Re: Ketidakadilan vs Kegelapmataan (1)

1999-05-12 Terurut Topik FNU Brawijaya

Blucer Rajagukguk wrote:

 Provokator bukan provokator namanya kalau tidak tahu apa yang sedang dialami 
masyarakat. Semua benih perpecahan akan
 selalu ada bagaimanapun situasi sosialnya. Apakah jika kesenjangan sosial terhapus, 
provokator akan lenyap? enggak juga.
 Kebutuhan yang lain akan muncul pada saat masyarakat mencapai tahapan baru. Tapi 
bukan berarti kita mendiamkan
 kesenjangan sosial. Konteks persoalan Madura yang saya bahas adalah rencana aksi 
balasan yang sedang dipikirkan. Menurut
 saya ini tidak tepat, dan hanya menmbah persoalan baru, sementara persoalan lama 
belum terpecahkan.

Lho, lha ini kan pemikiran senada dg ane punya. Kok malah kayak repeater aja jadi 
ya ndak
perlu ngotot... Makanya nggak perlu cari treatment gimana ngilangin provokator, lebih 
perlu
cari cara bikin masyarakat kebal terhadap provokator. Conto ilustrasi, kita nggak 
perlu bunuhi
setiap kuman penyebab malaria, bikin aja obat yg manjur. Makin canggih kumannya, ya 
cari obat
yg makin canggih juga. Salah satu cara yg saya sebutkan ya hilangin lah kesenjangan 
sosial.
Ini kan sama saja dengan membasmi tempat-tempat bersarangnya sumber penyakit malaria
tho Lak iyo cak.


 Ramah-tamah itu penting. Ini merupakan kulit luar yang tampak dari batin kita. Jika 
yang ramah-tamah itu munafik, yach
 urusannyalah dengan Tuhannya.

Temtutemtu kemaren kan ane nanyain relevansi antara ramah-tamah
dengan kemustahilan untuk membantai. Saya bilang tidak ada relevansinya.


 Soal hubungan bung dengan Madura tidak saya masalahkan, tetapi kalau bung merasa 
agak berat sebelah dalam memandang kasus
 ini, itu hanya untuk kepentingan bung sendiri.

Lho ini gimana, sengaja mensalah-tarsirkan tulisan saya atau saya yg salah
nulis redaksionalnya.


 Kalau untuk setiap kerusuhan belum tentu ditungangi provokator, tapi melihat urutan 
waktunya, kesiapan petugas, besaran
 massanya, akan lebih bisa untuk dianalisa apakah provokator berperan atau tidak.
 Bicara akar permasalahan tentu sangat luas, bukan hanya kesenjangan sosial saja, 
tingkat pendidikan masyarakat, kemampuan
 memahami agama sendiri dan mentoleransi agama yang lain, memahami kemajemukan budaya 
dan bukan hanya meninggikan budaya
 sendiri, dlsb. Jadi yang perlu diselesaikan sangat banyak.

Nah, kita perlu lihat mana yang dapat dikerjakan terlebih dahulu, dan disesuaikan
dengan prioritas dari urutan penting-tindaknya problem. Semua juga penting,
tapi kan ada yg lebih penting. Kalo dapat diselesaikan berbarengan ya syukur.

Kita juga perlu melihat lamanya efek dari treatment itu. Misalnya, untuk meningkatkan
pemahaman agama sendiri kan sangat sulit untuk menilainya, dan memerlukan
suatu proses yang lama dan terus menerus. Hasil yang muncul juga sulit untuk
dikuantifikasi. Demikian pula dengan faktor lain yg anda sebutkan itu.

Yang paling mudah dikuantifikasi jelas kesenjangan sosial. Sudah tidak perlu dibahas
bahwa faktor ini tidak dapat berdiri sendiri lah. Irlandia utara dapat kita jadikan 
contoh
bahwa kesenjangan sosial tidak ada dalam konflik mereka. Makanya saya mencoba
ngangkat ini masalah tho? Gimana cara kita menformulasikan HOW - nya itu.


 Soal mahasiswa demontrasi, saya sangat setuju. bahkan diacara screening PNS-pun saya 
jawab setuju asalkan tidak merusak
 milik masyarakat. Jadi istilah provokator itu bukan hanya milik ORBA. Selama digaris 
yang benar, membela hak rakyat,
 tidak usah takut kepada provokator. Tetapi pada saat menghantam, membakar ataupun 
merencanakan membunuh suatu kelompok,
 diperlukan pemikiran yang lebih mendalam.

Nah, makanya mestinya pemerintah kita mesti memberikan kanal kepada semua
pihak untuk menyalurkan aspirasi langsung ke jalan ini. Caranya gimana supaya
tidak diikuti kebrutalan? Apakah perlu dibikin lapangan di depan istana? Di depan
setiap kantor pemerintah? Jadi perlu dilokalisir agar jendela-jendela perkantoran
di sepanjang jalan tidak dilempari. Tapi ya jangan lalu dilokalisir agar dapat mudah
ditumpas kayak Tiananmen itu



'--

 FNU Brawijaya wrote:

  Bung Blucer, peran provokator adalah memanas-manasi.
  Tanpa benih yang dapat ditumbuhkan, maka segala usaha
  untuk menanam kekacauan akan sia-sia. Tujuan kita harusnya
  menyelesaikan benih-benih ini, bukan sekedar membungkam
  para provokator. Makanya saya kemarin bilang anda suka kayak
  pejabat karena lebih senang berbicara yang ada di permukaan
  (hehe...sorry). Kita sebagai student mestinya berusaha
  menggali akar masyarakat, eh, masalah itu. Jadi ini bukan masalah
  ramah-tamah dan sebagainya. Kalau soal ramah tanah orang Jepang
  jauh lebih ramah. Tapi lihat sendiri bagaimana kebengisan tentara
  Jepang pada saat PD-II. Berapa juta yg dibunuh, berapa ratus ribu
  yg diperkosa seperti binatang kemudian dibunuh. Eh, ini benar-benar
  ada fotonya ya...jadi bukannya tanpa fakta (iya kan mbak ida?). Nah, buat
  yang kemarin merinding dengan foto kepala ibu dan anak, silakan 

Re: Ketidakadilan vs Kegelapmataan (1)

1999-05-11 Terurut Topik FNU Brawijaya

Bung Blucer, peran provokator adalah memanas-manasi.
Tanpa benih yang dapat ditumbuhkan, maka segala usaha
untuk menanam kekacauan akan sia-sia. Tujuan kita harusnya
menyelesaikan benih-benih ini, bukan sekedar membungkam
para provokator. Makanya saya kemarin bilang anda suka kayak
pejabat karena lebih senang berbicara yang ada di permukaan
(hehe...sorry). Kita sebagai student mestinya berusaha
menggali akar masyarakat, eh, masalah itu. Jadi ini bukan masalah
ramah-tamah dan sebagainya. Kalau soal ramah tanah orang Jepang
jauh lebih ramah. Tapi lihat sendiri bagaimana kebengisan tentara
Jepang pada saat PD-II. Berapa juta yg dibunuh, berapa ratus ribu
yg diperkosa seperti binatang kemudian dibunuh. Eh, ini benar-benar
ada fotonya ya...jadi bukannya tanpa fakta (iya kan mbak ida?). Nah, buat
yang kemarin merinding dengan foto kepala ibu dan anak, silakan lihat foto
bgmn orang Jepang yg ramah tamah memberi latihan menusukkan sangkur
ke tubuh orang hidup di kubangan orang mati. Silakan cari di Borders juga
banyak lah. Jadi ini bukan masalah keramahtamahan sehingga tidak
mungkin berbuat keberingasan tiada tara.

Lha to be honest, ndak ada upaya saya untuk membela orang madura,
wong saudara juga ndak ada yg dari Madura. Justru ipar ane yg dari
Dayak. Jadi kalau misalnya secara diam-diam anda mengambil kesimpulan
bahwa saya berusaha tidak fair dalam memandang masalah Sambas ini
(jelasnya berat ke masyarakat Madura), ya silakan dipikirkan lagi.

Entah saya sudah tulis berapa kali, bahwa kehadiran provokator
memang mungkin ada, tetapi saya jelas menolak anggapan bahwa
provokator selalu ada di balik setiap peristiwa kerusuhan. Justru yg
paling hobi menghembuskan keberadaan provokator kan malah
pemerintah. Bahkan ORBA juga paling hobi menyalahkan pihak
(yg mungkin fiktif ini) sebagai yg paling bertanggung jawab. Ingat kan
dengan istilah DITUNGGANGI. Silakan diperiksa sendiri lah apa
bedanya antara PENUNGGANG, PIHAK KETIGA, dan PROVOKATOR.
Kan semuanya bianatang yang sama.

Makanya saya paling sering mengajak anda-anda untuk melihat lebih
ke dalam lagi. Mosok selalu bicara yg superficial doang. Mbok sekali-
kali bicara penyakit jeroan macam penyakit jantung, paru dlsb, bukan
penyakit panu macam provokator itu

Semua masalah, bila diperhatikan baik di wilayah Sambas, di Ambon,
dan di Jakarta untuk bulan Mei itu, semuanya bermuara pada kesenjangan
sosial. Jadi inilah yg mestinya diselesaikan. Bukan nyalah-nyalahin
provokator doang. Kita juga tidak dapat cuma berharap bahwa semua
anggota masyarakat diberi pikiran jernih. Kejernihan pikiran sangat
sulit diperoleh bila perut kosong, perabot rumah minim, sementara
para tetangga dengan ciri lain, kulit lain, mempunyai kelebihan yang
mencolok. Ini yang jadi benih untuk disemai provokator.

Nah, ini yang mesti kita selesaikan. Bukan menangkap provokator. Mereka
akan patah tumbuh hilang berganti. Nah, resiko untuk mengidentifikasikan
masalah ini adalah kita bisa-bisa dituduh sebagai sukuis, rasis dan
sebagainya. Itu adalah resiko. Tapi itulah yg harus mampu kita gali.
Kita tidak dapat (maaf lho) beronani (pinjam istilah keren dari Bung Pohan)
dengan menganggap bahwa masyarakat kita akan selalu tenang, aman,
hidup bertoleransi, padahal di bawah permukaan terdapat pergolakan-
pergolakan. Bila pergolakan muncul keperrmukaan, lalu sibuk mencari
dan menyalahkan provokator. Bosan ah Terus terang saya geli
dengan kita-kita yg hobi menghujat provokator. Padahal waktu kita
mahasiswa kita paling benci kalo pemerintah selalu melarang demo
mahasiswa karena alasan ketakutan ditunggangi. Nah, inilah yg saya
sangat prihatin. Mbok ya diingat-ingat...

Nah, bagaimana? Apakah siap menerima pil pahit untuk melihat
kenyataan dari borok-borok yg ada di sekujur badan sendiri, atau
mau berendam di lumpur supaya tidak melihat borok di badan sambil
baca majalah playboy? Baca majalah itu tidak akan mengubah badan
bersih dari borok kayak yg di majalah itu tho Bung Blucer?

(bersambung ya...)



'---
Blucer Rajagukguk wrote:

 Inilah salah satu sebab kenapa kita banyak orang pinter, kebal dlsb, tetapi bisa 
dijajah Belanda 350 tahun dengan
 tambahan bonus 3 1/2 tahun dari Jepang. Karena masih banyak tokoh masyarakat kita 
yang lebih mendahulukan berpikir
 dengan emosi dan dendam, daripada ketenangan dan kehati-hatian.
 Saya sendiri sangat prihatin dengan nasib suku Madura, walaupun perihnya perasaan 
saudara-saudara di Madura bisa
 lebih dari yang saya bayangkan.
 Tetapi apakah benar, suku Dayak dan Melayu yang masih manusia, dan juga banyak 
terdapat di Malaysia, yang juga
 terkenal ramah dan beradab, benar-benar ingin membunuhi dan menganiaya masyarakat 
Madura tanpa sebab? Apakah benar
 mereka, suku Dayak dan Melayu tidak punya lagi hati dan perasaan sebagai manusia? 
Pertanyaan-pertanyaan ini terus
 menggugat hati saya dan mungkin kawan-kawan yang lain. Segala macam teori konspirasi 
atau cara bayar-membayar orang
 dan kelompok untuk 

Re: Ketidakadilan vs Kegelapmataan (1)

1999-05-11 Terurut Topik Blucer Rajagukguk

Provokator bukan provokator namanya kalau tidak tahu apa yang sedang dialami 
masyarakat. Semua benih perpecahan akan
selalu ada bagaimanapun situasi sosialnya. Apakah jika kesenjangan sosial terhapus, 
provokator akan lenyap? enggak juga.
Kebutuhan yang lain akan muncul pada saat masyarakat mencapai tahapan baru. Tapi bukan 
berarti kita mendiamkan
kesenjangan sosial. Konteks persoalan Madura yang saya bahas adalah rencana aksi 
balasan yang sedang dipikirkan. Menurut
saya ini tidak tepat, dan hanya menmbah persoalan baru, sementara persoalan lama belum 
terpecahkan.
Ramah-tamah itu penting. Ini merupakan kulit luar yang tampak dari batin kita. Jika 
yang ramah-tamah itu munafik, yach
urusannyalah dengan Tuhannya.
Soal hubungan bung dengan Madura tidak saya masalahkan, tetapi kalau bung merasa agak 
berat sebelah dalam memandang kasus
ini, itu hanya untuk kepentingan bung sendiri.
Kalau untuk setiap kerusuhan belum tentu ditungangi provokator, tapi melihat urutan 
waktunya, kesiapan petugas, besaran
massanya, akan lebih bisa untuk dianalisa apakah provokator berperan atau tidak.
Bicara akar permasalahan tentu sangat luas, bukan hanya kesenjangan sosial saja, 
tingkat pendidikan masyarakat, kemampuan
memahami agama sendiri dan mentoleransi agama yang lain, memahami kemajemukan budaya 
dan bukan hanya meninggikan budaya
sendiri, dlsb. Jadi yang perlu diselesaikan sangat banyak.
Soal mahasiswa demontrasi, saya sangat setuju. bahkan diacara screening PNS-pun saya 
jawab setuju asalkan tidak merusak
milik masyarakat. Jadi istilah provokator itu bukan hanya milik ORBA. Selama digaris 
yang benar, membela hak rakyat,
tidak usah takut kepada provokator. Tetapi pada saat menghantam, membakar ataupun 
merencanakan membunuh suatu kelompok,
diperlukan pemikiran yang lebih mendalam.

FNU Brawijaya wrote:

 Bung Blucer, peran provokator adalah memanas-manasi.
 Tanpa benih yang dapat ditumbuhkan, maka segala usaha
 untuk menanam kekacauan akan sia-sia. Tujuan kita harusnya
 menyelesaikan benih-benih ini, bukan sekedar membungkam
 para provokator. Makanya saya kemarin bilang anda suka kayak
 pejabat karena lebih senang berbicara yang ada di permukaan
 (hehe...sorry). Kita sebagai student mestinya berusaha
 menggali akar masyarakat, eh, masalah itu. Jadi ini bukan masalah
 ramah-tamah dan sebagainya. Kalau soal ramah tanah orang Jepang
 jauh lebih ramah. Tapi lihat sendiri bagaimana kebengisan tentara
 Jepang pada saat PD-II. Berapa juta yg dibunuh, berapa ratus ribu
 yg diperkosa seperti binatang kemudian dibunuh. Eh, ini benar-benar
 ada fotonya ya...jadi bukannya tanpa fakta (iya kan mbak ida?). Nah, buat
 yang kemarin merinding dengan foto kepala ibu dan anak, silakan lihat foto
 bgmn orang Jepang yg ramah tamah memberi latihan menusukkan sangkur
 ke tubuh orang hidup di kubangan orang mati. Silakan cari di Borders juga
 banyak lah. Jadi ini bukan masalah keramahtamahan sehingga tidak
 mungkin berbuat keberingasan tiada tara.

 Lha to be honest, ndak ada upaya saya untuk membela orang madura,
 wong saudara juga ndak ada yg dari Madura. Justru ipar ane yg dari
 Dayak. Jadi kalau misalnya secara diam-diam anda mengambil kesimpulan
 bahwa saya berusaha tidak fair dalam memandang masalah Sambas ini
 (jelasnya berat ke masyarakat Madura), ya silakan dipikirkan lagi.

 Entah saya sudah tulis berapa kali, bahwa kehadiran provokator
 memang mungkin ada, tetapi saya jelas menolak anggapan bahwa
 provokator selalu ada di balik setiap peristiwa kerusuhan. Justru yg
 paling hobi menghembuskan keberadaan provokator kan malah
 pemerintah. Bahkan ORBA juga paling hobi menyalahkan pihak
 (yg mungkin fiktif ini) sebagai yg paling bertanggung jawab. Ingat kan
 dengan istilah DITUNGGANGI. Silakan diperiksa sendiri lah apa
 bedanya antara PENUNGGANG, PIHAK KETIGA, dan PROVOKATOR.
 Kan semuanya bianatang yang sama.

 Makanya saya paling sering mengajak anda-anda untuk melihat lebih
 ke dalam lagi. Mosok selalu bicara yg superficial doang. Mbok sekali-
 kali bicara penyakit jeroan macam penyakit jantung, paru dlsb, bukan
 penyakit panu macam provokator itu

 Semua masalah, bila diperhatikan baik di wilayah Sambas, di Ambon,
 dan di Jakarta untuk bulan Mei itu, semuanya bermuara pada kesenjangan
 sosial. Jadi inilah yg mestinya diselesaikan. Bukan nyalah-nyalahin
 provokator doang. Kita juga tidak dapat cuma berharap bahwa semua
 anggota masyarakat diberi pikiran jernih. Kejernihan pikiran sangat
 sulit diperoleh bila perut kosong, perabot rumah minim, sementara
 para tetangga dengan ciri lain, kulit lain, mempunyai kelebihan yang
 mencolok. Ini yang jadi benih untuk disemai provokator.

 Nah, ini yang mesti kita selesaikan. Bukan menangkap provokator. Mereka
 akan patah tumbuh hilang berganti. Nah, resiko untuk mengidentifikasikan
 masalah ini adalah kita bisa-bisa dituduh sebagai sukuis, rasis dan
 sebagainya. Itu adalah resiko. Tapi itulah yg harus mampu kita gali.
 Kita tidak dapat (maaf lho) beronani (pinjam istilah keren