MateBEAN (28/1/98): CATATAN PERJALANAN KE TIMTIM (Bagian 4)

1999-01-29 Terurut Topik SiaR News Service

Precedence: bulk


CATATAN PERJALANAN KE TIMTIM (Bagian 4)

Reformasi di Jakarta berjalan setengah hati, begitu juga di Dili. Ada 
banyak sisa "kejayaan" Orde Baru yang bisa disaksikan di mana-mana. Pejabat 
produk KKN yang memiliki kedekatatan dengan mantan Danjen Kopassus Letjen 
(purn) Prabowo Subianto dan keluarga Cendana masih bercokol kuat dengan 
kewalan kelompok "vigilante" semacam satuan Gadapaksi.
Berkeliling kota Dili kita akan menemukan slogan dan "ideologi" Adipura 
bertebaran di mana-mana. Mengikuti "mainstream" ideologi Adipura, kota Dili 
dinamakan sebagai kota "bertaiss". Tentu saja sebutan ini tak ada 
hubungannya dengan tenunan rakyat yang disebut kain tais. Dili "bertaiss" 
adalah singkatan dari kota Dili yang "bersih, tertib, aman, indah, sehat dan 
sopan" sebuah yang merupakan cerminan ideologi pembangunan a la Orde Baru. 
Yaitu perlombaan "menertibkan" dan "memperindah" wilayah masing-masing, bila 
perlu dengan cara menggusur perkampungan kumuh serta menyingkirkan kaum 
marginal dan sektor informal dari kawasan perkotaan.Pembangunan diidentikkan 
dengan kerapian, keindahan dan ketertiban semata. 
Di masa lalu, Presiden Soeharto setiap tahun selalu membagikan piala 
Adipura kepada setiap kepala daerah yang berhasil mewujudkan cita-cita 
pembangunan yang "rapi", "indah" dan "tertib" tersebut. Para kepala daerah 
diperlakukan seperti layaknya anak SD yang harus rajin mengunting kuku dan 
cuci tangan, tanpa perlu memperhatikan sejumlah prolematika sosial yang 
sangat kompleks. Untuk itu lah setiap kota, seperti halnya Dili 
berlomba-lomba menamai kotanya masing-masing dengan memadukan sejumlah 
kata-kata "ajaib" yang tampaknya jadi kunci seperti "sehat", "tertib", 
"indah", "bersih", "nyaman", "ramah", "sopan" dan seterusnya. Alhasil 
munculah nama kota-kota baru semacam "Solo Berseri", "Salatiga Hatti 
Beriman", "Jakarta BMW", "Bandung Berhiber", "Boyolali Tersenyum" dan 
sebagainya.
Tak pelak lagi, melihat  kota Dili kita akan melihat replika kecil 
kebijakan pembangunan a la Orde Baru yang lebih banyak memproduksi jargon 
ketimbang membenahi manusianya. Melihat beberapa kantor kelurahan di Dili, 
kita akan melihat pameran plang papan nama. Orang tak bisa membayangan bahwa 
sebuah kantor kelurahan yang kelihatan tak ada aktivitasnya, punya banyak 
aktivitas. Mulai dari PKK, Dharma Wanita, Pemuda Karang Taruna hingga LKMD. 
Banyak orang asing bertanya-tanya apa yang dikerjakan oleh berbagai 
organisasi itu, kok kemiskinan dan kesulitan hidup di Timor Timur masih 
begitu parah.
Melihat ideologi pembangunan di kota Dili rasanya tak lengkap bila kita
tak berkunjung ke Patung Kristus Raja di Bukit Fatucama sekitar 7 km di sebelah 
barat laut Dili.  Patung setinggi 17 meter (angka ini diambil karena 
Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945) yang diresmikan Presiden 
Soeharto pada 24 November 1996 ini barangkali adalah puncak dari prestasi 
Orde Baru dalam memproduksi simbol-simbol penaklukan Indonesia atas Timor 
Timur. 
Patung yang mencoba menyaingi patung terkenal "Christo Redentor" yang 
dibangun di Puncak Gunung Corcovado pada ketinggian 710 m dpl di dekat kota 
Rio de Janeiro, Brasil, ini sungguh tak ada apa-apanya. Meski disebut-sebut 
sebagai patung Kristus tertinggi setelah patung Kristus karya Ir Heitor da 
Silva Costa yang berketinggian 38 m lebar dengan bentangan tangan 28 m serta 
berat 1.145 ton di Brasil itu, kalau orang jeli mengamati patung di Dili ini 
akan menemukan sejumlah kejangggalan.  Dan antara keduanya sama sekali tak 
bisa saling diperbandingan. 
Patung Kristus di Bukit Fatucama yang gagal didanai Garuda Indonesia 
Airways dan rancangan seorang pematung tak ternama asal Bandung ini 
ternyata cuma merupakan sebuah bola beton dengan lempengan perunggu yang 
tenik sambungannya sangat kasar. Yang paling menimbulkan tanda tanya adalah 
tangannya yang menadah ke atas. Tak biasanya Kristus digambarkan seperti 
ini. Adegan orang "bersembahyang" dalam semua cerita tentang Yesus Kristus 
dalam terminologi Kristen hanya dikenal saat menjelang balada penyaliban. 
Tepatnya saat Yesus berdoa di Taman Getsemani di Bukit Zaitun. Kenapa? 
Karena orang Kristen percaya bahwa Yesus adalah Allah. Ia lebih kerap 
memberkati manusia, umatnya. "Tangan tengadah patung Kristus di Tanjung 
Fatucama lebih mirip dengan cara "orang Jawa" bersembahyang," ujar sebuah 
sumber yang  memprotes keanehan patung tersebut. 
Selain itu patung juga menghadap ke arah barat, di mana laut lepas 
membentang. Teman saya berkata, "Jangan-jangan Yesus sengaja diletakkan 
seperti ini dengan maksud untuk mengundang ikan-ikan di laut berdatangan ke 
daratan."
Banyak orang yang saya temui, menyatakan kecurigaan mereka atas ide 
pembangunan patung tersebut. "Jangan-jangan itu merupakan cara rejim 
Soeharto untuk menaklukkan hati orang Timor Timur yang begitu tinggi sikap 
religiusitasnya," ujar sumber tersebut.
Pemda sepertinya 

ISTIQLAL (27/1/99)# INDONESIA KIAN MENJAUHI PASAL 27 UUD 1945

1999-01-29 Terurut Topik SiaR News Service

Precedence: bulk


INDONESIA KIAN MENJAUHI PASAL 27 UUD 1945

Oleh: Sulangkang Suwalu


Konsep RUU bidang politik yang disodorkan pemerintah untuk Pemilu 1999 di
DPR, di antaranya mencantumkan agar pegawai negeri tidak diperkenankan
menjadi pengurus dan anggota suatu partai politik. Konsep pemerintah ini di
dukung oleh parpol-parpol baru. Bahkan PAN dan PKB menggertak akan
menurunkan massa, apabila RUU itu memberi hak pada PNS untuk menjadi anggota
dan pengurus partai.
Pihak penyusun RUU serta parpol pendukungnya berangkat dari kecurigaan yang
sangat sosiologis. Pertama dalam rangka memaksimalkan pelayanan masyarakat
sebagai fungsi PNS. Kalau seorang anggota pengurus parpol ia dianggap akan
berpengaruh secara signifikan terhadap kinerjanya dalam bidang pelayanan
masyarakat. Diperkirakan kian tinggi kedudukannya, kian banyak kegiatannya
di parpol, akan makin rendah kinerjanya atau derajat pelayanannya terhadap
masyarakat.
Ke dua, keterkaitannya dengan netralitas birokrasi. Kalau PNS menjadi
anggota, apalagi menjadi pengurus parpol, maka ada kecurigaan bahwa mereka
tidak akan bersikap netral dalam melaksanakan tugasnya sebagai pelayanan
masyarakat.
Di pihak lain Golkar, baik secara kelembagaan maupun melalui fraksinya di
DPR (FKP) tetap bersikeras mempertahankan keberadaan PNS di dalam parpol
seperti sekarang. Alasan lain yang dikemukakan Golkar untuk membela hal itu,
dikaitkannya dengan HAM dan serta mengacu kepada konvensi hak-hak kaum buruh
yang belum lama ini diratifikasi pemerintah Indonesia dengan ILO. PNS dalam
konteks ini: buruh negara yang harus dijamin hak-haknya untuk berkiprah
dalam politik atau menentukan hak-hak politiknya.
Bagaimana reaksi PNS terhadap persoalan tersebut?

MEMBENTUK PARTAI PEGAWAI NEGERI?

Sebagai reaksi dari kalangan pegawai negeri sipil atau PNS ialah muncul ide
untuk membentuk partai sendiri, partai pegawai negeri sipil. Hal itu dapat
diketahui dengan membaca Kompas (12/1/99) bahwa Korpri sebagai organisasi
mandiri tak ingin diatur dan diarahkan pihak lain. Dalam kaitan kedudukannya
yang akan diatur UU tentang partai politik, apabila substansial UU itu masih
memaksa Korpri harus menjadi anggota/pengurus partai, Korpri lebih baik
memilih membentuk partai.
Seterusnya dikatakan tersebarnya anggota Korpri di banyak partai membuat
Korpri terpecah-belah. "Agar Korpri tetap bersatu, adalah realistis bila
Korpri membentuk partai sendiri ketimbang masuk partai lain," kata Ketua
Umum Korpri Feisal Tamin.
Menurut Feisal Tamin bahwa melihat pengalaman masa lalu, ketika Korpri
begitu diperlukan, Korpri harus menanggung beban berat untuk melaksanakan
monoloyalitas terhadap Golkar. Ketika sudah tidak dibutuhkan lagi, mereka
malah meminta Korpri dibubarkan. Ditambahkannya, dengan diharuskan
melaksanakan monoloyalitas, Korpri sudah mengkhianati misi AD/ART organisasi.
Seakan Korpri ini objek yang tidak bernyawa, ujar Feisal. Padahal kami
tidak buta huruf dan mengerti akan hak-haknya. Korpri bertekad ingin netral,
tetapi pihak lain justru memaksa kami tidak netral. Daya ingin orang-orang
yang pintar tentang HAM menghormati hak azasi kami untuk menentukan sikap.
Keterangan Feisal Tamin, Ketua Korpri ini, menimbulkan beberapa pertanyaan:
Betulkah selama ini Korpri organisasi mandiri? Apa kah tepat membentuk
partai sendiri bagi PNS? Apa kah ideologi yang dianut PNS tunggal? 

KORPRI TAK PERNAH MANDIRI

Anggota Korpri/PNS dilihat dari segi kedudukannya di administrasi
pemerintahan, status mereka adalah kaum buruh. Mereka menjual tenaga
kerjanya kepada pemerintah. Dan dari gaji yang mereka terima, mereka hidup.
Karena itulah di masa pemerintahan Soekarno terdapat berbagai Serikat Buruh
dalam lingkungan pegawai negeri. Diantaranya adalah Sepda (Serikat Buruh
Pegawai Daerah), SBPU (Serikat Buruh Pekerjaan Umum), SBK (Serikat Buruh
Kepenjaraan) dan SB Kemperburi (Serikat Buruh Kementerian Perburuhan)
Di masa kekuasaan Orba, Soeharto, semua SB pegawai negeri itu dilarang.
Semuanya disatukan dalam Korpri. Dengan dikorprikan, maka status mereka
sebagai buruh dikaburkan. Seakan mereka berdiri sendiri, mandiri.
Diberlakukan monoloyalitas terhadap Golkar. Kehidupan Korpri sepenuhnya
ditentukan Golkar.
Jadi, selama Orde Baru Soeharto HAM-nya pegawai negeri telah dikebiri,
mereka telah menjadi alat mati bagi kepentingan Golkar.
Karena itulah Golkar berkepentingan benar supaya hak pegawai negeri sipil
untuk masuk dalam parpol dibelanya mati-matian. Tentu saja parpol Golkar.
Bukan parpol-parpol lain. Golkar membelanya, bukan demi HAM-nya PNS, tetapi
demi memenangkan Golkar dalam Pemilu 1999. Karena orang-orang Golkarlah yang
memimpin PNS tersebut. Hak azasi manusia dimanipulasi Golkar untuk
kepentingannya.

PARTAI SEBAGAI DAGELAN

Menanggapi ancaman Feisal Tamin untuk membentuk partai sendiri, Mochtar
Pabotinggi, yang juga anggota Korpri mengatakan: "Itu merupakan ancaman yang
aneh 

ISTIQLAL (27/1/99)# PUASA UNTUK TEGAKKAN KEBENARAN DAN KEADILAN, BUKAN UNTUK MENGHINDAR

1999-01-29 Terurut Topik SiaR News Service

Precedence: bulk


PUASA UNTUK TEGAKKAN KEBENARAN DAN KEADILAN, BUKAN UNTUK MENGHINDAR 

Oleh: Watumona 

Hutomo Mandala Putra (Tommy) meminta agar dirinya tidak diperiksa di
Kejaksaan Agung dengan alasan berpuasa, dinilai banyak kalangan sangat
menggelikan dan sama sekali tak dapat diterima. Namun Kejaksaan Agung
meluluskan permintaan Tommy tersebut dan oleh umum dianggap sebagai upaya
memperlambat proses pemeriksaan putra bungsu orang nomor satu di Indonesia.

DALIH PUASA UNTUK HINDARi PEMERIKSAAN

Sebenarnya dalih puasa untuk menghindarkan pemeriksaan bukan hal baru. Di
zaman Hindia Belanda juga pernah terjadi. Hal itu dikisahkan Hasan STM,
bahwa seorang hamba wet, polisi, dapat mengatasi dalih puasa untuk
menghindari pemeriksaan dengan pendekatan yang cukup luwes. Jadi, hamba wet
itu tidak menyerah pada orang yang memperpolitikan puasa untuk menghindarkan
pemeriksaan. Kisahnya di antaranya sebagai berikut:
"Pada satu hari di bulan puasa," kata Nurdin, "yang menjadi hamba wet
tersebut, aku diperintahkan untuk mengambil seorang anak muda, yang merampas
sepeda tukang Dobi. Tempat yang dituju sebuah desa, dekat Kuala Simpang.
Perbatasan Sumatera Timur dengan Aceh. Anak muda yang harus kutangkap itu
adalah seorang anak Aceh."
Anak muda itu merampas sepeda tukang Dobi, karena pakaiannya yang dicucikan
ketukar dengan kepunyaan orang lain. Anak muda itu menuntut ganti rugi.
Tukang Dobi belum mau mengganti. Ia masih mengurus dengan siapa tertukarnya.
Sesampainya aku di rumah anak muda itu, kuperlihatkan surat perintah yang
kubawa guna mengambilnya. Kebetulan yang menerima ayah anak muda itu.
Setelah ayahnya mengetahui aku akan membawa anaknya, dia segera berkata:
"Saya tidak mengizinkan anak saya diperiksa selama bulan puasa. Tuhan saja
tidak mengadakan pemeriksaan selama bulan puasa".
Aku kaget. Tak menduga sama sekali alasan penolakannya adalah agama. Aku
segera menginsyafi bahwa aku sedang berhadapan dengan salah seorang putera
Aceh yang fanatik. Bila dengan kekerasan kubawa anak muda itu, bentrokan
bisa terjadi. Bagaimana caranya supaya tugas dapat terpenuhi dengan aman?
Aku mendapat akal. Kepada orangtua anak muda itu kukatakan bahwa aku orang
Islam. Bila aku tak dapat membawa anaknya, tentu aku akan dianggap bersalah
oleh Komandan. Periuk nasiku bisa terbalik. Aku minta supaya dipertimbangkannya.
Orang tua itu nampaknya heran. Mengapa ada orang Islam yang bekerja pada
Belanda. Dan keheranannya itu tercermin dari pertanyaannya. Betulkah anak
beragama Islam?
Kujawab: Betul. Saya berasal dari Banten. Seperti juga anak negeri Aceh,
kami beragama Islam. Bapak bisa memperhatikan kehidupan saya di rumah. Saya
tetap menjalankan shalat 5X sehari semalam. Dan hari ini juga sedang berpuasa.
Mendengar keteranganku itu, orang tua itu berbicara dengan anaknya dalam
bahasa Aceh. Aku tak mengerti apa yang dipercakapkannya. Putusan dari
pembicaraan mereka, anak itu boleh kubawa guna memenuhi panggilan Komandan
Polisi. Mereka ikut beramai-ramai.
Aku merasa senang sekali. Karena berhasil menjalankan tugas. Bila aku tidak
luwes dalam menjalankan perintah atasan, tentu usahaku akan gagal.
Demikianlah sekelumit kisah nyata "Jawara Banten", yang terjadinya
menjelang tahun 1930, seperti yang dikisahkan Hasan Stm.
Jelas sekali bedanya Nurdin yang polisi itu bisa menunduhkkan dalih puasa
untuk menghindari pemeriksaan, dengan Kejaksaan Agung, yang Jaksa Agungnya
Ghalib, yang menyerah kepada dalih puasa dari Tommy Soeharto.


KEJAKSAAN AGUNG PLIN-PLAN

Direktur Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM), Azyumardi Azra,
diberitakan secara tegas mengatakan bahwa apa yang dilakukan Hutomo Mandala
Putra (Tommy) meminta menunda pemeriksaan dirinya dengan alasan puasa tidak
dapat diterima sama sekali.
Bagaimanapun juga tindakan yang dilakukan Tommy merupakan pelanggaran
hukum, maka upaya pemeriksaan, pengusutan tetap harus dilanjutkan terlepas
dari berpuasa atau tidak.
Dikatakannya, seharusnya Tommy tetap menjalani prosedur hukum seperti yang
berlaku, tanpa harus merasa keberatan. Yang proporsional menurut agama dan
hukum itu adalah seharusnya tidak merasa keberatan diperiksa oleh pihak
pengadilan; meskipun sedang menjalankan ibadah puasa.
Mengenai tindakan dari Kejaksaan Agung, yang nampaknya memperlakukan Tommy
secara istimewa, menurut Azyumardi tidak bisa dipandang sebagai sebagai
menjalankan ketentuan agama. Melainkan justru menunjukkan sikap plin-plan
aparat hukum yang bertugas menangani kasus itu. Tindakan para aparat hukum
yang mencla mencle terhadap Tommy, justru dianggap Azyumardi sebagai
pelanggaran.

TOMMY POLITISIR AGAMA

Lain lagi yang dikatakan Komarudin Hidayat, pengamat dari Paramadina.
Menurut Komaruddin Hidayat "Puasa bukan alasan untuk menolak panggilan
Kejaksaan Agung. Tindakan ini sama saja dengan mempolitisir agama".
Lebih lanjut Komaruddin Hidayat mengatakan, 

SiaR---PT INTI INDORAYON UTAMA DIMINTA TUTUP DIRI

1999-01-29 Terurut Topik SiaR News Service

Precedence: bulk


PT INTI INDORAYON UTAMA DIMINTA TUTUP DIRI

Sikap garang diperlihatkan DPRD Sumut ketika melakukan rapat dengar
pendapat dengan PT Inti Indorayon Utama (PT IIU), Kanwil Kehutanan, PU Bina
Marga dan PT Sucofindo Cabang Medan, Senin (25/1) lalu. Maratua Simanjuntak,
anggota Komisi D langsung menyalahkan PT IIU yang dipandang telah menyalahi
kesepakatan bersama antara PT IIU, Gubsu, Irjen Deperindag dan DPRD pada
26 Juni 1998 di Kantor Gubsu. 
Menurut Maratua, rapat bersama itu menghasilkan 4 buah kesepakatan. 
Yaitu akan diadakan Audit Total untuk menilai keberadaan PT IIU; untuk 
keperluan audit total, 2 minggu atau 1 bulan sebelumnya PT IIU dipersilakan 
untuk beroperasi; tim audit  merupakan tim independen yang akan dibiayai 
pemerintah serta imbauan pada masyarakat untuk memberi dukungan dan masukan 
dalam penyusunan materi audit total.
"Namun IIU tampaknya langsung menjalankan kesepkatan kedua tanpa menempuh
ketiga langkah lainnya terlebih dahulu. Akibatnya wajar jika masyarakat di
Porsea dan Balige sekarang ini marah dan merasa dibohongi," ujar Maratua. 
Apa yang diungkapkan Maratua memang benar. Seperti diberitakan SiaR 
sebelumnya, Senin lalu ratusan warga Porsea yang terdiri atas kaum ulama,
pendeta, suster dan warga biasa, melakukan aksi unjuk rasa dengan cara melakukan
konvoi menempuh rute Porsea-Balige pp. Masyarakat juga mengibarkan bendera
setengah tiang sebagai ungkapan duka atas meninggalnya Ir Panuju Manurung,
sarjana pertanian dari Universitas Satya Wacana Salatiga, yang tewas
dianiaya aparat keamanan dalam kerusuhan bulan Nopember lalu.
Namun jauh sebelum aksi konvoi tersebut, sejak awal Januari 1999,
masyarakat di Balige telah melakukan aksi pelemparan terhadap mobil-mobil
yang lewat dan pembakaran ban-ban di jalan lintas Sumatera. 
Aksi tersebut dilakukan masyarakat karena kesal melihat PT IIU terus 
beroperasi. Padahal warga pernah melakukan demonstrasi besar-besarandan 
meminta penutupan PT IIU. Demonstrasi yang dilakukan masyarakat pada 
awal-awal reformasi tersebut dikabulkan Gubsu melalui kesepakatan bersama 
itu tadi. Namun bulan Nopember,
PT IIU ternyata ingkar janji. Asap pabrik kini PT IIU di Sosor Ladang,
Porsea, sudah 4 bulan belakangan ini mengepul, dan bau busuk limbah bubur
kertas itu sudah mulai  tercium kembali. Tak heran, jika hal tersebut telah
menyulut kembali kemarahan rakyat.
Dan inilah yang dipirhatinkan oleh anggota dewan. Baginda Sagala, anggota
dewan yang lain bahkan mengingatkan PT IIU tentang bahaya yang ditimbulkan
jika PT IIU terus beroperasi sementara tim audit belum terbentuk. 
"Kita harus hati-hati. Saya tidak mau kejadian di Kupang dan Ambon 
terjadi di Porsea," tandas Baginda. Dikatakan bahwa keuntungan ratusan
milyar dari industri bubur kertas, tak sepadan nilainya dengan kerugian yang
harus
diderita rakyat Tapanuli Utara. 
"Oleh karena itu saya minta agar PT IIU ditutup sebelum tim audit 
terbentuk," tegas Sagala.
Sementara itu PT Sucofindo melalui Nade Yulius membantah berita-berita di
media massa yang mengatakan bahwa PT Sucofindo telah ikut ditunjuk sebagai
anggota tim audit. "PT Sucofindo belum pernah ditunjuk sebagai tim audit PT
IIU, itu hanya informasi yang keliru,"jelas Nade Yulius. 
Sementara Ir. Herbun Darlin, Dirut PT IIU menjelaskan bahwa kerugian
yang diderita PT IIU selama 4 bulan tidak beroperasi kurang lebih $US 32 juta.
"Itu artinya selama 4 bulan kita telah kehilangan devisa pada masa dimana
pemerintah sedang sangat membutuhkan," ujar Herbun Darlin. 
Faktor lain adalah adanya ketidakjelasan tentang kapan PT IIU boleh 
beroperasi kembali. Akibatnya sejumlah targer yang telah direncanakan PT IIU 
menjadi terkendala. 
Apapun dalih dan argumen yang dikemukakan PT IIU, yang  jelas
kekhawatiran yang dikemukakan Maratua Simanjuntak tampaknya perlu diperhatikan
serius. Di tengah-tengah masyarakat yang sedang tercabik oleh hal-hal yang
sepele. ***

--
SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html



SiaR---KISDI TUDING RMS DIBALIK KERUSUHAN AMBON

1999-01-29 Terurut Topik SiaR News Service

Precedence: bulk


KISDI TUDING RMS DIBALIK KERUSUHAN AMBON

JAKARTA (SiaR, 29/1/99) -- Di tengah maraknya tudingan yang mengarah ke
keluarga mantan Presiden Soeharto sebagai dalang serta donatur kerusuhan
Ambon, Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI) dan Persatuan
Pekerja Muslim Indonesia (PPMI), menuduh Republik Maluku Selatan (RMS)
sebagai pihak yang berdiri di belakang kerusuhan Ambon. Pernyataan itu
dilancarkan dalam konferensi pers Kamis (28/1).

"Dalam kerusuhan itu ada orang-orang yang berteriak-teriak 'Hidup RMS!
Hidup RMS!' seraya menyerang pemukiman Muslim", demikian Ahmad Sumargono
alias Gogon yang didampingi Eggy Sudjana (Ketua PPMI) dan beberapa pemuka
masyarakat muslim Ambon di Jakarta ketika memberikan keterangan persnya.

Keterangan pers KISDI itu segera menimbulkan kegusaran banyak tokoh
masyarakat Ambon. Freddy Pieterz, salah seorang tokoh masyarakat Ambon yang
dihubungi SiaR menegaskan, bahwa tidak benar RMS berada di balik kerusuhan
Ambon. Menurut dia, tudingan RMS sebagai dalang hanyalah upaya pihak-pihak
yang ingin melindungi kepentingan elite politik di pusat atau Jakarta yang
selama ini merekayasa kerusuhan di berbagai tempat di tanah air.

"Apa maunya mereka, ketika bukti-bukti bahwa dalang yang mendanai kerusuhan
di berbagai tempat di tanah air adalah para elite politik pendukung
status-quo, tiba-tiba ada kelompok yang mengalihkan bahwa RMS sebagai dalang
kerusuhan Ambon," ujarnya. 

Menurut Pieterz, sejak akhir 1950-an dan 1960-an, terutama sejak
hijrahnya para pengikut Dr Soumokil ke Negeri Belanda, praktis RMS tidak
lagi memiliki pengaruh di Maluku Selatan. Ia menilai, kalau pun ada
teriakan-teriakan yang mengelu-elukan RMS saat kerusuhan terjadi, hal itu
sebagai manifestasi akumulasi kekecewaan mereka terhadap pemerintah pusat
yang selama lebih 30 tahun berlaku tak adil terhadap kepentingan ekonomi dan
politik masyarakat Maluku.

Senada dengan Pieterz, Sekjen Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia
(PGI), Pendeta J.M. Pattiasina menolak tudingan RMS sebagai pihak di
belakang kerusuhan Ambon. Menurut Pattiasina, sebelum menuduh RMS sebagai
dalang kerusuhan, sebaiknya pihak-pihak tersebut belajar lebih dahulu
kondisi sosiologis yang ada, yaitu kondisi sosio-kultural dan kondisi
sosio-ekonomi rakyat Maluku. Pattiasina menegaskan kembali, bahwa
berdasarkan temuan-temuan tim investigasi tenaga sukarelawan gereja-gereja
setempat, memang ada provokator-provokator dari luar Ambon, yakni dari Pulau
Jawa yang memprovokasi masyarakat untuk melakukan kerusuhan.

Terhadap adanya sikap kelompok-kelompok tertentu yang cenderung
melindungi kepentingan Soeharto dan kekuataan status-quo pada umumnya,
pengajar Ilmu Kriminologi UI Mulyana W. Kusumah kepada wartawan, Kamis
malam, melihat adanya upaya dari keluarga Cendana sendiri untuk memperbaiki
citra dan menyerang balik opini negatif dan hujatan terhadap Soeharto,
antara lain dengan mendukung serta mendanai institusi-institusi yang
berperan sebagai pembangun opini (mendukung elite politik pro-status quo.

"Saya tidak ingin menyebut nama, tapi sekarang ini kan ada institusi
tertentu yang dikaitkan dengan keluarga Cendana. Ini bisa dilihat dari
penerbitan dan relasi politiknya," katanya. 

Dalam catatan SiaR, beberapa ormas yang selama ini cenderung
mendukung kekuatan status quo, dan dengan demikian memperoleh imbalan
material yang tak sedikit adalah, KISDI, PPMI, Dewan Dakwah Islamiah
Indonesia (DDII), CIDES, Institute for Political Studies (IPS), Pemuda
Pancasila dan organisasi aksi massa seperti Furkon. Sedangkan media-massa
yang kerap menjadi corong kelompok status quo perekayasa kerusuhan antara
lain tabloid Abadi, tabloid Siar, tabloid Mahasiswa Indonesia, majalah
Sabili, dan majalah Media Dakwah.

Menurut pandangan seorang pengamat politik yang tak mau disebutkan
namanya, dalam aktivitasnya, institusi-institusi tersebut selalu berupaya
menciptakan konflik-konflik horisontal di masyarakat, dengan paradigma
mayoritas-minoritas, dan selalu mempolitisasi agama. "Tak heran jika
kelompok- kelompok tersebut sering menjadi sasaran kritik tokoh, KH
Abdurrahman Wahid, Ketua PBNU yang berpaham Islam kultural," ujarnya.***

--
SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html