Re: Ketidakadilan vs Kegelapmataan (1)
Blucer Rajagukguk wrote: Provokator bukan provokator namanya kalau tidak tahu apa yang sedang dialami masyarakat. Semua benih perpecahan akan selalu ada bagaimanapun situasi sosialnya. Apakah jika kesenjangan sosial terhapus, provokator akan lenyap? enggak juga. Kebutuhan yang lain akan muncul pada saat masyarakat mencapai tahapan baru. Tapi bukan berarti kita mendiamkan kesenjangan sosial. Konteks persoalan Madura yang saya bahas adalah rencana aksi balasan yang sedang dipikirkan. Menurut saya ini tidak tepat, dan hanya menmbah persoalan baru, sementara persoalan lama belum terpecahkan. Lho, lha ini kan pemikiran senada dg ane punya. Kok malah kayak repeater aja jadi ya ndak perlu ngotot... Makanya nggak perlu cari treatment gimana ngilangin provokator, lebih perlu cari cara bikin masyarakat kebal terhadap provokator. Conto ilustrasi, kita nggak perlu bunuhi setiap kuman penyebab malaria, bikin aja obat yg manjur. Makin canggih kumannya, ya cari obat yg makin canggih juga. Salah satu cara yg saya sebutkan ya hilangin lah kesenjangan sosial. Ini kan sama saja dengan membasmi tempat-tempat bersarangnya sumber penyakit malaria tho Lak iyo cak. Ramah-tamah itu penting. Ini merupakan kulit luar yang tampak dari batin kita. Jika yang ramah-tamah itu munafik, yach urusannyalah dengan Tuhannya. Temtutemtu kemaren kan ane nanyain relevansi antara ramah-tamah dengan kemustahilan untuk membantai. Saya bilang tidak ada relevansinya. Soal hubungan bung dengan Madura tidak saya masalahkan, tetapi kalau bung merasa agak berat sebelah dalam memandang kasus ini, itu hanya untuk kepentingan bung sendiri. Lho ini gimana, sengaja mensalah-tarsirkan tulisan saya atau saya yg salah nulis redaksionalnya. Kalau untuk setiap kerusuhan belum tentu ditungangi provokator, tapi melihat urutan waktunya, kesiapan petugas, besaran massanya, akan lebih bisa untuk dianalisa apakah provokator berperan atau tidak. Bicara akar permasalahan tentu sangat luas, bukan hanya kesenjangan sosial saja, tingkat pendidikan masyarakat, kemampuan memahami agama sendiri dan mentoleransi agama yang lain, memahami kemajemukan budaya dan bukan hanya meninggikan budaya sendiri, dlsb. Jadi yang perlu diselesaikan sangat banyak. Nah, kita perlu lihat mana yang dapat dikerjakan terlebih dahulu, dan disesuaikan dengan prioritas dari urutan penting-tindaknya problem. Semua juga penting, tapi kan ada yg lebih penting. Kalo dapat diselesaikan berbarengan ya syukur. Kita juga perlu melihat lamanya efek dari treatment itu. Misalnya, untuk meningkatkan pemahaman agama sendiri kan sangat sulit untuk menilainya, dan memerlukan suatu proses yang lama dan terus menerus. Hasil yang muncul juga sulit untuk dikuantifikasi. Demikian pula dengan faktor lain yg anda sebutkan itu. Yang paling mudah dikuantifikasi jelas kesenjangan sosial. Sudah tidak perlu dibahas bahwa faktor ini tidak dapat berdiri sendiri lah. Irlandia utara dapat kita jadikan contoh bahwa kesenjangan sosial tidak ada dalam konflik mereka. Makanya saya mencoba ngangkat ini masalah tho? Gimana cara kita menformulasikan HOW - nya itu. Soal mahasiswa demontrasi, saya sangat setuju. bahkan diacara screening PNS-pun saya jawab setuju asalkan tidak merusak milik masyarakat. Jadi istilah provokator itu bukan hanya milik ORBA. Selama digaris yang benar, membela hak rakyat, tidak usah takut kepada provokator. Tetapi pada saat menghantam, membakar ataupun merencanakan membunuh suatu kelompok, diperlukan pemikiran yang lebih mendalam. Nah, makanya mestinya pemerintah kita mesti memberikan kanal kepada semua pihak untuk menyalurkan aspirasi langsung ke jalan ini. Caranya gimana supaya tidak diikuti kebrutalan? Apakah perlu dibikin lapangan di depan istana? Di depan setiap kantor pemerintah? Jadi perlu dilokalisir agar jendela-jendela perkantoran di sepanjang jalan tidak dilempari. Tapi ya jangan lalu dilokalisir agar dapat mudah ditumpas kayak Tiananmen itu '-- FNU Brawijaya wrote: Bung Blucer, peran provokator adalah memanas-manasi. Tanpa benih yang dapat ditumbuhkan, maka segala usaha untuk menanam kekacauan akan sia-sia. Tujuan kita harusnya menyelesaikan benih-benih ini, bukan sekedar membungkam para provokator. Makanya saya kemarin bilang anda suka kayak pejabat karena lebih senang berbicara yang ada di permukaan (hehe...sorry). Kita sebagai student mestinya berusaha menggali akar masyarakat, eh, masalah itu. Jadi ini bukan masalah ramah-tamah dan sebagainya. Kalau soal ramah tanah orang Jepang jauh lebih ramah. Tapi lihat sendiri bagaimana kebengisan tentara Jepang pada saat PD-II. Berapa juta yg dibunuh, berapa ratus ribu yg diperkosa seperti binatang kemudian dibunuh. Eh, ini benar-benar ada fotonya ya...jadi bukannya tanpa fakta (iya kan mbak ida?). Nah, buat yang kemarin merinding dengan foto kepala ibu dan anak, silakan
Re: Ketidakadilan vs Kegelapmataan (1)
Bung Blucer, peran provokator adalah memanas-manasi. Tanpa benih yang dapat ditumbuhkan, maka segala usaha untuk menanam kekacauan akan sia-sia. Tujuan kita harusnya menyelesaikan benih-benih ini, bukan sekedar membungkam para provokator. Makanya saya kemarin bilang anda suka kayak pejabat karena lebih senang berbicara yang ada di permukaan (hehe...sorry). Kita sebagai student mestinya berusaha menggali akar masyarakat, eh, masalah itu. Jadi ini bukan masalah ramah-tamah dan sebagainya. Kalau soal ramah tanah orang Jepang jauh lebih ramah. Tapi lihat sendiri bagaimana kebengisan tentara Jepang pada saat PD-II. Berapa juta yg dibunuh, berapa ratus ribu yg diperkosa seperti binatang kemudian dibunuh. Eh, ini benar-benar ada fotonya ya...jadi bukannya tanpa fakta (iya kan mbak ida?). Nah, buat yang kemarin merinding dengan foto kepala ibu dan anak, silakan lihat foto bgmn orang Jepang yg ramah tamah memberi latihan menusukkan sangkur ke tubuh orang hidup di kubangan orang mati. Silakan cari di Borders juga banyak lah. Jadi ini bukan masalah keramahtamahan sehingga tidak mungkin berbuat keberingasan tiada tara. Lha to be honest, ndak ada upaya saya untuk membela orang madura, wong saudara juga ndak ada yg dari Madura. Justru ipar ane yg dari Dayak. Jadi kalau misalnya secara diam-diam anda mengambil kesimpulan bahwa saya berusaha tidak fair dalam memandang masalah Sambas ini (jelasnya berat ke masyarakat Madura), ya silakan dipikirkan lagi. Entah saya sudah tulis berapa kali, bahwa kehadiran provokator memang mungkin ada, tetapi saya jelas menolak anggapan bahwa provokator selalu ada di balik setiap peristiwa kerusuhan. Justru yg paling hobi menghembuskan keberadaan provokator kan malah pemerintah. Bahkan ORBA juga paling hobi menyalahkan pihak (yg mungkin fiktif ini) sebagai yg paling bertanggung jawab. Ingat kan dengan istilah DITUNGGANGI. Silakan diperiksa sendiri lah apa bedanya antara PENUNGGANG, PIHAK KETIGA, dan PROVOKATOR. Kan semuanya bianatang yang sama. Makanya saya paling sering mengajak anda-anda untuk melihat lebih ke dalam lagi. Mosok selalu bicara yg superficial doang. Mbok sekali- kali bicara penyakit jeroan macam penyakit jantung, paru dlsb, bukan penyakit panu macam provokator itu Semua masalah, bila diperhatikan baik di wilayah Sambas, di Ambon, dan di Jakarta untuk bulan Mei itu, semuanya bermuara pada kesenjangan sosial. Jadi inilah yg mestinya diselesaikan. Bukan nyalah-nyalahin provokator doang. Kita juga tidak dapat cuma berharap bahwa semua anggota masyarakat diberi pikiran jernih. Kejernihan pikiran sangat sulit diperoleh bila perut kosong, perabot rumah minim, sementara para tetangga dengan ciri lain, kulit lain, mempunyai kelebihan yang mencolok. Ini yang jadi benih untuk disemai provokator. Nah, ini yang mesti kita selesaikan. Bukan menangkap provokator. Mereka akan patah tumbuh hilang berganti. Nah, resiko untuk mengidentifikasikan masalah ini adalah kita bisa-bisa dituduh sebagai sukuis, rasis dan sebagainya. Itu adalah resiko. Tapi itulah yg harus mampu kita gali. Kita tidak dapat (maaf lho) beronani (pinjam istilah keren dari Bung Pohan) dengan menganggap bahwa masyarakat kita akan selalu tenang, aman, hidup bertoleransi, padahal di bawah permukaan terdapat pergolakan- pergolakan. Bila pergolakan muncul keperrmukaan, lalu sibuk mencari dan menyalahkan provokator. Bosan ah Terus terang saya geli dengan kita-kita yg hobi menghujat provokator. Padahal waktu kita mahasiswa kita paling benci kalo pemerintah selalu melarang demo mahasiswa karena alasan ketakutan ditunggangi. Nah, inilah yg saya sangat prihatin. Mbok ya diingat-ingat... Nah, bagaimana? Apakah siap menerima pil pahit untuk melihat kenyataan dari borok-borok yg ada di sekujur badan sendiri, atau mau berendam di lumpur supaya tidak melihat borok di badan sambil baca majalah playboy? Baca majalah itu tidak akan mengubah badan bersih dari borok kayak yg di majalah itu tho Bung Blucer? (bersambung ya...) '--- Blucer Rajagukguk wrote: Inilah salah satu sebab kenapa kita banyak orang pinter, kebal dlsb, tetapi bisa dijajah Belanda 350 tahun dengan tambahan bonus 3 1/2 tahun dari Jepang. Karena masih banyak tokoh masyarakat kita yang lebih mendahulukan berpikir dengan emosi dan dendam, daripada ketenangan dan kehati-hatian. Saya sendiri sangat prihatin dengan nasib suku Madura, walaupun perihnya perasaan saudara-saudara di Madura bisa lebih dari yang saya bayangkan. Tetapi apakah benar, suku Dayak dan Melayu yang masih manusia, dan juga banyak terdapat di Malaysia, yang juga terkenal ramah dan beradab, benar-benar ingin membunuhi dan menganiaya masyarakat Madura tanpa sebab? Apakah benar mereka, suku Dayak dan Melayu tidak punya lagi hati dan perasaan sebagai manusia? Pertanyaan-pertanyaan ini terus menggugat hati saya dan mungkin kawan-kawan yang lain. Segala macam teori konspirasi atau cara bayar-membayar orang dan kelompok untuk
Re: Ketidakadilan vs Kegelapmataan (1)
Provokator bukan provokator namanya kalau tidak tahu apa yang sedang dialami masyarakat. Semua benih perpecahan akan selalu ada bagaimanapun situasi sosialnya. Apakah jika kesenjangan sosial terhapus, provokator akan lenyap? enggak juga. Kebutuhan yang lain akan muncul pada saat masyarakat mencapai tahapan baru. Tapi bukan berarti kita mendiamkan kesenjangan sosial. Konteks persoalan Madura yang saya bahas adalah rencana aksi balasan yang sedang dipikirkan. Menurut saya ini tidak tepat, dan hanya menmbah persoalan baru, sementara persoalan lama belum terpecahkan. Ramah-tamah itu penting. Ini merupakan kulit luar yang tampak dari batin kita. Jika yang ramah-tamah itu munafik, yach urusannyalah dengan Tuhannya. Soal hubungan bung dengan Madura tidak saya masalahkan, tetapi kalau bung merasa agak berat sebelah dalam memandang kasus ini, itu hanya untuk kepentingan bung sendiri. Kalau untuk setiap kerusuhan belum tentu ditungangi provokator, tapi melihat urutan waktunya, kesiapan petugas, besaran massanya, akan lebih bisa untuk dianalisa apakah provokator berperan atau tidak. Bicara akar permasalahan tentu sangat luas, bukan hanya kesenjangan sosial saja, tingkat pendidikan masyarakat, kemampuan memahami agama sendiri dan mentoleransi agama yang lain, memahami kemajemukan budaya dan bukan hanya meninggikan budaya sendiri, dlsb. Jadi yang perlu diselesaikan sangat banyak. Soal mahasiswa demontrasi, saya sangat setuju. bahkan diacara screening PNS-pun saya jawab setuju asalkan tidak merusak milik masyarakat. Jadi istilah provokator itu bukan hanya milik ORBA. Selama digaris yang benar, membela hak rakyat, tidak usah takut kepada provokator. Tetapi pada saat menghantam, membakar ataupun merencanakan membunuh suatu kelompok, diperlukan pemikiran yang lebih mendalam. FNU Brawijaya wrote: Bung Blucer, peran provokator adalah memanas-manasi. Tanpa benih yang dapat ditumbuhkan, maka segala usaha untuk menanam kekacauan akan sia-sia. Tujuan kita harusnya menyelesaikan benih-benih ini, bukan sekedar membungkam para provokator. Makanya saya kemarin bilang anda suka kayak pejabat karena lebih senang berbicara yang ada di permukaan (hehe...sorry). Kita sebagai student mestinya berusaha menggali akar masyarakat, eh, masalah itu. Jadi ini bukan masalah ramah-tamah dan sebagainya. Kalau soal ramah tanah orang Jepang jauh lebih ramah. Tapi lihat sendiri bagaimana kebengisan tentara Jepang pada saat PD-II. Berapa juta yg dibunuh, berapa ratus ribu yg diperkosa seperti binatang kemudian dibunuh. Eh, ini benar-benar ada fotonya ya...jadi bukannya tanpa fakta (iya kan mbak ida?). Nah, buat yang kemarin merinding dengan foto kepala ibu dan anak, silakan lihat foto bgmn orang Jepang yg ramah tamah memberi latihan menusukkan sangkur ke tubuh orang hidup di kubangan orang mati. Silakan cari di Borders juga banyak lah. Jadi ini bukan masalah keramahtamahan sehingga tidak mungkin berbuat keberingasan tiada tara. Lha to be honest, ndak ada upaya saya untuk membela orang madura, wong saudara juga ndak ada yg dari Madura. Justru ipar ane yg dari Dayak. Jadi kalau misalnya secara diam-diam anda mengambil kesimpulan bahwa saya berusaha tidak fair dalam memandang masalah Sambas ini (jelasnya berat ke masyarakat Madura), ya silakan dipikirkan lagi. Entah saya sudah tulis berapa kali, bahwa kehadiran provokator memang mungkin ada, tetapi saya jelas menolak anggapan bahwa provokator selalu ada di balik setiap peristiwa kerusuhan. Justru yg paling hobi menghembuskan keberadaan provokator kan malah pemerintah. Bahkan ORBA juga paling hobi menyalahkan pihak (yg mungkin fiktif ini) sebagai yg paling bertanggung jawab. Ingat kan dengan istilah DITUNGGANGI. Silakan diperiksa sendiri lah apa bedanya antara PENUNGGANG, PIHAK KETIGA, dan PROVOKATOR. Kan semuanya bianatang yang sama. Makanya saya paling sering mengajak anda-anda untuk melihat lebih ke dalam lagi. Mosok selalu bicara yg superficial doang. Mbok sekali- kali bicara penyakit jeroan macam penyakit jantung, paru dlsb, bukan penyakit panu macam provokator itu Semua masalah, bila diperhatikan baik di wilayah Sambas, di Ambon, dan di Jakarta untuk bulan Mei itu, semuanya bermuara pada kesenjangan sosial. Jadi inilah yg mestinya diselesaikan. Bukan nyalah-nyalahin provokator doang. Kita juga tidak dapat cuma berharap bahwa semua anggota masyarakat diberi pikiran jernih. Kejernihan pikiran sangat sulit diperoleh bila perut kosong, perabot rumah minim, sementara para tetangga dengan ciri lain, kulit lain, mempunyai kelebihan yang mencolok. Ini yang jadi benih untuk disemai provokator. Nah, ini yang mesti kita selesaikan. Bukan menangkap provokator. Mereka akan patah tumbuh hilang berganti. Nah, resiko untuk mengidentifikasikan masalah ini adalah kita bisa-bisa dituduh sebagai sukuis, rasis dan sebagainya. Itu adalah resiko. Tapi itulah yg harus mampu kita gali. Kita tidak dapat (maaf lho) beronani (pinjam istilah keren