Re: [R@ntau-Net] Re: Bukittinggi 17 Agustus 1947

2015-08-24 Terurut Topik Akmal Nasery Basral
Tentang etnis Cina di Pariaman, kalau ambo indak salah ingek, Christine
Dobbin menyatakan mereka sudah ada sejak abad ke-16, Pak Saaf. Dan mereka
beranak pinak setelah itu, termasuk lewat perkawinan campur dengan warga
asli, sehingga menjadikan Pariaman salah satu wilayah dengan keturunan Cina
di Sumbar. (Apalagi lokasi pantai yang mendukung mobilitas perdagangan juga
tempat yang disukai oleh etnis ini).

Waktu penjajahan Jepang, syahdan ada 2 orang Cina setempat yang terlihat
penduduk masuk ke kantor Tentara Pendudukan Jepang. Beredar rumor, mereka
adalah pengkhianat, sehingga sepulangnya mereka dari kantor Jepang,
keduanya dibunuh warga, dan itu menjadi awal pindahnya sebagian (besar)
warga keturunan Tionghoa dari Pariaman.

Apakah kasus Pariaman itu yang Pak Saaf maksud, atau ada kasus Pariaman
lain yang lebih spesifik?

Wassalam,

ANB

Pada 22 Agustus 2015 03.23, Dr. Saafroedin Bahar 
saafroedin.ba...@rantaunet.org menulis:

 Wah hebat bung Akmal. Saya rasa banyak yg tidak tahu. Bagaimana pula dgn
 kasus Pariaman ?
 SB.
 Pada tanggal 21 Agt 2015 11:21, Afda Rizki afdari...@gmail.com
 menulis:

 Luar biasa Uda Akmal,

 Sangat mencerahkan sekali. Baru tau ambo saroman tu carito nyo. Tarimo
 kasih banyak Da.

 Apokah Pao An Tui ko sempat ado di ranah di zaman revolusi kemerdekaan
 dulu? Karano -kalau ndak salah- ado beberapo daerah di Sumbar yang etnis
 Tionghoa nyo samo sekali ndak ado laiwalau sempat ado sebelumnyo.

 Maulang permintaan Uda Akmal,  kok lai ado senior dan sesepuh RN yang
 mengalami langsuang maso-maso bergolak ...mungkin bisa berbagi carito di
 lapau ko.

 Wassalam,

 Afda Rizki

 *

 Pada Kamis, 20 Agustus 2015 13.44.30 UTC+3, Akmal Nasery Basral menulis:

 Sanak Afda Rizki,

 12.000 orang Tionghoa yang turun ke jalan-jalan kota Medan itu dimotori
 milisi radikal Poh An Tui (disebut juga Pao An Tui), yang dikomandani
 seorang Cina Medan bernama Lim Seng. Poh An Tui ini milisi yang ditakuti,
 meski awal berdirinya cuma dengan 110 orang, tapi mereka dilatih langsung
 oleh Brigjen Ted Kelly (salah satu komandan Tentara Sekutu), dan pasokan
 senjata mereka pun dari Tentara Sekutu. Poh An Tui sendiri berarti Barisan
 Penjaga Lingkungan.

 Sebetulnya Tionghoa radikal seperti anggota Poh An Tui itu jumlahnya
 sedikit dibandingkan jumlah Tionghoa di Indonesia, yang secara politik
 terbagi ke dalam tiga kelompok:
 1. Kelompok Sinpo, yang masih mengidentifikasi diri dengan leluhur
 mereka di China Daratan.
 2. Kelompok Chung Hua Hui (CHH) yang pro-Belanda, dan
 3. Partai Tionghoa Indonesia (PTI) yang pro-Republik. Salah seorang
 tokoh Tionghoa pro-Republik adalah Siaw Giok Tjhan (perannya lebih jauh
 dijelaskan di bawah nanti)

 Ketika Jepang datang, ketiga kelompok itu dipaksa melebur jadi satu
 kelompok yang disebut Hui Chiao Tsung Hui (HCTH) sehingga perbedaan
 antarkelompok tak lagi terlihat jelas. Ketika Tentara Sekutu kembali ke
 Indonesia, antara lain lewat Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya,
 polarisasi HCTH kembali terlihat. Ada kelompok yang ingin Belanda kembali
 berkuasa, dan ada masyarakat Tionghoa yang ingin bergabung dengan republik
 yang baru merdeka.

 Malangnya, Bung Tomo dalam pidatonya yang berapi-api menyatakan bahwa
 masyarakat Tionghoa, terutama Tionghoa di Surabaya, lebih pro-Belanda
 ketimbang pro-Republik. Dengan kata lain, mereka pengkhianat. Pidato Bung
 Tomo memicu sentimen anti-Tionghoa dan gelombang serangan rakyat Surabaya
 terhadap keturunan Tionghoa.

 Situasi ini membuat Siaw Giok Tjhan yang selama ini pro-Republik marah
 dan kecewa terhadap Bung Tomo, sehingga mengirimkan orang-orangnya untuk
 bertemu Bung Tomo dengan menyatakan tidak semua orang Tionghoa pro-Belanda,
 cukup banyak juga yang pro-Republik. Dalam pertemuan itu Bung Tomo
 menyatakan bahwa orasinya di radio berdasarkan laporan lapangan dari
 Soemarsono, komandan lapangan Pemuda Republik, yang pasukannya berhadapan
 langsung dengan Poh An Tui (Surabaya).

 Meski Siaw Giok Tjhan akhirnya bisa memahami penjelasan Bung Tomo, tapi
 sentimen anti-Tionghoa telanjur meluas ke luar Surabaya, dan khususnya
 pecah di Medan. Sepanjang Desember 1945 terjadi serangan terhadap
 orang-orang Tionghoa oleh pribumi Medan. Keadaan ini membuat sebagian etnis
 Tionghoa Medan memilih angkat senjata dan mendirikan Poh An Tui (cabang)
 Medan, yang diketuai Lim Seng tadi, dengan anggota awal 110 orang.
  Mereka mengibarkan spanduk-spanduk bertuliskanRepublik Mengkhianati
 Kami.

 Sampai tahap ini posisi mereka lebih bersifat defensif.

 (*Note: *Ada perbedaan waktu tentang kapan persisnya demontrasi besar
 yang melibatkan 12.000 etnis Tionghoa itu terjadi. Jika laman yang dirujuk
 sanak Afda Rizki dan MakNgah menyebutkan peristiwa itu terjadi pada
 September 1947, sementara ambo yang menuliskan juga peristiwa ini dalam
 novel historis *Napoleon dari Tanah Rencong* (2013),  hal. 174-177,
 ambo lebih memilih versi yang menyatakan demontrasi besar itu terjadi pada
 akhir Januari 1946. Salah satu rujukan ambo 

Re: [R@ntau-Net] Re: Bukittinggi 17 Agustus 1947

2015-08-24 Terurut Topik Dr. Saafroedin Bahar
Bung Akmal, memang itu yg saya maksud. Trims.
Wassalam,
SB.
Pada tanggal 25 Agt 2015 07:22, Akmal Nasery Basral ak...@rantaunet.org
menulis:

 Tentang etnis Cina di Pariaman, kalau ambo indak salah ingek, Christine
 Dobbin menyatakan mereka sudah ada sejak abad ke-16, Pak Saaf. Dan mereka
 beranak pinak setelah itu, termasuk lewat perkawinan campur dengan warga
 asli, sehingga menjadikan Pariaman salah satu wilayah dengan keturunan Cina
 di Sumbar. (Apalagi lokasi pantai yang mendukung mobilitas perdagangan juga
 tempat yang disukai oleh etnis ini).

 Waktu penjajahan Jepang, syahdan ada 2 orang Cina setempat yang terlihat
 penduduk masuk ke kantor Tentara Pendudukan Jepang. Beredar rumor, mereka
 adalah pengkhianat, sehingga sepulangnya mereka dari kantor Jepang,
 keduanya dibunuh warga, dan itu menjadi awal pindahnya sebagian (besar)
 warga keturunan Tionghoa dari Pariaman.

 Apakah kasus Pariaman itu yang Pak Saaf maksud, atau ada kasus
 Pariaman lain yang lebih spesifik?

 Wassalam,

 ANB

 Pada 22 Agustus 2015 03.23, Dr. Saafroedin Bahar 
 saafroedin.ba...@rantaunet.org menulis:

 Wah hebat bung Akmal. Saya rasa banyak yg tidak tahu. Bagaimana pula dgn
 kasus Pariaman ?
 SB.
 Pada tanggal 21 Agt 2015 11:21, Afda Rizki afdari...@gmail.com
 menulis:

 Luar biasa Uda Akmal,

 Sangat mencerahkan sekali. Baru tau ambo saroman tu carito nyo. Tarimo
 kasih banyak Da.

 Apokah Pao An Tui ko sempat ado di ranah di zaman revolusi kemerdekaan
 dulu? Karano -kalau ndak salah- ado beberapo daerah di Sumbar yang etnis
 Tionghoa nyo samo sekali ndak ado laiwalau sempat ado sebelumnyo.

 Maulang permintaan Uda Akmal,  kok lai ado senior dan sesepuh RN yang
 mengalami langsuang maso-maso bergolak ...mungkin bisa berbagi carito di
 lapau ko.

 Wassalam,

 Afda Rizki

 *

 Pada Kamis, 20 Agustus 2015 13.44.30 UTC+3, Akmal Nasery Basral menulis:

 Sanak Afda Rizki,

 12.000 orang Tionghoa yang turun ke jalan-jalan kota Medan itu dimotori
 milisi radikal Poh An Tui (disebut juga Pao An Tui), yang dikomandani
 seorang Cina Medan bernama Lim Seng. Poh An Tui ini milisi yang ditakuti,
 meski awal berdirinya cuma dengan 110 orang, tapi mereka dilatih langsung
 oleh Brigjen Ted Kelly (salah satu komandan Tentara Sekutu), dan pasokan
 senjata mereka pun dari Tentara Sekutu. Poh An Tui sendiri berarti Barisan
 Penjaga Lingkungan.

 Sebetulnya Tionghoa radikal seperti anggota Poh An Tui itu jumlahnya
 sedikit dibandingkan jumlah Tionghoa di Indonesia, yang secara politik
 terbagi ke dalam tiga kelompok:
 1. Kelompok Sinpo, yang masih mengidentifikasi diri dengan leluhur
 mereka di China Daratan.
 2. Kelompok Chung Hua Hui (CHH) yang pro-Belanda, dan
 3. Partai Tionghoa Indonesia (PTI) yang pro-Republik. Salah seorang
 tokoh Tionghoa pro-Republik adalah Siaw Giok Tjhan (perannya lebih jauh
 dijelaskan di bawah nanti)

 Ketika Jepang datang, ketiga kelompok itu dipaksa melebur jadi satu
 kelompok yang disebut Hui Chiao Tsung Hui (HCTH) sehingga perbedaan
 antarkelompok tak lagi terlihat jelas. Ketika Tentara Sekutu kembali ke
 Indonesia, antara lain lewat Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya,
 polarisasi HCTH kembali terlihat. Ada kelompok yang ingin Belanda kembali
 berkuasa, dan ada masyarakat Tionghoa yang ingin bergabung dengan republik
 yang baru merdeka.

 Malangnya, Bung Tomo dalam pidatonya yang berapi-api menyatakan bahwa
 masyarakat Tionghoa, terutama Tionghoa di Surabaya, lebih pro-Belanda
 ketimbang pro-Republik. Dengan kata lain, mereka pengkhianat. Pidato Bung
 Tomo memicu sentimen anti-Tionghoa dan gelombang serangan rakyat Surabaya
 terhadap keturunan Tionghoa.

 Situasi ini membuat Siaw Giok Tjhan yang selama ini pro-Republik marah
 dan kecewa terhadap Bung Tomo, sehingga mengirimkan orang-orangnya untuk
 bertemu Bung Tomo dengan menyatakan tidak semua orang Tionghoa pro-Belanda,
 cukup banyak juga yang pro-Republik. Dalam pertemuan itu Bung Tomo
 menyatakan bahwa orasinya di radio berdasarkan laporan lapangan dari
 Soemarsono, komandan lapangan Pemuda Republik, yang pasukannya berhadapan
 langsung dengan Poh An Tui (Surabaya).

 Meski Siaw Giok Tjhan akhirnya bisa memahami penjelasan Bung Tomo, tapi
 sentimen anti-Tionghoa telanjur meluas ke luar Surabaya, dan khususnya
 pecah di Medan. Sepanjang Desember 1945 terjadi serangan terhadap
 orang-orang Tionghoa oleh pribumi Medan. Keadaan ini membuat sebagian etnis
 Tionghoa Medan memilih angkat senjata dan mendirikan Poh An Tui (cabang)
 Medan, yang diketuai Lim Seng tadi, dengan anggota awal 110 orang.
  Mereka mengibarkan spanduk-spanduk bertuliskanRepublik Mengkhianati
 Kami.

 Sampai tahap ini posisi mereka lebih bersifat defensif.

 (*Note: *Ada perbedaan waktu tentang kapan persisnya demontrasi besar
 yang melibatkan 12.000 etnis Tionghoa itu terjadi. Jika laman yang dirujuk
 sanak Afda Rizki dan MakNgah menyebutkan peristiwa itu terjadi pada
 September 1947, sementara ambo yang menuliskan juga peristiwa ini dalam
 novel historis *Napoleon dari 

Re: [R@ntau-Net] Re: Bukittinggi 17 Agustus 1947

2015-08-24 Terurut Topik Sjamsir Sjarif
Ethnic Tionghoa di Aceh:

http://m.merdeka.com/peristiwa/cerita-warga-etnis-tionghoa-tinggal-di-negeri-syariah.html

-- Makngah

-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet~ 
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===
UNTUK DIPERHATIKAN, yang melanggar akan dimoderasi:
* DILARANG:
  1. Email besar dari 200KB;
  2. Email attachment, tawarkan  kirim melalui jalur pribadi; 
  3. Email One Liner.
* Anggota WAJIB mematuhi peraturan (lihat di http://goo.gl/MScz7) serta 
mengirimkan biodata!
* Tulis Nama, Umur  Lokasi disetiap posting
* Hapus footer  seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
* Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama  mengganti 
subjeknya.
===
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/
--- 
Anda menerima pesan ini karena Anda berlangganan grup RantauNet dari Google 
Grup.
Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, kirim 
email ke rantaunet+unsubscr...@googlegroups.com.
Untuk opsi lainnya, kunjungi https://groups.google.com/d/optout.


Re: [R@ntau-Net] Re: Bukittinggi 17 Agustus 1947

2015-08-24 Terurut Topik Sjamsir Sjarif
Ethnic Tionghoa di Ranah Minang:

http://celotehbuku.blogspot.com/2008/06/etnis-tionghoa-di-ranah-minang.html?m=1
-- Makngah

-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet~ 
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===
UNTUK DIPERHATIKAN, yang melanggar akan dimoderasi:
* DILARANG:
  1. Email besar dari 200KB;
  2. Email attachment, tawarkan  kirim melalui jalur pribadi; 
  3. Email One Liner.
* Anggota WAJIB mematuhi peraturan (lihat di http://goo.gl/MScz7) serta 
mengirimkan biodata!
* Tulis Nama, Umur  Lokasi disetiap posting
* Hapus footer  seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
* Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama  mengganti 
subjeknya.
===
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/
--- 
Anda menerima pesan ini karena Anda berlangganan grup RantauNet dari Google 
Grup.
Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, kirim 
email ke rantaunet+unsubscr...@googlegroups.com.
Untuk opsi lainnya, kunjungi https://groups.google.com/d/optout.


Re: [R@ntau-Net] Re: Bukittinggi 17 Agustus 1947

2015-08-24 Terurut Topik Akmal Nasery Basral
Sependek pengetahuan ambo, Poh An Tui dalam versi formal (dengan organisasi
yang dideklarasikan) seperti di Medan, indak ado sanak Afda Rizki. Tapi
sangat mungkin simpatisan (individual) dari keturunan Tionghoa di Sumbar
terhadap Poh An Tui ado pulo.

Mungkin bisa dicek di buku Asap Hio di Ranah Minang karya seorang dosen
sejarah UNP biar lebih pasti.
Atau Uwan Suryadi Sunuri di Leiden nan labiah paham sejarah saisuak di
ranah.

Wassalam,

ANB

Pada 21 Agustus 2015 11.21, Afda Rizki afdari...@gmail.com menulis:

 Luar biasa Uda Akmal,

 Sangat mencerahkan sekali. Baru tau ambo saroman tu carito nyo. Tarimo
 kasih banyak Da.

 Apokah Pao An Tui ko sempat ado di ranah di zaman revolusi kemerdekaan
 dulu? Karano -kalau ndak salah- ado beberapo daerah di Sumbar yang etnis
 Tionghoa nyo samo sekali ndak ado laiwalau sempat ado sebelumnyo.

 Maulang permintaan Uda Akmal,  kok lai ado senior dan sesepuh RN yang
 mengalami langsuang maso-maso bergolak ...mungkin bisa berbagi carito di
 lapau ko.

 Wassalam,

 Afda Rizki

 *

 Pada Kamis, 20 Agustus 2015 13.44.30 UTC+3, Akmal Nasery Basral menulis:

 Sanak Afda Rizki,

 12.000 orang Tionghoa yang turun ke jalan-jalan kota Medan itu dimotori
 milisi radikal Poh An Tui (disebut juga Pao An Tui), yang dikomandani
 seorang Cina Medan bernama Lim Seng. Poh An Tui ini milisi yang ditakuti,
 meski awal berdirinya cuma dengan 110 orang, tapi mereka dilatih langsung
 oleh Brigjen Ted Kelly (salah satu komandan Tentara Sekutu), dan pasokan
 senjata mereka pun dari Tentara Sekutu. Poh An Tui sendiri berarti Barisan
 Penjaga Lingkungan.

 Sebetulnya Tionghoa radikal seperti anggota Poh An Tui itu jumlahnya
 sedikit dibandingkan jumlah Tionghoa di Indonesia, yang secara politik
 terbagi ke dalam tiga kelompok:
 1. Kelompok Sinpo, yang masih mengidentifikasi diri dengan leluhur mereka
 di China Daratan.
 2. Kelompok Chung Hua Hui (CHH) yang pro-Belanda, dan
 3. Partai Tionghoa Indonesia (PTI) yang pro-Republik. Salah seorang tokoh
 Tionghoa pro-Republik adalah Siaw Giok Tjhan (perannya lebih jauh
 dijelaskan di bawah nanti)

 Ketika Jepang datang, ketiga kelompok itu dipaksa melebur jadi satu
 kelompok yang disebut Hui Chiao Tsung Hui (HCTH) sehingga perbedaan
 antarkelompok tak lagi terlihat jelas. Ketika Tentara Sekutu kembali ke
 Indonesia, antara lain lewat Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya,
 polarisasi HCTH kembali terlihat. Ada kelompok yang ingin Belanda kembali
 berkuasa, dan ada masyarakat Tionghoa yang ingin bergabung dengan republik
 yang baru merdeka.

 Malangnya, Bung Tomo dalam pidatonya yang berapi-api menyatakan bahwa
 masyarakat Tionghoa, terutama Tionghoa di Surabaya, lebih pro-Belanda
 ketimbang pro-Republik. Dengan kata lain, mereka pengkhianat. Pidato Bung
 Tomo memicu sentimen anti-Tionghoa dan gelombang serangan rakyat Surabaya
 terhadap keturunan Tionghoa.

 Situasi ini membuat Siaw Giok Tjhan yang selama ini pro-Republik marah
 dan kecewa terhadap Bung Tomo, sehingga mengirimkan orang-orangnya untuk
 bertemu Bung Tomo dengan menyatakan tidak semua orang Tionghoa pro-Belanda,
 cukup banyak juga yang pro-Republik. Dalam pertemuan itu Bung Tomo
 menyatakan bahwa orasinya di radio berdasarkan laporan lapangan dari
 Soemarsono, komandan lapangan Pemuda Republik, yang pasukannya berhadapan
 langsung dengan Poh An Tui (Surabaya).

 Meski Siaw Giok Tjhan akhirnya bisa memahami penjelasan Bung Tomo, tapi
 sentimen anti-Tionghoa telanjur meluas ke luar Surabaya, dan khususnya
 pecah di Medan. Sepanjang Desember 1945 terjadi serangan terhadap
 orang-orang Tionghoa oleh pribumi Medan. Keadaan ini membuat sebagian etnis
 Tionghoa Medan memilih angkat senjata dan mendirikan Poh An Tui (cabang)
 Medan, yang diketuai Lim Seng tadi, dengan anggota awal 110 orang.
  Mereka mengibarkan spanduk-spanduk bertuliskanRepublik Mengkhianati
 Kami.

 Sampai tahap ini posisi mereka lebih bersifat defensif.

 (*Note: *Ada perbedaan waktu tentang kapan persisnya demontrasi besar
 yang melibatkan 12.000 etnis Tionghoa itu terjadi. Jika laman yang dirujuk
 sanak Afda Rizki dan MakNgah menyebutkan peristiwa itu terjadi pada
 September 1947, sementara ambo yang menuliskan juga peristiwa ini dalam
 novel historis *Napoleon dari Tanah Rencong* (2013),  hal. 174-177, ambo
 lebih memilih versi yang menyatakan demontrasi besar itu terjadi pada akhir
 Januari 1946. Salah satu rujukan ambo adalah karya Chalmers A. Johnson yang
 berjudul *Peasant Nationalism and Communist Power: The Emergence of
 Revolutionary China* yang banyak membahas gejala pertumbuhan Poh An Tui,
 yang awalnya hanyalah milisi penjaga ketertiban distrik (hsien) di daratan
 China, tapi kemudian berkembang menjadi kekuatan yang lebih menakutkan di
 Indonesia).

 Kembali  ke posisi Poh An Tui, usai demonstrasi besar itu, pada Maret
 1946 anggota Poh An Tui mendapat pelatihan dari Brigjen Ted Kelly dan
 dipasok berbagai jenis senjata, sehingga dengan cepat milisi ini membesar,
 punya nyali, dan berani unjuk gigi. 

Re: [R@ntau-Net] Re: Bukittinggi 17 Agustus 1947

2015-08-24 Terurut Topik Sjamsir Sjarif
http://celotehbuku.blogspot.com/2008/06/etnis-tionghoa-di-ranah-minang.html?m=1

-- Makngah

-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet~ 
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===
UNTUK DIPERHATIKAN, yang melanggar akan dimoderasi:
* DILARANG:
  1. Email besar dari 200KB;
  2. Email attachment, tawarkan  kirim melalui jalur pribadi; 
  3. Email One Liner.
* Anggota WAJIB mematuhi peraturan (lihat di http://goo.gl/MScz7) serta 
mengirimkan biodata!
* Tulis Nama, Umur  Lokasi disetiap posting
* Hapus footer  seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
* Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama  mengganti 
subjeknya.
===
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/
--- 
Anda menerima pesan ini karena Anda berlangganan grup RantauNet dari Google 
Grup.
Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, kirim 
email ke rantaunet+unsubscr...@googlegroups.com.
Untuk opsi lainnya, kunjungi https://groups.google.com/d/optout.


Re: [R@ntau-Net] Re: Bukittinggi 17 Agustus 1947

2015-08-21 Terurut Topik Sjamsir Sjarif
Untuak dapek gambaran kisah sejarah sekitar 17 Agustus 1945 di Bukittinggi dan 
sekitarnyo, rancak dicaliak dan dibaco tulisan di bawah ko:

http://ranahberita.com/23069/17-agustus-1945-malam-kisah-kabar-pertama-proklamasi-di-padang-dan-bukittinggi

-- MakNgah
Sjamsir Sjarif

-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet~ 
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===
UNTUK DIPERHATIKAN, yang melanggar akan dimoderasi:
* DILARANG:
  1. Email besar dari 200KB;
  2. Email attachment, tawarkan  kirim melalui jalur pribadi; 
  3. Email One Liner.
* Anggota WAJIB mematuhi peraturan (lihat di http://goo.gl/MScz7) serta 
mengirimkan biodata!
* Tulis Nama, Umur  Lokasi disetiap posting
* Hapus footer  seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
* Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama  mengganti 
subjeknya.
===
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/
--- 
Anda menerima pesan ini karena Anda berlangganan grup RantauNet dari Google 
Grup.
Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, kirim 
email ke rantaunet+unsubscr...@googlegroups.com.
Untuk opsi lainnya, kunjungi https://groups.google.com/d/optout.


Re: [R@ntau-Net] Re: Bukittinggi 17 Agustus 1947

2015-08-21 Terurut Topik Sjamsir Sjarif
Sekitar tanggal 17 Agustus 1945 tu nan takana dek MakNgah ( umua 10 ) carito 
kami sadang makan pagi. Uda (umua 21) mangabakan Japang lah Kalah Parang, Awak 
alah Mardeka. Komentar Aya (umua 48):  

Sia lai nan ka jadi Rajo Awak eeh?
Uda: Indak Urang Bulando atau Urang Japang , tapi misti Urang Awak.  Tapi Uda 
alun tahu lai sia namo Urang Awak nan ka jadi Rajo Awak tu lai.

-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet~ 
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===
UNTUK DIPERHATIKAN, yang melanggar akan dimoderasi:
* DILARANG:
  1. Email besar dari 200KB;
  2. Email attachment, tawarkan  kirim melalui jalur pribadi; 
  3. Email One Liner.
* Anggota WAJIB mematuhi peraturan (lihat di http://goo.gl/MScz7) serta 
mengirimkan biodata!
* Tulis Nama, Umur  Lokasi disetiap posting
* Hapus footer  seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
* Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama  mengganti 
subjeknya.
===
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/
--- 
Anda menerima pesan ini karena Anda berlangganan grup RantauNet dari Google 
Grup.
Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, kirim 
email ke rantaunet+unsubscr...@googlegroups.com.
Untuk opsi lainnya, kunjungi https://groups.google.com/d/optout.


Re: [R@ntau-Net] Re: Bukittinggi 17 Agustus 1947

2015-08-21 Terurut Topik Dr. Saafroedin Bahar
Wah hebat bung Akmal. Saya rasa banyak yg tidak tahu. Bagaimana pula dgn
kasus Pariaman ?
SB.
Pada tanggal 21 Agt 2015 11:21, Afda Rizki afdari...@gmail.com menulis:

 Luar biasa Uda Akmal,

 Sangat mencerahkan sekali. Baru tau ambo saroman tu carito nyo. Tarimo
 kasih banyak Da.

 Apokah Pao An Tui ko sempat ado di ranah di zaman revolusi kemerdekaan
 dulu? Karano -kalau ndak salah- ado beberapo daerah di Sumbar yang etnis
 Tionghoa nyo samo sekali ndak ado laiwalau sempat ado sebelumnyo.

 Maulang permintaan Uda Akmal,  kok lai ado senior dan sesepuh RN yang
 mengalami langsuang maso-maso bergolak ...mungkin bisa berbagi carito di
 lapau ko.

 Wassalam,

 Afda Rizki

 *

 Pada Kamis, 20 Agustus 2015 13.44.30 UTC+3, Akmal Nasery Basral menulis:

 Sanak Afda Rizki,

 12.000 orang Tionghoa yang turun ke jalan-jalan kota Medan itu dimotori
 milisi radikal Poh An Tui (disebut juga Pao An Tui), yang dikomandani
 seorang Cina Medan bernama Lim Seng. Poh An Tui ini milisi yang ditakuti,
 meski awal berdirinya cuma dengan 110 orang, tapi mereka dilatih langsung
 oleh Brigjen Ted Kelly (salah satu komandan Tentara Sekutu), dan pasokan
 senjata mereka pun dari Tentara Sekutu. Poh An Tui sendiri berarti Barisan
 Penjaga Lingkungan.

 Sebetulnya Tionghoa radikal seperti anggota Poh An Tui itu jumlahnya
 sedikit dibandingkan jumlah Tionghoa di Indonesia, yang secara politik
 terbagi ke dalam tiga kelompok:
 1. Kelompok Sinpo, yang masih mengidentifikasi diri dengan leluhur mereka
 di China Daratan.
 2. Kelompok Chung Hua Hui (CHH) yang pro-Belanda, dan
 3. Partai Tionghoa Indonesia (PTI) yang pro-Republik. Salah seorang tokoh
 Tionghoa pro-Republik adalah Siaw Giok Tjhan (perannya lebih jauh
 dijelaskan di bawah nanti)

 Ketika Jepang datang, ketiga kelompok itu dipaksa melebur jadi satu
 kelompok yang disebut Hui Chiao Tsung Hui (HCTH) sehingga perbedaan
 antarkelompok tak lagi terlihat jelas. Ketika Tentara Sekutu kembali ke
 Indonesia, antara lain lewat Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya,
 polarisasi HCTH kembali terlihat. Ada kelompok yang ingin Belanda kembali
 berkuasa, dan ada masyarakat Tionghoa yang ingin bergabung dengan republik
 yang baru merdeka.

 Malangnya, Bung Tomo dalam pidatonya yang berapi-api menyatakan bahwa
 masyarakat Tionghoa, terutama Tionghoa di Surabaya, lebih pro-Belanda
 ketimbang pro-Republik. Dengan kata lain, mereka pengkhianat. Pidato Bung
 Tomo memicu sentimen anti-Tionghoa dan gelombang serangan rakyat Surabaya
 terhadap keturunan Tionghoa.

 Situasi ini membuat Siaw Giok Tjhan yang selama ini pro-Republik marah
 dan kecewa terhadap Bung Tomo, sehingga mengirimkan orang-orangnya untuk
 bertemu Bung Tomo dengan menyatakan tidak semua orang Tionghoa pro-Belanda,
 cukup banyak juga yang pro-Republik. Dalam pertemuan itu Bung Tomo
 menyatakan bahwa orasinya di radio berdasarkan laporan lapangan dari
 Soemarsono, komandan lapangan Pemuda Republik, yang pasukannya berhadapan
 langsung dengan Poh An Tui (Surabaya).

 Meski Siaw Giok Tjhan akhirnya bisa memahami penjelasan Bung Tomo, tapi
 sentimen anti-Tionghoa telanjur meluas ke luar Surabaya, dan khususnya
 pecah di Medan. Sepanjang Desember 1945 terjadi serangan terhadap
 orang-orang Tionghoa oleh pribumi Medan. Keadaan ini membuat sebagian etnis
 Tionghoa Medan memilih angkat senjata dan mendirikan Poh An Tui (cabang)
 Medan, yang diketuai Lim Seng tadi, dengan anggota awal 110 orang.
  Mereka mengibarkan spanduk-spanduk bertuliskanRepublik Mengkhianati
 Kami.

 Sampai tahap ini posisi mereka lebih bersifat defensif.

 (*Note: *Ada perbedaan waktu tentang kapan persisnya demontrasi besar
 yang melibatkan 12.000 etnis Tionghoa itu terjadi. Jika laman yang dirujuk
 sanak Afda Rizki dan MakNgah menyebutkan peristiwa itu terjadi pada
 September 1947, sementara ambo yang menuliskan juga peristiwa ini dalam
 novel historis *Napoleon dari Tanah Rencong* (2013),  hal. 174-177, ambo
 lebih memilih versi yang menyatakan demontrasi besar itu terjadi pada akhir
 Januari 1946. Salah satu rujukan ambo adalah karya Chalmers A. Johnson yang
 berjudul *Peasant Nationalism and Communist Power: The Emergence of
 Revolutionary China* yang banyak membahas gejala pertumbuhan Poh An Tui,
 yang awalnya hanyalah milisi penjaga ketertiban distrik (hsien) di daratan
 China, tapi kemudian berkembang menjadi kekuatan yang lebih menakutkan di
 Indonesia).

 Kembali  ke posisi Poh An Tui, usai demonstrasi besar itu, pada Maret
 1946 anggota Poh An Tui mendapat pelatihan dari Brigjen Ted Kelly dan
 dipasok berbagai jenis senjata, sehingga dengan cepat milisi ini membesar,
 punya nyali, dan berani unjuk gigi. Lim Seng lalu menetapkan Bagan
 Siapi-api sebagai daerah uji coba ketangguhan Poh An Tui. Di sepanjang
 perjalanan Medan-Bagan Siapi-api, laskar Poh An Tui membantai secara brutal
 warga pribumi yang berani melawan mereka.

 Melihat kebrutalan Poh An Tui yang menjadi-jadi (bukan kebrutalan
 keturunan Tionghoa secara keseluruhan sanak Afda), 

Re: [R@ntau-Net] Re: Bukittinggi 17 Agustus 1947

2015-08-21 Terurut Topik Sjamsir Sjarif
Ado duo istilah nan paralu diklarifikasi karano jakawatunyo berbeda dan jangan 
dikalirukan:

1, Maso Revolusi (kemedekaan) nan biaso dijangkawaktukan 1945-49/50. Titik 
pembicaraan biaso di sekitar Maso Darurat, PDRI (Pemerintah Darurat Republik 
Indonesia, 1948-49.

2. Maso Bagolak, adolah Maso Pergolakan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik 
Indonesia). 

Nah Ciek Lai ado Maso Parang PADERI nan balansuang sekitar awal abad ka-19.

Katigo Maso Parang tu sangat mampangaruhi keadaan jiwa Masyarakat Minangkabau.

-- MakNgah
Sjamsir Sjarif

-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet~ 
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===
UNTUK DIPERHATIKAN, yang melanggar akan dimoderasi:
* DILARANG:
  1. Email besar dari 200KB;
  2. Email attachment, tawarkan  kirim melalui jalur pribadi; 
  3. Email One Liner.
* Anggota WAJIB mematuhi peraturan (lihat di http://goo.gl/MScz7) serta 
mengirimkan biodata!
* Tulis Nama, Umur  Lokasi disetiap posting
* Hapus footer  seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
* Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama  mengganti 
subjeknya.
===
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/
--- 
Anda menerima pesan ini karena Anda berlangganan grup RantauNet dari Google 
Grup.
Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, kirim 
email ke rantaunet+unsubscr...@googlegroups.com.
Untuk opsi lainnya, kunjungi https://groups.google.com/d/optout.


[R@ntau-Net] Re: Bukittinggi 17 Agustus 1947

2015-08-20 Terurut Topik Afda Rizki
Manolah Makngah jo rang palanta,


Ado yang menarik dari buku nan Makngah agiahkan tautannyo, saroman di bawah:



Asumsi ambo jumlah 12000-an urang ko tantulah sangaik banyak katiko maso 
itu, dan tidak lah mudah mamobilisasinyo. Jadi memang dari zaman saisuak 
kurenah rang keturunan Tionghoa ko yo banyak yang jadi tando tanyo mah.



Salam hangat,

Afda Rizki (Lk)
37thn, Piliang


***
Pada Kamis, 20 Agustus 2015 05.13.44 UTC+3, Sjamsir Sjarif menulis:


 https://books.google.com/books?id=z9C7NuTllisCpg=PA315lpg=PA315dq=bukittinggi+17+Agustus+1947source=blots=8f6f388ZvTsig=DFeEGSu6iHeyoHrLw_J8bSSxX2Qhl=ensa=Xved=0CC8Q6AEwBmoVChMIu5Cw48e2xwIVSimICh0aLAKE

 --  Makngah
 Sjamsir Sjarif


-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet~ 
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===
UNTUK DIPERHATIKAN, yang melanggar akan dimoderasi:
* DILARANG:
  1. Email besar dari 200KB;
  2. Email attachment, tawarkan  kirim melalui jalur pribadi; 
  3. Email One Liner.
* Anggota WAJIB mematuhi peraturan (lihat di http://goo.gl/MScz7) serta 
mengirimkan biodata!
* Tulis Nama, Umur  Lokasi disetiap posting
* Hapus footer  seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
* Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama  mengganti 
subjeknya.
===
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/
--- 
Anda menerima pesan ini karena Anda berlangganan grup RantauNet dari Google 
Grup.
Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, kirim 
email ke rantaunet+unsubscr...@googlegroups.com.
Untuk opsi lainnya, kunjungi https://groups.google.com/d/optout.


Re: [R@ntau-Net] Re: Bukittinggi 17 Agustus 1947

2015-08-20 Terurut Topik Akmal Nasery Basral
Sanak Afda Rizki,

12.000 orang Tionghoa yang turun ke jalan-jalan kota Medan itu dimotori
milisi radikal Poh An Tui (disebut juga Pao An Tui), yang dikomandani
seorang Cina Medan bernama Lim Seng. Poh An Tui ini milisi yang ditakuti,
meski awal berdirinya cuma dengan 110 orang, tapi mereka dilatih langsung
oleh Brigjen Ted Kelly (salah satu komandan Tentara Sekutu), dan pasokan
senjata mereka pun dari Tentara Sekutu. Poh An Tui sendiri berarti Barisan
Penjaga Lingkungan.

Sebetulnya Tionghoa radikal seperti anggota Poh An Tui itu jumlahnya
sedikit dibandingkan jumlah Tionghoa di Indonesia, yang secara politik
terbagi ke dalam tiga kelompok:
1. Kelompok Sinpo, yang masih mengidentifikasi diri dengan leluhur mereka
di China Daratan.
2. Kelompok Chung Hua Hui (CHH) yang pro-Belanda, dan
3. Partai Tionghoa Indonesia (PTI) yang pro-Republik. Salah seorang tokoh
Tionghoa pro-Republik adalah Siaw Giok Tjhan (perannya lebih jauh
dijelaskan di bawah nanti)

Ketika Jepang datang, ketiga kelompok itu dipaksa melebur jadi satu
kelompok yang disebut Hui Chiao Tsung Hui (HCTH) sehingga perbedaan
antarkelompok tak lagi terlihat jelas. Ketika Tentara Sekutu kembali ke
Indonesia, antara lain lewat Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya,
polarisasi HCTH kembali terlihat. Ada kelompok yang ingin Belanda kembali
berkuasa, dan ada masyarakat Tionghoa yang ingin bergabung dengan republik
yang baru merdeka.

Malangnya, Bung Tomo dalam pidatonya yang berapi-api menyatakan bahwa
masyarakat Tionghoa, terutama Tionghoa di Surabaya, lebih pro-Belanda
ketimbang pro-Republik. Dengan kata lain, mereka pengkhianat. Pidato Bung
Tomo memicu sentimen anti-Tionghoa dan gelombang serangan rakyat Surabaya
terhadap keturunan Tionghoa.

Situasi ini membuat Siaw Giok Tjhan yang selama ini pro-Republik marah dan
kecewa terhadap Bung Tomo, sehingga mengirimkan orang-orangnya untuk
bertemu Bung Tomo dengan menyatakan tidak semua orang Tionghoa pro-Belanda,
cukup banyak juga yang pro-Republik. Dalam pertemuan itu Bung Tomo
menyatakan bahwa orasinya di radio berdasarkan laporan lapangan dari
Soemarsono, komandan lapangan Pemuda Republik, yang pasukannya berhadapan
langsung dengan Poh An Tui (Surabaya).

Meski Siaw Giok Tjhan akhirnya bisa memahami penjelasan Bung Tomo, tapi
sentimen anti-Tionghoa telanjur meluas ke luar Surabaya, dan khususnya
pecah di Medan. Sepanjang Desember 1945 terjadi serangan terhadap
orang-orang Tionghoa oleh pribumi Medan. Keadaan ini membuat sebagian etnis
Tionghoa Medan memilih angkat senjata dan mendirikan Poh An Tui (cabang)
Medan, yang diketuai Lim Seng tadi, dengan anggota awal 110 orang.
Mereka mengibarkan
spanduk-spanduk bertuliskanRepublik Mengkhianati Kami.

Sampai tahap ini posisi mereka lebih bersifat defensif.

(*Note: *Ada perbedaan waktu tentang kapan persisnya demontrasi besar yang
melibatkan 12.000 etnis Tionghoa itu terjadi. Jika laman yang dirujuk sanak
Afda Rizki dan MakNgah menyebutkan peristiwa itu terjadi pada September
1947, sementara ambo yang menuliskan juga peristiwa ini dalam novel
historis *Napoleon dari Tanah Rencong* (2013),  hal. 174-177, ambo lebih
memilih versi yang menyatakan demontrasi besar itu terjadi pada akhir
Januari 1946. Salah satu rujukan ambo adalah karya Chalmers A. Johnson yang
berjudul *Peasant Nationalism and Communist Power: The Emergence of
Revolutionary China* yang banyak membahas gejala pertumbuhan Poh An Tui,
yang awalnya hanyalah milisi penjaga ketertiban distrik (hsien) di daratan
China, tapi kemudian berkembang menjadi kekuatan yang lebih menakutkan di
Indonesia).

Kembali  ke posisi Poh An Tui, usai demonstrasi besar itu, pada Maret 1946
anggota Poh An Tui mendapat pelatihan dari Brigjen Ted Kelly dan dipasok
berbagai jenis senjata, sehingga dengan cepat milisi ini membesar, punya
nyali, dan berani unjuk gigi. Lim Seng lalu menetapkan Bagan Siapi-api
sebagai daerah uji coba ketangguhan Poh An Tui. Di sepanjang perjalanan
Medan-Bagan Siapi-api, laskar Poh An Tui membantai secara brutal warga
pribumi yang berani melawan mereka.

Melihat kebrutalan Poh An Tui yang menjadi-jadi (bukan kebrutalan keturunan
Tionghoa secara keseluruhan sanak Afda), Komandan Divisi I Achmad Tahir
yang bermarkas di Tebingtinggi, akhirnya sewot juga dan memerintahkan
pasukan Jamin Ginting untuk menghadang Poh An Tui, sehingga terjadi
pertempuran sengit dengan banyak korban dari kedua pihak. Tetapi Jamin
Ginting akhirnya bisa membuat Lim Seng menarik mundur Poh An Tui kembali ke
Medan, di mana mereka masih mendapat perlindungan Tentara Sekutu dan NICA
yang membonceng.

Kelak -- setelah April 1946 -- giliran pasukan Aceh, yang banyak di antara
mereka memiliki kerabat di Sumatra Utara, yang mengadakan *long march*
ratusan kilometer dari tanah kelahiran mereka untuk berjihad fi sabilillah
melawan Tentara Sekutu-NICA dan antek-anteknya, Poh An Tui.

Meski pasukan-pasukan Aceh itu dipimpin para kolonel dan mayor, namun di
lapangan yang banyak membuat gebrakan dahsyat adalah para jawara
tradisional 

Re: [R@ntau-Net] Re: Bukittinggi 17 Agustus 1947

2015-08-20 Terurut Topik Afda Rizki
Luar biasa Uda Akmal,

Sangat mencerahkan sekali. Baru tau ambo saroman tu carito nyo. Tarimo 
kasih banyak Da.

Apokah Pao An Tui ko sempat ado di ranah di zaman revolusi kemerdekaan 
dulu? Karano -kalau ndak salah- ado beberapo daerah di Sumbar yang etnis 
Tionghoa nyo samo sekali ndak ado laiwalau sempat ado sebelumnyo.

Maulang permintaan Uda Akmal,  kok lai ado senior dan sesepuh RN yang 
mengalami langsuang maso-maso bergolak ...mungkin bisa berbagi carito di 
lapau ko.

Wassalam,

Afda Rizki

*

Pada Kamis, 20 Agustus 2015 13.44.30 UTC+3, Akmal Nasery Basral menulis:

 Sanak Afda Rizki,

 12.000 orang Tionghoa yang turun ke jalan-jalan kota Medan itu dimotori 
 milisi radikal Poh An Tui (disebut juga Pao An Tui), yang dikomandani 
 seorang Cina Medan bernama Lim Seng. Poh An Tui ini milisi yang ditakuti, 
 meski awal berdirinya cuma dengan 110 orang, tapi mereka dilatih langsung 
 oleh Brigjen Ted Kelly (salah satu komandan Tentara Sekutu), dan pasokan 
 senjata mereka pun dari Tentara Sekutu. Poh An Tui sendiri berarti Barisan 
 Penjaga Lingkungan. 

 Sebetulnya Tionghoa radikal seperti anggota Poh An Tui itu jumlahnya 
 sedikit dibandingkan jumlah Tionghoa di Indonesia, yang secara politik 
 terbagi ke dalam tiga kelompok:
 1. Kelompok Sinpo, yang masih mengidentifikasi diri dengan leluhur mereka 
 di China Daratan.
 2. Kelompok Chung Hua Hui (CHH) yang pro-Belanda, dan
 3. Partai Tionghoa Indonesia (PTI) yang pro-Republik. Salah seorang tokoh 
 Tionghoa pro-Republik adalah Siaw Giok Tjhan (perannya lebih jauh 
 dijelaskan di bawah nanti)

 Ketika Jepang datang, ketiga kelompok itu dipaksa melebur jadi satu 
 kelompok yang disebut Hui Chiao Tsung Hui (HCTH) sehingga perbedaan 
 antarkelompok tak lagi terlihat jelas. Ketika Tentara Sekutu kembali ke 
 Indonesia, antara lain lewat Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, 
 polarisasi HCTH kembali terlihat. Ada kelompok yang ingin Belanda kembali 
 berkuasa, dan ada masyarakat Tionghoa yang ingin bergabung dengan republik 
 yang baru merdeka.

 Malangnya, Bung Tomo dalam pidatonya yang berapi-api menyatakan bahwa 
 masyarakat Tionghoa, terutama Tionghoa di Surabaya, lebih pro-Belanda 
 ketimbang pro-Republik. Dengan kata lain, mereka pengkhianat. Pidato Bung 
 Tomo memicu sentimen anti-Tionghoa dan gelombang serangan rakyat Surabaya 
 terhadap keturunan Tionghoa.

 Situasi ini membuat Siaw Giok Tjhan yang selama ini pro-Republik marah dan 
 kecewa terhadap Bung Tomo, sehingga mengirimkan orang-orangnya untuk 
 bertemu Bung Tomo dengan menyatakan tidak semua orang Tionghoa pro-Belanda, 
 cukup banyak juga yang pro-Republik. Dalam pertemuan itu Bung Tomo 
 menyatakan bahwa orasinya di radio berdasarkan laporan lapangan dari 
 Soemarsono, komandan lapangan Pemuda Republik, yang pasukannya berhadapan 
 langsung dengan Poh An Tui (Surabaya).

 Meski Siaw Giok Tjhan akhirnya bisa memahami penjelasan Bung Tomo, tapi 
 sentimen anti-Tionghoa telanjur meluas ke luar Surabaya, dan khususnya 
 pecah di Medan. Sepanjang Desember 1945 terjadi serangan terhadap 
 orang-orang Tionghoa oleh pribumi Medan. Keadaan ini membuat sebagian etnis 
 Tionghoa Medan memilih angkat senjata dan mendirikan Poh An Tui (cabang) 
 Medan, yang diketuai Lim Seng tadi, dengan anggota awal 110 orang. 
  Mereka mengibarkan spanduk-spanduk bertuliskanRepublik Mengkhianati 
 Kami.

 Sampai tahap ini posisi mereka lebih bersifat defensif. 

 (*Note: *Ada perbedaan waktu tentang kapan persisnya demontrasi besar 
 yang melibatkan 12.000 etnis Tionghoa itu terjadi. Jika laman yang dirujuk 
 sanak Afda Rizki dan MakNgah menyebutkan peristiwa itu terjadi pada 
 September 1947, sementara ambo yang menuliskan juga peristiwa ini dalam 
 novel historis *Napoleon dari Tanah Rencong* (2013),  hal. 174-177, ambo 
 lebih memilih versi yang menyatakan demontrasi besar itu terjadi pada akhir 
 Januari 1946. Salah satu rujukan ambo adalah karya Chalmers A. Johnson yang 
 berjudul *Peasant Nationalism and Communist Power: The Emergence of 
 Revolutionary China* yang banyak membahas gejala pertumbuhan Poh An Tui, 
 yang awalnya hanyalah milisi penjaga ketertiban distrik (hsien) di daratan 
 China, tapi kemudian berkembang menjadi kekuatan yang lebih menakutkan di 
 Indonesia).

 Kembali  ke posisi Poh An Tui, usai demonstrasi besar itu, pada Maret 1946 
 anggota Poh An Tui mendapat pelatihan dari Brigjen Ted Kelly dan dipasok 
 berbagai jenis senjata, sehingga dengan cepat milisi ini membesar, punya 
 nyali, dan berani unjuk gigi. Lim Seng lalu menetapkan Bagan Siapi-api 
 sebagai daerah uji coba ketangguhan Poh An Tui. Di sepanjang perjalanan 
 Medan-Bagan Siapi-api, laskar Poh An Tui membantai secara brutal warga 
 pribumi yang berani melawan mereka. 

 Melihat kebrutalan Poh An Tui yang menjadi-jadi (bukan kebrutalan 
 keturunan Tionghoa secara keseluruhan sanak Afda), Komandan Divisi I Achmad 
 Tahir yang bermarkas di Tebingtinggi, akhirnya sewot juga dan memerintahkan 
 pasukan Jamin Ginting