mereka mana tau adanya 
kerugian disemua pihak kalau sebuah project terbengkalai. 

Apakah hanya pendidikan ke rakyat ? ... tentunya tidak ... semua pihak 
(explorer, pemerintah pusat dan juga daerah) juga harus saling mengerti 
kepentingannya. Rakyat lokal sering merasa tidak mendapatkan haknya. 
Walopun akau jg ga tau mana yg lebih berhak atas kekayaan alam, karena 
mana yg disebut proporsional itu ya harus dirundingkan dan ada tata caranya. 
Entah dengan otonomi, perserikatan, ataupun terpusat semuanya mesti dengan 
perundingan. 

Temen-temen yg operasinya di darat tentunya lebih banyak tahu ttg konflik 
ini, terutama setelah ada otoda.

Nah lagi2 saya yakin proses perundingan yg merugikan semua pihak ini perlu 
penengah yg bener2 netral  siapa ? 
LSM ? IAGI lagi ?
Berat juga rek ... 
Salah-salah 'gajah bertarung hebat, kucing ke-injek2 dibawahnya'.

RDP
'emang iagi kucing ?

On 4/21/05, sugeng.hartono [EMAIL PROTECTED] wrote:
 
 Artikel ini juga dimuat di koran lokal Jambi edisi kemarin.
 Apakah tidak ada cara yang lebih arif, misalnya pemboran tetap berjalan,
 tetapi perundingan juga berjalan sehingga tidak ada kerugian yang 
 semestinya
 tidak perlu.
 
 Sugeng
 
 - Original Message -
 From: Musakti, Oki [EMAIL PROTECTED]
 
 Maka, sudah hampir sebulan ini (larangan tersebut terhitung sejak 23
 Maret 2005), rig itu nganggur. Sewa rig tersebut sekitar USD 20.000
 (sekitar Rp 180 juta) per hari. Maka, kalau sebulan ini tidak ada
 pencabutan surat bupati tersebut, kerugian langsungnya saja sudah hampir
 Rp 3 miliar. Gelisahkah investor asing atas munculnya kerugian itu?
 
 Tidak!



-- 
Education can't stop natural disasters from occurring, 
but it can help people prepare for the possibilities ---


Re: [iagi-net-l] Cowboy Bojonegore

2005-04-20 Terurut Topik yrsnki
 Artikel ini juga dimuat di koran lokal Jambi edisi kemarin.
 Apakah tidak ada cara yang lebih arif, misalnya pemboran tetap berjalan,
 tetapi perundingan juga berjalan sehingga tidak ada kerugian yang
 semestinya
 tidak perlu.

 Sugeng


  Mas

  Namanya juga koboy , jadi yang dikenal cuma pestol dan kepalan tangan.

  Si Abah

 - Original Message -
 From: Musakti, Oki [EMAIL PROTECTED]
 To: iagi-net@iagi.or.id
 Sent: Wednesday, April 20, 2005 4:38 PM
 Subject: [iagi-net-l] Cowboy Bojonegore


 Cowboy Bojonegoro

 Oleh: Dahlan Iskan, CEO Jawa Pos
 CITRA Jatim di mata investor asing baru saja tercemar oleh tindakan
 Bupati Bojonegoro Santoso. Bupati mengeluarkan surat yang isinya
 menghentikan kegiatan pengeboran minyak di wilayahnya. Bupati juga
 mengerahkan pasukannya untuk memblokade lahan yang sudah dipasangi rig
 (alat pengeboran minyak) tersebut. Alasannya: sesuai dengan UU Migas,
 daerah boleh mendapatkan saham 10 persen dari setiap usaha minyak di
 daerah.

 Maka, sudah hampir sebulan ini (larangan tersebut terhitung sejak 23
 Maret 2005), rig itu nganggur. Sewa rig tersebut sekitar USD 20.000
 (sekitar Rp 180 juta) per hari. Maka, kalau sebulan ini tidak ada
 pencabutan surat bupati tersebut, kerugian langsungnya saja sudah hampir
 Rp 3 miliar. Gelisahkah investor asing atas munculnya kerugian itu?

 Tidak!
 Semua biaya itu akan dicatat oleh si investor. Sesuai dengan peraturan
 pemerintah Indonesia, semua biaya pengeboran minyak memang harus
 ditanggung dulu oleh investor. Namun, kalau usaha pencarian minyaknya
 berhasil, biaya tersebut akan diganti oleh pemerintah. Cara
 penggantiannya adalah: dipotongkan dari bagian yang harus disetorkan ke
 pemerintah. Bukan hanya biaya itu yang diganti pemerintah, tapi masih
 ditambah 30 persennya lagi, sebagai semacam cost of fund.

 Maka, investor asingnya tenang-tenang saja. Dilarang setahun pun si
 investor tidak akan terlalu gelisah. Apalagi dalam kasus Bojonegoro itu
 sudah jelas minyaknya sudah ditemukan. Investor tinggal terus membukukan
 biaya selama dihentikan tersebut. Kelak, yang gigit jari pemerintah
 Indonesia sendiri (termasuk pemerintah Jatim dan Bojonegoro). Bagi hasil
 untuk pemerintah berkurang. Ini juga berarti jatah untuk Jatim dan
 Bojonegoro juga akan berkurang.

 Bupati Bojonegoro, rupanya, kurang teliti membaca UU Migas. Atau tukang
 kipasnya begitu hebat sehingga bisa ngompori bupati yang memang
 temperamental itu. Dia saya kenal dengan baik. Sejak masih berpangkat
 mayor, sampai menjadi kepala Dolog Jatim, ketua PSSI Jatim, dan terakhir
 kepala Dolog Papua. Setelah agak lama tanpa jabatan, lalu mencalonkan
 diri jadi bupati Sidoarjo lewat pintu PDI Perjuangan. Entah sudah berapa
 banyak dananya habis untuk proses itu. Gagal. Tak lama kemudian, muncul
 namanya sebagai calon bupati Bojonegoro lewat pintu PKB. Kali ini jadi.

 Jadi bupati Bojonegoro memang menggiurkan, kelihatannya. Di situlah
 ditemukan cadangan minyak terbesar di Jatim yang dikenal sebagai Ladang
 Cepu. Meski namanya Ladang Cepu, sebenarnya wilayah itu masuk
 Bojonegoro. Ladang tersebut dulu diberikan kepada Tommy Soeharto. Tapi
 setelah dilakukan pengeboran dan memakan biaya besar, tidak ditemukan
 minyak yang memadai. Tommy rugi besar sekali di sini. Termasuk proyek
 pengilangan minyaknya yang sudah telanjur dibeli tidak jadi beroperasi.
 Tidak cukup ada minyak di situ.

 Lalu, Pertamina mengerjasamakan ladang tersebut dengan Exxon Mobil dari
 AS. Dicobalah oleh perusahaan AS tersebut untuk dibor lebih dalam.
 Ternyata ditemukan cadangan minyak sekitar 700 juta barel. Luar biasa
 besarnya. Dengan harga minyak mentah Indonesia saat ini (sekitar USD 44
 per barel), nilai kekayaan di bawah Bojonegoro itu Rp 280 triliun).
 Tapi, untuk mengambil kekayaan tersebut, harus ada modal Rp 40
 triliunan.

 Gambaran yang serba triliunan itulah, yang kini membuat Pertamina dan
 Exxon bersitegang. Pertamina minta pembayaran di depan Rp 4 triliun
 dulu, tapi Exxon masih menawar separonya. Sudah lima tahun dan sudah
 tiga presiden naik singgasana di Indonesia, tapi belum ada yang bisa
 membuat keputusan. Exxon, rupanya, tahu tiga kekuatan dia yang sekaligus
 tiga kelemahan Indonesia: kontrak harus dihormati, modal untuk menggali
 minyak tersebut sangat besar, dan Indonesia sangat memerlukan minyak
 tersebut segera diambil. Kalau tidak, pada 2009, kekurangan minyak
 Indonesia semakin kritis.

 Di tengah-tengah dua gajah itu ada semut yang dapat angin: Pemda
 Bojonegoro. Lewat UU Migas yang baru, juga UU Otonomi Daerah, bupati
 merasa pemda juga punya hak 10 persen.

 Selain cadangan minyak yang besar itu, di Bojonegoro juga ditemukan
 beberapa cadangan minyak kecil-kecil. Inilah yang diusahakan oleh Petro
 China dengan Medco-nya Arifin Panigoro. Dan, ladang inilah yang distop
 oleh bupati.

 Bupati sungguh kurang teliti dan hati-hati. Hak 10 persen tersebut baru
 berlaku untuk kontrak baru setelah UU itu lahir. Yang dia persoalkan itu
 kontrak lama. Mungkin secara hukum

Re: [iagi-net-l] Cowboy Bojonegore

2005-04-20 Terurut Topik yrsnki
 Lagi-lagi kalau aku lebih mementingkan penjelasan serta pendidikan ke
 cowboy-cowboy ini.
 Mereka perlu diberitahukan bagaimana proses eksplorasi itu berjalan di
 Indonesia, termasuk didalamnya 'cost recovery'. Mereka mana tau adanya
 kerugian disemua pihak kalau sebuah project terbengkalai.

 Apakah hanya pendidikan ke rakyat ? ... tentunya tidak ... semua pihak
 (explorer, pemerintah pusat dan juga daerah) juga harus saling mengerti
 kepentingannya. Rakyat lokal sering merasa tidak mendapatkan haknya.
 Walopun akau jg ga tau mana yg lebih berhak atas kekayaan alam, karena
 mana yg disebut proporsional itu ya harus dirundingkan dan ada tata
 caranya.
 Entah dengan otonomi, perserikatan, ataupun terpusat semuanya mesti dengan
 perundingan.

 Temen-temen yg operasinya di darat tentunya lebih banyak tahu ttg konflik
 ini, terutama setelah ada otoda.

 Nah lagi2 saya yakin proses perundingan yg merugikan semua pihak ini perlu
 penengah yg bener2 netral  siapa ?
 LSM ? IAGI lagi ?
 Berat juga rek ...
 Salah-salah 'gajah bertarung hebat, kucing ke-injek2 dibawahnya'.

 RDP
 'emang iagi kucing ?

  Emang ..bukan !

  Si Abah

 On 4/21/05, sugeng.hartono [EMAIL PROTECTED] wrote:

 Artikel ini juga dimuat di koran lokal Jambi edisi kemarin.
 Apakah tidak ada cara yang lebih arif, misalnya pemboran tetap berjalan,
 tetapi perundingan juga berjalan sehingga tidak ada kerugian yang
 semestinya
 tidak perlu.

 Sugeng

 - Original Message -
 From: Musakti, Oki [EMAIL PROTECTED]

 Maka, sudah hampir sebulan ini (larangan tersebut terhitung sejak 23
 Maret 2005), rig itu nganggur. Sewa rig tersebut sekitar USD 20.000
 (sekitar Rp 180 juta) per hari. Maka, kalau sebulan ini tidak ada
 pencabutan surat bupati tersebut, kerugian langsungnya saja sudah hampir
 Rp 3 miliar. Gelisahkah investor asing atas munculnya kerugian itu?

 Tidak!



 --
 Education can't stop natural disasters from occurring,
 but it can help people prepare for the possibilities ---




-
To unsubscribe, send email to: [EMAIL PROTECTED]
To subscribe, send email to: [EMAIL PROTECTED]
Visit IAGI Website: http://iagi.or.id
IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/
IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi
Komisi Sedimentologi (FOSI) : Deddy Sebayang([EMAIL 
PROTECTED])-http://fosi.iagi.or.id
Komisi SDM/Pendidikan : Edy Sunardi([EMAIL PROTECTED])
Komisi Karst : Hanang Samodra([EMAIL PROTECTED])
Komisi Sertifikasi : M. Suryowibowo([EMAIL PROTECTED])
Komisi OTODA : Ridwan Djamaluddin([EMAIL PROTECTED] atau [EMAIL PROTECTED]), 
Arif Zardi Dahlius([EMAIL PROTECTED])
Komisi Database Geologi : Aria A. Mulhadiono([EMAIL PROTECTED])
-



RE: [iagi-net-l] Cowboy Bojonegore

2005-04-20 Terurut Topik yrsnki
 saya kira kalo BP Migas arif mencermati masalah ini, mereka akan
 mengajukan kepada pemerintah pusat untuk menendang sang bupati koboi
 keluar dari pemerintahan atas dasar Melakukan Tindakan Yang Telah Pasti
 Akan Menyebabkan Kerugian Bagi Negara

 Entah Kalo BP MIGAS dapat bagian dari sang kontraktor rig.

  Ekh , sok negative thinking akh

  Si Abah

 -Original Message-
 From: sugeng.hartono [mailto:[EMAIL PROTECTED]
 Sent: Thursday, April 21, 2005 9:27 AM
 To: iagi-net@iagi.or.id
 Subject: Re: [iagi-net-l] Cowboy Bojonegore


 Artikel ini juga dimuat di koran lokal Jambi edisi kemarin.
 Apakah tidak ada cara yang lebih arif, misalnya pemboran
 tetap berjalan,
 tetapi perundingan juga berjalan sehingga tidak ada kerugian
 yang semestinya
 tidak perlu.

 Sugeng

 - Original Message -
 From: Musakti, Oki [EMAIL PROTECTED]
 To: iagi-net@iagi.or.id
 Sent: Wednesday, April 20, 2005 4:38 PM
 Subject: [iagi-net-l] Cowboy Bojonegore


 Cowboy Bojonegoro

 Oleh: Dahlan Iskan, CEO Jawa Pos
 CITRA Jatim di mata investor asing baru saja tercemar oleh tindakan
 Bupati Bojonegoro Santoso. Bupati mengeluarkan surat yang isinya
 menghentikan kegiatan pengeboran minyak di wilayahnya. Bupati juga
 mengerahkan pasukannya untuk memblokade lahan yang sudah dipasangi rig
 (alat pengeboran minyak) tersebut. Alasannya: sesuai dengan UU Migas,
 daerah boleh mendapatkan saham 10 persen dari setiap usaha minyak di
 daerah.

 Maka, sudah hampir sebulan ini (larangan tersebut terhitung sejak 23
 Maret 2005), rig itu nganggur. Sewa rig tersebut sekitar USD 20.000
 (sekitar Rp 180 juta) per hari. Maka, kalau sebulan ini tidak ada
 pencabutan surat bupati tersebut, kerugian langsungnya saja
 sudah hampir
 Rp 3 miliar. Gelisahkah investor asing atas munculnya kerugian itu?

 Tidak!
 Semua biaya itu akan dicatat oleh si investor. Sesuai dengan peraturan
 pemerintah Indonesia, semua biaya pengeboran minyak memang harus
 ditanggung dulu oleh investor. Namun, kalau usaha pencarian minyaknya
 berhasil, biaya tersebut akan diganti oleh pemerintah. Cara
 penggantiannya adalah: dipotongkan dari bagian yang harus
 disetorkan ke
 pemerintah. Bukan hanya biaya itu yang diganti pemerintah, tapi masih
 ditambah 30 persennya lagi, sebagai semacam cost of fund.

 Maka, investor asingnya tenang-tenang saja. Dilarang setahun pun si
 investor tidak akan terlalu gelisah. Apalagi dalam kasus
 Bojonegoro itu
 sudah jelas minyaknya sudah ditemukan. Investor tinggal terus
 membukukan
 biaya selama dihentikan tersebut. Kelak, yang gigit jari pemerintah
 Indonesia sendiri (termasuk pemerintah Jatim dan Bojonegoro).
 Bagi hasil
 untuk pemerintah berkurang. Ini juga berarti jatah untuk Jatim dan
 Bojonegoro juga akan berkurang.

 Bupati Bojonegoro, rupanya, kurang teliti membaca UU Migas.
 Atau tukang
 kipasnya begitu hebat sehingga bisa ngompori bupati yang memang
 temperamental itu. Dia saya kenal dengan baik. Sejak masih berpangkat
 mayor, sampai menjadi kepala Dolog Jatim, ketua PSSI Jatim,
 dan terakhir
 kepala Dolog Papua. Setelah agak lama tanpa jabatan, lalu mencalonkan
 diri jadi bupati Sidoarjo lewat pintu PDI Perjuangan. Entah
 sudah berapa
 banyak dananya habis untuk proses itu. Gagal. Tak lama
 kemudian, muncul
 namanya sebagai calon bupati Bojonegoro lewat pintu PKB. Kali
 ini jadi.

 Jadi bupati Bojonegoro memang menggiurkan, kelihatannya. Di situlah
 ditemukan cadangan minyak terbesar di Jatim yang dikenal
 sebagai Ladang
 Cepu. Meski namanya Ladang Cepu, sebenarnya wilayah itu masuk
 Bojonegoro. Ladang tersebut dulu diberikan kepada Tommy Soeharto. Tapi
 setelah dilakukan pengeboran dan memakan biaya besar, tidak ditemukan
 minyak yang memadai. Tommy rugi besar sekali di sini. Termasuk proyek
 pengilangan minyaknya yang sudah telanjur dibeli tidak jadi
 beroperasi.
 Tidak cukup ada minyak di situ.

 Lalu, Pertamina mengerjasamakan ladang tersebut dengan Exxon
 Mobil dari
 AS. Dicobalah oleh perusahaan AS tersebut untuk dibor lebih dalam.
 Ternyata ditemukan cadangan minyak sekitar 700 juta barel. Luar biasa
 besarnya. Dengan harga minyak mentah Indonesia saat ini
 (sekitar USD 44
 per barel), nilai kekayaan di bawah Bojonegoro itu Rp 280 triliun).
 Tapi, untuk mengambil kekayaan tersebut, harus ada modal Rp 40
 triliunan.

 Gambaran yang serba triliunan itulah, yang kini membuat Pertamina dan
 Exxon bersitegang. Pertamina minta pembayaran di depan Rp 4 triliun
 dulu, tapi Exxon masih menawar separonya. Sudah lima tahun dan sudah
 tiga presiden naik singgasana di Indonesia, tapi belum ada yang bisa
 membuat keputusan. Exxon, rupanya, tahu tiga kekuatan dia
 yang sekaligus
 tiga kelemahan Indonesia: kontrak harus dihormati, modal
 untuk menggali
 minyak tersebut sangat besar, dan Indonesia sangat memerlukan minyak
 tersebut segera diambil. Kalau tidak, pada 2009, kekurangan minyak
 Indonesia semakin kritis.

 Di tengah-tengah dua gajah itu ada semut yang dapat angin: Pemda
 Bojonegoro. Lewat UU Migas yang baru, juga UU Otonomi

RE: [iagi-net-l] Cowboy Bojonegore

2005-04-20 Terurut Topik yrsnki
 saya kira kalo BP Migas arif mencermati masalah ini, mereka akan
 mengajukan kepada pemerintah pusat untuk menendang sang bupati koboi
 keluar dari pemerintahan atas dasar Melakukan Tindakan Yang Telah Pasti
 Akan Menyebabkan Kerugian Bagi Negara

 Entah Kalo BP MIGAS dapat bagian dari sang kontraktor rig.

  Ekh , sok negative thinking akh

  Si Abah

 -Original Message-
 From: sugeng.hartono [mailto:[EMAIL PROTECTED]
 Sent: Thursday, April 21, 2005 9:27 AM
 To: iagi-net@iagi.or.id
 Subject: Re: [iagi-net-l] Cowboy Bojonegore


 Artikel ini juga dimuat di koran lokal Jambi edisi kemarin.
 Apakah tidak ada cara yang lebih arif, misalnya pemboran
 tetap berjalan,
 tetapi perundingan juga berjalan sehingga tidak ada kerugian
 yang semestinya
 tidak perlu.

 Sugeng

 - Original Message -
 From: Musakti, Oki [EMAIL PROTECTED]
 To: iagi-net@iagi.or.id
 Sent: Wednesday, April 20, 2005 4:38 PM
 Subject: [iagi-net-l] Cowboy Bojonegore


 Cowboy Bojonegoro

 Oleh: Dahlan Iskan, CEO Jawa Pos
 CITRA Jatim di mata investor asing baru saja tercemar oleh tindakan
 Bupati Bojonegoro Santoso. Bupati mengeluarkan surat yang isinya
 menghentikan kegiatan pengeboran minyak di wilayahnya. Bupati juga
 mengerahkan pasukannya untuk memblokade lahan yang sudah dipasangi rig
 (alat pengeboran minyak) tersebut. Alasannya: sesuai dengan UU Migas,
 daerah boleh mendapatkan saham 10 persen dari setiap usaha minyak di
 daerah.

 Maka, sudah hampir sebulan ini (larangan tersebut terhitung sejak 23
 Maret 2005), rig itu nganggur. Sewa rig tersebut sekitar USD 20.000
 (sekitar Rp 180 juta) per hari. Maka, kalau sebulan ini tidak ada
 pencabutan surat bupati tersebut, kerugian langsungnya saja
 sudah hampir
 Rp 3 miliar. Gelisahkah investor asing atas munculnya kerugian itu?

 Tidak!
 Semua biaya itu akan dicatat oleh si investor. Sesuai dengan peraturan
 pemerintah Indonesia, semua biaya pengeboran minyak memang harus
 ditanggung dulu oleh investor. Namun, kalau usaha pencarian minyaknya
 berhasil, biaya tersebut akan diganti oleh pemerintah. Cara
 penggantiannya adalah: dipotongkan dari bagian yang harus
 disetorkan ke
 pemerintah. Bukan hanya biaya itu yang diganti pemerintah, tapi masih
 ditambah 30 persennya lagi, sebagai semacam cost of fund.

 Maka, investor asingnya tenang-tenang saja. Dilarang setahun pun si
 investor tidak akan terlalu gelisah. Apalagi dalam kasus
 Bojonegoro itu
 sudah jelas minyaknya sudah ditemukan. Investor tinggal terus
 membukukan
 biaya selama dihentikan tersebut. Kelak, yang gigit jari pemerintah
 Indonesia sendiri (termasuk pemerintah Jatim dan Bojonegoro).
 Bagi hasil
 untuk pemerintah berkurang. Ini juga berarti jatah untuk Jatim dan
 Bojonegoro juga akan berkurang.

 Bupati Bojonegoro, rupanya, kurang teliti membaca UU Migas.
 Atau tukang
 kipasnya begitu hebat sehingga bisa ngompori bupati yang memang
 temperamental itu. Dia saya kenal dengan baik. Sejak masih berpangkat
 mayor, sampai menjadi kepala Dolog Jatim, ketua PSSI Jatim,
 dan terakhir
 kepala Dolog Papua. Setelah agak lama tanpa jabatan, lalu mencalonkan
 diri jadi bupati Sidoarjo lewat pintu PDI Perjuangan. Entah
 sudah berapa
 banyak dananya habis untuk proses itu. Gagal. Tak lama
 kemudian, muncul
 namanya sebagai calon bupati Bojonegoro lewat pintu PKB. Kali
 ini jadi.

 Jadi bupati Bojonegoro memang menggiurkan, kelihatannya. Di situlah
 ditemukan cadangan minyak terbesar di Jatim yang dikenal
 sebagai Ladang
 Cepu. Meski namanya Ladang Cepu, sebenarnya wilayah itu masuk
 Bojonegoro. Ladang tersebut dulu diberikan kepada Tommy Soeharto. Tapi
 setelah dilakukan pengeboran dan memakan biaya besar, tidak ditemukan
 minyak yang memadai. Tommy rugi besar sekali di sini. Termasuk proyek
 pengilangan minyaknya yang sudah telanjur dibeli tidak jadi
 beroperasi.
 Tidak cukup ada minyak di situ.

 Lalu, Pertamina mengerjasamakan ladang tersebut dengan Exxon
 Mobil dari
 AS. Dicobalah oleh perusahaan AS tersebut untuk dibor lebih dalam.
 Ternyata ditemukan cadangan minyak sekitar 700 juta barel. Luar biasa
 besarnya. Dengan harga minyak mentah Indonesia saat ini
 (sekitar USD 44
 per barel), nilai kekayaan di bawah Bojonegoro itu Rp 280 triliun).
 Tapi, untuk mengambil kekayaan tersebut, harus ada modal Rp 40
 triliunan.

 Gambaran yang serba triliunan itulah, yang kini membuat Pertamina dan
 Exxon bersitegang. Pertamina minta pembayaran di depan Rp 4 triliun
 dulu, tapi Exxon masih menawar separonya. Sudah lima tahun dan sudah
 tiga presiden naik singgasana di Indonesia, tapi belum ada yang bisa
 membuat keputusan. Exxon, rupanya, tahu tiga kekuatan dia
 yang sekaligus
 tiga kelemahan Indonesia: kontrak harus dihormati, modal
 untuk menggali
 minyak tersebut sangat besar, dan Indonesia sangat memerlukan minyak
 tersebut segera diambil. Kalau tidak, pada 2009, kekurangan minyak
 Indonesia semakin kritis.

 Di tengah-tengah dua gajah itu ada semut yang dapat angin: Pemda
 Bojonegoro. Lewat UU Migas yang baru, juga UU Otonomi

Re: [iagi-net-l] Cowboy Bojonegore

2005-04-20 Terurut Topik Indra Sumbodo
all,
Mungkin agak tidak adil kalau Bupatinya saja yang di-ekspose. Karena 
sepajang JOB Beroperasi disana, pak Santoso ini sangat kooperatif.
Pak Bupati ini berubah total karena mendapat masukan dari kawan-kawan eks 
PSC yang memberi angin surga dengan mencontohkan BOB-nya Caltex 
tanpa(mungkin) menjelaskan bagaimana penerapan UU migas (no 35 kalau tdk 
salah) ttg hak BUMD mendapatkan 10 % dari share yang ada untuk daerah yang 
baru beroperasi. Sedangkan untuk kasus diatas, busines to business yang 
harus dipakai. Artinya sharing yang 10 % ini sangat tergantung dari mau 
tidaknya operator menjual sharenya dan tentu ada past cost yang harus 
dibayar.

Ini juga bukti bahwa pemerintah sangat tidak effisien menangani hal-hal 
sederhana seperti diatas. Alangkah gampangnya kalau Menteri ESDM ngomong 
sama Mendagri kalau anak buahnya keluar jalur. Dan alangkah gampangnya 
Mendagri menjelaskan dan memerintahkan Pak Bupati untuk tidak keluar jalur.
end of story..

dd
- Original Message - 
From: Rovicky Dwi Putrohari [EMAIL PROTECTED]
To: iagi-net@iagi.or.id
Sent: Thursday, April 21, 2005 9:37 AM
Subject: Re: [iagi-net-l] Cowboy Bojonegore

Lagi-lagi kalau aku lebih mementingkan penjelasan serta pendidikan ke
cowboy-cowboy ini.
Mereka perlu diberitahukan bagaimana proses eksplorasi itu berjalan di
Indonesia, termasuk didalamnya 'cost recovery'. Mereka mana tau adanya
kerugian disemua pihak kalau sebuah project terbengkalai.
Apakah hanya pendidikan ke rakyat ? ... tentunya tidak ... semua pihak
(explorer, pemerintah pusat dan juga daerah) juga harus saling mengerti
kepentingannya. Rakyat lokal sering merasa tidak mendapatkan haknya.
Walopun akau jg ga tau mana yg lebih berhak atas kekayaan alam, karena
mana yg disebut proporsional itu ya harus dirundingkan dan ada tata
caranya.
Entah dengan otonomi, perserikatan, ataupun terpusat semuanya mesti
dengan
perundingan.
Temen-temen yg operasinya di darat tentunya lebih banyak tahu ttg
konflik
ini, terutama setelah ada otoda.
Nah lagi2 saya yakin proses perundingan yg merugikan semua pihak ini
perlu
penengah yg bener2 netral  siapa ?
LSM ? IAGI lagi ?
Berat juga rek ...
Salah-salah 'gajah bertarung hebat, kucing ke-injek2 dibawahnya'.
RDP
'emang iagi kucing ?
On 4/21/05, sugeng.hartono [EMAIL PROTECTED] wrote:
Artikel ini juga dimuat di koran lokal Jambi edisi kemarin.
Apakah tidak ada cara yang lebih arif, misalnya pemboran tetap
berjalan,
tetapi perundingan juga berjalan sehingga tidak ada kerugian yang
semestinya
tidak perlu.
Sugeng
- Original Message -
From: Musakti, Oki [EMAIL PROTECTED]
Maka, sudah hampir sebulan ini (larangan tersebut terhitung sejak 23
Maret 2005), rig itu nganggur. Sewa rig tersebut sekitar USD 20.000
(sekitar Rp 180 juta) per hari. Maka, kalau sebulan ini tidak ada
pencabutan surat bupati tersebut, kerugian langsungnya saja sudah
hampir
Rp 3 miliar. Gelisahkah investor asing atas munculnya kerugian itu?
Tidak!

--
Education can't stop natural disasters from occurring,
but it can help people prepare for the possibilities ---
-
To unsubscribe, send email to: [EMAIL PROTECTED]
To subscribe, send email to: [EMAIL PROTECTED]
Visit IAGI Website: http://iagi.or.id
IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/
IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi
Komisi Sedimentologi (FOSI) : Deddy Sebayang([EMAIL 
PROTECTED])-http://fosi.iagi.or.id
Komisi SDM/Pendidikan : Edy Sunardi([EMAIL PROTECTED])
Komisi Karst : Hanang Samodra([EMAIL PROTECTED])
Komisi Sertifikasi : M. Suryowibowo([EMAIL PROTECTED])
Komisi OTODA : Ridwan Djamaluddin([EMAIL PROTECTED] atau [EMAIL PROTECTED]), 
Arif Zardi Dahlius([EMAIL PROTECTED])
Komisi Database Geologi : Aria A. Mulhadiono([EMAIL PROTECTED])
-


RE: [iagi-net-l] Cowboy Bojonegore

2005-04-20 Terurut Topik Syaiful Jazan

Yth.Abah.

Kalau tidak salah,sekarang inikan di masing2 Propinsi udah adalah aparat 
pemerintahan seperti BP MIGAS dan Dinas Pertambangan daerah,mungkin dengan 
kasus coboy Bojonegoro ini aparat2 pemerintahan tsb juga perlu dilibatkan 
untuk setiap kasus yang sama.Rasanya makin ruwet aja urusan yang berhubungan 
dengan UUD (ujung ujungnya duit,atau memang sudah semakin parahkah kehidupan 
dinegara kita ini..?

-Original Message-
From: [EMAIL PROTECTED] [mailto:[EMAIL PROTECTED]
Sent: Thursday, April 21, 2005 9:46 AM
To: iagi-net@iagi.or.id
Subject: RE: [iagi-net-l] Cowboy Bojonegore


 saya kira kalo BP Migas arif mencermati masalah ini, mereka akan
 mengajukan kepada pemerintah pusat untuk menendang sang bupati koboi
 keluar dari pemerintahan atas dasar Melakukan Tindakan Yang Telah Pasti
 Akan Menyebabkan Kerugian Bagi Negara

 Entah Kalo BP MIGAS dapat bagian dari sang kontraktor rig.

  Ekh , sok negative thinking akh

  Si Abah

 -Original Message-
 From: sugeng.hartono [mailto:[EMAIL PROTECTED]
 Sent: Thursday, April 21, 2005 9:27 AM
 To: iagi-net@iagi.or.id
 Subject: Re: [iagi-net-l] Cowboy Bojonegore


 Artikel ini juga dimuat di koran lokal Jambi edisi kemarin.
 Apakah tidak ada cara yang lebih arif, misalnya pemboran
 tetap berjalan,
 tetapi perundingan juga berjalan sehingga tidak ada kerugian
 yang semestinya
 tidak perlu.

 Sugeng

 - Original Message -
 From: Musakti, Oki [EMAIL PROTECTED]
 To: iagi-net@iagi.or.id
 Sent: Wednesday, April 20, 2005 4:38 PM
 Subject: [iagi-net-l] Cowboy Bojonegore


 Cowboy Bojonegoro

 Oleh: Dahlan Iskan, CEO Jawa Pos
 CITRA Jatim di mata investor asing baru saja tercemar oleh tindakan
 Bupati Bojonegoro Santoso. Bupati mengeluarkan surat yang isinya
 menghentikan kegiatan pengeboran minyak di wilayahnya. Bupati juga
 mengerahkan pasukannya untuk memblokade lahan yang sudah dipasangi rig
 (alat pengeboran minyak) tersebut. Alasannya: sesuai dengan UU Migas,
 daerah boleh mendapatkan saham 10 persen dari setiap usaha minyak di
 daerah.

 Maka, sudah hampir sebulan ini (larangan tersebut terhitung sejak 23
 Maret 2005), rig itu nganggur. Sewa rig tersebut sekitar USD 20.000
 (sekitar Rp 180 juta) per hari. Maka, kalau sebulan ini tidak ada
 pencabutan surat bupati tersebut, kerugian langsungnya saja
 sudah hampir
 Rp 3 miliar. Gelisahkah investor asing atas munculnya kerugian itu?

 Tidak!
 Semua biaya itu akan dicatat oleh si investor. Sesuai dengan peraturan
 pemerintah Indonesia, semua biaya pengeboran minyak memang harus
 ditanggung dulu oleh investor. Namun, kalau usaha pencarian minyaknya
 berhasil, biaya tersebut akan diganti oleh pemerintah. Cara
 penggantiannya adalah: dipotongkan dari bagian yang harus
 disetorkan ke
 pemerintah. Bukan hanya biaya itu yang diganti pemerintah, tapi masih
 ditambah 30 persennya lagi, sebagai semacam cost of fund.

 Maka, investor asingnya tenang-tenang saja. Dilarang setahun pun si
 investor tidak akan terlalu gelisah. Apalagi dalam kasus
 Bojonegoro itu
 sudah jelas minyaknya sudah ditemukan. Investor tinggal terus
 membukukan
 biaya selama dihentikan tersebut. Kelak, yang gigit jari pemerintah
 Indonesia sendiri (termasuk pemerintah Jatim dan Bojonegoro).
 Bagi hasil
 untuk pemerintah berkurang. Ini juga berarti jatah untuk Jatim dan
 Bojonegoro juga akan berkurang.

 Bupati Bojonegoro, rupanya, kurang teliti membaca UU Migas.
 Atau tukang
 kipasnya begitu hebat sehingga bisa ngompori bupati yang memang
 temperamental itu. Dia saya kenal dengan baik. Sejak masih berpangkat
 mayor, sampai menjadi kepala Dolog Jatim, ketua PSSI Jatim,
 dan terakhir
 kepala Dolog Papua. Setelah agak lama tanpa jabatan, lalu mencalonkan
 diri jadi bupati Sidoarjo lewat pintu PDI Perjuangan. Entah
 sudah berapa
 banyak dananya habis untuk proses itu. Gagal. Tak lama
 kemudian, muncul
 namanya sebagai calon bupati Bojonegoro lewat pintu PKB. Kali
 ini jadi.

 Jadi bupati Bojonegoro memang menggiurkan, kelihatannya. Di situlah
 ditemukan cadangan minyak terbesar di Jatim yang dikenal
 sebagai Ladang
 Cepu. Meski namanya Ladang Cepu, sebenarnya wilayah itu masuk
 Bojonegoro. Ladang tersebut dulu diberikan kepada Tommy Soeharto. Tapi
 setelah dilakukan pengeboran dan memakan biaya besar, tidak ditemukan
 minyak yang memadai. Tommy rugi besar sekali di sini. Termasuk proyek
 pengilangan minyaknya yang sudah telanjur dibeli tidak jadi
 beroperasi.
 Tidak cukup ada minyak di situ.

 Lalu, Pertamina mengerjasamakan ladang tersebut dengan Exxon
 Mobil dari
 AS. Dicobalah oleh perusahaan AS tersebut untuk dibor lebih dalam.
 Ternyata ditemukan cadangan minyak sekitar 700 juta barel. Luar biasa
 besarnya. Dengan harga minyak mentah Indonesia saat ini
 (sekitar USD 44
 per barel), nilai kekayaan di bawah Bojonegoro itu Rp 280 triliun).
 Tapi, untuk mengambil kekayaan tersebut, harus ada modal Rp 40
 triliunan.

 Gambaran yang serba triliunan itulah, yang kini membuat Pertamina dan
 Exxon bersitegang. Pertamina minta pembayaran