Re: [R@ntau-Net] Re: Bukittinggi 17 Agustus 1947
Tentang etnis Cina di Pariaman, kalau ambo indak salah ingek, Christine Dobbin menyatakan mereka sudah ada sejak abad ke-16, Pak Saaf. Dan mereka beranak pinak setelah itu, termasuk lewat perkawinan campur dengan warga asli, sehingga menjadikan Pariaman salah satu wilayah dengan keturunan Cina di Sumbar. (Apalagi lokasi pantai yang mendukung mobilitas perdagangan juga tempat yang disukai oleh etnis ini). Waktu penjajahan Jepang, syahdan ada 2 orang Cina setempat yang terlihat penduduk masuk ke kantor Tentara Pendudukan Jepang. Beredar rumor, mereka adalah pengkhianat, sehingga sepulangnya mereka dari kantor Jepang, keduanya dibunuh warga, dan itu menjadi awal pindahnya sebagian (besar) warga keturunan Tionghoa dari Pariaman. Apakah kasus Pariaman itu yang Pak Saaf maksud, atau ada kasus Pariaman lain yang lebih spesifik? Wassalam, ANB Pada 22 Agustus 2015 03.23, Dr. Saafroedin Bahar saafroedin.ba...@rantaunet.org menulis: Wah hebat bung Akmal. Saya rasa banyak yg tidak tahu. Bagaimana pula dgn kasus Pariaman ? SB. Pada tanggal 21 Agt 2015 11:21, Afda Rizki afdari...@gmail.com menulis: Luar biasa Uda Akmal, Sangat mencerahkan sekali. Baru tau ambo saroman tu carito nyo. Tarimo kasih banyak Da. Apokah Pao An Tui ko sempat ado di ranah di zaman revolusi kemerdekaan dulu? Karano -kalau ndak salah- ado beberapo daerah di Sumbar yang etnis Tionghoa nyo samo sekali ndak ado laiwalau sempat ado sebelumnyo. Maulang permintaan Uda Akmal, kok lai ado senior dan sesepuh RN yang mengalami langsuang maso-maso bergolak ...mungkin bisa berbagi carito di lapau ko. Wassalam, Afda Rizki * Pada Kamis, 20 Agustus 2015 13.44.30 UTC+3, Akmal Nasery Basral menulis: Sanak Afda Rizki, 12.000 orang Tionghoa yang turun ke jalan-jalan kota Medan itu dimotori milisi radikal Poh An Tui (disebut juga Pao An Tui), yang dikomandani seorang Cina Medan bernama Lim Seng. Poh An Tui ini milisi yang ditakuti, meski awal berdirinya cuma dengan 110 orang, tapi mereka dilatih langsung oleh Brigjen Ted Kelly (salah satu komandan Tentara Sekutu), dan pasokan senjata mereka pun dari Tentara Sekutu. Poh An Tui sendiri berarti Barisan Penjaga Lingkungan. Sebetulnya Tionghoa radikal seperti anggota Poh An Tui itu jumlahnya sedikit dibandingkan jumlah Tionghoa di Indonesia, yang secara politik terbagi ke dalam tiga kelompok: 1. Kelompok Sinpo, yang masih mengidentifikasi diri dengan leluhur mereka di China Daratan. 2. Kelompok Chung Hua Hui (CHH) yang pro-Belanda, dan 3. Partai Tionghoa Indonesia (PTI) yang pro-Republik. Salah seorang tokoh Tionghoa pro-Republik adalah Siaw Giok Tjhan (perannya lebih jauh dijelaskan di bawah nanti) Ketika Jepang datang, ketiga kelompok itu dipaksa melebur jadi satu kelompok yang disebut Hui Chiao Tsung Hui (HCTH) sehingga perbedaan antarkelompok tak lagi terlihat jelas. Ketika Tentara Sekutu kembali ke Indonesia, antara lain lewat Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, polarisasi HCTH kembali terlihat. Ada kelompok yang ingin Belanda kembali berkuasa, dan ada masyarakat Tionghoa yang ingin bergabung dengan republik yang baru merdeka. Malangnya, Bung Tomo dalam pidatonya yang berapi-api menyatakan bahwa masyarakat Tionghoa, terutama Tionghoa di Surabaya, lebih pro-Belanda ketimbang pro-Republik. Dengan kata lain, mereka pengkhianat. Pidato Bung Tomo memicu sentimen anti-Tionghoa dan gelombang serangan rakyat Surabaya terhadap keturunan Tionghoa. Situasi ini membuat Siaw Giok Tjhan yang selama ini pro-Republik marah dan kecewa terhadap Bung Tomo, sehingga mengirimkan orang-orangnya untuk bertemu Bung Tomo dengan menyatakan tidak semua orang Tionghoa pro-Belanda, cukup banyak juga yang pro-Republik. Dalam pertemuan itu Bung Tomo menyatakan bahwa orasinya di radio berdasarkan laporan lapangan dari Soemarsono, komandan lapangan Pemuda Republik, yang pasukannya berhadapan langsung dengan Poh An Tui (Surabaya). Meski Siaw Giok Tjhan akhirnya bisa memahami penjelasan Bung Tomo, tapi sentimen anti-Tionghoa telanjur meluas ke luar Surabaya, dan khususnya pecah di Medan. Sepanjang Desember 1945 terjadi serangan terhadap orang-orang Tionghoa oleh pribumi Medan. Keadaan ini membuat sebagian etnis Tionghoa Medan memilih angkat senjata dan mendirikan Poh An Tui (cabang) Medan, yang diketuai Lim Seng tadi, dengan anggota awal 110 orang. Mereka mengibarkan spanduk-spanduk bertuliskanRepublik Mengkhianati Kami. Sampai tahap ini posisi mereka lebih bersifat defensif. (*Note: *Ada perbedaan waktu tentang kapan persisnya demontrasi besar yang melibatkan 12.000 etnis Tionghoa itu terjadi. Jika laman yang dirujuk sanak Afda Rizki dan MakNgah menyebutkan peristiwa itu terjadi pada September 1947, sementara ambo yang menuliskan juga peristiwa ini dalam novel historis *Napoleon dari Tanah Rencong* (2013), hal. 174-177, ambo lebih memilih versi yang menyatakan demontrasi besar itu terjadi pada akhir Januari 1946. Salah satu rujukan ambo
Re: [R@ntau-Net] Re: Bukittinggi 17 Agustus 1947
Bung Akmal, memang itu yg saya maksud. Trims. Wassalam, SB. Pada tanggal 25 Agt 2015 07:22, Akmal Nasery Basral ak...@rantaunet.org menulis: Tentang etnis Cina di Pariaman, kalau ambo indak salah ingek, Christine Dobbin menyatakan mereka sudah ada sejak abad ke-16, Pak Saaf. Dan mereka beranak pinak setelah itu, termasuk lewat perkawinan campur dengan warga asli, sehingga menjadikan Pariaman salah satu wilayah dengan keturunan Cina di Sumbar. (Apalagi lokasi pantai yang mendukung mobilitas perdagangan juga tempat yang disukai oleh etnis ini). Waktu penjajahan Jepang, syahdan ada 2 orang Cina setempat yang terlihat penduduk masuk ke kantor Tentara Pendudukan Jepang. Beredar rumor, mereka adalah pengkhianat, sehingga sepulangnya mereka dari kantor Jepang, keduanya dibunuh warga, dan itu menjadi awal pindahnya sebagian (besar) warga keturunan Tionghoa dari Pariaman. Apakah kasus Pariaman itu yang Pak Saaf maksud, atau ada kasus Pariaman lain yang lebih spesifik? Wassalam, ANB Pada 22 Agustus 2015 03.23, Dr. Saafroedin Bahar saafroedin.ba...@rantaunet.org menulis: Wah hebat bung Akmal. Saya rasa banyak yg tidak tahu. Bagaimana pula dgn kasus Pariaman ? SB. Pada tanggal 21 Agt 2015 11:21, Afda Rizki afdari...@gmail.com menulis: Luar biasa Uda Akmal, Sangat mencerahkan sekali. Baru tau ambo saroman tu carito nyo. Tarimo kasih banyak Da. Apokah Pao An Tui ko sempat ado di ranah di zaman revolusi kemerdekaan dulu? Karano -kalau ndak salah- ado beberapo daerah di Sumbar yang etnis Tionghoa nyo samo sekali ndak ado laiwalau sempat ado sebelumnyo. Maulang permintaan Uda Akmal, kok lai ado senior dan sesepuh RN yang mengalami langsuang maso-maso bergolak ...mungkin bisa berbagi carito di lapau ko. Wassalam, Afda Rizki * Pada Kamis, 20 Agustus 2015 13.44.30 UTC+3, Akmal Nasery Basral menulis: Sanak Afda Rizki, 12.000 orang Tionghoa yang turun ke jalan-jalan kota Medan itu dimotori milisi radikal Poh An Tui (disebut juga Pao An Tui), yang dikomandani seorang Cina Medan bernama Lim Seng. Poh An Tui ini milisi yang ditakuti, meski awal berdirinya cuma dengan 110 orang, tapi mereka dilatih langsung oleh Brigjen Ted Kelly (salah satu komandan Tentara Sekutu), dan pasokan senjata mereka pun dari Tentara Sekutu. Poh An Tui sendiri berarti Barisan Penjaga Lingkungan. Sebetulnya Tionghoa radikal seperti anggota Poh An Tui itu jumlahnya sedikit dibandingkan jumlah Tionghoa di Indonesia, yang secara politik terbagi ke dalam tiga kelompok: 1. Kelompok Sinpo, yang masih mengidentifikasi diri dengan leluhur mereka di China Daratan. 2. Kelompok Chung Hua Hui (CHH) yang pro-Belanda, dan 3. Partai Tionghoa Indonesia (PTI) yang pro-Republik. Salah seorang tokoh Tionghoa pro-Republik adalah Siaw Giok Tjhan (perannya lebih jauh dijelaskan di bawah nanti) Ketika Jepang datang, ketiga kelompok itu dipaksa melebur jadi satu kelompok yang disebut Hui Chiao Tsung Hui (HCTH) sehingga perbedaan antarkelompok tak lagi terlihat jelas. Ketika Tentara Sekutu kembali ke Indonesia, antara lain lewat Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, polarisasi HCTH kembali terlihat. Ada kelompok yang ingin Belanda kembali berkuasa, dan ada masyarakat Tionghoa yang ingin bergabung dengan republik yang baru merdeka. Malangnya, Bung Tomo dalam pidatonya yang berapi-api menyatakan bahwa masyarakat Tionghoa, terutama Tionghoa di Surabaya, lebih pro-Belanda ketimbang pro-Republik. Dengan kata lain, mereka pengkhianat. Pidato Bung Tomo memicu sentimen anti-Tionghoa dan gelombang serangan rakyat Surabaya terhadap keturunan Tionghoa. Situasi ini membuat Siaw Giok Tjhan yang selama ini pro-Republik marah dan kecewa terhadap Bung Tomo, sehingga mengirimkan orang-orangnya untuk bertemu Bung Tomo dengan menyatakan tidak semua orang Tionghoa pro-Belanda, cukup banyak juga yang pro-Republik. Dalam pertemuan itu Bung Tomo menyatakan bahwa orasinya di radio berdasarkan laporan lapangan dari Soemarsono, komandan lapangan Pemuda Republik, yang pasukannya berhadapan langsung dengan Poh An Tui (Surabaya). Meski Siaw Giok Tjhan akhirnya bisa memahami penjelasan Bung Tomo, tapi sentimen anti-Tionghoa telanjur meluas ke luar Surabaya, dan khususnya pecah di Medan. Sepanjang Desember 1945 terjadi serangan terhadap orang-orang Tionghoa oleh pribumi Medan. Keadaan ini membuat sebagian etnis Tionghoa Medan memilih angkat senjata dan mendirikan Poh An Tui (cabang) Medan, yang diketuai Lim Seng tadi, dengan anggota awal 110 orang. Mereka mengibarkan spanduk-spanduk bertuliskanRepublik Mengkhianati Kami. Sampai tahap ini posisi mereka lebih bersifat defensif. (*Note: *Ada perbedaan waktu tentang kapan persisnya demontrasi besar yang melibatkan 12.000 etnis Tionghoa itu terjadi. Jika laman yang dirujuk sanak Afda Rizki dan MakNgah menyebutkan peristiwa itu terjadi pada September 1947, sementara ambo yang menuliskan juga peristiwa ini dalam novel historis *Napoleon dari
Re: [R@ntau-Net] Re: Bukittinggi 17 Agustus 1947
Ethnic Tionghoa di Aceh: http://m.merdeka.com/peristiwa/cerita-warga-etnis-tionghoa-tinggal-di-negeri-syariah.html -- Makngah -- . * Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet~ * Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email. === UNTUK DIPERHATIKAN, yang melanggar akan dimoderasi: * DILARANG: 1. Email besar dari 200KB; 2. Email attachment, tawarkan kirim melalui jalur pribadi; 3. Email One Liner. * Anggota WAJIB mematuhi peraturan (lihat di http://goo.gl/MScz7) serta mengirimkan biodata! * Tulis Nama, Umur Lokasi disetiap posting * Hapus footer seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply * Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama mengganti subjeknya. === Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/ --- Anda menerima pesan ini karena Anda berlangganan grup RantauNet dari Google Grup. Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, kirim email ke rantaunet+unsubscr...@googlegroups.com. Untuk opsi lainnya, kunjungi https://groups.google.com/d/optout.
Re: [R@ntau-Net] Re: Bukittinggi 17 Agustus 1947
Ethnic Tionghoa di Ranah Minang: http://celotehbuku.blogspot.com/2008/06/etnis-tionghoa-di-ranah-minang.html?m=1 -- Makngah -- . * Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet~ * Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email. === UNTUK DIPERHATIKAN, yang melanggar akan dimoderasi: * DILARANG: 1. Email besar dari 200KB; 2. Email attachment, tawarkan kirim melalui jalur pribadi; 3. Email One Liner. * Anggota WAJIB mematuhi peraturan (lihat di http://goo.gl/MScz7) serta mengirimkan biodata! * Tulis Nama, Umur Lokasi disetiap posting * Hapus footer seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply * Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama mengganti subjeknya. === Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/ --- Anda menerima pesan ini karena Anda berlangganan grup RantauNet dari Google Grup. Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, kirim email ke rantaunet+unsubscr...@googlegroups.com. Untuk opsi lainnya, kunjungi https://groups.google.com/d/optout.
Re: [R@ntau-Net] Re: Bukittinggi 17 Agustus 1947
Sependek pengetahuan ambo, Poh An Tui dalam versi formal (dengan organisasi yang dideklarasikan) seperti di Medan, indak ado sanak Afda Rizki. Tapi sangat mungkin simpatisan (individual) dari keturunan Tionghoa di Sumbar terhadap Poh An Tui ado pulo. Mungkin bisa dicek di buku Asap Hio di Ranah Minang karya seorang dosen sejarah UNP biar lebih pasti. Atau Uwan Suryadi Sunuri di Leiden nan labiah paham sejarah saisuak di ranah. Wassalam, ANB Pada 21 Agustus 2015 11.21, Afda Rizki afdari...@gmail.com menulis: Luar biasa Uda Akmal, Sangat mencerahkan sekali. Baru tau ambo saroman tu carito nyo. Tarimo kasih banyak Da. Apokah Pao An Tui ko sempat ado di ranah di zaman revolusi kemerdekaan dulu? Karano -kalau ndak salah- ado beberapo daerah di Sumbar yang etnis Tionghoa nyo samo sekali ndak ado laiwalau sempat ado sebelumnyo. Maulang permintaan Uda Akmal, kok lai ado senior dan sesepuh RN yang mengalami langsuang maso-maso bergolak ...mungkin bisa berbagi carito di lapau ko. Wassalam, Afda Rizki * Pada Kamis, 20 Agustus 2015 13.44.30 UTC+3, Akmal Nasery Basral menulis: Sanak Afda Rizki, 12.000 orang Tionghoa yang turun ke jalan-jalan kota Medan itu dimotori milisi radikal Poh An Tui (disebut juga Pao An Tui), yang dikomandani seorang Cina Medan bernama Lim Seng. Poh An Tui ini milisi yang ditakuti, meski awal berdirinya cuma dengan 110 orang, tapi mereka dilatih langsung oleh Brigjen Ted Kelly (salah satu komandan Tentara Sekutu), dan pasokan senjata mereka pun dari Tentara Sekutu. Poh An Tui sendiri berarti Barisan Penjaga Lingkungan. Sebetulnya Tionghoa radikal seperti anggota Poh An Tui itu jumlahnya sedikit dibandingkan jumlah Tionghoa di Indonesia, yang secara politik terbagi ke dalam tiga kelompok: 1. Kelompok Sinpo, yang masih mengidentifikasi diri dengan leluhur mereka di China Daratan. 2. Kelompok Chung Hua Hui (CHH) yang pro-Belanda, dan 3. Partai Tionghoa Indonesia (PTI) yang pro-Republik. Salah seorang tokoh Tionghoa pro-Republik adalah Siaw Giok Tjhan (perannya lebih jauh dijelaskan di bawah nanti) Ketika Jepang datang, ketiga kelompok itu dipaksa melebur jadi satu kelompok yang disebut Hui Chiao Tsung Hui (HCTH) sehingga perbedaan antarkelompok tak lagi terlihat jelas. Ketika Tentara Sekutu kembali ke Indonesia, antara lain lewat Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, polarisasi HCTH kembali terlihat. Ada kelompok yang ingin Belanda kembali berkuasa, dan ada masyarakat Tionghoa yang ingin bergabung dengan republik yang baru merdeka. Malangnya, Bung Tomo dalam pidatonya yang berapi-api menyatakan bahwa masyarakat Tionghoa, terutama Tionghoa di Surabaya, lebih pro-Belanda ketimbang pro-Republik. Dengan kata lain, mereka pengkhianat. Pidato Bung Tomo memicu sentimen anti-Tionghoa dan gelombang serangan rakyat Surabaya terhadap keturunan Tionghoa. Situasi ini membuat Siaw Giok Tjhan yang selama ini pro-Republik marah dan kecewa terhadap Bung Tomo, sehingga mengirimkan orang-orangnya untuk bertemu Bung Tomo dengan menyatakan tidak semua orang Tionghoa pro-Belanda, cukup banyak juga yang pro-Republik. Dalam pertemuan itu Bung Tomo menyatakan bahwa orasinya di radio berdasarkan laporan lapangan dari Soemarsono, komandan lapangan Pemuda Republik, yang pasukannya berhadapan langsung dengan Poh An Tui (Surabaya). Meski Siaw Giok Tjhan akhirnya bisa memahami penjelasan Bung Tomo, tapi sentimen anti-Tionghoa telanjur meluas ke luar Surabaya, dan khususnya pecah di Medan. Sepanjang Desember 1945 terjadi serangan terhadap orang-orang Tionghoa oleh pribumi Medan. Keadaan ini membuat sebagian etnis Tionghoa Medan memilih angkat senjata dan mendirikan Poh An Tui (cabang) Medan, yang diketuai Lim Seng tadi, dengan anggota awal 110 orang. Mereka mengibarkan spanduk-spanduk bertuliskanRepublik Mengkhianati Kami. Sampai tahap ini posisi mereka lebih bersifat defensif. (*Note: *Ada perbedaan waktu tentang kapan persisnya demontrasi besar yang melibatkan 12.000 etnis Tionghoa itu terjadi. Jika laman yang dirujuk sanak Afda Rizki dan MakNgah menyebutkan peristiwa itu terjadi pada September 1947, sementara ambo yang menuliskan juga peristiwa ini dalam novel historis *Napoleon dari Tanah Rencong* (2013), hal. 174-177, ambo lebih memilih versi yang menyatakan demontrasi besar itu terjadi pada akhir Januari 1946. Salah satu rujukan ambo adalah karya Chalmers A. Johnson yang berjudul *Peasant Nationalism and Communist Power: The Emergence of Revolutionary China* yang banyak membahas gejala pertumbuhan Poh An Tui, yang awalnya hanyalah milisi penjaga ketertiban distrik (hsien) di daratan China, tapi kemudian berkembang menjadi kekuatan yang lebih menakutkan di Indonesia). Kembali ke posisi Poh An Tui, usai demonstrasi besar itu, pada Maret 1946 anggota Poh An Tui mendapat pelatihan dari Brigjen Ted Kelly dan dipasok berbagai jenis senjata, sehingga dengan cepat milisi ini membesar, punya nyali, dan berani unjuk gigi.
Re: [R@ntau-Net] Re: Bukittinggi 17 Agustus 1947
http://celotehbuku.blogspot.com/2008/06/etnis-tionghoa-di-ranah-minang.html?m=1 -- Makngah -- . * Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet~ * Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email. === UNTUK DIPERHATIKAN, yang melanggar akan dimoderasi: * DILARANG: 1. Email besar dari 200KB; 2. Email attachment, tawarkan kirim melalui jalur pribadi; 3. Email One Liner. * Anggota WAJIB mematuhi peraturan (lihat di http://goo.gl/MScz7) serta mengirimkan biodata! * Tulis Nama, Umur Lokasi disetiap posting * Hapus footer seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply * Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama mengganti subjeknya. === Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/ --- Anda menerima pesan ini karena Anda berlangganan grup RantauNet dari Google Grup. Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, kirim email ke rantaunet+unsubscr...@googlegroups.com. Untuk opsi lainnya, kunjungi https://groups.google.com/d/optout.
Re: [R@ntau-Net] Re: Bukittinggi 17 Agustus 1947
Untuak dapek gambaran kisah sejarah sekitar 17 Agustus 1945 di Bukittinggi dan sekitarnyo, rancak dicaliak dan dibaco tulisan di bawah ko: http://ranahberita.com/23069/17-agustus-1945-malam-kisah-kabar-pertama-proklamasi-di-padang-dan-bukittinggi -- MakNgah Sjamsir Sjarif -- . * Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet~ * Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email. === UNTUK DIPERHATIKAN, yang melanggar akan dimoderasi: * DILARANG: 1. Email besar dari 200KB; 2. Email attachment, tawarkan kirim melalui jalur pribadi; 3. Email One Liner. * Anggota WAJIB mematuhi peraturan (lihat di http://goo.gl/MScz7) serta mengirimkan biodata! * Tulis Nama, Umur Lokasi disetiap posting * Hapus footer seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply * Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama mengganti subjeknya. === Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/ --- Anda menerima pesan ini karena Anda berlangganan grup RantauNet dari Google Grup. Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, kirim email ke rantaunet+unsubscr...@googlegroups.com. Untuk opsi lainnya, kunjungi https://groups.google.com/d/optout.
Re: [R@ntau-Net] Re: Bukittinggi 17 Agustus 1947
Sekitar tanggal 17 Agustus 1945 tu nan takana dek MakNgah ( umua 10 ) carito kami sadang makan pagi. Uda (umua 21) mangabakan Japang lah Kalah Parang, Awak alah Mardeka. Komentar Aya (umua 48): Sia lai nan ka jadi Rajo Awak eeh? Uda: Indak Urang Bulando atau Urang Japang , tapi misti Urang Awak. Tapi Uda alun tahu lai sia namo Urang Awak nan ka jadi Rajo Awak tu lai. -- . * Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet~ * Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email. === UNTUK DIPERHATIKAN, yang melanggar akan dimoderasi: * DILARANG: 1. Email besar dari 200KB; 2. Email attachment, tawarkan kirim melalui jalur pribadi; 3. Email One Liner. * Anggota WAJIB mematuhi peraturan (lihat di http://goo.gl/MScz7) serta mengirimkan biodata! * Tulis Nama, Umur Lokasi disetiap posting * Hapus footer seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply * Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama mengganti subjeknya. === Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/ --- Anda menerima pesan ini karena Anda berlangganan grup RantauNet dari Google Grup. Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, kirim email ke rantaunet+unsubscr...@googlegroups.com. Untuk opsi lainnya, kunjungi https://groups.google.com/d/optout.
Re: [R@ntau-Net] Re: Bukittinggi 17 Agustus 1947
Wah hebat bung Akmal. Saya rasa banyak yg tidak tahu. Bagaimana pula dgn kasus Pariaman ? SB. Pada tanggal 21 Agt 2015 11:21, Afda Rizki afdari...@gmail.com menulis: Luar biasa Uda Akmal, Sangat mencerahkan sekali. Baru tau ambo saroman tu carito nyo. Tarimo kasih banyak Da. Apokah Pao An Tui ko sempat ado di ranah di zaman revolusi kemerdekaan dulu? Karano -kalau ndak salah- ado beberapo daerah di Sumbar yang etnis Tionghoa nyo samo sekali ndak ado laiwalau sempat ado sebelumnyo. Maulang permintaan Uda Akmal, kok lai ado senior dan sesepuh RN yang mengalami langsuang maso-maso bergolak ...mungkin bisa berbagi carito di lapau ko. Wassalam, Afda Rizki * Pada Kamis, 20 Agustus 2015 13.44.30 UTC+3, Akmal Nasery Basral menulis: Sanak Afda Rizki, 12.000 orang Tionghoa yang turun ke jalan-jalan kota Medan itu dimotori milisi radikal Poh An Tui (disebut juga Pao An Tui), yang dikomandani seorang Cina Medan bernama Lim Seng. Poh An Tui ini milisi yang ditakuti, meski awal berdirinya cuma dengan 110 orang, tapi mereka dilatih langsung oleh Brigjen Ted Kelly (salah satu komandan Tentara Sekutu), dan pasokan senjata mereka pun dari Tentara Sekutu. Poh An Tui sendiri berarti Barisan Penjaga Lingkungan. Sebetulnya Tionghoa radikal seperti anggota Poh An Tui itu jumlahnya sedikit dibandingkan jumlah Tionghoa di Indonesia, yang secara politik terbagi ke dalam tiga kelompok: 1. Kelompok Sinpo, yang masih mengidentifikasi diri dengan leluhur mereka di China Daratan. 2. Kelompok Chung Hua Hui (CHH) yang pro-Belanda, dan 3. Partai Tionghoa Indonesia (PTI) yang pro-Republik. Salah seorang tokoh Tionghoa pro-Republik adalah Siaw Giok Tjhan (perannya lebih jauh dijelaskan di bawah nanti) Ketika Jepang datang, ketiga kelompok itu dipaksa melebur jadi satu kelompok yang disebut Hui Chiao Tsung Hui (HCTH) sehingga perbedaan antarkelompok tak lagi terlihat jelas. Ketika Tentara Sekutu kembali ke Indonesia, antara lain lewat Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, polarisasi HCTH kembali terlihat. Ada kelompok yang ingin Belanda kembali berkuasa, dan ada masyarakat Tionghoa yang ingin bergabung dengan republik yang baru merdeka. Malangnya, Bung Tomo dalam pidatonya yang berapi-api menyatakan bahwa masyarakat Tionghoa, terutama Tionghoa di Surabaya, lebih pro-Belanda ketimbang pro-Republik. Dengan kata lain, mereka pengkhianat. Pidato Bung Tomo memicu sentimen anti-Tionghoa dan gelombang serangan rakyat Surabaya terhadap keturunan Tionghoa. Situasi ini membuat Siaw Giok Tjhan yang selama ini pro-Republik marah dan kecewa terhadap Bung Tomo, sehingga mengirimkan orang-orangnya untuk bertemu Bung Tomo dengan menyatakan tidak semua orang Tionghoa pro-Belanda, cukup banyak juga yang pro-Republik. Dalam pertemuan itu Bung Tomo menyatakan bahwa orasinya di radio berdasarkan laporan lapangan dari Soemarsono, komandan lapangan Pemuda Republik, yang pasukannya berhadapan langsung dengan Poh An Tui (Surabaya). Meski Siaw Giok Tjhan akhirnya bisa memahami penjelasan Bung Tomo, tapi sentimen anti-Tionghoa telanjur meluas ke luar Surabaya, dan khususnya pecah di Medan. Sepanjang Desember 1945 terjadi serangan terhadap orang-orang Tionghoa oleh pribumi Medan. Keadaan ini membuat sebagian etnis Tionghoa Medan memilih angkat senjata dan mendirikan Poh An Tui (cabang) Medan, yang diketuai Lim Seng tadi, dengan anggota awal 110 orang. Mereka mengibarkan spanduk-spanduk bertuliskanRepublik Mengkhianati Kami. Sampai tahap ini posisi mereka lebih bersifat defensif. (*Note: *Ada perbedaan waktu tentang kapan persisnya demontrasi besar yang melibatkan 12.000 etnis Tionghoa itu terjadi. Jika laman yang dirujuk sanak Afda Rizki dan MakNgah menyebutkan peristiwa itu terjadi pada September 1947, sementara ambo yang menuliskan juga peristiwa ini dalam novel historis *Napoleon dari Tanah Rencong* (2013), hal. 174-177, ambo lebih memilih versi yang menyatakan demontrasi besar itu terjadi pada akhir Januari 1946. Salah satu rujukan ambo adalah karya Chalmers A. Johnson yang berjudul *Peasant Nationalism and Communist Power: The Emergence of Revolutionary China* yang banyak membahas gejala pertumbuhan Poh An Tui, yang awalnya hanyalah milisi penjaga ketertiban distrik (hsien) di daratan China, tapi kemudian berkembang menjadi kekuatan yang lebih menakutkan di Indonesia). Kembali ke posisi Poh An Tui, usai demonstrasi besar itu, pada Maret 1946 anggota Poh An Tui mendapat pelatihan dari Brigjen Ted Kelly dan dipasok berbagai jenis senjata, sehingga dengan cepat milisi ini membesar, punya nyali, dan berani unjuk gigi. Lim Seng lalu menetapkan Bagan Siapi-api sebagai daerah uji coba ketangguhan Poh An Tui. Di sepanjang perjalanan Medan-Bagan Siapi-api, laskar Poh An Tui membantai secara brutal warga pribumi yang berani melawan mereka. Melihat kebrutalan Poh An Tui yang menjadi-jadi (bukan kebrutalan keturunan Tionghoa secara keseluruhan sanak Afda),
Re: [R@ntau-Net] Re: Bukittinggi 17 Agustus 1947
Ado duo istilah nan paralu diklarifikasi karano jakawatunyo berbeda dan jangan dikalirukan: 1, Maso Revolusi (kemedekaan) nan biaso dijangkawaktukan 1945-49/50. Titik pembicaraan biaso di sekitar Maso Darurat, PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia, 1948-49. 2. Maso Bagolak, adolah Maso Pergolakan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia). Nah Ciek Lai ado Maso Parang PADERI nan balansuang sekitar awal abad ka-19. Katigo Maso Parang tu sangat mampangaruhi keadaan jiwa Masyarakat Minangkabau. -- MakNgah Sjamsir Sjarif -- . * Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet~ * Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email. === UNTUK DIPERHATIKAN, yang melanggar akan dimoderasi: * DILARANG: 1. Email besar dari 200KB; 2. Email attachment, tawarkan kirim melalui jalur pribadi; 3. Email One Liner. * Anggota WAJIB mematuhi peraturan (lihat di http://goo.gl/MScz7) serta mengirimkan biodata! * Tulis Nama, Umur Lokasi disetiap posting * Hapus footer seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply * Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama mengganti subjeknya. === Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/ --- Anda menerima pesan ini karena Anda berlangganan grup RantauNet dari Google Grup. Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, kirim email ke rantaunet+unsubscr...@googlegroups.com. Untuk opsi lainnya, kunjungi https://groups.google.com/d/optout.
[R@ntau-Net] Re: Bukittinggi 17 Agustus 1947
Manolah Makngah jo rang palanta, Ado yang menarik dari buku nan Makngah agiahkan tautannyo, saroman di bawah: Asumsi ambo jumlah 12000-an urang ko tantulah sangaik banyak katiko maso itu, dan tidak lah mudah mamobilisasinyo. Jadi memang dari zaman saisuak kurenah rang keturunan Tionghoa ko yo banyak yang jadi tando tanyo mah. Salam hangat, Afda Rizki (Lk) 37thn, Piliang *** Pada Kamis, 20 Agustus 2015 05.13.44 UTC+3, Sjamsir Sjarif menulis: https://books.google.com/books?id=z9C7NuTllisCpg=PA315lpg=PA315dq=bukittinggi+17+Agustus+1947source=blots=8f6f388ZvTsig=DFeEGSu6iHeyoHrLw_J8bSSxX2Qhl=ensa=Xved=0CC8Q6AEwBmoVChMIu5Cw48e2xwIVSimICh0aLAKE -- Makngah Sjamsir Sjarif -- . * Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet~ * Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email. === UNTUK DIPERHATIKAN, yang melanggar akan dimoderasi: * DILARANG: 1. Email besar dari 200KB; 2. Email attachment, tawarkan kirim melalui jalur pribadi; 3. Email One Liner. * Anggota WAJIB mematuhi peraturan (lihat di http://goo.gl/MScz7) serta mengirimkan biodata! * Tulis Nama, Umur Lokasi disetiap posting * Hapus footer seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply * Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama mengganti subjeknya. === Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/ --- Anda menerima pesan ini karena Anda berlangganan grup RantauNet dari Google Grup. Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, kirim email ke rantaunet+unsubscr...@googlegroups.com. Untuk opsi lainnya, kunjungi https://groups.google.com/d/optout.
Re: [R@ntau-Net] Re: Bukittinggi 17 Agustus 1947
Sanak Afda Rizki, 12.000 orang Tionghoa yang turun ke jalan-jalan kota Medan itu dimotori milisi radikal Poh An Tui (disebut juga Pao An Tui), yang dikomandani seorang Cina Medan bernama Lim Seng. Poh An Tui ini milisi yang ditakuti, meski awal berdirinya cuma dengan 110 orang, tapi mereka dilatih langsung oleh Brigjen Ted Kelly (salah satu komandan Tentara Sekutu), dan pasokan senjata mereka pun dari Tentara Sekutu. Poh An Tui sendiri berarti Barisan Penjaga Lingkungan. Sebetulnya Tionghoa radikal seperti anggota Poh An Tui itu jumlahnya sedikit dibandingkan jumlah Tionghoa di Indonesia, yang secara politik terbagi ke dalam tiga kelompok: 1. Kelompok Sinpo, yang masih mengidentifikasi diri dengan leluhur mereka di China Daratan. 2. Kelompok Chung Hua Hui (CHH) yang pro-Belanda, dan 3. Partai Tionghoa Indonesia (PTI) yang pro-Republik. Salah seorang tokoh Tionghoa pro-Republik adalah Siaw Giok Tjhan (perannya lebih jauh dijelaskan di bawah nanti) Ketika Jepang datang, ketiga kelompok itu dipaksa melebur jadi satu kelompok yang disebut Hui Chiao Tsung Hui (HCTH) sehingga perbedaan antarkelompok tak lagi terlihat jelas. Ketika Tentara Sekutu kembali ke Indonesia, antara lain lewat Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, polarisasi HCTH kembali terlihat. Ada kelompok yang ingin Belanda kembali berkuasa, dan ada masyarakat Tionghoa yang ingin bergabung dengan republik yang baru merdeka. Malangnya, Bung Tomo dalam pidatonya yang berapi-api menyatakan bahwa masyarakat Tionghoa, terutama Tionghoa di Surabaya, lebih pro-Belanda ketimbang pro-Republik. Dengan kata lain, mereka pengkhianat. Pidato Bung Tomo memicu sentimen anti-Tionghoa dan gelombang serangan rakyat Surabaya terhadap keturunan Tionghoa. Situasi ini membuat Siaw Giok Tjhan yang selama ini pro-Republik marah dan kecewa terhadap Bung Tomo, sehingga mengirimkan orang-orangnya untuk bertemu Bung Tomo dengan menyatakan tidak semua orang Tionghoa pro-Belanda, cukup banyak juga yang pro-Republik. Dalam pertemuan itu Bung Tomo menyatakan bahwa orasinya di radio berdasarkan laporan lapangan dari Soemarsono, komandan lapangan Pemuda Republik, yang pasukannya berhadapan langsung dengan Poh An Tui (Surabaya). Meski Siaw Giok Tjhan akhirnya bisa memahami penjelasan Bung Tomo, tapi sentimen anti-Tionghoa telanjur meluas ke luar Surabaya, dan khususnya pecah di Medan. Sepanjang Desember 1945 terjadi serangan terhadap orang-orang Tionghoa oleh pribumi Medan. Keadaan ini membuat sebagian etnis Tionghoa Medan memilih angkat senjata dan mendirikan Poh An Tui (cabang) Medan, yang diketuai Lim Seng tadi, dengan anggota awal 110 orang. Mereka mengibarkan spanduk-spanduk bertuliskanRepublik Mengkhianati Kami. Sampai tahap ini posisi mereka lebih bersifat defensif. (*Note: *Ada perbedaan waktu tentang kapan persisnya demontrasi besar yang melibatkan 12.000 etnis Tionghoa itu terjadi. Jika laman yang dirujuk sanak Afda Rizki dan MakNgah menyebutkan peristiwa itu terjadi pada September 1947, sementara ambo yang menuliskan juga peristiwa ini dalam novel historis *Napoleon dari Tanah Rencong* (2013), hal. 174-177, ambo lebih memilih versi yang menyatakan demontrasi besar itu terjadi pada akhir Januari 1946. Salah satu rujukan ambo adalah karya Chalmers A. Johnson yang berjudul *Peasant Nationalism and Communist Power: The Emergence of Revolutionary China* yang banyak membahas gejala pertumbuhan Poh An Tui, yang awalnya hanyalah milisi penjaga ketertiban distrik (hsien) di daratan China, tapi kemudian berkembang menjadi kekuatan yang lebih menakutkan di Indonesia). Kembali ke posisi Poh An Tui, usai demonstrasi besar itu, pada Maret 1946 anggota Poh An Tui mendapat pelatihan dari Brigjen Ted Kelly dan dipasok berbagai jenis senjata, sehingga dengan cepat milisi ini membesar, punya nyali, dan berani unjuk gigi. Lim Seng lalu menetapkan Bagan Siapi-api sebagai daerah uji coba ketangguhan Poh An Tui. Di sepanjang perjalanan Medan-Bagan Siapi-api, laskar Poh An Tui membantai secara brutal warga pribumi yang berani melawan mereka. Melihat kebrutalan Poh An Tui yang menjadi-jadi (bukan kebrutalan keturunan Tionghoa secara keseluruhan sanak Afda), Komandan Divisi I Achmad Tahir yang bermarkas di Tebingtinggi, akhirnya sewot juga dan memerintahkan pasukan Jamin Ginting untuk menghadang Poh An Tui, sehingga terjadi pertempuran sengit dengan banyak korban dari kedua pihak. Tetapi Jamin Ginting akhirnya bisa membuat Lim Seng menarik mundur Poh An Tui kembali ke Medan, di mana mereka masih mendapat perlindungan Tentara Sekutu dan NICA yang membonceng. Kelak -- setelah April 1946 -- giliran pasukan Aceh, yang banyak di antara mereka memiliki kerabat di Sumatra Utara, yang mengadakan *long march* ratusan kilometer dari tanah kelahiran mereka untuk berjihad fi sabilillah melawan Tentara Sekutu-NICA dan antek-anteknya, Poh An Tui. Meski pasukan-pasukan Aceh itu dipimpin para kolonel dan mayor, namun di lapangan yang banyak membuat gebrakan dahsyat adalah para jawara tradisional
Re: [R@ntau-Net] Re: Bukittinggi 17 Agustus 1947
Luar biasa Uda Akmal, Sangat mencerahkan sekali. Baru tau ambo saroman tu carito nyo. Tarimo kasih banyak Da. Apokah Pao An Tui ko sempat ado di ranah di zaman revolusi kemerdekaan dulu? Karano -kalau ndak salah- ado beberapo daerah di Sumbar yang etnis Tionghoa nyo samo sekali ndak ado laiwalau sempat ado sebelumnyo. Maulang permintaan Uda Akmal, kok lai ado senior dan sesepuh RN yang mengalami langsuang maso-maso bergolak ...mungkin bisa berbagi carito di lapau ko. Wassalam, Afda Rizki * Pada Kamis, 20 Agustus 2015 13.44.30 UTC+3, Akmal Nasery Basral menulis: Sanak Afda Rizki, 12.000 orang Tionghoa yang turun ke jalan-jalan kota Medan itu dimotori milisi radikal Poh An Tui (disebut juga Pao An Tui), yang dikomandani seorang Cina Medan bernama Lim Seng. Poh An Tui ini milisi yang ditakuti, meski awal berdirinya cuma dengan 110 orang, tapi mereka dilatih langsung oleh Brigjen Ted Kelly (salah satu komandan Tentara Sekutu), dan pasokan senjata mereka pun dari Tentara Sekutu. Poh An Tui sendiri berarti Barisan Penjaga Lingkungan. Sebetulnya Tionghoa radikal seperti anggota Poh An Tui itu jumlahnya sedikit dibandingkan jumlah Tionghoa di Indonesia, yang secara politik terbagi ke dalam tiga kelompok: 1. Kelompok Sinpo, yang masih mengidentifikasi diri dengan leluhur mereka di China Daratan. 2. Kelompok Chung Hua Hui (CHH) yang pro-Belanda, dan 3. Partai Tionghoa Indonesia (PTI) yang pro-Republik. Salah seorang tokoh Tionghoa pro-Republik adalah Siaw Giok Tjhan (perannya lebih jauh dijelaskan di bawah nanti) Ketika Jepang datang, ketiga kelompok itu dipaksa melebur jadi satu kelompok yang disebut Hui Chiao Tsung Hui (HCTH) sehingga perbedaan antarkelompok tak lagi terlihat jelas. Ketika Tentara Sekutu kembali ke Indonesia, antara lain lewat Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, polarisasi HCTH kembali terlihat. Ada kelompok yang ingin Belanda kembali berkuasa, dan ada masyarakat Tionghoa yang ingin bergabung dengan republik yang baru merdeka. Malangnya, Bung Tomo dalam pidatonya yang berapi-api menyatakan bahwa masyarakat Tionghoa, terutama Tionghoa di Surabaya, lebih pro-Belanda ketimbang pro-Republik. Dengan kata lain, mereka pengkhianat. Pidato Bung Tomo memicu sentimen anti-Tionghoa dan gelombang serangan rakyat Surabaya terhadap keturunan Tionghoa. Situasi ini membuat Siaw Giok Tjhan yang selama ini pro-Republik marah dan kecewa terhadap Bung Tomo, sehingga mengirimkan orang-orangnya untuk bertemu Bung Tomo dengan menyatakan tidak semua orang Tionghoa pro-Belanda, cukup banyak juga yang pro-Republik. Dalam pertemuan itu Bung Tomo menyatakan bahwa orasinya di radio berdasarkan laporan lapangan dari Soemarsono, komandan lapangan Pemuda Republik, yang pasukannya berhadapan langsung dengan Poh An Tui (Surabaya). Meski Siaw Giok Tjhan akhirnya bisa memahami penjelasan Bung Tomo, tapi sentimen anti-Tionghoa telanjur meluas ke luar Surabaya, dan khususnya pecah di Medan. Sepanjang Desember 1945 terjadi serangan terhadap orang-orang Tionghoa oleh pribumi Medan. Keadaan ini membuat sebagian etnis Tionghoa Medan memilih angkat senjata dan mendirikan Poh An Tui (cabang) Medan, yang diketuai Lim Seng tadi, dengan anggota awal 110 orang. Mereka mengibarkan spanduk-spanduk bertuliskanRepublik Mengkhianati Kami. Sampai tahap ini posisi mereka lebih bersifat defensif. (*Note: *Ada perbedaan waktu tentang kapan persisnya demontrasi besar yang melibatkan 12.000 etnis Tionghoa itu terjadi. Jika laman yang dirujuk sanak Afda Rizki dan MakNgah menyebutkan peristiwa itu terjadi pada September 1947, sementara ambo yang menuliskan juga peristiwa ini dalam novel historis *Napoleon dari Tanah Rencong* (2013), hal. 174-177, ambo lebih memilih versi yang menyatakan demontrasi besar itu terjadi pada akhir Januari 1946. Salah satu rujukan ambo adalah karya Chalmers A. Johnson yang berjudul *Peasant Nationalism and Communist Power: The Emergence of Revolutionary China* yang banyak membahas gejala pertumbuhan Poh An Tui, yang awalnya hanyalah milisi penjaga ketertiban distrik (hsien) di daratan China, tapi kemudian berkembang menjadi kekuatan yang lebih menakutkan di Indonesia). Kembali ke posisi Poh An Tui, usai demonstrasi besar itu, pada Maret 1946 anggota Poh An Tui mendapat pelatihan dari Brigjen Ted Kelly dan dipasok berbagai jenis senjata, sehingga dengan cepat milisi ini membesar, punya nyali, dan berani unjuk gigi. Lim Seng lalu menetapkan Bagan Siapi-api sebagai daerah uji coba ketangguhan Poh An Tui. Di sepanjang perjalanan Medan-Bagan Siapi-api, laskar Poh An Tui membantai secara brutal warga pribumi yang berani melawan mereka. Melihat kebrutalan Poh An Tui yang menjadi-jadi (bukan kebrutalan keturunan Tionghoa secara keseluruhan sanak Afda), Komandan Divisi I Achmad Tahir yang bermarkas di Tebingtinggi, akhirnya sewot juga dan memerintahkan pasukan Jamin Ginting