[zamanku] (Tokoh Nusantara) KH Abdullah Faqih, Langitan - Tuban, Jawa Timur

2010-08-12 Terurut Topik anantö/ アナント
KH Abdullah Faqih, Langitan – Tuban, Jawa Timur

Sosok Kiai Waskita



[image: Abdullah Faqih.jpg]



Pondok Pesantren Langitan itu berada di bawah jembatan jalan raya Babat
Lamongan jurusan Tuban, Jawa Timur. Tepatnya di Desa Widang. Sepintas, dari
jalan raya memang tidak tampak pesantren, karena tertutup perkampungan. Tapi
begitu masuk, terasalah denyut kehidupan pesantren yang berada di atas areal
sekitar 6 hektar itu.



Meskipun termasuk pesantren salaf [1], kebersihan lingkungannya tampak
sangat terjaga. Apalagi, beberapa pohon mangga dan jambu dibiarkan tumbuh
subur, hingga memberi rasa teduh. Agak masuk ke dalam, ada sebuah rumah
kecil terbuat dari kayu berwarna janur kuning, sederet dengan asrama santri
dan rumah pengasuh lain. Di situlah KH Abdullah Faqih (67), tokoh yang
sangat disegani di kalangan NU, tinggal.



Di belakang rumah itu memang ada bangunan berlantai dua. Tapi, menurut
keterangan salah seorang santrinya, gedung itu untuk tinggal putri-putrinya.
Kiai sendiri tetap tinggal di di rumah kayu itu, kata santri yang tak mau
disebut namanya.



Berukuran sekitar 7x3 meter, di dalamnya ada seperangkat meja kursi kuno dan
dua almari berisi kitab-kitab. Lantainya dilambari karpet. Ada juga
kaligrafi dan dua jam dinding. Itu saja. Dan di situ pula Kiai Faqih
—panggilan akrabnya— menerima tamu-tamunya. Baik dari kalangan bawah,
pengurus NU, maupun pejabat. Menteri Agama Tolchah Hasan, awal Desember
lalu, adalah salah satu di antara pejabat yang pernah sowan ke kiai yang
sangat berpengaruh di kalangan NU ini. Hasyim Muzadi, Ketua Umum PBNU yang
baru, juga termasuk tokoh yang rajin sowan ke Kiai Faqih.



Nama Kiai Faqih mencuat menjelang SU MPR lalu, terutama berkaitan dengan
pencalonan KH Abdurrahman Wahid sebagai presiden. Saat itu di tubuh kaum
Nahdliyin terjadi perbedaan, ada yang mendukung pencalonan Gus Dur —demikian
mantan ketua PBNU itu populer dipanggil— yang dipelopori kelompok Poros
Tengah, dan ada yang bersikap sebaliknya. Sementara dua kandidat utama yakni
BJ Habibie dan Megawati sama-sama mengandung risiko cukup tinggi, terutama
para pendukung fanatiknya. Menghadapi situasi seperti itu, beberapa kiai
sepuh NU mengadakan beberapa pertemuan di Pondok Pesantren Langitan. Dari
sinilah kemudian muncul istilah `Poros Langitan', karena memang suara para
kiai itu sangat berpengaruh kepada pencalonan Gus Dur.



Toh beberapa hari menjelang pemilihan presiden, restu para kiai itu belum
turun juga. Hingga akhirnya dua hari menjelang pemilihan presiden, Hasyim
Muzadi (sekarang ketua PBNU) datang menemui Gus Dur, membawa pesan Kiai
Faqih. Pesannya adalah pertama, kalau memang Gus Dur maju, ulama akan
mendo'akan. Kedua, Gus Dur harus menjaga keutuhan di tubuh PKB yang saat itu
sudah mulai retak. Dan ketiga, menjaga hubungan baik warga NU dengan warga
PDI-Perjuangan.



Begitu gembira mendengar restu itu, Gus Dur berdiri memeluk Hasyim Muzadi
sembari meneteskan air mata. Dengan isak tangis cucu pendiri NU KH Hasyim
Asy'ari ini berkata, Sampaikan salam hormat saya kepada Kiai (Faqih).
Katakan, Abdurrahman sampai kapanpun tetap seorang santri yang patuh kepada
ucapan kiai.



Siapa sesungguhnya Kiai Faqih, kok Gus Dur yang begitu dipuja orang-orang di
NU itu begitu hormatnya? Publik selama ini tidak banyak tahu, karena Kiai
yang mengasuh sekitar 3000 santri ini memang tidak suka publikasi. Banyak
wartawan yang ingin wawancara dengan Kiai Faqih, semuanya pulang dengan
tangan hampa. Kami memang mendapat pesan, Kiai tidak bersedia menerima
wartawan, ujar salah seorang pengurus pesantren.



Di kalangan NU dikenal istilah kiai khos atau kiai utama. Ada syarat
tertentu sebelum seorang kiai masuk kategori khos. Antara lain, mereka harus
mempunyai wawasan dan kemampuan ilmu agama yang luas, memiliki laku atau
daya spiritual yang tinggi, mampu mengeluarkan kalimat hikmah atau anjuran
moral yang dipatuhi, dan jauh dari keinginan-keinginan duniawi. Dengan kata
lain, mereka sudah memiliki kemampuan waskita. Nah, Kiai Faqih termasuk
dalam kategori kiai waskita itu. Tentu saja organisasi sebesar NU punya
banyak kiai khos. Tapi, Kiai Faqihlah yang kerap jadi rujukan utama di
kalangan Nahdliyin , baik itu PBNU maupun PKB, terutama menyangkut
kepentingan publik. Hal itu dibenarkan Effendy Choirie, salah satu petinggi
DPP PKB. Rasanya memang begitu, ujarnya.



Di mata Gus Dur sendiri, Kiai Faqih adalah seorang wali. Namun, kewalian
beliau bukan lewat thariqat atau tasawuf, justru karena kedalaman ilmu
fiqhnya, kata Gus Dur yang kini jadi Presiden, sebagaimana ditirukan
Choirie. Kedekatan Gus Dur dengan Kiai Faqih, kabarnya mulai Muktamar NU di
Cipayung dulu. Contoh begitu hormatnya ketua Forum Demokrasi (Fordem) itu
kepada Kiai Faqih, adalah ketika ia meminta Gus Dur mencium tangan KH Yusuf
Hasyim, pamannya, pada acara tasyakuran atas membaiknya kesehatan mata Gus
Dur, satu bulan sebelum SU MPR. Tanpa banyak cakap, putra KH Wakhid Hasyim
ini manut saja. Maka rujuklah dua bangsawan Bani Hasyim yang sudah

[zamanku] (Tokoh Nusantara) KH. Zaini Abdul Mun'im, Probolinggo - Jawa Timur

2010-08-06 Terurut Topik anantö/ アナント
*KH. Zaini Abdul Mun’im, Probolinggo – Jawa Timur*

*Ulama Pejuang dan Perintis Pertanian Tembakau***

* *

[image: zaini.jpg]**



Nama Probolinggo telah ada sejak tahun 1359 M. (1281 Saka). Ketika Prabu
Hayam Wuruk berhasil mempersatukan Nusantara di bawah kekuasaan Majapahit
tahun 1357 M (1279 Saka) atas jerih payah Maha Patih Mada, rombongan
pembesar kerajaan kemudian bermuhibah ke daerah ini dan enggan kembali.
Sehingga ketika sang prabu sedang linggih (duduk) merenugi keindahan kawasan
ini, maka kawasan ini dinamakan oleh masyarakat sebagai Prabu Linggih.
Setelah mengalami proses perubahan ucapan, kata Prabu Linggih kemudian
berubah menjadi Probo Linggo (Probolinggo). Daerah ini merupakan salah satu
bagian dari Propinsi Jawa Timur yang terletak di kaki Gunung Semeru, Gunung
Argopuro dan Pegunungan Tengger dengan luas sekitar 1.696,166 Km persegi.



Paiton adalah adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Probolinggo, Provinsi
Jawa Timur yang terkenal dengan kehadiran kompleks Pembangkit Listrik-nya.
Kawasan ini berada pada garis pantai yang menghadap ke selat Madura. Kawasan
ini juga merupakan daerah penghasil tembakau. Karenanya banyak sekali
masyarakat Paiton yang bekerja sebagai petani, nelayan dan pedagang barter
seperti tembakau (blandang).



Dengan letak geografis yang cukup menguntungkan dalam perdagangan laut,
terutama nelayannya, maka banyak nelayan dari Pasuruan; Sampang, Madura;
Muncar, Banyuwangi yang singgah di sini. Karenanya, mayoritas penduduk di
kawasan ini adalah etnis Madura. Sehingga dengan sendirinya, sebagaimana
umumnya karakter masyarakat etnis madura, Paiton juga merupakan kawasan
masyarakat santri yang memiliki banyak pesantren sebagai tempat mendidik
generasi mudanya.



Salah satu di antara pesantren-pesantren kawasan ini yang cukup terkenal
adalah Pesantren Nurul Jadid di desa Karanganyar, Kecamatan Paiton,
Kabupaten Probolinggo, yang didirikan oleh KH Zaini Abdul Mun’im. Seorang
ulama pejuang Republik kelahiran Madura yang datang ke Paiton pada tanggal
10 Muharram 1948 M. Beliau singgah di Karanganyar dalam perjalanannya menuju
ke Yogyakarta untuk bergabung dengan para pejuang Republik lainnya di sana.



Ketika sedang berada di Karanganyar, KH Zaini mendapat titipan (amanat) dari
Allah berupa dua orang santri yang datang kepada Beliau untuk belajar ilmu
agama. Kedua santri ini bernama Syafi’udin berasal dari Gondosuli, Kotaanyar
Probolinggo dan Saifudin dari Sidodadi Kecamatan Paiton, Probolinggo.
Kedatangan dua santri tersebut oleh beliau dianggap sebagai amanat Allah
yang tidak boleh diabaikan. mulai saat itulah KH Zaini menetap bersama kedua
santrinya.



Namun tidak seberapa lama, beliau ditangkap oleh Belanda dan dipenjarakan di
LP Probolinggo. KH Zaini, pada waktu tersebut memang termasuk orang yang
dicari-cari oleh Belanda sejak dari pulau Madura. Belanda menganggap beliau
sebagai orang yang berbahaya, karena menurut Belanda, Beliau mampu
mempengaruhi dan menggerakkan rakyat untuk melawan Belanda.



Setelah sekitar tiga bulan di penjara, kemudian beliau dikembalikan lagi ke
Karanganyar untuk mengasuh santri-santrinya yang sedang menunggu
kedatangannya. Sejak saat itulah, KH Zaini Abdul Mun’im membimbing
santri-santrinya yang sudah mulai berdatangan dari berbagai penjuru seperti
dari Madura, Situbondo, Malang, Bondowoso dan Probolinggo. Dengan banyaknya
santri yang berdatangan, KH Zaini Mun’im kemudian merasa berkewajiban untuk
mendidik mereka.



Merintis Dakwah di Tanah seberang


Memang kedatangan KH Zaini tidak secara langsung berniat untuk mendirikan
sebuah pesantren. Namun atas saran dan dukungan dari berbagai pihak, maka
Beliau pun kemudian memiliki tekad yang mantap untuk mendirikan sebuah
pesantren yang dinakaman pesantren Nurul Jadid. Nama pesantren Nurul Jadid
ini bermula pada saat KH Zaini Mun’im didatangi seorang tamu, putra gurunya
(KH Abdul Majid) yang bernama KH Baqir. Beliau mengharap kepada KH Zaini
Mun’im untuk memberi nama pesantren yang diasuhnya dengan nama Nurul Jadid.



Nama Karanganyar sebenarnya adalah desa Tanjung, nama kuno yang diambil dari
nama sebuah pohon besar di sana yang dijadikan sebagai pusat penempatan
sesajen untuk memuja para roh yang melindungi masyarakat sekitar. Hal ini
mengindikasikan bahwa masyarakat di sana pada awalnya adalah para penganut
kepercayaan animisme dan dinamisme. Menurut masyarakat setempat, keberadaan
beberapa pohon-pohon besar ini tidak boleh ditebang. Pohon-pohon besar
tersebut diyakini sebagai pelindung masyarakat dan harus diselenggarakan
upacara ritual dalam bentuk pemberian sesajen, utamanya ketika ada suatu
hajatan.



Sesajen itu disajikan kepada roh yang diyakini berada di sekitar pohon besar
tersebut. Salah satu ritual itu dilakukakan ketika ketika musim tanam tiba.
Sebelum panen, masyarakat menggelar sesajenan dengan cara patungan. Beberapa
anggota masyarakat meletakkan ayam di beberapa tempat yang dianggap sakral.
Selain itu pada setiap tahunnya mereka mengadakan selamatan laut dengan
membuang 

[zamanku] (Tokoh Nusantara) KH. Mahfudz Anwar, Kwaron, Jombang - Jawa Timur

2010-07-13 Terurut Topik anantö/ アナント
KH. Mahfudz Anwar, Kwaron, Jombang – Jawa Timur

Mengembangkan Ilmu Falak di Lingkungan NU



[image: mahfudz anwar.jpg]

* *

Setiap menjelang Hari Raya Idul Adha atau Idul Fitri, umat Muslim akan
melakukan rukyah guna menentukan waktu tepat pelaksanaan hari raya tersebut.
Para pakar astronomi Islam akan melihat posisi bulan apakah sudah masuk pada
hilal. Dibutuhkan seorang ahli di bidang ilmu falak (astronomi) untuk itu.
Salah satu di antara ahli falak yang dimiliki umat Muslim Tanah Air adalah
KH Mahfudz Anwar. Dia adalah pakar ilmu falak sekaligus tokoh ulama
kharismatik dari Nahdlatul Ulama (NU).



Pada bidang ilmu falak tersebut, KH Mahfudz diakui memiliki kualifikasi
keilmuan yang mumpuni. Tidak hanya ilmu falak, dia pun menguasai dengan
sangat mendalam ilmu fikih serta tafsir. KH Mahfudz Anwar juga dikenal
sebagai muhaddits (ahli hadis), sufi (ahli tasawuf), dan ahlul lughah (ahli
bahasa/etimolog).
Kemampuan yang dimiliki tidak lepas dari latar belakang keluarga yang
membimbingnya serta pendidikan yang ditekuninya. Kiai ini dilahirkan di
Paculgowang, Jombang, 12 April 1912. Ayahnya bernama KH Anwar Alwi —
pengasuh Ponpes Pacul Gowang — dan ibunya Nyai Khadijah. Dia anak keenam
dari 12 bersaudara.



Ditilik dari latar belakang keluarga yang berbasis pesantren itu sangat
wajar apabila KH Mahfudz Anwar tumbuh dalam suasana religius dan keilmuan
agama yang tinggi. Saat yang bersamaan, Pesantren Tebuireng mulai menanjak
popularitasnya karena kualitas keilmuannya; maka, Kiai Anwar Ali pun
memondokkan anaknya di sana. Di Pesantren Tebuireng, Mahfudz menjadi murid
yang cerdas. Bahkan, saat ia duduk di kelas IV, ia sudah ditugasi untuk
mengajar adik kelasnya. Setelah lulus kelas VI, ia diangkat menjadi guru
resmi di Pesantren Tebuireng.



Selain kepada Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari, Mahfudz juga belajar kepada
KH Mashum Ali, seorang ulama besar, ahli falak, dan pencetus nazam ilmu
sharaf dan pengasuh Ponpes Seblak. KH Mashum Ali adalah juga Direktur
Madrasah Tebuireng. Pada kiai muda itu Mahfudz khusus mempelajari ilmu
falak, dan ia menunjukkan bakat yang luar biasa dalam disiplin itu. Inilah
yang membuatnya disegani para santri di Tebuireng, kendati usianya saat itu
baru 20 tahun. Ketika Kiai Maksum meninggal pada usia sangat muda, 33 tahun,
kepemimpinan pesantren Seblak diserahkan kepada Ustadz Mahfudz.



Meski sudah menjadi pengasuh pondok pesantren dan menguasai sederet ilmu,
namun semangat belajarnya tidak padam. Di antara sekian ilmu yang giat
dipelajari adalah ilmu falak. Karena KH Mashum Ali keburu meninggal dunia,
dia belajar falak lagi kepada Mas Dain, seorang santri seniornya yang
menjadi kepala pondok Seblak. Setelah menguasai falak, maka diskusi dan
perdebatan dengan mitra belajarnya menjadi semakin seru. Mereka terus
mengasah ketajaman analisis masing-masing melalui forum musyawarah.



Maka tidak heran, KH Mahfudz dan Mas Dain dalam tempo yang singkat mampu
menjadi pakar falak yang betul-betul mumpuni. Momentum paling tepat untuk
menguji kepakaran mereka adalah saat rukyatul hilal (penentuan) awal
Ramadlan dan Syawal, sebuah momen yang akurasinya sangat ditunggu oleh
masyarakat.


Setiap menjelang Rhamadan dan Syawal, Kiai Mahfudz dan Mas Dain pergi ke
gunung Tunggorono, sebelah barat kota Jombang, untuk melakukan rukyah
(pemantauan), melihat bulan setelah diperhitungkan sesuai dengan hasil hisab
(perhitungan) masing-masing. Setelah rukyah selesai, mereka kembali ke
pondok mendiskusikan hasil rukyah masing-masing. Perdebatan, untuk adu
argumentasi dan ketajaman menganalisa serta kecermatan dalam mengamati hilal
(tanggal) menjadi kunci kemenangan. Siapa yang paling benar dan kuat
dalilnya yang keluar sebagai pemenang. Kiai Mahfudz sering menang dalam
perdebatan ini.



Dengan kecemelangan dalam ilmu falak semakin mengukuhkan kualitas keulamaan
dan kelebihannya di atas ulama lain. Kebanyakan ulama, khususnya ulama NU
hanya menguasai ilmu fikih. Jarang dari mereka yang memiliki kepakaran
langsung bidang fikih, tafsir dan sekaligus falak.


Di organisasi NU, dia menempuh jalur dari yang paling bawah sebagai pengurus
ranting (desa) Seblak dan akhirnya masuk ke jajaran PCNU (pengurus Cabang
Nahdlatul Ulama). Ia pernah menjadi rais syuriah dua periode berturut-turut.
Dari NU Cabang Jombang kemudian dipromosikan sebagai pengurus NU Wilayah
Jawa Timur. Namun, karena kepakarannya yang sulit tertandingi pada ilmu
falaq, maka dia diserahi tugas memegang posisi Ketua Lajnah Falakiyah PBNU
sampai tahun 1993.



Sebagai Ketua Lajnah Falakiyah PBNU, KH Mahfudz sering mendapat tantangan
berat khususnya dari pihak pemerintah orde baru. Pernah hasil rukyah untuk
menentukan hari raya berbeda dengan pemerintah selama tiga kali
berturut-turut. Seluruh kyai dan warga NU berada penuh di belakang Kiai
Mahfudz, benturan antara NU dan pemerintah tidak terelakkan.



Walaupun pikirannya tidak diterima pemerintah, sebaliknya masyarakat sangat
menghormatinya. Terbukti setiap menjelang 1 Syawal mulai bada Maghrib 

[zamanku] (Tokoh Nusantara) KH. Bisyri Musthofa, Rembang - Jawa Tengah

2010-06-23 Terurut Topik anantö/ アナント
KH. Bisyri Musthofa, Rembang – Jawa Tengah

Orator, Muallif dan Pengasuh Pesantren

14/06/2010



[image: Bisri Musthofa 1.jpg]



Sebuah berita interlokal dari Drs. M. Zamroni di Semarang, mengabarkan bahwa
KH Bisyri Musthofa wafat di Rumah Sakit Umum Daerah Semarang. Serangan
jantung dan tekanan darah tinggi ditambah gangguan pada paru-paru yang
menyebabkan proses kematiannya begitu cepat, hanya tiga hari saja. Musibah
itu terjadi dua minngu setelah meninggalnya KH Muhammad Dahlan, mantan
Menteri Agama. Keduanya adalah  ulama besar, keduanya tenaga-tenaga penting
dalam perjuangan. Kepergiannya adalah suatu kehilangan amat besar. Yang
patah memang bisa tumbuh, yang hilang dapat terganti. Tetapi, penggati itu
bukan lagi Bisyri Musthofa…..!


Seminggu sebelumnya, di Jakarta, Bisri menyelesaikan kebarangkatan puteranya
ke Arab Saudi, melanjutkan sekolah ke Riyadh. Menyelesaikan pula beberapa
urusan dengan Majelis Syuro Partai Persatuan. Pulang dari Jakarta terus ke
Jombang untuk suatu urusan dengan Rois ‘Aam KH Bisyri Syansuri. Sebenarnya
telah terasa juga bahwa kesehatannya mulai terganggu, namun dipaksakan juga
untuk mengajar para santri dalam pondok pesantren yang dipimpinnya di
Rembang.


Selain itu, Bisri masih juga dipaksakan untuk menghadiri harlah partai,
karena tak sampai hati menolak undangan mereka. Selesai menghadiri harlah
partai, Bisri benar-benar tak sanggup lagi untuk menghadiri beberapa
undangan yang memang padat direncanakannya sebelumnya.


KH Bisyri Musthofa memerintahkan puteranya untuk memanggil dokter, suatu hal
yang dirasakan agak luar biasa karena beliau memang tidak biasa datang
kepada dokter. Tekanan darahnya amat tinggi, keletihannya yang menumpuk
menyebabkan timbulnya komplikasinya demikian berat hingga jantung dan
paru-parunya tidak normal lagi. Kesanggupan tim dokter telah sampai di batas
kemampuan mereka sebagai manusia sekalipun mereka bekerja keras. Allah SWT
Maha Berkehendak lagi Maha Kuasa. Hari Rabu 16 Pebruari menjelang waktu
‘Ashar, KH Bisyri Musthofa 64 tahun, dipanggil keharibaanNya dalam *husnul
khatimah. Inna lillaahi wa innaa ilaihi raji’un!***



Disembahyangi lebih dari duapuluh gelombang


Pak Idham Chalid Presiden Partai Persatuan dan Ketua Umum PBNU menugaskan
saya untuk mewakili  DPP dan PBNU menghadiri pemakaman KH Bisyri Musthofa di
Rembang esok harinya. Rembang kota di mana Ibu RA Kartini disemayamkan 73
tahun yang lampau, diliputi suasana mendung, kelabu hujan air mata. Puluhan
ribu rakyat Jawa Tengah dan Jawa Timur membanjiri bekas ibu kota keresidenan
itu dengan wajah-wajah murung menahan duka dan kesabaran. Tanggul kesabaran
itu tiba-tiba jebol begitu pekikan ratap tangis para santri menyambut
kedatangan mobil jenazah guru dan pemimpin mereka yang amat tercinta.


Musholla di tengah pesantren itu tidak mungkin bisa menanpung begitu banyak
Umat Islam yang hendak menyembahyangkan almaghfurlah satu gelombang, dua
gelombang, tiga gelombang dan seterusnya hingga lebih dari duapuluh
gelombang jama’ah menyembahyangkan jenazah KH Bisyri Musthafa. Sejauh 1 km
dari rumah kediaman menuju makam, jenazah itu dibiarkan diusung ribuan
tangan tanpa bandosa tertutup, Ummat seolah-olah hendak meyakinkan kepada
dirinya bahwa jasad yang membujur dalam kain kafan itu adalah benar-benar KH
Bisyri Musthofa, seorang mubaligh yang jika diatas podium, kata-kata
mutiaranya itu mengikat ratusan ribu hadirin hadirat menjadi satu, bukan
lagi ratusan ribu manusia, tetapi Cuma satu. Satu dalam asas, satu dalam
akidah, dan satu dalam tujuan.


Berpuluh-puluh ulama terkemuka, diantaranya KH Arwani dari Kudus, KH Ali
Ma’sum dari Yogyakarta, KH Alwi dari Magelang, KH Muntaha dari Wonosobo, KH
Sulaiman dari Purworejo, KH Ahmad Abdul Hamid dari Kendal, KH Muslih dari
Mranggen Semarang, dan masih banyak lagi yang memimpin doa, Surat Yasin dan
Tahlil yang diikuti oleh berpuluh-puluh ribu umat sepanjang jalan hingga ke
makam (kuburan).


Gubernur Jawa Tengah Suparjo Rustam melepas jenazah dari Semarang, adapun
Muspida setempat mewakili pemerintah daerah dalam upacara pemakaman. Tak
satupun ulama yang sanggup menyelesaikan pidato sambutannya karena rasa haru
yang mencekam menahan musibah dalam kesabaran.


*Profil seorang mubaligh***


Seorang orator, ahli pidato yang mengutarakan hal-hal yang sebenarnya sulit
menjadi begitu gamblang, mudah diterima oleh baik orang-orang kota maupun
desa. Hal-hal yang berat menjadi begitu ringan, yang membosankan menjadi
mengasyikkan, yang kelihatanya sepele menjadi amat penting, begitulah jika
diuraikan olah KH Bisyri Musthafa. Kritik-kritiknya mengenai hal-hal
fundamental,  yang orang lain jarang yang sanggup mengungkapkannya. Akan
tetapi oleh KH Bisyri Musthofa dengan amat mudah diutarakan dalam senda
gurau yang menyegarkan. Pihak yang terkena tidak marah, karena disadarkan
secara sopan dan menyenangkan. Tidak terasa penat mengikuti pidato-pidatonya
sekalipun sudah berlangusung tiga jam.


Hadirin yang terdiri dari berbagai golongan, penguasa, pemimpin 

[zamanku] (Tokoh Nusantara) KH. Ali Maksum Krapyak, Yogyakarta

2010-06-08 Terurut Topik anantö/ アナント
KH. Ali Maksum Krapyak

Perintis Pesantren Al-Quran di Indonesia



[image: ali maksum krapyak.jpg]



KH. Ali bin Maksum bin Ahmad dilahirkan di Lasem, kota tua di Jawa Tengah
dari keluarga ulama keturunan Sayyid Abdurrahman alias Pangeran Kusumo bin
Pangeran Ngalogo alias Pangeran Muhammad Syihabudin Sambu Digdadiningrat
alias Mbah Sambu. Garis keturunan ini banyak melahirkan keluarga pesantren
yang tersebar di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur.



Masa muda beliau habiskan dengan berguru dari pesantren ke pesantren.
Dimulai dari ayahnya sendiri yang juga seorang kyai ulama besar, beliau
kemudian nyantri kepada Kyai Amir Pekalongan untuk kemudian melanjutkan
kepada Kyai Dimyati Tremas Pacitan Jawa Timur. Sejak di Termas inilah beliau
terlihat menonjol dan akhirnya ikut membantu gurunya mengajar dan mengurus
madrasah pesantren dan membuat karangan tulisan.



Tak lama setelah diambil menantu oleh KH M. Munawwir al Hafidh al Muqri
Krapyak Yogyakarta, beliau dibantu oleh seorang saudagar Kauman Yogyakarta
untuk dapat berhaji ke Mekah. Kesempatan ini beliau pergunakan pula untuk
melanjutkan mengaji tabarrukan kepada para ulama Mekah: Sayyid Alwi al
Maliki Al Hasani, Syaikh Masyayikh Hamid Mannan, Syaikh Umar Hamdan dan
sebagainya.



Setelah dua tahun mengaji di Mekah Kyai Ali kembali ke tanah Jawa. Sedianya
beliau hendak tinggal di Lasem membantu ayahnya mengembangkan pesantren.
Namun, sepeninggal Kyai Munawwir Krapyak, Pondok Krapyak memerlukan beliau
untuk melanjutkan perjuangan di bidang pendidikan bersama-sama dengan KHR.
Abdullah Affandi Munawwir dan KHR. Abdul Qadir Munawwir.



Akhirnya beliau menghabiskan umur dan segenap daya upaya beliau untuk
merawat dan mengembangkan Pondok Krapyak, yang pada saat diasuh mendiang
Kyai Munawwir merupakan cikal bakal pesantren al Qur'an di Indonesia.



Di bidang pendidikan pesantren, beliau merintis pola semi moderen dengan
sistem klasikal hingga berkembanglah madrasah-madrasah hingga saat ini.
Beliau juga diminta untuk menjadi dosen luar biasa pada Institut Agama Islam
Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.



Di bidang kemasyarakatan dan politik, beliau pernah menjadi anggota majlis
Konstituante, sebuah lembaga pembuat Undang-Undang Dasar pada masa rejim
Orde Lama. Dalam organisasi para kyai, Nahdlatul Ulama, beliau pernah
memangku jabatan Rais 'Aam Syuriyyah yang mengantarkan Jam'iyyah Nahdlatul
Ulama keluar dari jalur politik pada masa rejim Orde Baru.



Di sela-sela mengasuh seribuan santrinya, beliau menyempatkan diri untuk
memberikan pengajian di masyarakat, mengawasi sendiri pembangunan
gedung-gedung pondok dan menulis kitab-kitab. Hujjah Ahlis Sunnah wal
Jama'ah , Tasrif ul Kalimah fis Shorf, Ilmu Mantiq, adalah beberapa dari
kitab berbahasa Arab susunan beliau.



Sebelum meninggal pada akhir 1989, dari sentuhan tangan beliau telah
dilahirkan ratusan kyai dari ribuan santri yang mengaji pada beliau pada
kurun 1946 hingga 1989. Dari keteguhan beliau, Pondok Krapyak beberapa hari
sebelum beliau meninggal menjadi tempat penyelenggaraan Muktamar Jam'iyyah
Nahdlatul Ulama, pertemuan paling bergengsi organisasi para ulama Indonesia.



Dari kesabaran beliau yang selama hidup dibantu oleh istrinya Nyai Hasyimah
Munawwir, telah berdiri dan berkembang Taman Kanak-Kanak, Madrasah Diniyyah,
Madrasah Tsanawiyyah, Madrasah Aliyah , Madrasah Tahfidzil Qur'an dan
Madrasah Takhassusiyah untuk para santri mahasiswa.



Pondok Pesantren Krapyak, setelah kemangkatan beliau tahun 1989,
pengelolaannya ditangani oleh lembaga berbadan hukum dengan nama Yayasan Ali
Maksum Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta. Yayasan ini sekarang dipimpin
oleh KH Attabik Ali yang merupakan putra pertama dari KH Ali Maksum.



Dari berbagai sumber


-- 
yasir wa la tu’asir
clip_image002.jpg

[zamanku] (Tokoh Nusantara) Syeikh Abdul Munaf Bakrin, Paderi - Minangkabau

2010-05-09 Terurut Topik anantö/ アナント
SYEIKH ABDUL MUNAF BAKRIN

Penyebar Thariqoh Naqsyabandiyah di Bumi Paderi



[image: abdul manaf.jpg]



Sumatera Barat Ranah Minang yang terkenal dengan Adat bersandi Syarak,
Syarak bersandi Kitabullah yang dipimpin oleh Tigo Tungku Sajarangan, Ulama,
Penghulu dan Cadik Pandai. Para ulama di ranah Minang, sebagai panutan umat
biasanya mempunyai keahlian dalam ilmu Syariat, ilmu Thariqat dan seringkali
pula melengkapi diri dengan ilmu Pencak Silat.  Kisah yang akan kita ikuti
kali ini adalah salah satu contoh peran ulama di ranah Minang, dalam membina
umat di tengah berbagai goncangan zaman.


Di daerah Pesisir Selatan yang dulu dikenal Banda Sapuluh kemudian Pesisir
Selatan dan Kerinci, bermukim seorang ulama panutan umat yang dikenal
seluruh lapisan masyarakat yakni Syeikh Abdul Munaf Bakrin yang terkenal
dengan panggilan Tuanku lebih populer lagi dengan Buya Lubuk, yang mulanya
mengajar ilmu syariat berbentuk halaqah di surau.


Syeikh Abdul Munaf Bakrin gelar Tuanku Mudo-Malin Sutan, terlahir di Taeh
Koto Pulai, Barung-Barung Belantai Koto XI Tarusan ±  44 km dari Padang pada
bulan Agustus 1901 M. dan wafat pada 31 Maret 1984 M.


Syeikh Abdul Munaf Bakrin adalah anak dari pasangan H. Abu Bakar dan ibu
Siti Subuh Chaniago. Siti Subuh adalah seorang ibu yang taat dan lemah
lembut serta pandai pencak silat.


Sejak Kecil Munaf Bakrin diasuh oleh kedua orang tuanya, kemudian belajar
Sekolah Desa 3 tahun. Untuk menguasai ilmu-ilmu agama, Munaf belajar
Al-Qur’an di Taram, kec. Harau 50 Kota. Kemudian berpindah-pindah guru
agama. Di antaranya adalah Buya Taram, Buya Ibrahim, Tiakar Payakumbuh, Buya
Ruslan di Limbukan, Buya Sulaiman ar-Rasuli (Buya Candung) Bukittinggi, Buya
Jamil Jaho (Buya Jaho) Padang Panjang, dan belajar thariqat Naqsyabandiyah
dengan Buya Syeikh M. Thaib Pasar Baru Pauh Padang hingga berhasil mendapat
Ijazah Khalifah.


Setelah ilmunya cukup, Munaf Bakrin kemudian mengajar mengaji dan berdakwah
dari surau ke surau dan nagari di daerah Banda Sapuluh. Munaf Bakrin
mengembangkan ajaran Thariqat Naqsyabandiyah dan ajaran Sunniah Syafi’iyah.
Munaf Bakrin kemudian diangkat sebagai Tuanku Muda oleh Syeikh Maulana HM.
Thaib, Angku Surau Baru sekaligus khalifah Mursyid Thariqat Naqsyabandi 1932
daerah Banda Sapuluh di Surau Lubuk Panjang Barung-Barung Belantai Koto XI
Tarusan.


Dari pengalaman berdakwah inilah, Munaf Bakrin tumbuh menjadi seorang ulama
yang telah aktif memimpin masyarakat, termasuk dalam perjuangan politik.
Seperti terlibat dalam pemberontakan melawan Belanda tahun 1926. Saat itu,
Munaf Bakrin bahkan sempat ditangkap Belanda dan ditahan di Tangsi Muaro.
Namun kemudian lepas dari tahanan dan merantau lagi untuk menambah ilmu dan
pengalaman ke kepulauan Malaya dan Singapura.


Pada zaman Jepang, jiwa patriotisme Munaf Bakrin tampil kembali. Karena di
segani oleh Jepang banyak pemuda-pemuda yang dibuang ke Digul dapat
diselamatkan dengan menjadikan mereka pelajar di Surau Lubuk dan Jepang
dapat membenarkannya.


Pada masa Revolusi Kemerdekaan mendirikan Lasymi (Lasykar Muslim Indonesia)
di Pesisir Selatan dan Kerinci (PSK) langsung Komandan Intendannya.


*Masa Kemerdekaan***


Sebagai ulama Syafi’iyah-Sunniyah, Munaf Bakrin bersama ulama dan
tokoh-tokoh masyarakat yang sepaham mendirikan cabang Persatuan Tarbiyah
Islamiyah yang didirikan oleh Buya Candung di kabupaten PSK. Pada waktu
Perti berobah menjadi Partai Islam Perti, maka kabupaten PSK langsung
menyesuaikan diri dan berdirilah Partai Islam Perti dengan Munaf Bakrin Buya
langsung sebagai Ketua Dewan Thariqatnya.


Pada tahun 1950 Munaf Bakrin diangkat sebagal Hakim pada Makmar Syariah
Painan. Dalam masa PRRI tetap setia pada Pemerintah Negara Kesatuan Republik
Indonesia, menjabat jabatan sebagai Penasihat Bupati Pesisir Selatan.


Tahun 1960-1970 Munaf Bakrin dipercayakan memegang jabatan Ketua Pimpinan
Cabang Perti sekaligus Pimpinan PPTI kabupaten Pesisir Selatan. Setelah
Dekrit Buya Candung, Perti menjadi Persatuan Tarbiyah lslamiyah, tahun 1969
langsung menjadi Ketua DPD Persatuan Tarbiyah Islamiyah kabupaten Pesisir
Selatan. Tahun 1977-1982 menjadi angggota DPRD Kabupaten Pesisir Selatan
dari Golkar.


*Mengembangkan Thariqot Naqsyabandiyah***


Setelah diangkat dan diresmikan sebagai Khalifah Mursyid oleh Buya Syeikh M.
Thaib-Angku Pasar Biduk di Surau Lubuk Panjang, mengajarkan Thariqat
Naqsyabandi dengan mendirikan Suluk, sekaligus menghadapi tantangan penganut
Khurafah Tahyul dan ilmu Sihir serta rasa disaingi dari pengamal Thariqat
yang telah lebih dulu berkembang.


Selanjutnya berdatanglah murid-murid yang ingin belajar Thariqat
Naqsyabandiyah dan melaksanakan suluk dari daerah-daerah Banda Sapuluh, kota
Padang. Munaf Bakrin kemudian mengembangkan pengajian Thariqat Naqsyabandi
ke Siguntur Muda. Pengajian Munaf bakrin kemudian menjalar hingga ke Lubuk
Niur, Indrapura, Lubuk Pinang Muko-Muko Kabupaten Bengkulu Utara, Teluk
Kabung, Batu Sangkar dan Padang.


Untuk menyebarkan ilmunya, Syeikh Abdul Munaf Bakrin 

[zamanku] (Tokoh Nusantara) Habib Ali bin Soleh Alatas, Bekasi - Jawa Barat

2010-04-12 Terurut Topik anantö/ アナント
Habib Ali bin Soleh Alatas, Bekasi – Jawa Barat

Pelantun Maulid Diba’ dari Bekasi



[image: habib-ali.jpg]



Dari sebuah toko kaset di Jalan Kartini, salah satu sudut kota Bekasi,
terdengar lantunan Maulid yang mendayu berlanggam hadhrami, berirama khas
Hadramaut. Syair tersebut, meski sangat populer, tak cukup akrab di telinga
muhibin, yang lebih sering mendengar maulid Simthud Durar, yaitu Maulid
Diba’. Sang pelantun seorang habib bersuara emas asal Bekasi yang sering
kali melantunkannya tanpa sedikit pun membaca. Ratusan bait syair tentang
sejarah kehidupan Rasulullah itu ia hafal di luar kepala. Tak
tanggung-tanggung, empat buah album kaset maulid, ratib, dan selawat telah
diluncurkannya sejak tahun 1993 lalu.



Figur kita, yang kerap tampak di perhelatan spiritual para habib, kali ini
adalah Habib Ali bin Soleh Alatas, ulama yang kental berdialek Betawi,
pengasuh Majelis Taklim Ar-Ridwan, Bekasi Kidul. Ihwal kepiawaian Habib Ali
membaca maulid karya Syekh Abdurrahman Ad-Diba’i ini berasal dari sang
kakek, Habib Muhammad bin Muhsin Alatas, generasi pertama habaib yang
menjejakkan kaki di Bekasi, dan ayahnya, Habib Soleh bin Abdullah Alatas.



Sang ayah, Habib Soleh Alatas, adalah kemenakan sekaligus menantu Habib
Muhammad bin Muhsin Alatas. Sebelum menetap di Bekasi, ia pernah merantau ke
Jambi, dan sempat menikah dengan seorang gadis yang memberinya lima orang
anak. Beberapa tahun kemudian, Habib Soleh kemudian menetap di Bekasi dan
mendirikan majelis taklim Ar-Ridwan, yang diasuhnya hingga wafat pada malam
Kamis, 10 Muharam, atau 23 Januari tahun 1975.



Di Bekasi, Habib Soleh menikah dengan putri pamannya, Habib Muhammad bin
Muhsin Alatas, Syarifah Nur, yang kemudian memberinya tujuh orang
putra-putri. Habib Ali sendiri lahir pada tahun 1950, putra sulung pasangan
tersebut.



Dari sang mertua pula Habib Soleh pertama kali belajar melantunkan bait-bait
maulid Ad-Diba’i, yang kemudian diturunkan kepada semua putra-putrinya.
Meski kemudian hanya Habib Ali yang mewarisi kepiawaian sang ayahanda,
menghafal dan melantunkan maulid Diba’.



Ketika Habib Soleh wafat pada 10 Muharam atau 23 Januari 1975, Habib Ali pun
mulai sering diminta membaca maulid Diba’ di berbagai tempat. Ia juga
melanjutkan kebiasaan sang Ayah, membaca maulid tersebut setiap malam Jumat
di musala sebelah rumahnya. Dari seringnya membaca, Habib Ali pun akhirnya
hafal di luar kepala.



Berbincang dengan ulama yang satu ini memang terasa segar. Derai tawa renyah
sering mengiringi ungkapan-ungkapannya yang penuh hikmah. Di beranda
rumahnya di Jalan Kartini/Mayor Oking, Bekasi Kidul, Habib Ali bertutur
tentang perjalanan hidupnya.



Habib Ali bin Soleh Alatas mulai belajar agama kepada sang ayah, yang
menurutnya sangat keras dalam mendidik. Selain itu, di waktu kecil, ia juga
mengaji fikih kepada mualim Mu’thi dan belajar membaca Al-Quran kepada Ustaz
Muhammad Ali, guru ngaji setempat. Ketika beranjak dewasa, secara intensif
Habib Ali mengikuti pengajian Habib Abdurrahman Asegaf, Bukitduri.



Ayahnya, Habib Soleh, sangat menekankan pendidikan keluarga pada bidang
akhlak dan moralitas. Menurut Habib Ali, abanya sering sekali mengatakan,
“Orang berilmu belum tentu berakhlak, tetapi orang yang berakhlak sudah
tentu berilmu. Biar ilmunya banyak kalau akhlaknya rendah, rendah
derajatnya. Dan sebaliknya, biarpun sedikit ilmunya tetapi tinggi akhlaknya,
tinggi pula derajatnya.”



Habib Ali kemudian mengutip perumpamaan orang yang berilmu tetapi tidak
berakhlak, yang sering diucapkan sang aba waktu mengajarnya, “Kalau ente
berjalan di tempat terbuka waktu hujan sambil membawa payung, kehujanan
nggak? Ya tetep kehujanan, kecuali kalau payungnya dibuka dan dipakai.”
Akhlak, tandas Habib Ali, adalah wujud pengamalan ilmu, dan saat ini banyak
orang yang ke mana-mana membawa ilmu tetapi tidak pernah memakainya.
“Bukankah Rasulullah sendiri diutus untuk menyempurnakan akhlak umatnya?”
ungkap Habib Ali. Orang yang belajar tetapi tanpa akhlak dan ihtiram,
penghormatan terhadap ilmu, tidak akan mendapat berkah.



Dari perkawinannya dengan Syarifah Lu’lu binti Abdullah Alatas, Habib Ali
dikaruniai tujuh orang anak. Beberapa tahun lalu hatinya sempat gundah, saat
putra sulungnya, penghafal Diba’ yang diharapkan akan meneruskan jejaknya,
meninggal. Ia baru lega, ketika mengetahui bahwa Abdullah, anak keempatnya
yang baru pulang dari Hadramaut, ternyata juga sudah menguasai maulid Diba’
dan siap meneruskan jejaknya.


Dalam mendidik putra-putrinya, Habib Ali memang cukup demokrat. Ia tidak
pernah memaksa anaknya untuk menjadi ini-itu. “Biar anak yang memilih
jalannya sendiri, orangtua tinggal mendukung. Yang penting mereka tetap
berada di jalan Allah,” tuturnya. Seyogianya orangtua, tambah Habib Ali,
tidak mendidik anak agar takut kepada mereka, melainkan agar secara sadar
dan ikhlas menghormati.



Mulai Rekaman


Tahun 1990, Habib Ali bin Soleh Alatas diminta oleh Radio Asyafi’iyyah,
Jatiwaringin, untuk membacakan maulid Diba’ dan disyiarkan 

[zamanku] (Tokoh Nusantara) KH. Suyuthi Abdul Qadir, Guyangan, Pati - Jawa Tengah

2010-04-08 Terurut Topik anantö/ アナント
KH. Suyuthi Abdul Qadir

Pejuang Sepi Ing Pamrih





KH. Suyuthi Abdul Qadir (yang selanjutnya dipanggil Kyai Suyuthi) lahir pada
tahun 1904 (tepatnya pada tanggal 4 Dzulqaidah) di desa Guyangan. Sebuah
Desa di sebelah utara Kota Pati, di pinggiran pesisir kecamatan Trangkil.
Beliau terlahir dari pasangan K.H. Abdul Qadir dengan Ibu Nyai Hj. Arum.
Sejak kecil beliau sudah dikenal masyarakat luas sebagai sosok anak cerdas,
jujur serta ramah pada sesamanya. Beliau adalah figur berbudi luhur dan bisa
ngemong masyarkat. Sehinga tak heran jika penduduk disekelilingnya begitu
kagum dan bangga kepadanya. Dan perjuangan dakwah semasa hayatnya
mengantarkan beliau menjadi sosok kharismatik di dalam masyarakat.



Karir Pendidikan


Sejak kecil, Kyai Suyuthi sudah serius belajar agama melalui orang tuanya
sendiri. Belajar dengan orang tua sendiri membuat dia merasa tidak cukup
untuk menimba ilmu. Sehingga kemudian untuk mempertajam pengetahuannya
beliau merasa perlu menimba ilmu di Pesantren. Setelah berumur 15 tahun,
atas restu orang tua dan keluarganya beliau mengaji di Pondok Pesantren
Mamba’ul Ulum Jamseran Solo. Di pesantren ini beliau diasuh oleh Kyai H.
Idris selama tiga tahun. Meskipun tergolong santri yang relatif muda, namun
beliau mampu berkontestasi dengan teman-temannya dan tergolong santri yang
berkualitas.


Pada tahun 1923-1924, beliau melanjutkan belajarnya di pondok Pesantren
Kasingan Rembang, dan diasuh oleh Bapak K.H. Kholil dan K.H. Mas’ud selama 2
tahun. Selanjutnya pada tahun 1924-1926 beliau melanjutkan mengaji di Pondok
Pesantren Tebuireng Jombang, Jatim, di bawah bimbingan K.H. Hasyim  Asy’ari
(pendiri NU). Pada tahun 1926-1927, beliau melanjutkan mengaji di Pondok
Pesantren Sampang Madura dan diasuh oleh K.H. Munawir selama dua tahun. Di
Madura ini di samping belajar dan mengaji beliau juga menghafal al-Qur’an.
Akhirnya pada tahun 1927, beliau berangkat ke Makkah untuk mengaji sekaligus
menunaikan ibadah haji. Beliau berada di Makkah kurang lebih sekitar 5
tahun. Selama masa itu beliau juga turut membantu untuk mengajar di pondokan
yang beliau tempati. Pada tahun 1931 sepulang dari Makkah, beliau kembali
mengaji di Pondok Pesantren Sedayu Gresik Jatim dan diasuh oleh K. H.
Munawir selama 3 tahun hingga tahun 1933.


Setelah sekian lama berekspedisi dari pesantren ke pesantren, pada tahun
1933-1937, beliau kembali lagi mengaji di Pondok Pesantren Tebuireng dan
diasuh langsung oleh K.H. Hasyim Asy’ari selama empat tahun. Karena
kecerdasan dan kualitas ilmunya, maka beliau mendapat kepercayaan dari K.H.
Hasyim Asy’ari untuk membantu mengajar, bahkan sering ditunjuk mewakilinya
dalam pertemuan-pertemuan tokoh ulama.


Membangun Pesantren, Mengurus Umat



Setelah berpetualang di berbagai Pondok Pesantren, beliau pulang dengan
hasrat yang tinggi membangun pendidikan masyarakat desanya. Tanpa menunggu
lama, beliau mulai mengajar para santri dan masyarakat di sekitar desa
kelahirannya. Boleh dibilang, saat itu pendidikan masyarakat sekitar masih
minim termasuk pendidikan agama belumlah begitu maju. Kondisi masyarakat
yang seperti itu, justru semakin membakar spirit beliau untuk mengamalkan
ilmu yang diperoleh selama ini.

Hari demi hari jumlah santri yang menimba ilmu dengan beliau bertambah
banyak. Rumah beliau yang dijadikan tempat mengaji pun tak mampu menampung
para santrinya. Dengan kondisi seperti itu, akhirnya beliau mendirikan
pondok pesantren dan madrasah sebagai wadah yang bisa menampung para santri
dari berbagai penjuru. Karena yang mengaji dengan beliau tak terbatas hanya
dari desa Guyangan. Sehingga eksistensi bangunan pondok pesantren dan
madrasah tentu sangat krusial sebagai infrastruktur yang menunjang jalannya
proses pendidikan. Akhirnya sekitar tahun 1932-1940 di masa penjajahan
Belanda hingga penjajahan Jepang beliau mendirikan madrasah. Madrasah
tersebut diberi nama Mambaul Ulum (sumber Ilmu). Bangunan pondok pesantren
dan madrasah tersebut terletak di komplek masjid Desa Guyangan.


Karena situasi yang tidak kondusif saat itu, akhirnya aktivitas pendidikan
di madrasah tersebut terbengkelai. Namun, hal tersebut tidak mengurangi
tekad beliau dalam mengajar walau dalam keadaan yang serba sederhana. Sampai
akhirnya pada masa kemerdekaan tepatnya pada awal tahun 1950 dengan dibantu
rekan-rekan dan santri senior, madrasah tersebut bangkit kembali dengan
berubah  nama menjadi Madrasah Raudlatul Ulum (MRU).


Banyak harapan yang ingin beliau realisasikan melalui pendidikan di madrasah
ini. Beliau mendambakan generasi bangsa ini memiliki moralitas dan budi
pekerti yang baik serta menjadi manusia yang berkualitas. Madrasah ini
diharapkan mampu menjadi media untuk memberantas kebodohan. Secara tidak
langsung Kyai Suyuthi menginginkan agar pendidikan Islam memiliki visi untuk
mencetak manusia yang kreatif dan produktif, karena manusia yang seperti
inilah yang kemudian ditunggu kehadirannya baik secara individual maupun
sosial. Sehingga dunia pendidikan harus mampu mencetak 

[zamanku] (Tokoh Nusantara) KH. Mukhtar Syafa'at, Banyuwangi - Jawa Timur

2010-04-03 Terurut Topik anantö/ アナント
KH. Mukhtar Syafa'at, Banyuwangi – Jawa Timur



[image: mukhtar syafaat.bmp]



Salah satu ulama terkemuka di Banyuwangi ini terkenal dengan sikap dan
perilaku yang menjadi panutan umat. Dialah KH Mukhtar Syafa'at, pendiri
sekaligus pengasuh Pondok Pesantren Darussalam, Blokagung, Jajag,
Banyuwangi.



Suatu waktu, Kyai Dimyati (putra KH Ibrahim) mengalami jadzab (“nyleneh”).
Ia mengusir Syafa’at dan kedua sahabatnya yang bernama Mawardi dan Keling.
Ketiganya adalah santri yang dibencinya. Saat Kyai Syafa’at sedang mengajar,
Kyai Dimyati (Syarif) melemparinya dengan maksud agar Syafa’at meninggalkan
pondok. Akhirnya Syafa’at meningalkan Pondok Pesantren Jalen Genteng yang
diikuti oleh salah satu santri yang bernama Muhyidin, santri asal Pacitan ke
kediaman kakak perempuannya Uminatun yang terletak di Blokagung.


Perjuangan beliau dimulai dari musholla milik kakaknya. Mula-mula beliau
mengajarkan Al Qur’an dan beberapa kitab dasar kepada para pemuda masyarakat
sekitar, dan diikuti oleh para santri yang dulu pernah belajar di Pondok
Pesantren Jalen. Beberapa bulan berikutnya musholla tersebut tidak dapat
lagi menampung para santri yang ingin belajar kepadanya.


Melihat kondisi yang demikian, Kyai Syafa’at merasa prihatin sehingga
berkeinginan untuk pindah ke luar daerah Blokagung. Namun oleh Kyai Sholehan
dilarang dan bahkan kemudian dinikahkan dengan seorang gadis bernama Siti
Maryam, putri dari bapak Karto Diwiryo Badul Hadi.


Setelah menikah, beliau pindah ke rumah mertuanya. Di tempat yang baru ini
juga sudah ada mushollanya dengan ukuran 7 x 7 meter. Dalam kurun waktu satu
tahun, jumlah santri yang belajar bertambah banyak sehingga musholla ini
juga tidak cukup untuk menampung santri. Kemudian muncullah ide untuk
mendirikan sebuah masjid yang lebih besar untuk keperluan sholat dan
belajar. Beliau memerintahkan para santri untuk mengumpulkan bahan bangunan
untuk keperluan pendirian masjid. Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 15
Januari 1951. Dalam perkembangan selanjutnya tanggal inilah yang dijadikan
sebagai peringatan berdirinya Pondok Pesantren Darussalam Blokagung. Dalam
mendirikan pondok pesantren ini beliau dibantu oleh temanya Kyai Muhyidin
dan Kyai Mualim.


Itulah sekilas latar belakang KH Muktar Syafa'at Abdul Ghafur seorang ulama
dan guru panutan umat. Ia lahir di dusun Sumontoro, Desa Ploso Lor, Kec
Ploso Wetan, Kediri, 6 Maret 1919. Ia adalah putra keempat dari pasangan
suami-isteri KH Abdul Ghafur dan Nyai Sangkep. Kalau dilihat dari silsilah
keturunan, KH Mukhtar Syafa’at merupakan salah seorang keturunan pejuang dan
ulama, dari silsilah ayahnya, KH Mukhtar Syafa’at putra dari Syafa’at bin
Kyai Sobar Iman bin Sultan Diponegoro III (keturunan prajurit Pangeran
Diponegoro) dan garis ibu, yaitu Nyai Sangkep binti Kyai Abdurrohman bin
Kyai Abdullah (keturunan prajurit Untung Suropati).


Sejak usia kanak-kanak (4 tahun), Syafa’at telah menunjukkan sikap dan
perilaku cinta terhadap ilmu pengetahuan dan berkemauan keras mendalami
agama Islam. Setiap sore hari, ia tekun mengaji ke mushola terdekat yang
saat itu diasuh oleh Ustadz H. Ghofur. Dari sinilah ia mulai belajar membaca
Al-Qur’an. Pada tahun 1925 (usia 6 tahun), Syafa’at kemudian mengaji ke Kyai
Hasan Abdi selama 3 tahun di desa Blokagung, Tegalsari, Banyuwangi.


Selepas dikhitan pada tahun 1928, ia kemudian melanjutkan ke Pondok
Pesantren Tebuireng, Jombang yang saat itu diasuh oleh KH. Hasjim Asy’ari.
Di pesantren ini, ia seperti umumnya santri-santri lain mendalami ilmu-ilmu
agama Islam seperti Ilmu Nahwu, Shorof, Fiqih, Tafsir Al-Qur’an dan Akhlaq
Tasawuf.


Setelah 6 tahun menimba ilmu di Pondok Tebuireng, pada tahun 1936 ia diminta
pulang oleh ayahnya agar saudaranya yang lain secara bergantian dapat
mengenyam pendidikan pesantren. Permintaan tersebut ditampiknya secara
halus, karena ia ingin mendalami dan menguasai ilmu-ilmu pesantren. Atas
saran salah satu kakaknya, yakni Uminatun (Hj. Fatimah) pada tahun 1937 ia
akhirnya meneruskan studi ke Pondok Pesantren Minhajut Thulab, Sumber Beras,
Muncar, Banyuwangi yang diasuh KH. Abdul Manan.


Selama menjadi santri di ponpes Minhajut Thulab, Syafa’at sering jatuh
sakit. Setelah satu tahun, ia akhirnya pindah lagi ke Ponpes Tasmirit
Tholabah yang diasuh oleh KH Ibrahim. Di pondok ini selain belajar, ia juga
dipercaya oleh KH Ibrahim untuk mengajar ke santri lain. Di Pondok ini juga,
Syafa’at mulai mengkaji ilmu-ilmu tasawuf, seperti belajar kitab Ihya
Ulumiddin karya Syeikh Imam Al-Ghozali.


Pemahaman ini tidak sebatas pelajaran teori saja, namun juga ia praktekan
secara langsung seperti saat mandi, shalat fardhu, dan berhubungan dengan
lain jenis. Saat mandi, ia tidak pernah menanggalkan seluruh pakaiannya, dan
tidak pernah melihat auratnya. Selain itu, selama di Ponpes Tasmirit
Tholabah ia senantiasa shalat berjamaah di masjid. Padahal, ia termasuk
kriteria “santri kasab”, yaitu santri yang mondok sambil bekerja kepada
masyarakat sekitar.


Selama masih menuntut ilmu dan 

[zamanku] (Tokoh Nusantara) Teungku H. Abdul Aziz Bin Shaleh, Bireun - NAD

2010-04-03 Terurut Topik anantö/ アナント
ABON SAMALANGA

Teungku H. Abdul Aziz Bin Shaleh, Lahir Belajar dan Berjuang untuk Dayah



[image: tgk abdul aziz.jpg]



Tgk Abdul Aziz Bin M Shaleh, merupakan tokoh yang cukup berpengaruh bagi
masyarakat Aceh. Salah satu perannya adalah, Dayah Ma’hadal Ulum Diniyah
Islamiyah Mesjid Raya (MUDI Mesra) Samalanga, Kabupaten Bireun, sehingga
mencapai kemajuan yang amat pesat.


Kemajuan kini diteruskan oleh pengurus sesudah dayah beliau. Pimpinan MUDI
Mesra yang baru mengembangkan pendidikan dayah menjadi Sekolah Tinggi Agama
Islam (STAI) tanpa meninggalkan pola pendidikan dayah yang kini memiliki
santri sekitar 3.000-an.


Tgk. H. Abdul Aziz Bin M. Shaleh. Beliau adalah salah seorang ulama
kharismatik Aceh yang sering disapa dengan Abon Samalanga atau lebih dikenal
dengan panggilan Abon ‘Aziz Samalanga atau Abon Mesjid Raya Samalanga.
Beliau lahir di desa kandang Samalanga Kabupaten Aceh Utara (Kini-Kabupaten
Bireuen) pada bulan ramadhan tahun 1351 H / 1930 M.


Abon diasuh dan dibesarkan di Jeunieb bersama kedua orang tuanya,
ayahandanya pernah menjabat kepala kantor Agama (KUA) Jeuniub dan juga
merupakan salah seorang pendiri Dayah ‘Atiq  Jeuniub sehingga Abon dari masa
kecilnya sudah mulai belajar ilmu pendidikan agama di dayah tersebut dan
Abon pada waktu itu tinggal di Jeuniub.


Ketika usia Abon telah matang, Abon menikahi seorang gadis di desa Mideun
Jok Samalanga yang merupakan putri gurunya sendiri yang merupakan pimpinan
Dayah Lembaga Pendidikan Islam (LPI) Dayah Ma’hadal Ulum Diniyah Islamiyah
Mesjid Raya (MUDI Mesra) Samalanga pada waktu itu sehingga Abon dikaruniai 4
anak, yaitu Alm. Hj. suaibah, hj shalihah, Tgk H Thaillah dan Hj Masyitah.


Abon memulai belajar pada pendidikan formal pada tahun 1937, Abon memasuki
sekolah  Rakyat (SR) dan menamatkan pendidikan dasarnya pada tahun 1944.
Dari tahun 1944 beliau belajar pada orang tuanya selama 2 tahun, kemudian
pada tahun 1946 beliau pindah belajar ke Dayah LPI MUDI Mesjid Raya
Samalanga yang pada waktu itu dipimpin oleh Tgk Haji Hanafiah (Tengku Abi)
lebih kurang selama 2 tahun.


Pada tahun 1948 Abon melanjutkan pendidikannya ke salah satu dayah yang
dipimpin oleh Teungku Ben (Teungku Tanjongan) di Matangkuli Kabupaten Aceh
Utara. Di dayah ini Abon belajar pada tengku Idris Tanjongan sampa dengan
tahun 1949 dan pada tahun tersebut beliau kembali ke Dayah LPI MUDI Mesjid
Raya Samalanga untuk mengabdikan diri menjadi guru di dayah tersebut.


*Mengabdi untuk Dayah***


Setelah Tgk. H. Abdul Aziz Bin M. Shaleh mengabdi menjadi guru. Beberapa
tahun kemudian, tepatnya 1951 Abon melanjutkan pendidikannya ke Dayah
Darussalam Labuhan Haji Kabupaten Aceh Selatan yang dipimpin oleh Alm.
Teungku Syeikh Muhammad Wali Al-Khalidi yang lebih di kenal dengan panggilan
Abuya Mudawali.


Abon belajar di Dayah Darusalam lebih kurang selama tujuh tahun, dan pada
pada tahun 1958 Abon kembali lagi ke Dayah LPI MUDI Mesjid Raya Samalanga
untuk mengembangkan ilmunya. Pada tahun tersebut pimpinan Dayah LPI MUDI
Mesjid Raya Samalanga meninggal dunia, sehingga Abon diangkat menjadi
pimpinan Dayah tersebut.


Abon Aziz Samalanga memulai karirnya sebagai pimpinan dayah dari tahun 1958
sampai dengan tahun 1989. Semenjak dayah LPI MUDI Mesjid Raya berada dibawah
pimpinannya, banyak perubahan terjadi didalamnya, terutama menyangkut
tentang kurikulum pendidikan yang semula tidak terlalu fokus pada ilmu-ilmu
alat (bantu) ilmu manthiq, ushul, bayan, ma’ani dan lain-lain.


Akan tetapi kurikulum pendidikan pada masa kepemimpinannya lebih sangat
menonjol adalah dalam bidang ilmu manthiq sehingga Abon digelar dengan
Al-manthiqi.


Abon sangat disiplin dan punya semangat yang luar biasa dalam mengajar,
sehingga kadang-kadang dalam keadaan beliau sakit merasa sehat untuk
mengajar, dan selalu meamanahkan kepada murid-muridnya untuk
belajar-mengajar (beut-seumubeut). Dalam pengajarannya, Abon sangat membenci
faham wahabiyah sehingga beliau tidak pernah bosan dalam mengurai kesesatan
faham tersebut.


*Kemajuan Pesat***


Pada masa kepemimpinan Abon, kemajuan dayah MUDI Mesra semakin meningkat
pesat, jumlah santri dari ratusan menjadi ribuan, bangunan fisik dayah pun
juga berkembang sesuai dengan perkembangan zaman yang terus maju. Selain
dari aktifitas Abon di dayah, Abon juga membuka pengajian mingguan di
Jeunieb (lebih dikenal dengan Balee Hameh) setiap seminggu sekali.


Di samping aktivitas dakwah melalui majelis pengajian, Abon juga ikut
pembangunan fisik, seperti membangun jalan ke kebun di Desa Gle Mendong
Samalanga dan menggarap sawah yang telah terlantar bertahun-tahun
bersama-sama dengan murid-muridnya serta membantu masyarakat sekitar.
Semuanya, ia lakukan untuk hidupnya perekonomian masyarakat.


Abon juga pernah memberi dukungan kepada partai politik, partai PERTI, Abon
memilih partai tersebut karena di latar belakangi atas faham Ahlussunnah wal
Jama’ah.


Ada satu pesan yang sangat sering diamanahkan kepada murid-muridnya yaitu
belajar-mengajar (beut-seumubeut) di mana 

[zamanku] (Tokoh Nusantara) KH. Muhammad Ishomuddin Hadzik (Gus Ishom), Jombang - Jawa Timur

2010-02-02 Terurut Topik anantö/ アナント
KH. ISHOMUDDIN HADZIK

Gus Ishom Mengenalkan Kembali Karya-karya KH HAsyim Asy'ari



[image: ishom.jpg]



Muhammad Ishomuddin Hadzik atau yang biasa di panggil Gus Ishom merupakan
cucu Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari dari pasangan Chodidjah
Hasyim–Muhammad Hadzik Mahbub. Lahir di Kediri, 18 Juli 1965 M dan
selanjutnya sejak kecil akrab dipanggil Gus Ishom.


Sejak kecil, Ishom telah diperkenalkan kepada kehidupan pesantren yang sarat
dengan pendidikan agama. Pada usia yang tergolong anak-anak, Ishom telah
menunjukkan ketertarikan kepada ilmu-ilmu agama. Pada usia 7 tahun, setiap
bulan Ramadhan, Ishom kecil selalu melakukan tarawih dimasjid Pondok
Pesantren Tebuireng dan selalu berada dibelakang imam.


Di luar bulan Ramadhan, Ishom kecil juga shalat maghrib berjamaah dimasjid
Pondok Pesantren Tebuireng dan selalu berada dibelakang imam. Pada saat itu,
shalat jamaah sering dipimpin oleh KH. Muhammad Idris Kamali, menantu
Hadratus SSyeikh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari. Setiap selesai berdoa’ tak
lupa kyai Idris demikian panggilan sehari-hari, selalu meniup kening Ishom
kecil sambil diiringi dengan doa barakah.


Pada waktu bersekolah di SDN Cukir I, sosok Ishom kecil telah menonjol di
antara teman-temannya. Dari segi pelajaran, nilai yang didapat selalu diatas
teman-temannya. Pada saat memasuki bangku sekolah lanjutan, Ishom yang telah
beranjak remaja, memilih pagi hari untuk bersekolah di Madrasah Tsanawiyah
Salafiyah Syafi’iyah Tebuireng dan siang harinya di SMP A. Wahid Hasyim.


Setelah lulus Madrasah Tsanawiyah Salafiyah Syafi’iyah Tebuireng, Ishom
memutuskan untuk menuntut ilmu agama di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri. Di
bawah bimbingan langsung KH. Mahrus Aly, Gus Ishom yang telah beranjak
remaja semakin mendapat bekal ilmu agama dan kitab kuning semaikin banyak.


Ketertarikannya kepada kitab kuning ditambah riyadhah yang kuat, membuatnya
semakin lancar dalam menuntut ilmu. Otak yang cerdas, pikiran yang cemerlang
menjadikannya mudah dalam memahami tentang suatu hal. Gus Ishom menghabiskan
waktu 11 tahun menimba ilmu di pondok pesantrten Lirboyo Kediri, termasuk
ketika menjadi santri kilat Ramadhan diberbagai pesantren lainnya.


Tahun 1991, Gus Ishom pulang kembali ke Tebuireng untuk mengamalkan apa yang
telah dipelajari selama nyantri di Pondok Pesantren Liboyo Kediri serta
pesantren lainnya. Sikap rendah hati, alim, tidak neko-neko membuat Gus
Ishom banyak mendapat simpati masyarakat sekitar walaupun baru pulang dari
pondok pesantren.


Kealimannya dalam hal kitab kuning, membuat Gus Ishom bersentuhan langsung
dengan karya sang kakek Hadratus Syeikh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari.
Beberapa kitab karya Hadratus Syaikh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari diterbitkan
dan dibacanya pada bulan Ramadhan di Masjid Pondok Pesantren Tebuireng
Jombang yang diikuti oleh ribuan peserta sehingga kitab-kitab karya Hadratus
Syaikh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari dikenal oleh masyarakat luas.


Selain telah menerbitkan sebagian kitab karya kakeknya, Gus Ishom juga
menulis beberapa kitab yaitu:

1. Audhohul Bayan Fi Ma Yata’allq Bi Wadhoifir Ramadhan.

2. Miftahul Falah Fi Ahaditsin Nikah.

3. Irsyadul Mukminin.


Tidak hanya dalam urusan ilmu agama, gus Ishom cukup memahami tentang
masalah sosial, budaya serta politik. Cukup sering tulisannya menghiasi
berbagai halaman media massa semisal harian Surya, Jawa Pos, Republika dan
lain-lain. Pengalaman menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten Jombang, merupakan bukti ketajamannya di dunia kiprah politiknya.


Selain menulis kitab dan beberapa artikel di media massa, Gus Ishom juga
merupakan seorang muballigh yang handal. Lisan yang fasih, bahasa yang lugas
serta ilmu yang tinggi, membuat setiap ceramah yang disampaikan olehnya
selalu menarik untuk disimak. Tidak banyak orang bisa menulis kitab,
artikel, cerpen dan berpidato. Gus Ishom merupakan sosok serba bisa yang
diharapkan menjadi kader NU yang mumpuni.


Pada akhir tahun 2002, ketika bulan ramadhan gus Ishom mengalami sakit pada
bagian betis yang diduga oleh dokter sebagai gejala asam urat akut. Berbagai
pengobatan dilakukan, akan tetapi tidak membawa hasil. Akhirnya ketika sakit
yang semakin parah, gus Ishom dirujuk ke Surabaya dan disanalah diketahui
bahwa gus Ishom menderita kanker yang tergolong langka dan telah mencapai
stadium III. Pengobatan melalui kemoterapi dan berbagai upaya alternatif
telah dilakukan. Akan tetapi Sang Maha Kuasa, Allah Robbul ‘Alamiin memiliki
kehendak lain.


Seperti terkena hallintar, pandangan mata ini berkaca-kaca, seakan tak
percaya, tatkla mendengar  wafatnya KH Ishomuddin Hadizq (Gus Ishom). Hari
sabtu, 26 Juli 2003, tepat pukul 06.30 WIB, beliau dipanggil ke pangkuan
Sang Ilahi. Sosok kiai muda yang begitu anggun mempesona. Seorang “darah
biru” keturunan Kiai Moh Hasyim Asy’ari (pendiri dan Ra’is Akbar NU) dari
putrinya Hj Khodijah.


Gus Ishom yang lahir pada 18 Juli 1965 (genap berusia 37) adalah salah satu
dari cucu KH Hasyim yang mewarisi kewibawaaan,