MateBEAN (28/1/98): CATATAN PERJALANAN KE TIMTIM (Bagian 4)
Precedence: bulk CATATAN PERJALANAN KE TIMTIM (Bagian 4) Reformasi di Jakarta berjalan setengah hati, begitu juga di Dili. Ada banyak sisa "kejayaan" Orde Baru yang bisa disaksikan di mana-mana. Pejabat produk KKN yang memiliki kedekatatan dengan mantan Danjen Kopassus Letjen (purn) Prabowo Subianto dan keluarga Cendana masih bercokol kuat dengan kewalan kelompok "vigilante" semacam satuan Gadapaksi. Berkeliling kota Dili kita akan menemukan slogan dan "ideologi" Adipura bertebaran di mana-mana. Mengikuti "mainstream" ideologi Adipura, kota Dili dinamakan sebagai kota "bertaiss". Tentu saja sebutan ini tak ada hubungannya dengan tenunan rakyat yang disebut kain tais. Dili "bertaiss" adalah singkatan dari kota Dili yang "bersih, tertib, aman, indah, sehat dan sopan" sebuah yang merupakan cerminan ideologi pembangunan a la Orde Baru. Yaitu perlombaan "menertibkan" dan "memperindah" wilayah masing-masing, bila perlu dengan cara menggusur perkampungan kumuh serta menyingkirkan kaum marginal dan sektor informal dari kawasan perkotaan.Pembangunan diidentikkan dengan kerapian, keindahan dan ketertiban semata. Di masa lalu, Presiden Soeharto setiap tahun selalu membagikan piala Adipura kepada setiap kepala daerah yang berhasil mewujudkan cita-cita pembangunan yang "rapi", "indah" dan "tertib" tersebut. Para kepala daerah diperlakukan seperti layaknya anak SD yang harus rajin mengunting kuku dan cuci tangan, tanpa perlu memperhatikan sejumlah prolematika sosial yang sangat kompleks. Untuk itu lah setiap kota, seperti halnya Dili berlomba-lomba menamai kotanya masing-masing dengan memadukan sejumlah kata-kata "ajaib" yang tampaknya jadi kunci seperti "sehat", "tertib", "indah", "bersih", "nyaman", "ramah", "sopan" dan seterusnya. Alhasil munculah nama kota-kota baru semacam "Solo Berseri", "Salatiga Hatti Beriman", "Jakarta BMW", "Bandung Berhiber", "Boyolali Tersenyum" dan sebagainya. Tak pelak lagi, melihat kota Dili kita akan melihat replika kecil kebijakan pembangunan a la Orde Baru yang lebih banyak memproduksi jargon ketimbang membenahi manusianya. Melihat beberapa kantor kelurahan di Dili, kita akan melihat pameran plang papan nama. Orang tak bisa membayangan bahwa sebuah kantor kelurahan yang kelihatan tak ada aktivitasnya, punya banyak aktivitas. Mulai dari PKK, Dharma Wanita, Pemuda Karang Taruna hingga LKMD. Banyak orang asing bertanya-tanya apa yang dikerjakan oleh berbagai organisasi itu, kok kemiskinan dan kesulitan hidup di Timor Timur masih begitu parah. Melihat ideologi pembangunan di kota Dili rasanya tak lengkap bila kita tak berkunjung ke Patung Kristus Raja di Bukit Fatucama sekitar 7 km di sebelah barat laut Dili. Patung setinggi 17 meter (angka ini diambil karena Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945) yang diresmikan Presiden Soeharto pada 24 November 1996 ini barangkali adalah puncak dari prestasi Orde Baru dalam memproduksi simbol-simbol penaklukan Indonesia atas Timor Timur. Patung yang mencoba menyaingi patung terkenal "Christo Redentor" yang dibangun di Puncak Gunung Corcovado pada ketinggian 710 m dpl di dekat kota Rio de Janeiro, Brasil, ini sungguh tak ada apa-apanya. Meski disebut-sebut sebagai patung Kristus tertinggi setelah patung Kristus karya Ir Heitor da Silva Costa yang berketinggian 38 m lebar dengan bentangan tangan 28 m serta berat 1.145 ton di Brasil itu, kalau orang jeli mengamati patung di Dili ini akan menemukan sejumlah kejangggalan. Dan antara keduanya sama sekali tak bisa saling diperbandingan. Patung Kristus di Bukit Fatucama yang gagal didanai Garuda Indonesia Airways dan rancangan seorang pematung tak ternama asal Bandung ini ternyata cuma merupakan sebuah bola beton dengan lempengan perunggu yang tenik sambungannya sangat kasar. Yang paling menimbulkan tanda tanya adalah tangannya yang menadah ke atas. Tak biasanya Kristus digambarkan seperti ini. Adegan orang "bersembahyang" dalam semua cerita tentang Yesus Kristus dalam terminologi Kristen hanya dikenal saat menjelang balada penyaliban. Tepatnya saat Yesus berdoa di Taman Getsemani di Bukit Zaitun. Kenapa? Karena orang Kristen percaya bahwa Yesus adalah Allah. Ia lebih kerap memberkati manusia, umatnya. "Tangan tengadah patung Kristus di Tanjung Fatucama lebih mirip dengan cara "orang Jawa" bersembahyang," ujar sebuah sumber yang memprotes keanehan patung tersebut. Selain itu patung juga menghadap ke arah barat, di mana laut lepas membentang. Teman saya berkata, "Jangan-jangan Yesus sengaja diletakkan seperti ini dengan maksud untuk mengundang ikan-ikan di laut berdatangan ke daratan." Banyak orang yang saya temui, menyatakan kecurigaan mereka atas ide pembangunan patung tersebut. "Jangan-jangan itu merupakan cara rejim Soeharto untuk menaklukkan hati orang Timor Timur yang begitu tinggi sikap religiusitasnya," ujar sumber tersebut. Pemda sepertinya
ISTIQLAL (27/1/99)# INDONESIA KIAN MENJAUHI PASAL 27 UUD 1945
Precedence: bulk INDONESIA KIAN MENJAUHI PASAL 27 UUD 1945 Oleh: Sulangkang Suwalu Konsep RUU bidang politik yang disodorkan pemerintah untuk Pemilu 1999 di DPR, di antaranya mencantumkan agar pegawai negeri tidak diperkenankan menjadi pengurus dan anggota suatu partai politik. Konsep pemerintah ini di dukung oleh parpol-parpol baru. Bahkan PAN dan PKB menggertak akan menurunkan massa, apabila RUU itu memberi hak pada PNS untuk menjadi anggota dan pengurus partai. Pihak penyusun RUU serta parpol pendukungnya berangkat dari kecurigaan yang sangat sosiologis. Pertama dalam rangka memaksimalkan pelayanan masyarakat sebagai fungsi PNS. Kalau seorang anggota pengurus parpol ia dianggap akan berpengaruh secara signifikan terhadap kinerjanya dalam bidang pelayanan masyarakat. Diperkirakan kian tinggi kedudukannya, kian banyak kegiatannya di parpol, akan makin rendah kinerjanya atau derajat pelayanannya terhadap masyarakat. Ke dua, keterkaitannya dengan netralitas birokrasi. Kalau PNS menjadi anggota, apalagi menjadi pengurus parpol, maka ada kecurigaan bahwa mereka tidak akan bersikap netral dalam melaksanakan tugasnya sebagai pelayanan masyarakat. Di pihak lain Golkar, baik secara kelembagaan maupun melalui fraksinya di DPR (FKP) tetap bersikeras mempertahankan keberadaan PNS di dalam parpol seperti sekarang. Alasan lain yang dikemukakan Golkar untuk membela hal itu, dikaitkannya dengan HAM dan serta mengacu kepada konvensi hak-hak kaum buruh yang belum lama ini diratifikasi pemerintah Indonesia dengan ILO. PNS dalam konteks ini: buruh negara yang harus dijamin hak-haknya untuk berkiprah dalam politik atau menentukan hak-hak politiknya. Bagaimana reaksi PNS terhadap persoalan tersebut? MEMBENTUK PARTAI PEGAWAI NEGERI? Sebagai reaksi dari kalangan pegawai negeri sipil atau PNS ialah muncul ide untuk membentuk partai sendiri, partai pegawai negeri sipil. Hal itu dapat diketahui dengan membaca Kompas (12/1/99) bahwa Korpri sebagai organisasi mandiri tak ingin diatur dan diarahkan pihak lain. Dalam kaitan kedudukannya yang akan diatur UU tentang partai politik, apabila substansial UU itu masih memaksa Korpri harus menjadi anggota/pengurus partai, Korpri lebih baik memilih membentuk partai. Seterusnya dikatakan tersebarnya anggota Korpri di banyak partai membuat Korpri terpecah-belah. "Agar Korpri tetap bersatu, adalah realistis bila Korpri membentuk partai sendiri ketimbang masuk partai lain," kata Ketua Umum Korpri Feisal Tamin. Menurut Feisal Tamin bahwa melihat pengalaman masa lalu, ketika Korpri begitu diperlukan, Korpri harus menanggung beban berat untuk melaksanakan monoloyalitas terhadap Golkar. Ketika sudah tidak dibutuhkan lagi, mereka malah meminta Korpri dibubarkan. Ditambahkannya, dengan diharuskan melaksanakan monoloyalitas, Korpri sudah mengkhianati misi AD/ART organisasi. Seakan Korpri ini objek yang tidak bernyawa, ujar Feisal. Padahal kami tidak buta huruf dan mengerti akan hak-haknya. Korpri bertekad ingin netral, tetapi pihak lain justru memaksa kami tidak netral. Daya ingin orang-orang yang pintar tentang HAM menghormati hak azasi kami untuk menentukan sikap. Keterangan Feisal Tamin, Ketua Korpri ini, menimbulkan beberapa pertanyaan: Betulkah selama ini Korpri organisasi mandiri? Apa kah tepat membentuk partai sendiri bagi PNS? Apa kah ideologi yang dianut PNS tunggal? KORPRI TAK PERNAH MANDIRI Anggota Korpri/PNS dilihat dari segi kedudukannya di administrasi pemerintahan, status mereka adalah kaum buruh. Mereka menjual tenaga kerjanya kepada pemerintah. Dan dari gaji yang mereka terima, mereka hidup. Karena itulah di masa pemerintahan Soekarno terdapat berbagai Serikat Buruh dalam lingkungan pegawai negeri. Diantaranya adalah Sepda (Serikat Buruh Pegawai Daerah), SBPU (Serikat Buruh Pekerjaan Umum), SBK (Serikat Buruh Kepenjaraan) dan SB Kemperburi (Serikat Buruh Kementerian Perburuhan) Di masa kekuasaan Orba, Soeharto, semua SB pegawai negeri itu dilarang. Semuanya disatukan dalam Korpri. Dengan dikorprikan, maka status mereka sebagai buruh dikaburkan. Seakan mereka berdiri sendiri, mandiri. Diberlakukan monoloyalitas terhadap Golkar. Kehidupan Korpri sepenuhnya ditentukan Golkar. Jadi, selama Orde Baru Soeharto HAM-nya pegawai negeri telah dikebiri, mereka telah menjadi alat mati bagi kepentingan Golkar. Karena itulah Golkar berkepentingan benar supaya hak pegawai negeri sipil untuk masuk dalam parpol dibelanya mati-matian. Tentu saja parpol Golkar. Bukan parpol-parpol lain. Golkar membelanya, bukan demi HAM-nya PNS, tetapi demi memenangkan Golkar dalam Pemilu 1999. Karena orang-orang Golkarlah yang memimpin PNS tersebut. Hak azasi manusia dimanipulasi Golkar untuk kepentingannya. PARTAI SEBAGAI DAGELAN Menanggapi ancaman Feisal Tamin untuk membentuk partai sendiri, Mochtar Pabotinggi, yang juga anggota Korpri mengatakan: "Itu merupakan ancaman yang aneh
ISTIQLAL (27/1/99)# PUASA UNTUK TEGAKKAN KEBENARAN DAN KEADILAN, BUKAN UNTUK MENGHINDAR
Precedence: bulk PUASA UNTUK TEGAKKAN KEBENARAN DAN KEADILAN, BUKAN UNTUK MENGHINDAR Oleh: Watumona Hutomo Mandala Putra (Tommy) meminta agar dirinya tidak diperiksa di Kejaksaan Agung dengan alasan berpuasa, dinilai banyak kalangan sangat menggelikan dan sama sekali tak dapat diterima. Namun Kejaksaan Agung meluluskan permintaan Tommy tersebut dan oleh umum dianggap sebagai upaya memperlambat proses pemeriksaan putra bungsu orang nomor satu di Indonesia. DALIH PUASA UNTUK HINDARi PEMERIKSAAN Sebenarnya dalih puasa untuk menghindarkan pemeriksaan bukan hal baru. Di zaman Hindia Belanda juga pernah terjadi. Hal itu dikisahkan Hasan STM, bahwa seorang hamba wet, polisi, dapat mengatasi dalih puasa untuk menghindari pemeriksaan dengan pendekatan yang cukup luwes. Jadi, hamba wet itu tidak menyerah pada orang yang memperpolitikan puasa untuk menghindarkan pemeriksaan. Kisahnya di antaranya sebagai berikut: "Pada satu hari di bulan puasa," kata Nurdin, "yang menjadi hamba wet tersebut, aku diperintahkan untuk mengambil seorang anak muda, yang merampas sepeda tukang Dobi. Tempat yang dituju sebuah desa, dekat Kuala Simpang. Perbatasan Sumatera Timur dengan Aceh. Anak muda yang harus kutangkap itu adalah seorang anak Aceh." Anak muda itu merampas sepeda tukang Dobi, karena pakaiannya yang dicucikan ketukar dengan kepunyaan orang lain. Anak muda itu menuntut ganti rugi. Tukang Dobi belum mau mengganti. Ia masih mengurus dengan siapa tertukarnya. Sesampainya aku di rumah anak muda itu, kuperlihatkan surat perintah yang kubawa guna mengambilnya. Kebetulan yang menerima ayah anak muda itu. Setelah ayahnya mengetahui aku akan membawa anaknya, dia segera berkata: "Saya tidak mengizinkan anak saya diperiksa selama bulan puasa. Tuhan saja tidak mengadakan pemeriksaan selama bulan puasa". Aku kaget. Tak menduga sama sekali alasan penolakannya adalah agama. Aku segera menginsyafi bahwa aku sedang berhadapan dengan salah seorang putera Aceh yang fanatik. Bila dengan kekerasan kubawa anak muda itu, bentrokan bisa terjadi. Bagaimana caranya supaya tugas dapat terpenuhi dengan aman? Aku mendapat akal. Kepada orangtua anak muda itu kukatakan bahwa aku orang Islam. Bila aku tak dapat membawa anaknya, tentu aku akan dianggap bersalah oleh Komandan. Periuk nasiku bisa terbalik. Aku minta supaya dipertimbangkannya. Orang tua itu nampaknya heran. Mengapa ada orang Islam yang bekerja pada Belanda. Dan keheranannya itu tercermin dari pertanyaannya. Betulkah anak beragama Islam? Kujawab: Betul. Saya berasal dari Banten. Seperti juga anak negeri Aceh, kami beragama Islam. Bapak bisa memperhatikan kehidupan saya di rumah. Saya tetap menjalankan shalat 5X sehari semalam. Dan hari ini juga sedang berpuasa. Mendengar keteranganku itu, orang tua itu berbicara dengan anaknya dalam bahasa Aceh. Aku tak mengerti apa yang dipercakapkannya. Putusan dari pembicaraan mereka, anak itu boleh kubawa guna memenuhi panggilan Komandan Polisi. Mereka ikut beramai-ramai. Aku merasa senang sekali. Karena berhasil menjalankan tugas. Bila aku tidak luwes dalam menjalankan perintah atasan, tentu usahaku akan gagal. Demikianlah sekelumit kisah nyata "Jawara Banten", yang terjadinya menjelang tahun 1930, seperti yang dikisahkan Hasan Stm. Jelas sekali bedanya Nurdin yang polisi itu bisa menunduhkkan dalih puasa untuk menghindari pemeriksaan, dengan Kejaksaan Agung, yang Jaksa Agungnya Ghalib, yang menyerah kepada dalih puasa dari Tommy Soeharto. KEJAKSAAN AGUNG PLIN-PLAN Direktur Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM), Azyumardi Azra, diberitakan secara tegas mengatakan bahwa apa yang dilakukan Hutomo Mandala Putra (Tommy) meminta menunda pemeriksaan dirinya dengan alasan puasa tidak dapat diterima sama sekali. Bagaimanapun juga tindakan yang dilakukan Tommy merupakan pelanggaran hukum, maka upaya pemeriksaan, pengusutan tetap harus dilanjutkan terlepas dari berpuasa atau tidak. Dikatakannya, seharusnya Tommy tetap menjalani prosedur hukum seperti yang berlaku, tanpa harus merasa keberatan. Yang proporsional menurut agama dan hukum itu adalah seharusnya tidak merasa keberatan diperiksa oleh pihak pengadilan; meskipun sedang menjalankan ibadah puasa. Mengenai tindakan dari Kejaksaan Agung, yang nampaknya memperlakukan Tommy secara istimewa, menurut Azyumardi tidak bisa dipandang sebagai sebagai menjalankan ketentuan agama. Melainkan justru menunjukkan sikap plin-plan aparat hukum yang bertugas menangani kasus itu. Tindakan para aparat hukum yang mencla mencle terhadap Tommy, justru dianggap Azyumardi sebagai pelanggaran. TOMMY POLITISIR AGAMA Lain lagi yang dikatakan Komarudin Hidayat, pengamat dari Paramadina. Menurut Komaruddin Hidayat "Puasa bukan alasan untuk menolak panggilan Kejaksaan Agung. Tindakan ini sama saja dengan mempolitisir agama". Lebih lanjut Komaruddin Hidayat mengatakan,
SiaR---PT INTI INDORAYON UTAMA DIMINTA TUTUP DIRI
Precedence: bulk PT INTI INDORAYON UTAMA DIMINTA TUTUP DIRI Sikap garang diperlihatkan DPRD Sumut ketika melakukan rapat dengar pendapat dengan PT Inti Indorayon Utama (PT IIU), Kanwil Kehutanan, PU Bina Marga dan PT Sucofindo Cabang Medan, Senin (25/1) lalu. Maratua Simanjuntak, anggota Komisi D langsung menyalahkan PT IIU yang dipandang telah menyalahi kesepakatan bersama antara PT IIU, Gubsu, Irjen Deperindag dan DPRD pada 26 Juni 1998 di Kantor Gubsu. Menurut Maratua, rapat bersama itu menghasilkan 4 buah kesepakatan. Yaitu akan diadakan Audit Total untuk menilai keberadaan PT IIU; untuk keperluan audit total, 2 minggu atau 1 bulan sebelumnya PT IIU dipersilakan untuk beroperasi; tim audit merupakan tim independen yang akan dibiayai pemerintah serta imbauan pada masyarakat untuk memberi dukungan dan masukan dalam penyusunan materi audit total. "Namun IIU tampaknya langsung menjalankan kesepkatan kedua tanpa menempuh ketiga langkah lainnya terlebih dahulu. Akibatnya wajar jika masyarakat di Porsea dan Balige sekarang ini marah dan merasa dibohongi," ujar Maratua. Apa yang diungkapkan Maratua memang benar. Seperti diberitakan SiaR sebelumnya, Senin lalu ratusan warga Porsea yang terdiri atas kaum ulama, pendeta, suster dan warga biasa, melakukan aksi unjuk rasa dengan cara melakukan konvoi menempuh rute Porsea-Balige pp. Masyarakat juga mengibarkan bendera setengah tiang sebagai ungkapan duka atas meninggalnya Ir Panuju Manurung, sarjana pertanian dari Universitas Satya Wacana Salatiga, yang tewas dianiaya aparat keamanan dalam kerusuhan bulan Nopember lalu. Namun jauh sebelum aksi konvoi tersebut, sejak awal Januari 1999, masyarakat di Balige telah melakukan aksi pelemparan terhadap mobil-mobil yang lewat dan pembakaran ban-ban di jalan lintas Sumatera. Aksi tersebut dilakukan masyarakat karena kesal melihat PT IIU terus beroperasi. Padahal warga pernah melakukan demonstrasi besar-besarandan meminta penutupan PT IIU. Demonstrasi yang dilakukan masyarakat pada awal-awal reformasi tersebut dikabulkan Gubsu melalui kesepakatan bersama itu tadi. Namun bulan Nopember, PT IIU ternyata ingkar janji. Asap pabrik kini PT IIU di Sosor Ladang, Porsea, sudah 4 bulan belakangan ini mengepul, dan bau busuk limbah bubur kertas itu sudah mulai tercium kembali. Tak heran, jika hal tersebut telah menyulut kembali kemarahan rakyat. Dan inilah yang dipirhatinkan oleh anggota dewan. Baginda Sagala, anggota dewan yang lain bahkan mengingatkan PT IIU tentang bahaya yang ditimbulkan jika PT IIU terus beroperasi sementara tim audit belum terbentuk. "Kita harus hati-hati. Saya tidak mau kejadian di Kupang dan Ambon terjadi di Porsea," tandas Baginda. Dikatakan bahwa keuntungan ratusan milyar dari industri bubur kertas, tak sepadan nilainya dengan kerugian yang harus diderita rakyat Tapanuli Utara. "Oleh karena itu saya minta agar PT IIU ditutup sebelum tim audit terbentuk," tegas Sagala. Sementara itu PT Sucofindo melalui Nade Yulius membantah berita-berita di media massa yang mengatakan bahwa PT Sucofindo telah ikut ditunjuk sebagai anggota tim audit. "PT Sucofindo belum pernah ditunjuk sebagai tim audit PT IIU, itu hanya informasi yang keliru,"jelas Nade Yulius. Sementara Ir. Herbun Darlin, Dirut PT IIU menjelaskan bahwa kerugian yang diderita PT IIU selama 4 bulan tidak beroperasi kurang lebih $US 32 juta. "Itu artinya selama 4 bulan kita telah kehilangan devisa pada masa dimana pemerintah sedang sangat membutuhkan," ujar Herbun Darlin. Faktor lain adalah adanya ketidakjelasan tentang kapan PT IIU boleh beroperasi kembali. Akibatnya sejumlah targer yang telah direncanakan PT IIU menjadi terkendala. Apapun dalih dan argumen yang dikemukakan PT IIU, yang jelas kekhawatiran yang dikemukakan Maratua Simanjuntak tampaknya perlu diperhatikan serius. Di tengah-tengah masyarakat yang sedang tercabik oleh hal-hal yang sepele. *** -- SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html
SiaR---KISDI TUDING RMS DIBALIK KERUSUHAN AMBON
Precedence: bulk KISDI TUDING RMS DIBALIK KERUSUHAN AMBON JAKARTA (SiaR, 29/1/99) -- Di tengah maraknya tudingan yang mengarah ke keluarga mantan Presiden Soeharto sebagai dalang serta donatur kerusuhan Ambon, Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI) dan Persatuan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI), menuduh Republik Maluku Selatan (RMS) sebagai pihak yang berdiri di belakang kerusuhan Ambon. Pernyataan itu dilancarkan dalam konferensi pers Kamis (28/1). "Dalam kerusuhan itu ada orang-orang yang berteriak-teriak 'Hidup RMS! Hidup RMS!' seraya menyerang pemukiman Muslim", demikian Ahmad Sumargono alias Gogon yang didampingi Eggy Sudjana (Ketua PPMI) dan beberapa pemuka masyarakat muslim Ambon di Jakarta ketika memberikan keterangan persnya. Keterangan pers KISDI itu segera menimbulkan kegusaran banyak tokoh masyarakat Ambon. Freddy Pieterz, salah seorang tokoh masyarakat Ambon yang dihubungi SiaR menegaskan, bahwa tidak benar RMS berada di balik kerusuhan Ambon. Menurut dia, tudingan RMS sebagai dalang hanyalah upaya pihak-pihak yang ingin melindungi kepentingan elite politik di pusat atau Jakarta yang selama ini merekayasa kerusuhan di berbagai tempat di tanah air. "Apa maunya mereka, ketika bukti-bukti bahwa dalang yang mendanai kerusuhan di berbagai tempat di tanah air adalah para elite politik pendukung status-quo, tiba-tiba ada kelompok yang mengalihkan bahwa RMS sebagai dalang kerusuhan Ambon," ujarnya. Menurut Pieterz, sejak akhir 1950-an dan 1960-an, terutama sejak hijrahnya para pengikut Dr Soumokil ke Negeri Belanda, praktis RMS tidak lagi memiliki pengaruh di Maluku Selatan. Ia menilai, kalau pun ada teriakan-teriakan yang mengelu-elukan RMS saat kerusuhan terjadi, hal itu sebagai manifestasi akumulasi kekecewaan mereka terhadap pemerintah pusat yang selama lebih 30 tahun berlaku tak adil terhadap kepentingan ekonomi dan politik masyarakat Maluku. Senada dengan Pieterz, Sekjen Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Pendeta J.M. Pattiasina menolak tudingan RMS sebagai pihak di belakang kerusuhan Ambon. Menurut Pattiasina, sebelum menuduh RMS sebagai dalang kerusuhan, sebaiknya pihak-pihak tersebut belajar lebih dahulu kondisi sosiologis yang ada, yaitu kondisi sosio-kultural dan kondisi sosio-ekonomi rakyat Maluku. Pattiasina menegaskan kembali, bahwa berdasarkan temuan-temuan tim investigasi tenaga sukarelawan gereja-gereja setempat, memang ada provokator-provokator dari luar Ambon, yakni dari Pulau Jawa yang memprovokasi masyarakat untuk melakukan kerusuhan. Terhadap adanya sikap kelompok-kelompok tertentu yang cenderung melindungi kepentingan Soeharto dan kekuataan status-quo pada umumnya, pengajar Ilmu Kriminologi UI Mulyana W. Kusumah kepada wartawan, Kamis malam, melihat adanya upaya dari keluarga Cendana sendiri untuk memperbaiki citra dan menyerang balik opini negatif dan hujatan terhadap Soeharto, antara lain dengan mendukung serta mendanai institusi-institusi yang berperan sebagai pembangun opini (mendukung elite politik pro-status quo. "Saya tidak ingin menyebut nama, tapi sekarang ini kan ada institusi tertentu yang dikaitkan dengan keluarga Cendana. Ini bisa dilihat dari penerbitan dan relasi politiknya," katanya. Dalam catatan SiaR, beberapa ormas yang selama ini cenderung mendukung kekuatan status quo, dan dengan demikian memperoleh imbalan material yang tak sedikit adalah, KISDI, PPMI, Dewan Dakwah Islamiah Indonesia (DDII), CIDES, Institute for Political Studies (IPS), Pemuda Pancasila dan organisasi aksi massa seperti Furkon. Sedangkan media-massa yang kerap menjadi corong kelompok status quo perekayasa kerusuhan antara lain tabloid Abadi, tabloid Siar, tabloid Mahasiswa Indonesia, majalah Sabili, dan majalah Media Dakwah. Menurut pandangan seorang pengamat politik yang tak mau disebutkan namanya, dalam aktivitasnya, institusi-institusi tersebut selalu berupaya menciptakan konflik-konflik horisontal di masyarakat, dengan paradigma mayoritas-minoritas, dan selalu mempolitisasi agama. "Tak heran jika kelompok- kelompok tersebut sering menjadi sasaran kritik tokoh, KH Abdurrahman Wahid, Ketua PBNU yang berpaham Islam kultural," ujarnya.*** -- SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html