Re: [Re: Nggak ada logikanya]
Rekan-rekan yth., Saya kira, dengan terbukanya topik yang didiskusikan di milis ini, akan menjadikan sulit membedakan atau mengelompokkan pemikiran 'mahasiswa' dan non-mahasiswa'. Bahkan batasan pemikirannyapun tidak jelas, apakah pemikiran 'mahasiswa' untuk topik diskusi yang terbuka tsb punya warna sendiri as well as 'non-mahasiswa'. Coba kalau dipersempit, misalnya milis 'geography'. Bisa nggak dibedakan antara pemikiran atau opini yang 'mahasiswa' dengan yang 'non-mahasiswa' (tetapi peminat dan atau pernah belajar geography). Saya kira juga masih akan sulit untuk dibedakan. Jadi, sebenarnya pemikiran dan opini seseorang seringkali tidak bisa dibatasi oleh batasan status. Apakah itu kawin atau belum, mahasiswa atau bukan, juragan atau rakyat jelata. Lalu, dengan konsumsi topik diskusi yang sangat lebar di milis permias@ ini, mungkin nggak bisa dibedakan antara pemikiran atau opini mahasiswa dan non-mahasiswa? Kalau memang nggak bisa dibedakan, kenapa harus memilih eksklusif? Kecuali kalau yang dibahas adalah topik yang eksklusif (apa iya ada topik yang eksklusif mahasiswa?). Lagian, apa bedanya sih antara mahasiswa dengan rakyat biasa? Selama ini sih saya lebih merasa sebagai rakyat jelata meskipun sedang pontang-panting sekolah. Saya setuju dengan pendapat rekan saya Donald. Salam, Budi At 08:49 PM 10/12/99 -0400, you wrote: Salam PERMIAS, dari dulu saya selalu siding dengan kawan2 non mahasiswa bahwa milis ini seharusnya terbuka. Kita juga harus tahan banting dengan opinion2 dari teman2 non mahasiswa dan non PERMIAS members. Dengan bermacam-macamnya model tanggapan di milis ini, seharusnya kita malah belajar lebih banyak. Provokasi2 atau thought provokers itu perlu juga sebenarnya supaya dapat mendewasakan kita semua. Only my opinion, Selamat berjuang, Donald
Re: [Re: Nggak ada logikanya]
Ya sudah setuju-setuju saja. Jadi untuk pelajar Indonesia di USA ya? +anjas NB: Ngomong-ngomong Bung Okki mahasiswa mana sih? Kenalan dong;) '-- From: Mardhika Wisesa [EMAIL PROTECTED] Reply-To: Indonesian Students in the US [EMAIL PROTECTED] To: [EMAIL PROTECTED] Subject: Re: [Re: Nggak ada logikanya] Date: Tue, 12 Oct 1999 11:47:52 EDT Setoejoe Mas Okki, Milis ini sudah bukan seperti yang dulu lagi, ketika perdebatan panas masih bisa berakhir dengan persahabatan dan titik temu permasalahan. Mungkin ada benarnya milis ini ditutup dari publik, dan dikhususkan untuk pelajar-pelajar Indonesia anggota Permias saja?? Mardhika Wisesa Okki Soebagio [EMAIL PROTECTED] wrote: Salam PERMIAS, Saya rasa kalau ada diskusi di forum apapun, yang diskusikan atau didebatkan itu adalah IDE-nya. Yang saya lihat disini, buntutnya adalah tuding-menuding lawan diskusinya. Besides discouraging other people to participate (no wonder the list is full of "junk"), what is it with people if we just keep the conversation on the original topic of discussions instead of flaming onto each other ? Salam, [EMAIL PROTECTED] Get free email and a permanent address at http://www.netaddress.com/?N=1 __ Get Your Private, Free Email at http://www.hotmail.com
Re: [Re: Nggak ada logikanya]
Wah, saya menyayangkan idea ini Mas ! Tapi itu hak anda. Cuma sekerdil itukah teman2 disini ? Saya yakin tidak. Perdebatan pasti akan berakhir. Waktu awal tahun 1998, apa kurang panas perdebatan kita ? Sekali lagi, ini adalah hak anda2 untuk membatasi peserta Miliis ini. Dan saya akan menghormatinya. Salam, bRidWaN At 11:47 AM 10/12/99 EDT, Mardhika Wisesa wrote: Setoejoe Mas Okki, Milis ini sudah bukan seperti yang dulu lagi, ketika perdebatan panas masih bisa berakhir dengan persahabatan dan titik temu permasalahan. Mungkin ada benarnya milis ini ditutup dari publik, dan dikhususkan untuk pelajar-pelajar Indonesia anggota Permias saja?? Mardhika Wisesa Okki Soebagio [EMAIL PROTECTED] wrote: Salam PERMIAS, Saya rasa kalau ada diskusi di forum apapun, yang diskusikan atau didebatkan itu adalah IDE-nya. Yang saya lihat disini, buntutnya adalah tuding-menuding lawan diskusinya. Besides discouraging other people to participate (no wonder the list is full of "junk"), what is it with people if we just keep the conversation on the original topic of discussions instead of flaming onto each other ? Salam, [EMAIL PROTECTED] Get free email and a permanent address at http://www.netaddress.com/?N=1
Re: [Re: Nggak ada logikanya]
kalo kata saya sih noproblemo milis ini terbuka buat siapa aja. jadi kan yang subscribe bisa ngeliat ada nggak bedanya mahasiswa dengan bukan mahasiswa.. mahasiswa yang di indo dengan yang di amerika. kali aja ada yang berkesimpulan, nggak ada bedanya. faran -- On Tue, 12 Oct 1999 11:47:52 Mardhika Wisesa wrote: Setoejoe Mas Okki, Milis ini sudah bukan seperti yang dulu lagi, ketika perdebatan panas masih bisa berakhir dengan persahabatan dan titik temu permasalahan. Mungkin ada benarnya milis ini ditutup dari publik, dan dikhususkan untuk pelajar-pelajar Indonesia anggota Permias saja?? Mardhika Wisesa Okki Soebagio [EMAIL PROTECTED] wrote: Salam PERMIAS, Saya rasa kalau ada diskusi di forum apapun, yang diskusikan atau didebatkan itu adalah IDE-nya. Yang saya lihat disini, buntutnya adalah tuding-menuding lawan diskusinya. Besides discouraging other people to participate (no wonder the list is full of "junk"), what is it with people if we just keep the conversation on the original topic of discussions instead of flaming onto each other ? Salam, [EMAIL PROTECTED] Get free email and a permanent address at http://www.netaddress.com/?N=1 DC Email! free email for the community - http://www.DCemail.com
Re: [Re: Nggak ada logikanya]
Salam PERMIAS, dari dulu saya selalu siding dengan kawan2 non mahasiswa bahwa milis ini seharusnya terbuka. Kita juga harus tahan banting dengan opinion2 dari teman2 non mahasiswa dan non PERMIAS members. Dengan bermacam-macamnya model tanggapan di milis ini, seharusnya kita malah belajar lebih banyak. Provokasi2 atau thought provokers itu perlu juga sebenarnya supaya dapat mendewasakan kita semua. Only my opinion, Selamat berjuang, Donald
Re: [Re: Nggak ada logikanya]
Wah menurut saya sih mau mahasiswa atau bukan, kalau memang idenya paten ya boleh saja dong ikutan milis ini. Hidup Demokrasi! Salam, Dika From: Donald Saluling [EMAIL PROTECTED] Reply-To: Indonesian Students in the US [EMAIL PROTECTED] To: [EMAIL PROTECTED] Subject: Re: [Re: Nggak ada logikanya] Date: Tue, 12 Oct 1999 20:49:59 EDT Salam PERMIAS, dari dulu saya selalu siding dengan kawan2 non mahasiswa bahwa milis ini seharusnya terbuka. Kita juga harus tahan banting dengan opinion2 dari teman2 non mahasiswa dan non PERMIAS members. Dengan bermacam-macamnya model tanggapan di milis ini, seharusnya kita malah belajar lebih banyak. Provokasi2 atau thought provokers itu perlu juga sebenarnya supaya dapat mendewasakan kita semua. Only my opinion, Selamat berjuang, Donald __ Get Your Private, Free Email at http://www.hotmail.com
Re: Nggak ada logikanya
Salam PERMIAS, Saya rasa kalau ada diskusi di forum apapun, yang diskusikan atau didebatkan itu adalah IDE-nya. Yang saya lihat disini, buntutnya adalah tuding-menuding lawan diskusinya. Besides discouraging other people to participate (no wonder the list is full of "junk"), what is it with people if we just keep the conversation on the original topic of discussions instead of flaming onto each other ? Salam, [EMAIL PROTECTED] Original Message On 10/6/99, 7:29:13 PM, Jeffrey Anjasmara [EMAIL PROTECTED] wrote regarding Re: Nggak ada logikanya: Bung Yohanes ini sudah berkontribusikah? Kontribusinya berapa tahun sekali? Pertanyaan selanjutnya, sudah cukup membangunkah? Pertanyaan ini perlu diajukan ke diri sendiri sebelum menuding ke orang lain. Atau begini saja deh, berhubung yang diinginkan Bung Yohanes adalah para mantan, bagaimana kalau mantan-mantan itu anda ajak ke milis ini? Rasanya jauh lebih pas deh. Atau Bung Yohanes termasuk golongan mantan juga? +anjas '- From: Yohanes Sulaiman [EMAIL PROTECTED] Reply-To: Indonesian Students in the US [EMAIL PROTECTED] To: [EMAIL PROTECTED] Subject: Re: Nggak ada logikanya Date: Wed, 6 Oct 1999 21:01:39 -0700 Terlepas dari soal bahwa pengamat olahraga itu orang Indonesia atau orang luar, tetapi akan sangat menarik kalau komentator memang orang yang bukan bekas olahragawan, akan tetapi mempunyai pengetahuan dan wawasan yang luas tentang olahraga tersebut. Komentator yang berasal dari mantan olahragawan biasanya terbatas hanya mengomentari masalah teknis permainan, padahal yang diinginkan oleh penonton mungkin lebih kepada hal-hal non teknis sekitar permainan tersebut. Coba perhatikan mana yang lebih enak didengar komentar dari bung Kusnaeni atau bung Ronny Pattinasarany bila sedang mengomentari liga Italia serie A. Tentu banyak penonton yang lebih setuju bahwa komentar dari bung Kusnaeni lebih "berisi" dibanding komentar bung Ronny. Dan perhatikan juga bila menonton siaran tinju profesional, komentar-komentar dari bung M. Niagara akan menarik dibanding komentar teknisnya bung Syamsul Anwar. Apakah bila seorang Ananda Mikola memberikan komentarnya akan seenak komentarnya bung Hendra Noor Saleh (wartawan Otomatif) ? Tentu saja masih enak didengar komentar-komentar dari bung Hendra. Jadi saya kira komentar dari orang yang bukan mantan olahragawan untuk mengomentari masalah olahraga masih lebih enak didengar dibanding komentarnya dari mantan olahragawan. M. Yumartono, Walau pendapat anda valid dan terus terang pada dasarnya saya setuju (walau sejujurnya saya kurang tahu nama-nama komentator kawakan Indonesia), tapi konteks yang kita bicarakan adalah mengenai bagaimana seorang komentator bisa memberikan komentar yang baik dan membangun. Saya hanya mengambil contoh olah raga ini agar argumen saya bisa dimengerti oleh semua orang. Namun saya ingin kembali ke ide saya yang semula yang saya tambah dengan argumen anda: walau penonton menginginkan hal yang lebih bersifat non teknis, tapi juga penonton tak mau kalau hanya mendengar komentar yang sepatah-patah dan isinya hanya mengeritik tanpa memberikan saran atau melihat situasi. Kita ambil contoh favorit anda, tinju. Sekarang kalau tinju pro misalnya Tyson VS. Spinx. Apa anda suka kalau mendengar komentatornya cuma bilang 'Ah, Spinx payah. Ayo maju, serbu si Tyson.' Wong sekali gebuk aja sudah langsung terkapar begitu. Komentator yang baik kalau saya lihat justru memperhitungkan berapa besar kemungkinan Spinx bisa mengalahkan Tyson dan kalaupun kecil, kira-kira bagaimana Spinx bisa berusaha untuk membuat strategi yang akhirnya bisa membuat si Spinx paling dikit di-KO di ronde ke-3. Terus terang kalau saya dengar komentatornya cuma bilang 'ah, Spinx payah. Ah, Spinx goblok, ah ayo serbu, serbu sana.' Mendingan saya cuma lihat gambarnya saja, enggak dengar komentatornya. Kalau saya tak salah, komentator-komentator yang anda sebutkan diatas, selain memberikan komentar yang menarik, juga mereka bisa memberikan saran atau kritik yang membangun. Contohnya kalau di Liga A (terakhir kali saya nonton sekitar 5 tahun lalu, sorry kalau sudah enggak relevan), komentatornya waktu dulu itu bisa memberikan perbandingan kekuatan antara 2 pihak dan bisa memberikan strategi bahwa tim anu itu kekuatannya di penyerangan atau defensive, sehingga tim musuh harusnya gimana. Jadi walaupun tidak teknikal, tapi at least komentarnya itu relevan dan bisa diterima serta bisa membangun. Kalau komentarnya cuma 'Tim ini goblok, wah pemainnya tolol beneran, wah yang ini otaknya didengkul,' terus terang saya enggak akan sudi banget dengarnya juga (belum lagi bisa dijewer orang tua soalnya mendengarkan acara yang diwarnai bahasa yang kurang pantas) :-) Lagian kalau memang cuma segitu kualifikasinya, yakni jago bahasa kasar, tiap orang bisa
Re: Nggak ada logikanya
hehehe biasa kalo udah ESMOSI beginilah jadinya... tapi dari pada nggak sama sekali.. -- On Tue, 12 Oct 1999 16:38:20 Okki Soebagio wrote: Salam PERMIAS, Saya rasa kalau ada diskusi di forum apapun, yang diskusikan atau didebatkan itu adalah IDE-nya. Yang saya lihat disini, buntutnya adalah tuding-menuding lawan diskusinya. Besides discouraging other people to participate (no wonder the list is full of "junk"), what is it with people if we just keep the conversation on the original topic of discussions instead of flaming onto each other ? Salam, [EMAIL PROTECTED] Original Message On 10/6/99, 7:29:13 PM, Jeffrey Anjasmara [EMAIL PROTECTED] wrote regarding Re: Nggak ada logikanya: Bung Yohanes ini sudah berkontribusikah? Kontribusinya berapa tahun sekali? Pertanyaan selanjutnya, sudah cukup membangunkah? Pertanyaan ini perlu diajukan ke diri sendiri sebelum menuding ke orang lain. Atau begini saja deh, berhubung yang diinginkan Bung Yohanes adalah para mantan, bagaimana kalau mantan-mantan itu anda ajak ke milis ini? Rasanya jauh lebih pas deh. Atau Bung Yohanes termasuk golongan mantan juga? +anjas '- From: Yohanes Sulaiman [EMAIL PROTECTED] Reply-To: Indonesian Students in the US [EMAIL PROTECTED] To: [EMAIL PROTECTED] Subject: Re: Nggak ada logikanya Date: Wed, 6 Oct 1999 21:01:39 -0700 Terlepas dari soal bahwa pengamat olahraga itu orang Indonesia atau orang luar, tetapi akan sangat menarik kalau komentator memang orang yang bukan bekas olahragawan, akan tetapi mempunyai pengetahuan dan wawasan yang luas tentang olahraga tersebut. Komentator yang berasal dari mantan olahragawan biasanya terbatas hanya mengomentari masalah teknis permainan, padahal yang diinginkan oleh penonton mungkin lebih kepada hal-hal non teknis sekitar permainan tersebut. Coba perhatikan mana yang lebih enak didengar komentar dari bung Kusnaeni atau bung Ronny Pattinasarany bila sedang mengomentari liga Italia serie A. Tentu banyak penonton yang lebih setuju bahwa komentar dari bung Kusnaeni lebih "berisi" dibanding komentar bung Ronny. Dan perhatikan juga bila menonton siaran tinju profesional, komentar-komentar dari bung M. Niagara akan menarik dibanding komentar teknisnya bung Syamsul Anwar. Apakah bila seorang Ananda Mikola memberikan komentarnya akan seenak komentarnya bung Hendra Noor Saleh (wartawan Otomatif) ? Tentu saja masih enak didengar komentar-komentar dari bung Hendra. Jadi saya kira komentar dari orang yang bukan mantan olahragawan untuk mengomentari masalah olahraga masih lebih enak didengar dibanding komentarnya dari mantan olahragawan. M. Yumartono, Walau pendapat anda valid dan terus terang pada dasarnya saya setuju (walau sejujurnya saya kurang tahu nama-nama komentator kawakan Indonesia), tapi konteks yang kita bicarakan adalah mengenai bagaimana seorang komentator bisa memberikan komentar yang baik dan membangun. Saya hanya mengambil contoh olah raga ini agar argumen saya bisa dimengerti oleh semua orang. Namun saya ingin kembali ke ide saya yang semula yang saya tambah dengan argumen anda: walau penonton menginginkan hal yang lebih bersifat non teknis, tapi juga penonton tak mau kalau hanya mendengar komentar yang sepatah-patah dan isinya hanya mengeritik tanpa memberikan saran atau melihat situasi. Kita ambil contoh favorit anda, tinju. Sekarang kalau tinju pro misalnya Tyson VS. Spinx. Apa anda suka kalau mendengar komentatornya cuma bilang 'Ah, Spinx payah. Ayo maju, serbu si Tyson.' Wong sekali gebuk aja sudah langsung terkapar begitu. Komentator yang baik kalau saya lihat justru memperhitungkan berapa besar kemungkinan Spinx bisa mengalahkan Tyson dan kalaupun kecil, kira-kira bagaimana Spinx bisa berusaha untuk membuat strategi yang akhirnya bisa membuat si Spinx paling dikit di-KO di ronde ke-3. Terus terang kalau saya dengar komentatornya cuma bilang 'ah, Spinx payah. Ah, Spinx goblok, ah ayo serbu, serbu sana.' Mendingan saya cuma lihat gambarnya saja, enggak dengar komentatornya. Kalau saya tak salah, komentator-komentator yang anda sebutkan diatas, selain memberikan komentar yang menarik, juga mereka bisa memberikan saran atau kritik yang membangun. Contohnya kalau di Liga A (terakhir kali saya nonton sekitar 5 tahun lalu, sorry kalau sudah enggak relevan), komentatornya waktu dulu itu bisa memberikan perbandingan kekuatan antara 2 pihak dan bisa memberikan strategi bahwa tim anu itu kekuatannya di penyerangan atau defensive, sehingga tim musuh harusnya gimana. Jadi walaupun tidak teknikal, tapi at least komentarnya itu relevan dan bisa diterima serta bisa membangun. Kalau komentarnya cuma 'Tim ini goblok, wah pemainnya tolol beneran, wah yang ini otaknya didengkul,' terus terang saya enggak akan sudi banget dengarnya juga (belum lagi bisa dijewer orang tua soalnya mendengarkan acara yang diwarnai bahas
Re: Nggak ada logikanya
sorry ikutan nimbrung mas (meski konteksnya lain, tak apalah), soal "Apakah bila seorang Ananda Mikola memberikan komentarnya akan seenak komentarnya bung Hendra Noor Saleh (wartawan Otomatif) ? Tentu saja masih enak didengar komentar-komentar dari bung Hendra." (atau bung sendiri yang nggak tau F1 sehingga lebih enak komentar dari bung hendra yang sama-sama "nggak tau" F1, jadii..malah nyambung..or enak). Wartawan otomotif lain yang lebih tau ada juga lho, bung Sukarman Mustamin, coba tanya dia. belum tentu seperti itu mas. di GP Motor komentator "resmi" dorna itu Randy Mamola mantan pembalap GP 500 era Kenny Roberts Jr. juga di GP F1 yang megang dulu Murray Walker (mantan pembalap juga). Komentar mereka tajem lho, detail lagi ..mereka pernah nyemplak disadel atau jok mobil balap. tentu lebih paham dari kita yang awam ini.. (atau memang atlet-atlet aja yang kurang intelek komentarnya..) bukan ngerendahin bung Hendra lho..tapi saya nggak yakin bung Hendra pernah ngerasain nikung sambil sliding di tikungan hairpin pada 130 mph (misalnya, kebetulan saya pernah ngerasain). dan tentunya dia juga sulit cerita gejala apa yang timbul jika saat itu (katakan) ban kiri tekanannya sedikit down..bisa sih bisa, tapi paling asumsi saja..ya nggak. tolong dipikir lagi dong kalo ngomong, ya mas ya...hati-hati yaa thanks lho, pedoc -Original Message- From: Yumartono [EMAIL PROTECTED] To: [EMAIL PROTECTED] [EMAIL PROTECTED] Date: Thursday, October 07, 1999 12:59 PM Subject: Re: Nggak ada logikanya Oh, kalau enggak tahu NBA, ganti saja NBA dengan Manchester United atau Olympiade atau olah raga lain. Tak apa kok. Saya ngerti kalau anda memang terlalu pintar sehingga tak bisa menyempatkan waktu nonton begituan. Saya sendiri jarang nonton NBA. Yang penting anda ngerti penjelasan saya, itu saja. YS Terlepas dari soal bahwa pengamat olahraga itu orang Indonesia atau orang luar, tetapi akan sangat menarik kalau komentator memang orang yang bukan bekas olahragawan, akan tetapi mempunyai pengetahuan dan wawasan yang luas tentang olahraga tersebut. Komentator yang berasal dari mantan olahragawan biasanya terbatas hanya mengomentari masalah teknis permainan, padahal yang diinginkan oleh penonton mungkin lebih kepada hal-hal non teknis sekitar permainan tersebut. Coba perhatikan mana yang lebih enak didengar komentar dari bung Kusnaeni atau bung Ronny Pattinasarany bila sedang mengomentari liga Italia serie A. Tentu banyak penonton yang lebih setuju bahwa komentar dari bung Kusnaeni lebih "berisi" dibanding komentar bung Ronny. Dan perhatikan juga bila menonton siaran tinju profesional, komentar-komentar dari bung M. Niagara akan menarik dibanding komentar teknisnya bung Syamsul Anwar. Apakah bila seorang Ananda Mikola memberikan komentarnya akan seenak komentarnya bung Hendra Noor Saleh (wartawan Otomatif) ? Tentu saja masih enak didengar komentar-komentar dari bung Hendra. Jadi saya kira komentar dari orang yang bukan mantan olahragawan untuk mengomentari masalah olahraga masih lebih enak didengar dibanding komentarnya dari mantan olahragawan. YMT
Re: Nggak ada logikanya
- Buat Mbak Ida : Terimakasih Geblek nya - Buat Yohanes Sulaiman : Saya nggak pernah nonton NBA :-( Oh, kalau enggak tahu NBA, ganti saja NBA dengan Manchester United atau Olympiade atau olah raga lain. Tak apa kok. Saya ngerti kalau anda memang terlalu pintar sehingga tak bisa menyempatkan waktu nonton begituan. Saya sendiri jarang nonton NBA. Yang penting anda ngerti penjelasan saya, itu saja. YS
Re: Nggak ada logikanya
Oh, kalau enggak tahu NBA, ganti saja NBA dengan Manchester United atau Olympiade atau olah raga lain. Tak apa kok. Saya ngerti kalau anda memang terlalu pintar sehingga tak bisa menyempatkan waktu nonton begituan. Saya sendiri jarang nonton NBA. Yang penting anda ngerti penjelasan saya, itu saja. YS Terlepas dari soal bahwa pengamat olahraga itu orang Indonesia atau orang luar, tetapi akan sangat menarik kalau komentator memang orang yang bukan bekas olahragawan, akan tetapi mempunyai pengetahuan dan wawasan yang luas tentang olahraga tersebut. Komentator yang berasal dari mantan olahragawan biasanya terbatas hanya mengomentari masalah teknis permainan, padahal yang diinginkan oleh penonton mungkin lebih kepada hal-hal non teknis sekitar permainan tersebut. Coba perhatikan mana yang lebih enak didengar komentar dari bung Kusnaeni atau bung Ronny Pattinasarany bila sedang mengomentari liga Italia serie A. Tentu banyak penonton yang lebih setuju bahwa komentar dari bung Kusnaeni lebih "berisi" dibanding komentar bung Ronny. Dan perhatikan juga bila menonton siaran tinju profesional, komentar-komentar dari bung M. Niagara akan menarik dibanding komentar teknisnya bung Syamsul Anwar. Apakah bila seorang Ananda Mikola memberikan komentarnya akan seenak komentarnya bung Hendra Noor Saleh (wartawan Otomatif) ? Tentu saja masih enak didengar komentar-komentar dari bung Hendra. Jadi saya kira komentar dari orang yang bukan mantan olahragawan untuk mengomentari masalah olahraga masih lebih enak didengar dibanding komentarnya dari mantan olahragawan. YMT
Re: Nggak ada logikanya
Terlepas dari soal bahwa pengamat olahraga itu orang Indonesia atau orang luar, tetapi akan sangat menarik kalau komentator memang orang yang bukan bekas olahragawan, akan tetapi mempunyai pengetahuan dan wawasan yang luas tentang olahraga tersebut. Komentator yang berasal dari mantan olahragawan biasanya terbatas hanya mengomentari masalah teknis permainan, padahal yang diinginkan oleh penonton mungkin lebih kepada hal-hal non teknis sekitar permainan tersebut. Coba perhatikan mana yang lebih enak didengar komentar dari bung Kusnaeni atau bung Ronny Pattinasarany bila sedang mengomentari liga Italia serie A. Tentu banyak penonton yang lebih setuju bahwa komentar dari bung Kusnaeni lebih "berisi" dibanding komentar bung Ronny. Dan perhatikan juga bila menonton siaran tinju profesional, komentar-komentar dari bung M. Niagara akan menarik dibanding komentar teknisnya bung Syamsul Anwar. Apakah bila seorang Ananda Mikola memberikan komentarnya akan seenak komentarnya bung Hendra Noor Saleh (wartawan Otomatif) ? Tentu saja masih enak didengar komentar-komentar dari bung Hendra. Jadi saya kira komentar dari orang yang bukan mantan olahragawan untuk mengomentari masalah olahraga masih lebih enak didengar dibanding komentarnya dari mantan olahragawan. M. Yumartono, Walau pendapat anda valid dan terus terang pada dasarnya saya setuju (walau sejujurnya saya kurang tahu nama-nama komentator kawakan Indonesia), tapi konteks yang kita bicarakan adalah mengenai bagaimana seorang komentator bisa memberikan komentar yang baik dan membangun. Saya hanya mengambil contoh olah raga ini agar argumen saya bisa dimengerti oleh semua orang. Namun saya ingin kembali ke ide saya yang semula yang saya tambah dengan argumen anda: walau penonton menginginkan hal yang lebih bersifat non teknis, tapi juga penonton tak mau kalau hanya mendengar komentar yang sepatah-patah dan isinya hanya mengeritik tanpa memberikan saran atau melihat situasi. Kita ambil contoh favorit anda, tinju. Sekarang kalau tinju pro misalnya Tyson VS. Spinx. Apa anda suka kalau mendengar komentatornya cuma bilang 'Ah, Spinx payah. Ayo maju, serbu si Tyson.' Wong sekali gebuk aja sudah langsung terkapar begitu. Komentator yang baik kalau saya lihat justru memperhitungkan berapa besar kemungkinan Spinx bisa mengalahkan Tyson dan kalaupun kecil, kira-kira bagaimana Spinx bisa berusaha untuk membuat strategi yang akhirnya bisa membuat si Spinx paling dikit di-KO di ronde ke-3. Terus terang kalau saya dengar komentatornya cuma bilang 'ah, Spinx payah. Ah, Spinx goblok, ah ayo serbu, serbu sana.' Mendingan saya cuma lihat gambarnya saja, enggak dengar komentatornya. Kalau saya tak salah, komentator-komentator yang anda sebutkan diatas, selain memberikan komentar yang menarik, juga mereka bisa memberikan saran atau kritik yang membangun. Contohnya kalau di Liga A (terakhir kali saya nonton sekitar 5 tahun lalu, sorry kalau sudah enggak relevan), komentatornya waktu dulu itu bisa memberikan perbandingan kekuatan antara 2 pihak dan bisa memberikan strategi bahwa tim anu itu kekuatannya di penyerangan atau defensive, sehingga tim musuh harusnya gimana. Jadi walaupun tidak teknikal, tapi at least komentarnya itu relevan dan bisa diterima serta bisa membangun. Kalau komentarnya cuma 'Tim ini goblok, wah pemainnya tolol beneran, wah yang ini otaknya didengkul,' terus terang saya enggak akan sudi banget dengarnya juga (belum lagi bisa dijewer orang tua soalnya mendengarkan acara yang diwarnai bahasa yang kurang pantas) :-) Lagian kalau memang cuma segitu kualifikasinya, yakni jago bahasa kasar, tiap orang bisa saja jadi komentator olah raga. Jeger-jeger di Tanah Abang juga bisa semua, kok. Cuma apakah anda mau mendengarnya? Tapi anda benar bahwa komentator dari mantan olah ragawan belum tentu bisa seenak komentator yang bukan mantan. Hanya kalau menurut saya, biasanya mereka yang mantan lebih tahu detail dan tekniknya sehingga komentarnya bisa jauh lebih membangun. YS
Re: Nggak ada logikanya
Saya memang nggak hobi nonton NBA ataupun Liga ataupun tinju. Saya lebih suka nonton Discovery Channel, atau Elegant Solution, atau Wild Life, atau Beyond 2000, biar tambah pinter. :-) Bukan masalah penting atau tidak penting mengerti penjelasan Anda, tapi Anda bisa nggak menjelaskan kelakukan "Mahasiswa Dagang Sapi" dari Forkot dan turunannya. Soe -Original Message- From: Yohanes Sulaiman [EMAIL PROTECTED] To: [EMAIL PROTECTED] [EMAIL PROTECTED] Date: Thursday, October 07, 1999 9:28 AM Subject: Re: Nggak ada logikanya - Buat Mbak Ida : Terimakasih Geblek nya - Buat Yohanes Sulaiman : Saya nggak pernah nonton NBA :-( Oh, kalau enggak tahu NBA, ganti saja NBA dengan Manchester United atau Olympiade atau olah raga lain. Tak apa kok. Saya ngerti kalau anda memang terlalu pintar sehingga tak bisa menyempatkan waktu nonton begituan. Saya sendiri jarang nonton NBA. Yang penting anda ngerti penjelasan saya, itu saja. YS
Re: Nggak ada logikanya
Bung Yohanes ini sudah berkontribusikah? Kontribusinya berapa tahun sekali? Pertanyaan selanjutnya, sudah cukup membangunkah? Pertanyaan ini perlu diajukan ke diri sendiri sebelum menuding ke orang lain. Atau begini saja deh, berhubung yang diinginkan Bung Yohanes adalah para mantan, bagaimana kalau mantan-mantan itu anda ajak ke milis ini? Rasanya jauh lebih pas deh. Atau Bung Yohanes termasuk golongan mantan juga? +anjas '- From: Yohanes Sulaiman [EMAIL PROTECTED] Reply-To: Indonesian Students in the US [EMAIL PROTECTED] To: [EMAIL PROTECTED] Subject: Re: Nggak ada logikanya Date: Wed, 6 Oct 1999 21:01:39 -0700 Terlepas dari soal bahwa pengamat olahraga itu orang Indonesia atau orang luar, tetapi akan sangat menarik kalau komentator memang orang yang bukan bekas olahragawan, akan tetapi mempunyai pengetahuan dan wawasan yang luas tentang olahraga tersebut. Komentator yang berasal dari mantan olahragawan biasanya terbatas hanya mengomentari masalah teknis permainan, padahal yang diinginkan oleh penonton mungkin lebih kepada hal-hal non teknis sekitar permainan tersebut. Coba perhatikan mana yang lebih enak didengar komentar dari bung Kusnaeni atau bung Ronny Pattinasarany bila sedang mengomentari liga Italia serie A. Tentu banyak penonton yang lebih setuju bahwa komentar dari bung Kusnaeni lebih "berisi" dibanding komentar bung Ronny. Dan perhatikan juga bila menonton siaran tinju profesional, komentar-komentar dari bung M. Niagara akan menarik dibanding komentar teknisnya bung Syamsul Anwar. Apakah bila seorang Ananda Mikola memberikan komentarnya akan seenak komentarnya bung Hendra Noor Saleh (wartawan Otomatif) ? Tentu saja masih enak didengar komentar-komentar dari bung Hendra. Jadi saya kira komentar dari orang yang bukan mantan olahragawan untuk mengomentari masalah olahraga masih lebih enak didengar dibanding komentarnya dari mantan olahragawan. M. Yumartono, Walau pendapat anda valid dan terus terang pada dasarnya saya setuju (walau sejujurnya saya kurang tahu nama-nama komentator kawakan Indonesia), tapi konteks yang kita bicarakan adalah mengenai bagaimana seorang komentator bisa memberikan komentar yang baik dan membangun. Saya hanya mengambil contoh olah raga ini agar argumen saya bisa dimengerti oleh semua orang. Namun saya ingin kembali ke ide saya yang semula yang saya tambah dengan argumen anda: walau penonton menginginkan hal yang lebih bersifat non teknis, tapi juga penonton tak mau kalau hanya mendengar komentar yang sepatah-patah dan isinya hanya mengeritik tanpa memberikan saran atau melihat situasi. Kita ambil contoh favorit anda, tinju. Sekarang kalau tinju pro misalnya Tyson VS. Spinx. Apa anda suka kalau mendengar komentatornya cuma bilang 'Ah, Spinx payah. Ayo maju, serbu si Tyson.' Wong sekali gebuk aja sudah langsung terkapar begitu. Komentator yang baik kalau saya lihat justru memperhitungkan berapa besar kemungkinan Spinx bisa mengalahkan Tyson dan kalaupun kecil, kira-kira bagaimana Spinx bisa berusaha untuk membuat strategi yang akhirnya bisa membuat si Spinx paling dikit di-KO di ronde ke-3. Terus terang kalau saya dengar komentatornya cuma bilang 'ah, Spinx payah. Ah, Spinx goblok, ah ayo serbu, serbu sana.' Mendingan saya cuma lihat gambarnya saja, enggak dengar komentatornya. Kalau saya tak salah, komentator-komentator yang anda sebutkan diatas, selain memberikan komentar yang menarik, juga mereka bisa memberikan saran atau kritik yang membangun. Contohnya kalau di Liga A (terakhir kali saya nonton sekitar 5 tahun lalu, sorry kalau sudah enggak relevan), komentatornya waktu dulu itu bisa memberikan perbandingan kekuatan antara 2 pihak dan bisa memberikan strategi bahwa tim anu itu kekuatannya di penyerangan atau defensive, sehingga tim musuh harusnya gimana. Jadi walaupun tidak teknikal, tapi at least komentarnya itu relevan dan bisa diterima serta bisa membangun. Kalau komentarnya cuma 'Tim ini goblok, wah pemainnya tolol beneran, wah yang ini otaknya didengkul,' terus terang saya enggak akan sudi banget dengarnya juga (belum lagi bisa dijewer orang tua soalnya mendengarkan acara yang diwarnai bahasa yang kurang pantas) :-) Lagian kalau memang cuma segitu kualifikasinya, yakni jago bahasa kasar, tiap orang bisa saja jadi komentator olah raga. Jeger-jeger di Tanah Abang juga bisa semua, kok. Cuma apakah anda mau mendengarnya? Tapi anda benar bahwa komentator dari mantan olah ragawan belum tentu bisa seenak komentator yang bukan mantan. Hanya kalau menurut saya, biasanya mereka yang mantan lebih tahu detail dan tekniknya sehingga komentarnya bisa jauh lebih membangun. YS __ Get Your Private, Free Email at http://www.hotmail.com
Re: Nggak ada logikanya
Saya memang nggak hobi nonton NBA ataupun Liga ataupun tinju. Saya lebih suka nonton Discovery Channel, atau Elegant Solution, atau Wild Life, atau Beyond 2000, biar tambah pinter. :-) Bukan masalah penting atau tidak penting mengerti penjelasan Anda, tapi Anda bisa nggak menjelaskan kelakukan "Mahasiswa Dagang Sapi" dari Forkot dan turunannya. Wah, kalau saya lihat, kayaknya mahasiswa enggak mungkin jual beli jabatan. Wong power aja enggak punya. Yang bisa jual beli jabatan justru yang sudah diatas, yang sudah punya kekuasaan. Kalau mahasiswa, siapa coba yang mau beli jabatan jadi menwa atau ketua senat mahasiswa selain mahasiswa sendiri. Tapi kok jadi membalik begini Saya khan yang tanya duluan kepada anda, bahwa apa yang sebetulnya mahasiswa perlu lakukan, apa yang diperlukan negara kita untuk bisa menyelesaikan masalah serta apa ide-ide anda. Kok belum anda jawab sudah suruh saya jawabnya pertanyaan anda nih Saya terus terang jadi sungkan kok jadi dikasih giliran pertama begini. Soalnya terus terang saya tertarik sekali dengan ide-ide anda dan kalau membaca dari gaya tulisan anda, kayaknya kemampuan intelektual anda juga jauh sekali diatas saya, apalagi melihat channel-channel intelektual yang selalu anda tonton; sehingga saya rasa justru saya perlu banyak belajar dari anda dan karena itu dengan rendah hati saya meminta sedikit wangsit dari orang pintar seperti anda. YS
Re: Nggak ada logikanya
Bung Yohanes ini sudah berkontribusikah? Kontribusinya berapa tahun sekali? Pertanyaan selanjutnya, sudah cukup membangunkah? Pertanyaan ini perlu diajukan ke diri sendiri sebelum menuding ke orang lain. M. Anjasmara, Terus terang saya justru merasa kontribusi saya kepada era reformasi ini masih sedikit sekali. Kaena itu saya makanya enggak berani terlalu banyak berbicara atau berkoar-koar. Biarlah saya hanya jadi pengamat saja dari pinggiran, dan saya justru senang sekali kalau ada yang menulis panjang lebar jadi saya juga bisa terus belajar. Soalnya hidup adalah penuh belajar. Saya terus terang salut melihat banyak sekali kontribusi anda di milis ini, yang walaupun kontroversial tapi beremosi serta penuh rasa percaya diri. Atau begini saja deh, berhubung yang diinginkan Bung Yohanes adalah para mantan, bagaimana kalau mantan-mantan itu anda ajak ke milis ini? Rasanya jauh lebih pas deh. Atau Bung Yohanes termasuk golongan mantan juga? Kalau soal mantan itu, maksud saya adalah olahragawan yang karena pernah dilapangan jadi lebih tahu seluk beluk medan dan karena itu mereka kalau bicara juga tahu apa yang mereka bicarakan serta mengerti hambatan dan situasi sehingga tak pernah asbun. Saya sendiri tak pernah menyatakan bahwa seluruh anggota milis ini perlu menjadi mantan agar kita bisa mengeritik orang. Yang menjadi inti tulisan saya adalah kita hanya berteriak mengeritik orang dari pinggir, tapi apakah kita sendiri pernah menempatkan diri kita di posisi mereka? Kalau apakah saya termasuk golongan mantan hmm Mendingan jadi rahasia perusahaan saja :-) Tapi sejujurnya, saya hanyalah seorang bodoh yang terus berusaha belajar tentang hidup. YS