[zamanku] (Tokoh Nusantara) KH Abdullah Faqih, Langitan - Tuban, Jawa Timur
KH Abdullah Faqih, Langitan – Tuban, Jawa Timur Sosok Kiai Waskita [image: Abdullah Faqih.jpg] Pondok Pesantren Langitan itu berada di bawah jembatan jalan raya Babat Lamongan jurusan Tuban, Jawa Timur. Tepatnya di Desa Widang. Sepintas, dari jalan raya memang tidak tampak pesantren, karena tertutup perkampungan. Tapi begitu masuk, terasalah denyut kehidupan pesantren yang berada di atas areal sekitar 6 hektar itu. Meskipun termasuk pesantren salaf [1], kebersihan lingkungannya tampak sangat terjaga. Apalagi, beberapa pohon mangga dan jambu dibiarkan tumbuh subur, hingga memberi rasa teduh. Agak masuk ke dalam, ada sebuah rumah kecil terbuat dari kayu berwarna janur kuning, sederet dengan asrama santri dan rumah pengasuh lain. Di situlah KH Abdullah Faqih (67), tokoh yang sangat disegani di kalangan NU, tinggal. Di belakang rumah itu memang ada bangunan berlantai dua. Tapi, menurut keterangan salah seorang santrinya, gedung itu untuk tinggal putri-putrinya. Kiai sendiri tetap tinggal di di rumah kayu itu, kata santri yang tak mau disebut namanya. Berukuran sekitar 7x3 meter, di dalamnya ada seperangkat meja kursi kuno dan dua almari berisi kitab-kitab. Lantainya dilambari karpet. Ada juga kaligrafi dan dua jam dinding. Itu saja. Dan di situ pula Kiai Faqih —panggilan akrabnya— menerima tamu-tamunya. Baik dari kalangan bawah, pengurus NU, maupun pejabat. Menteri Agama Tolchah Hasan, awal Desember lalu, adalah salah satu di antara pejabat yang pernah sowan ke kiai yang sangat berpengaruh di kalangan NU ini. Hasyim Muzadi, Ketua Umum PBNU yang baru, juga termasuk tokoh yang rajin sowan ke Kiai Faqih. Nama Kiai Faqih mencuat menjelang SU MPR lalu, terutama berkaitan dengan pencalonan KH Abdurrahman Wahid sebagai presiden. Saat itu di tubuh kaum Nahdliyin terjadi perbedaan, ada yang mendukung pencalonan Gus Dur —demikian mantan ketua PBNU itu populer dipanggil— yang dipelopori kelompok Poros Tengah, dan ada yang bersikap sebaliknya. Sementara dua kandidat utama yakni BJ Habibie dan Megawati sama-sama mengandung risiko cukup tinggi, terutama para pendukung fanatiknya. Menghadapi situasi seperti itu, beberapa kiai sepuh NU mengadakan beberapa pertemuan di Pondok Pesantren Langitan. Dari sinilah kemudian muncul istilah `Poros Langitan', karena memang suara para kiai itu sangat berpengaruh kepada pencalonan Gus Dur. Toh beberapa hari menjelang pemilihan presiden, restu para kiai itu belum turun juga. Hingga akhirnya dua hari menjelang pemilihan presiden, Hasyim Muzadi (sekarang ketua PBNU) datang menemui Gus Dur, membawa pesan Kiai Faqih. Pesannya adalah pertama, kalau memang Gus Dur maju, ulama akan mendo'akan. Kedua, Gus Dur harus menjaga keutuhan di tubuh PKB yang saat itu sudah mulai retak. Dan ketiga, menjaga hubungan baik warga NU dengan warga PDI-Perjuangan. Begitu gembira mendengar restu itu, Gus Dur berdiri memeluk Hasyim Muzadi sembari meneteskan air mata. Dengan isak tangis cucu pendiri NU KH Hasyim Asy'ari ini berkata, Sampaikan salam hormat saya kepada Kiai (Faqih). Katakan, Abdurrahman sampai kapanpun tetap seorang santri yang patuh kepada ucapan kiai. Siapa sesungguhnya Kiai Faqih, kok Gus Dur yang begitu dipuja orang-orang di NU itu begitu hormatnya? Publik selama ini tidak banyak tahu, karena Kiai yang mengasuh sekitar 3000 santri ini memang tidak suka publikasi. Banyak wartawan yang ingin wawancara dengan Kiai Faqih, semuanya pulang dengan tangan hampa. Kami memang mendapat pesan, Kiai tidak bersedia menerima wartawan, ujar salah seorang pengurus pesantren. Di kalangan NU dikenal istilah kiai khos atau kiai utama. Ada syarat tertentu sebelum seorang kiai masuk kategori khos. Antara lain, mereka harus mempunyai wawasan dan kemampuan ilmu agama yang luas, memiliki laku atau daya spiritual yang tinggi, mampu mengeluarkan kalimat hikmah atau anjuran moral yang dipatuhi, dan jauh dari keinginan-keinginan duniawi. Dengan kata lain, mereka sudah memiliki kemampuan waskita. Nah, Kiai Faqih termasuk dalam kategori kiai waskita itu. Tentu saja organisasi sebesar NU punya banyak kiai khos. Tapi, Kiai Faqihlah yang kerap jadi rujukan utama di kalangan Nahdliyin , baik itu PBNU maupun PKB, terutama menyangkut kepentingan publik. Hal itu dibenarkan Effendy Choirie, salah satu petinggi DPP PKB. Rasanya memang begitu, ujarnya. Di mata Gus Dur sendiri, Kiai Faqih adalah seorang wali. Namun, kewalian beliau bukan lewat thariqat atau tasawuf, justru karena kedalaman ilmu fiqhnya, kata Gus Dur yang kini jadi Presiden, sebagaimana ditirukan Choirie. Kedekatan Gus Dur dengan Kiai Faqih, kabarnya mulai Muktamar NU di Cipayung dulu. Contoh begitu hormatnya ketua Forum Demokrasi (Fordem) itu kepada Kiai Faqih, adalah ketika ia meminta Gus Dur mencium tangan KH Yusuf Hasyim, pamannya, pada acara tasyakuran atas membaiknya kesehatan mata Gus Dur, satu bulan sebelum SU MPR. Tanpa banyak cakap, putra KH Wakhid Hasyim ini manut saja. Maka rujuklah dua bangsawan Bani Hasyim yang sudah
[zamanku] (Tokoh Nusantara) KH. Zaini Abdul Mun'im, Probolinggo - Jawa Timur
*KH. Zaini Abdul Mun’im, Probolinggo – Jawa Timur* *Ulama Pejuang dan Perintis Pertanian Tembakau*** * * [image: zaini.jpg]** Nama Probolinggo telah ada sejak tahun 1359 M. (1281 Saka). Ketika Prabu Hayam Wuruk berhasil mempersatukan Nusantara di bawah kekuasaan Majapahit tahun 1357 M (1279 Saka) atas jerih payah Maha Patih Mada, rombongan pembesar kerajaan kemudian bermuhibah ke daerah ini dan enggan kembali. Sehingga ketika sang prabu sedang linggih (duduk) merenugi keindahan kawasan ini, maka kawasan ini dinamakan oleh masyarakat sebagai Prabu Linggih. Setelah mengalami proses perubahan ucapan, kata Prabu Linggih kemudian berubah menjadi Probo Linggo (Probolinggo). Daerah ini merupakan salah satu bagian dari Propinsi Jawa Timur yang terletak di kaki Gunung Semeru, Gunung Argopuro dan Pegunungan Tengger dengan luas sekitar 1.696,166 Km persegi. Paiton adalah adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Probolinggo, Provinsi Jawa Timur yang terkenal dengan kehadiran kompleks Pembangkit Listrik-nya. Kawasan ini berada pada garis pantai yang menghadap ke selat Madura. Kawasan ini juga merupakan daerah penghasil tembakau. Karenanya banyak sekali masyarakat Paiton yang bekerja sebagai petani, nelayan dan pedagang barter seperti tembakau (blandang). Dengan letak geografis yang cukup menguntungkan dalam perdagangan laut, terutama nelayannya, maka banyak nelayan dari Pasuruan; Sampang, Madura; Muncar, Banyuwangi yang singgah di sini. Karenanya, mayoritas penduduk di kawasan ini adalah etnis Madura. Sehingga dengan sendirinya, sebagaimana umumnya karakter masyarakat etnis madura, Paiton juga merupakan kawasan masyarakat santri yang memiliki banyak pesantren sebagai tempat mendidik generasi mudanya. Salah satu di antara pesantren-pesantren kawasan ini yang cukup terkenal adalah Pesantren Nurul Jadid di desa Karanganyar, Kecamatan Paiton, Kabupaten Probolinggo, yang didirikan oleh KH Zaini Abdul Mun’im. Seorang ulama pejuang Republik kelahiran Madura yang datang ke Paiton pada tanggal 10 Muharram 1948 M. Beliau singgah di Karanganyar dalam perjalanannya menuju ke Yogyakarta untuk bergabung dengan para pejuang Republik lainnya di sana. Ketika sedang berada di Karanganyar, KH Zaini mendapat titipan (amanat) dari Allah berupa dua orang santri yang datang kepada Beliau untuk belajar ilmu agama. Kedua santri ini bernama Syafi’udin berasal dari Gondosuli, Kotaanyar Probolinggo dan Saifudin dari Sidodadi Kecamatan Paiton, Probolinggo. Kedatangan dua santri tersebut oleh beliau dianggap sebagai amanat Allah yang tidak boleh diabaikan. mulai saat itulah KH Zaini menetap bersama kedua santrinya. Namun tidak seberapa lama, beliau ditangkap oleh Belanda dan dipenjarakan di LP Probolinggo. KH Zaini, pada waktu tersebut memang termasuk orang yang dicari-cari oleh Belanda sejak dari pulau Madura. Belanda menganggap beliau sebagai orang yang berbahaya, karena menurut Belanda, Beliau mampu mempengaruhi dan menggerakkan rakyat untuk melawan Belanda. Setelah sekitar tiga bulan di penjara, kemudian beliau dikembalikan lagi ke Karanganyar untuk mengasuh santri-santrinya yang sedang menunggu kedatangannya. Sejak saat itulah, KH Zaini Abdul Mun’im membimbing santri-santrinya yang sudah mulai berdatangan dari berbagai penjuru seperti dari Madura, Situbondo, Malang, Bondowoso dan Probolinggo. Dengan banyaknya santri yang berdatangan, KH Zaini Mun’im kemudian merasa berkewajiban untuk mendidik mereka. Merintis Dakwah di Tanah seberang Memang kedatangan KH Zaini tidak secara langsung berniat untuk mendirikan sebuah pesantren. Namun atas saran dan dukungan dari berbagai pihak, maka Beliau pun kemudian memiliki tekad yang mantap untuk mendirikan sebuah pesantren yang dinakaman pesantren Nurul Jadid. Nama pesantren Nurul Jadid ini bermula pada saat KH Zaini Mun’im didatangi seorang tamu, putra gurunya (KH Abdul Majid) yang bernama KH Baqir. Beliau mengharap kepada KH Zaini Mun’im untuk memberi nama pesantren yang diasuhnya dengan nama Nurul Jadid. Nama Karanganyar sebenarnya adalah desa Tanjung, nama kuno yang diambil dari nama sebuah pohon besar di sana yang dijadikan sebagai pusat penempatan sesajen untuk memuja para roh yang melindungi masyarakat sekitar. Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat di sana pada awalnya adalah para penganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Menurut masyarakat setempat, keberadaan beberapa pohon-pohon besar ini tidak boleh ditebang. Pohon-pohon besar tersebut diyakini sebagai pelindung masyarakat dan harus diselenggarakan upacara ritual dalam bentuk pemberian sesajen, utamanya ketika ada suatu hajatan. Sesajen itu disajikan kepada roh yang diyakini berada di sekitar pohon besar tersebut. Salah satu ritual itu dilakukakan ketika ketika musim tanam tiba. Sebelum panen, masyarakat menggelar sesajenan dengan cara patungan. Beberapa anggota masyarakat meletakkan ayam di beberapa tempat yang dianggap sakral. Selain itu pada setiap tahunnya mereka mengadakan selamatan laut dengan membuang
[zamanku] (Tokoh Nusantara) KH. Mahfudz Anwar, Kwaron, Jombang - Jawa Timur
KH. Mahfudz Anwar, Kwaron, Jombang – Jawa Timur Mengembangkan Ilmu Falak di Lingkungan NU [image: mahfudz anwar.jpg] * * Setiap menjelang Hari Raya Idul Adha atau Idul Fitri, umat Muslim akan melakukan rukyah guna menentukan waktu tepat pelaksanaan hari raya tersebut. Para pakar astronomi Islam akan melihat posisi bulan apakah sudah masuk pada hilal. Dibutuhkan seorang ahli di bidang ilmu falak (astronomi) untuk itu. Salah satu di antara ahli falak yang dimiliki umat Muslim Tanah Air adalah KH Mahfudz Anwar. Dia adalah pakar ilmu falak sekaligus tokoh ulama kharismatik dari Nahdlatul Ulama (NU). Pada bidang ilmu falak tersebut, KH Mahfudz diakui memiliki kualifikasi keilmuan yang mumpuni. Tidak hanya ilmu falak, dia pun menguasai dengan sangat mendalam ilmu fikih serta tafsir. KH Mahfudz Anwar juga dikenal sebagai muhaddits (ahli hadis), sufi (ahli tasawuf), dan ahlul lughah (ahli bahasa/etimolog). Kemampuan yang dimiliki tidak lepas dari latar belakang keluarga yang membimbingnya serta pendidikan yang ditekuninya. Kiai ini dilahirkan di Paculgowang, Jombang, 12 April 1912. Ayahnya bernama KH Anwar Alwi — pengasuh Ponpes Pacul Gowang — dan ibunya Nyai Khadijah. Dia anak keenam dari 12 bersaudara. Ditilik dari latar belakang keluarga yang berbasis pesantren itu sangat wajar apabila KH Mahfudz Anwar tumbuh dalam suasana religius dan keilmuan agama yang tinggi. Saat yang bersamaan, Pesantren Tebuireng mulai menanjak popularitasnya karena kualitas keilmuannya; maka, Kiai Anwar Ali pun memondokkan anaknya di sana. Di Pesantren Tebuireng, Mahfudz menjadi murid yang cerdas. Bahkan, saat ia duduk di kelas IV, ia sudah ditugasi untuk mengajar adik kelasnya. Setelah lulus kelas VI, ia diangkat menjadi guru resmi di Pesantren Tebuireng. Selain kepada Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari, Mahfudz juga belajar kepada KH Mashum Ali, seorang ulama besar, ahli falak, dan pencetus nazam ilmu sharaf dan pengasuh Ponpes Seblak. KH Mashum Ali adalah juga Direktur Madrasah Tebuireng. Pada kiai muda itu Mahfudz khusus mempelajari ilmu falak, dan ia menunjukkan bakat yang luar biasa dalam disiplin itu. Inilah yang membuatnya disegani para santri di Tebuireng, kendati usianya saat itu baru 20 tahun. Ketika Kiai Maksum meninggal pada usia sangat muda, 33 tahun, kepemimpinan pesantren Seblak diserahkan kepada Ustadz Mahfudz. Meski sudah menjadi pengasuh pondok pesantren dan menguasai sederet ilmu, namun semangat belajarnya tidak padam. Di antara sekian ilmu yang giat dipelajari adalah ilmu falak. Karena KH Mashum Ali keburu meninggal dunia, dia belajar falak lagi kepada Mas Dain, seorang santri seniornya yang menjadi kepala pondok Seblak. Setelah menguasai falak, maka diskusi dan perdebatan dengan mitra belajarnya menjadi semakin seru. Mereka terus mengasah ketajaman analisis masing-masing melalui forum musyawarah. Maka tidak heran, KH Mahfudz dan Mas Dain dalam tempo yang singkat mampu menjadi pakar falak yang betul-betul mumpuni. Momentum paling tepat untuk menguji kepakaran mereka adalah saat rukyatul hilal (penentuan) awal Ramadlan dan Syawal, sebuah momen yang akurasinya sangat ditunggu oleh masyarakat. Setiap menjelang Rhamadan dan Syawal, Kiai Mahfudz dan Mas Dain pergi ke gunung Tunggorono, sebelah barat kota Jombang, untuk melakukan rukyah (pemantauan), melihat bulan setelah diperhitungkan sesuai dengan hasil hisab (perhitungan) masing-masing. Setelah rukyah selesai, mereka kembali ke pondok mendiskusikan hasil rukyah masing-masing. Perdebatan, untuk adu argumentasi dan ketajaman menganalisa serta kecermatan dalam mengamati hilal (tanggal) menjadi kunci kemenangan. Siapa yang paling benar dan kuat dalilnya yang keluar sebagai pemenang. Kiai Mahfudz sering menang dalam perdebatan ini. Dengan kecemelangan dalam ilmu falak semakin mengukuhkan kualitas keulamaan dan kelebihannya di atas ulama lain. Kebanyakan ulama, khususnya ulama NU hanya menguasai ilmu fikih. Jarang dari mereka yang memiliki kepakaran langsung bidang fikih, tafsir dan sekaligus falak. Di organisasi NU, dia menempuh jalur dari yang paling bawah sebagai pengurus ranting (desa) Seblak dan akhirnya masuk ke jajaran PCNU (pengurus Cabang Nahdlatul Ulama). Ia pernah menjadi rais syuriah dua periode berturut-turut. Dari NU Cabang Jombang kemudian dipromosikan sebagai pengurus NU Wilayah Jawa Timur. Namun, karena kepakarannya yang sulit tertandingi pada ilmu falaq, maka dia diserahi tugas memegang posisi Ketua Lajnah Falakiyah PBNU sampai tahun 1993. Sebagai Ketua Lajnah Falakiyah PBNU, KH Mahfudz sering mendapat tantangan berat khususnya dari pihak pemerintah orde baru. Pernah hasil rukyah untuk menentukan hari raya berbeda dengan pemerintah selama tiga kali berturut-turut. Seluruh kyai dan warga NU berada penuh di belakang Kiai Mahfudz, benturan antara NU dan pemerintah tidak terelakkan. Walaupun pikirannya tidak diterima pemerintah, sebaliknya masyarakat sangat menghormatinya. Terbukti setiap menjelang 1 Syawal mulai bada Maghrib
[zamanku] (Tokoh Nusantara) KH. Bisyri Musthofa, Rembang - Jawa Tengah
KH. Bisyri Musthofa, Rembang – Jawa Tengah Orator, Muallif dan Pengasuh Pesantren 14/06/2010 [image: Bisri Musthofa 1.jpg] Sebuah berita interlokal dari Drs. M. Zamroni di Semarang, mengabarkan bahwa KH Bisyri Musthofa wafat di Rumah Sakit Umum Daerah Semarang. Serangan jantung dan tekanan darah tinggi ditambah gangguan pada paru-paru yang menyebabkan proses kematiannya begitu cepat, hanya tiga hari saja. Musibah itu terjadi dua minngu setelah meninggalnya KH Muhammad Dahlan, mantan Menteri Agama. Keduanya adalah ulama besar, keduanya tenaga-tenaga penting dalam perjuangan. Kepergiannya adalah suatu kehilangan amat besar. Yang patah memang bisa tumbuh, yang hilang dapat terganti. Tetapi, penggati itu bukan lagi Bisyri Musthofa…..! Seminggu sebelumnya, di Jakarta, Bisri menyelesaikan kebarangkatan puteranya ke Arab Saudi, melanjutkan sekolah ke Riyadh. Menyelesaikan pula beberapa urusan dengan Majelis Syuro Partai Persatuan. Pulang dari Jakarta terus ke Jombang untuk suatu urusan dengan Rois ‘Aam KH Bisyri Syansuri. Sebenarnya telah terasa juga bahwa kesehatannya mulai terganggu, namun dipaksakan juga untuk mengajar para santri dalam pondok pesantren yang dipimpinnya di Rembang. Selain itu, Bisri masih juga dipaksakan untuk menghadiri harlah partai, karena tak sampai hati menolak undangan mereka. Selesai menghadiri harlah partai, Bisri benar-benar tak sanggup lagi untuk menghadiri beberapa undangan yang memang padat direncanakannya sebelumnya. KH Bisyri Musthofa memerintahkan puteranya untuk memanggil dokter, suatu hal yang dirasakan agak luar biasa karena beliau memang tidak biasa datang kepada dokter. Tekanan darahnya amat tinggi, keletihannya yang menumpuk menyebabkan timbulnya komplikasinya demikian berat hingga jantung dan paru-parunya tidak normal lagi. Kesanggupan tim dokter telah sampai di batas kemampuan mereka sebagai manusia sekalipun mereka bekerja keras. Allah SWT Maha Berkehendak lagi Maha Kuasa. Hari Rabu 16 Pebruari menjelang waktu ‘Ashar, KH Bisyri Musthofa 64 tahun, dipanggil keharibaanNya dalam *husnul khatimah. Inna lillaahi wa innaa ilaihi raji’un!*** Disembahyangi lebih dari duapuluh gelombang Pak Idham Chalid Presiden Partai Persatuan dan Ketua Umum PBNU menugaskan saya untuk mewakili DPP dan PBNU menghadiri pemakaman KH Bisyri Musthofa di Rembang esok harinya. Rembang kota di mana Ibu RA Kartini disemayamkan 73 tahun yang lampau, diliputi suasana mendung, kelabu hujan air mata. Puluhan ribu rakyat Jawa Tengah dan Jawa Timur membanjiri bekas ibu kota keresidenan itu dengan wajah-wajah murung menahan duka dan kesabaran. Tanggul kesabaran itu tiba-tiba jebol begitu pekikan ratap tangis para santri menyambut kedatangan mobil jenazah guru dan pemimpin mereka yang amat tercinta. Musholla di tengah pesantren itu tidak mungkin bisa menanpung begitu banyak Umat Islam yang hendak menyembahyangkan almaghfurlah satu gelombang, dua gelombang, tiga gelombang dan seterusnya hingga lebih dari duapuluh gelombang jama’ah menyembahyangkan jenazah KH Bisyri Musthafa. Sejauh 1 km dari rumah kediaman menuju makam, jenazah itu dibiarkan diusung ribuan tangan tanpa bandosa tertutup, Ummat seolah-olah hendak meyakinkan kepada dirinya bahwa jasad yang membujur dalam kain kafan itu adalah benar-benar KH Bisyri Musthofa, seorang mubaligh yang jika diatas podium, kata-kata mutiaranya itu mengikat ratusan ribu hadirin hadirat menjadi satu, bukan lagi ratusan ribu manusia, tetapi Cuma satu. Satu dalam asas, satu dalam akidah, dan satu dalam tujuan. Berpuluh-puluh ulama terkemuka, diantaranya KH Arwani dari Kudus, KH Ali Ma’sum dari Yogyakarta, KH Alwi dari Magelang, KH Muntaha dari Wonosobo, KH Sulaiman dari Purworejo, KH Ahmad Abdul Hamid dari Kendal, KH Muslih dari Mranggen Semarang, dan masih banyak lagi yang memimpin doa, Surat Yasin dan Tahlil yang diikuti oleh berpuluh-puluh ribu umat sepanjang jalan hingga ke makam (kuburan). Gubernur Jawa Tengah Suparjo Rustam melepas jenazah dari Semarang, adapun Muspida setempat mewakili pemerintah daerah dalam upacara pemakaman. Tak satupun ulama yang sanggup menyelesaikan pidato sambutannya karena rasa haru yang mencekam menahan musibah dalam kesabaran. *Profil seorang mubaligh*** Seorang orator, ahli pidato yang mengutarakan hal-hal yang sebenarnya sulit menjadi begitu gamblang, mudah diterima oleh baik orang-orang kota maupun desa. Hal-hal yang berat menjadi begitu ringan, yang membosankan menjadi mengasyikkan, yang kelihatanya sepele menjadi amat penting, begitulah jika diuraikan olah KH Bisyri Musthafa. Kritik-kritiknya mengenai hal-hal fundamental, yang orang lain jarang yang sanggup mengungkapkannya. Akan tetapi oleh KH Bisyri Musthofa dengan amat mudah diutarakan dalam senda gurau yang menyegarkan. Pihak yang terkena tidak marah, karena disadarkan secara sopan dan menyenangkan. Tidak terasa penat mengikuti pidato-pidatonya sekalipun sudah berlangusung tiga jam. Hadirin yang terdiri dari berbagai golongan, penguasa, pemimpin
[zamanku] (Tokoh Nusantara) KH. Ali Maksum Krapyak, Yogyakarta
KH. Ali Maksum Krapyak Perintis Pesantren Al-Quran di Indonesia [image: ali maksum krapyak.jpg] KH. Ali bin Maksum bin Ahmad dilahirkan di Lasem, kota tua di Jawa Tengah dari keluarga ulama keturunan Sayyid Abdurrahman alias Pangeran Kusumo bin Pangeran Ngalogo alias Pangeran Muhammad Syihabudin Sambu Digdadiningrat alias Mbah Sambu. Garis keturunan ini banyak melahirkan keluarga pesantren yang tersebar di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Masa muda beliau habiskan dengan berguru dari pesantren ke pesantren. Dimulai dari ayahnya sendiri yang juga seorang kyai ulama besar, beliau kemudian nyantri kepada Kyai Amir Pekalongan untuk kemudian melanjutkan kepada Kyai Dimyati Tremas Pacitan Jawa Timur. Sejak di Termas inilah beliau terlihat menonjol dan akhirnya ikut membantu gurunya mengajar dan mengurus madrasah pesantren dan membuat karangan tulisan. Tak lama setelah diambil menantu oleh KH M. Munawwir al Hafidh al Muqri Krapyak Yogyakarta, beliau dibantu oleh seorang saudagar Kauman Yogyakarta untuk dapat berhaji ke Mekah. Kesempatan ini beliau pergunakan pula untuk melanjutkan mengaji tabarrukan kepada para ulama Mekah: Sayyid Alwi al Maliki Al Hasani, Syaikh Masyayikh Hamid Mannan, Syaikh Umar Hamdan dan sebagainya. Setelah dua tahun mengaji di Mekah Kyai Ali kembali ke tanah Jawa. Sedianya beliau hendak tinggal di Lasem membantu ayahnya mengembangkan pesantren. Namun, sepeninggal Kyai Munawwir Krapyak, Pondok Krapyak memerlukan beliau untuk melanjutkan perjuangan di bidang pendidikan bersama-sama dengan KHR. Abdullah Affandi Munawwir dan KHR. Abdul Qadir Munawwir. Akhirnya beliau menghabiskan umur dan segenap daya upaya beliau untuk merawat dan mengembangkan Pondok Krapyak, yang pada saat diasuh mendiang Kyai Munawwir merupakan cikal bakal pesantren al Qur'an di Indonesia. Di bidang pendidikan pesantren, beliau merintis pola semi moderen dengan sistem klasikal hingga berkembanglah madrasah-madrasah hingga saat ini. Beliau juga diminta untuk menjadi dosen luar biasa pada Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Di bidang kemasyarakatan dan politik, beliau pernah menjadi anggota majlis Konstituante, sebuah lembaga pembuat Undang-Undang Dasar pada masa rejim Orde Lama. Dalam organisasi para kyai, Nahdlatul Ulama, beliau pernah memangku jabatan Rais 'Aam Syuriyyah yang mengantarkan Jam'iyyah Nahdlatul Ulama keluar dari jalur politik pada masa rejim Orde Baru. Di sela-sela mengasuh seribuan santrinya, beliau menyempatkan diri untuk memberikan pengajian di masyarakat, mengawasi sendiri pembangunan gedung-gedung pondok dan menulis kitab-kitab. Hujjah Ahlis Sunnah wal Jama'ah , Tasrif ul Kalimah fis Shorf, Ilmu Mantiq, adalah beberapa dari kitab berbahasa Arab susunan beliau. Sebelum meninggal pada akhir 1989, dari sentuhan tangan beliau telah dilahirkan ratusan kyai dari ribuan santri yang mengaji pada beliau pada kurun 1946 hingga 1989. Dari keteguhan beliau, Pondok Krapyak beberapa hari sebelum beliau meninggal menjadi tempat penyelenggaraan Muktamar Jam'iyyah Nahdlatul Ulama, pertemuan paling bergengsi organisasi para ulama Indonesia. Dari kesabaran beliau yang selama hidup dibantu oleh istrinya Nyai Hasyimah Munawwir, telah berdiri dan berkembang Taman Kanak-Kanak, Madrasah Diniyyah, Madrasah Tsanawiyyah, Madrasah Aliyah , Madrasah Tahfidzil Qur'an dan Madrasah Takhassusiyah untuk para santri mahasiswa. Pondok Pesantren Krapyak, setelah kemangkatan beliau tahun 1989, pengelolaannya ditangani oleh lembaga berbadan hukum dengan nama Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta. Yayasan ini sekarang dipimpin oleh KH Attabik Ali yang merupakan putra pertama dari KH Ali Maksum. Dari berbagai sumber -- yasir wa la tu’asir clip_image002.jpg
[zamanku] (Tokoh Nusantara) Syeikh Abdul Munaf Bakrin, Paderi - Minangkabau
SYEIKH ABDUL MUNAF BAKRIN Penyebar Thariqoh Naqsyabandiyah di Bumi Paderi [image: abdul manaf.jpg] Sumatera Barat Ranah Minang yang terkenal dengan Adat bersandi Syarak, Syarak bersandi Kitabullah yang dipimpin oleh Tigo Tungku Sajarangan, Ulama, Penghulu dan Cadik Pandai. Para ulama di ranah Minang, sebagai panutan umat biasanya mempunyai keahlian dalam ilmu Syariat, ilmu Thariqat dan seringkali pula melengkapi diri dengan ilmu Pencak Silat. Kisah yang akan kita ikuti kali ini adalah salah satu contoh peran ulama di ranah Minang, dalam membina umat di tengah berbagai goncangan zaman. Di daerah Pesisir Selatan yang dulu dikenal Banda Sapuluh kemudian Pesisir Selatan dan Kerinci, bermukim seorang ulama panutan umat yang dikenal seluruh lapisan masyarakat yakni Syeikh Abdul Munaf Bakrin yang terkenal dengan panggilan Tuanku lebih populer lagi dengan Buya Lubuk, yang mulanya mengajar ilmu syariat berbentuk halaqah di surau. Syeikh Abdul Munaf Bakrin gelar Tuanku Mudo-Malin Sutan, terlahir di Taeh Koto Pulai, Barung-Barung Belantai Koto XI Tarusan ± 44 km dari Padang pada bulan Agustus 1901 M. dan wafat pada 31 Maret 1984 M. Syeikh Abdul Munaf Bakrin adalah anak dari pasangan H. Abu Bakar dan ibu Siti Subuh Chaniago. Siti Subuh adalah seorang ibu yang taat dan lemah lembut serta pandai pencak silat. Sejak Kecil Munaf Bakrin diasuh oleh kedua orang tuanya, kemudian belajar Sekolah Desa 3 tahun. Untuk menguasai ilmu-ilmu agama, Munaf belajar Al-Qur’an di Taram, kec. Harau 50 Kota. Kemudian berpindah-pindah guru agama. Di antaranya adalah Buya Taram, Buya Ibrahim, Tiakar Payakumbuh, Buya Ruslan di Limbukan, Buya Sulaiman ar-Rasuli (Buya Candung) Bukittinggi, Buya Jamil Jaho (Buya Jaho) Padang Panjang, dan belajar thariqat Naqsyabandiyah dengan Buya Syeikh M. Thaib Pasar Baru Pauh Padang hingga berhasil mendapat Ijazah Khalifah. Setelah ilmunya cukup, Munaf Bakrin kemudian mengajar mengaji dan berdakwah dari surau ke surau dan nagari di daerah Banda Sapuluh. Munaf Bakrin mengembangkan ajaran Thariqat Naqsyabandiyah dan ajaran Sunniah Syafi’iyah. Munaf Bakrin kemudian diangkat sebagai Tuanku Muda oleh Syeikh Maulana HM. Thaib, Angku Surau Baru sekaligus khalifah Mursyid Thariqat Naqsyabandi 1932 daerah Banda Sapuluh di Surau Lubuk Panjang Barung-Barung Belantai Koto XI Tarusan. Dari pengalaman berdakwah inilah, Munaf Bakrin tumbuh menjadi seorang ulama yang telah aktif memimpin masyarakat, termasuk dalam perjuangan politik. Seperti terlibat dalam pemberontakan melawan Belanda tahun 1926. Saat itu, Munaf Bakrin bahkan sempat ditangkap Belanda dan ditahan di Tangsi Muaro. Namun kemudian lepas dari tahanan dan merantau lagi untuk menambah ilmu dan pengalaman ke kepulauan Malaya dan Singapura. Pada zaman Jepang, jiwa patriotisme Munaf Bakrin tampil kembali. Karena di segani oleh Jepang banyak pemuda-pemuda yang dibuang ke Digul dapat diselamatkan dengan menjadikan mereka pelajar di Surau Lubuk dan Jepang dapat membenarkannya. Pada masa Revolusi Kemerdekaan mendirikan Lasymi (Lasykar Muslim Indonesia) di Pesisir Selatan dan Kerinci (PSK) langsung Komandan Intendannya. *Masa Kemerdekaan*** Sebagai ulama Syafi’iyah-Sunniyah, Munaf Bakrin bersama ulama dan tokoh-tokoh masyarakat yang sepaham mendirikan cabang Persatuan Tarbiyah Islamiyah yang didirikan oleh Buya Candung di kabupaten PSK. Pada waktu Perti berobah menjadi Partai Islam Perti, maka kabupaten PSK langsung menyesuaikan diri dan berdirilah Partai Islam Perti dengan Munaf Bakrin Buya langsung sebagai Ketua Dewan Thariqatnya. Pada tahun 1950 Munaf Bakrin diangkat sebagal Hakim pada Makmar Syariah Painan. Dalam masa PRRI tetap setia pada Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia, menjabat jabatan sebagai Penasihat Bupati Pesisir Selatan. Tahun 1960-1970 Munaf Bakrin dipercayakan memegang jabatan Ketua Pimpinan Cabang Perti sekaligus Pimpinan PPTI kabupaten Pesisir Selatan. Setelah Dekrit Buya Candung, Perti menjadi Persatuan Tarbiyah lslamiyah, tahun 1969 langsung menjadi Ketua DPD Persatuan Tarbiyah Islamiyah kabupaten Pesisir Selatan. Tahun 1977-1982 menjadi angggota DPRD Kabupaten Pesisir Selatan dari Golkar. *Mengembangkan Thariqot Naqsyabandiyah*** Setelah diangkat dan diresmikan sebagai Khalifah Mursyid oleh Buya Syeikh M. Thaib-Angku Pasar Biduk di Surau Lubuk Panjang, mengajarkan Thariqat Naqsyabandi dengan mendirikan Suluk, sekaligus menghadapi tantangan penganut Khurafah Tahyul dan ilmu Sihir serta rasa disaingi dari pengamal Thariqat yang telah lebih dulu berkembang. Selanjutnya berdatanglah murid-murid yang ingin belajar Thariqat Naqsyabandiyah dan melaksanakan suluk dari daerah-daerah Banda Sapuluh, kota Padang. Munaf Bakrin kemudian mengembangkan pengajian Thariqat Naqsyabandi ke Siguntur Muda. Pengajian Munaf bakrin kemudian menjalar hingga ke Lubuk Niur, Indrapura, Lubuk Pinang Muko-Muko Kabupaten Bengkulu Utara, Teluk Kabung, Batu Sangkar dan Padang. Untuk menyebarkan ilmunya, Syeikh Abdul Munaf Bakrin
[zamanku] (Tokoh Nusantara) Habib Ali bin Soleh Alatas, Bekasi - Jawa Barat
Habib Ali bin Soleh Alatas, Bekasi – Jawa Barat Pelantun Maulid Diba’ dari Bekasi [image: habib-ali.jpg] Dari sebuah toko kaset di Jalan Kartini, salah satu sudut kota Bekasi, terdengar lantunan Maulid yang mendayu berlanggam hadhrami, berirama khas Hadramaut. Syair tersebut, meski sangat populer, tak cukup akrab di telinga muhibin, yang lebih sering mendengar maulid Simthud Durar, yaitu Maulid Diba’. Sang pelantun seorang habib bersuara emas asal Bekasi yang sering kali melantunkannya tanpa sedikit pun membaca. Ratusan bait syair tentang sejarah kehidupan Rasulullah itu ia hafal di luar kepala. Tak tanggung-tanggung, empat buah album kaset maulid, ratib, dan selawat telah diluncurkannya sejak tahun 1993 lalu. Figur kita, yang kerap tampak di perhelatan spiritual para habib, kali ini adalah Habib Ali bin Soleh Alatas, ulama yang kental berdialek Betawi, pengasuh Majelis Taklim Ar-Ridwan, Bekasi Kidul. Ihwal kepiawaian Habib Ali membaca maulid karya Syekh Abdurrahman Ad-Diba’i ini berasal dari sang kakek, Habib Muhammad bin Muhsin Alatas, generasi pertama habaib yang menjejakkan kaki di Bekasi, dan ayahnya, Habib Soleh bin Abdullah Alatas. Sang ayah, Habib Soleh Alatas, adalah kemenakan sekaligus menantu Habib Muhammad bin Muhsin Alatas. Sebelum menetap di Bekasi, ia pernah merantau ke Jambi, dan sempat menikah dengan seorang gadis yang memberinya lima orang anak. Beberapa tahun kemudian, Habib Soleh kemudian menetap di Bekasi dan mendirikan majelis taklim Ar-Ridwan, yang diasuhnya hingga wafat pada malam Kamis, 10 Muharam, atau 23 Januari tahun 1975. Di Bekasi, Habib Soleh menikah dengan putri pamannya, Habib Muhammad bin Muhsin Alatas, Syarifah Nur, yang kemudian memberinya tujuh orang putra-putri. Habib Ali sendiri lahir pada tahun 1950, putra sulung pasangan tersebut. Dari sang mertua pula Habib Soleh pertama kali belajar melantunkan bait-bait maulid Ad-Diba’i, yang kemudian diturunkan kepada semua putra-putrinya. Meski kemudian hanya Habib Ali yang mewarisi kepiawaian sang ayahanda, menghafal dan melantunkan maulid Diba’. Ketika Habib Soleh wafat pada 10 Muharam atau 23 Januari 1975, Habib Ali pun mulai sering diminta membaca maulid Diba’ di berbagai tempat. Ia juga melanjutkan kebiasaan sang Ayah, membaca maulid tersebut setiap malam Jumat di musala sebelah rumahnya. Dari seringnya membaca, Habib Ali pun akhirnya hafal di luar kepala. Berbincang dengan ulama yang satu ini memang terasa segar. Derai tawa renyah sering mengiringi ungkapan-ungkapannya yang penuh hikmah. Di beranda rumahnya di Jalan Kartini/Mayor Oking, Bekasi Kidul, Habib Ali bertutur tentang perjalanan hidupnya. Habib Ali bin Soleh Alatas mulai belajar agama kepada sang ayah, yang menurutnya sangat keras dalam mendidik. Selain itu, di waktu kecil, ia juga mengaji fikih kepada mualim Mu’thi dan belajar membaca Al-Quran kepada Ustaz Muhammad Ali, guru ngaji setempat. Ketika beranjak dewasa, secara intensif Habib Ali mengikuti pengajian Habib Abdurrahman Asegaf, Bukitduri. Ayahnya, Habib Soleh, sangat menekankan pendidikan keluarga pada bidang akhlak dan moralitas. Menurut Habib Ali, abanya sering sekali mengatakan, “Orang berilmu belum tentu berakhlak, tetapi orang yang berakhlak sudah tentu berilmu. Biar ilmunya banyak kalau akhlaknya rendah, rendah derajatnya. Dan sebaliknya, biarpun sedikit ilmunya tetapi tinggi akhlaknya, tinggi pula derajatnya.” Habib Ali kemudian mengutip perumpamaan orang yang berilmu tetapi tidak berakhlak, yang sering diucapkan sang aba waktu mengajarnya, “Kalau ente berjalan di tempat terbuka waktu hujan sambil membawa payung, kehujanan nggak? Ya tetep kehujanan, kecuali kalau payungnya dibuka dan dipakai.” Akhlak, tandas Habib Ali, adalah wujud pengamalan ilmu, dan saat ini banyak orang yang ke mana-mana membawa ilmu tetapi tidak pernah memakainya. “Bukankah Rasulullah sendiri diutus untuk menyempurnakan akhlak umatnya?” ungkap Habib Ali. Orang yang belajar tetapi tanpa akhlak dan ihtiram, penghormatan terhadap ilmu, tidak akan mendapat berkah. Dari perkawinannya dengan Syarifah Lu’lu binti Abdullah Alatas, Habib Ali dikaruniai tujuh orang anak. Beberapa tahun lalu hatinya sempat gundah, saat putra sulungnya, penghafal Diba’ yang diharapkan akan meneruskan jejaknya, meninggal. Ia baru lega, ketika mengetahui bahwa Abdullah, anak keempatnya yang baru pulang dari Hadramaut, ternyata juga sudah menguasai maulid Diba’ dan siap meneruskan jejaknya. Dalam mendidik putra-putrinya, Habib Ali memang cukup demokrat. Ia tidak pernah memaksa anaknya untuk menjadi ini-itu. “Biar anak yang memilih jalannya sendiri, orangtua tinggal mendukung. Yang penting mereka tetap berada di jalan Allah,” tuturnya. Seyogianya orangtua, tambah Habib Ali, tidak mendidik anak agar takut kepada mereka, melainkan agar secara sadar dan ikhlas menghormati. Mulai Rekaman Tahun 1990, Habib Ali bin Soleh Alatas diminta oleh Radio Asyafi’iyyah, Jatiwaringin, untuk membacakan maulid Diba’ dan disyiarkan
[zamanku] (Tokoh Nusantara) KH. Suyuthi Abdul Qadir, Guyangan, Pati - Jawa Tengah
KH. Suyuthi Abdul Qadir Pejuang Sepi Ing Pamrih KH. Suyuthi Abdul Qadir (yang selanjutnya dipanggil Kyai Suyuthi) lahir pada tahun 1904 (tepatnya pada tanggal 4 Dzulqaidah) di desa Guyangan. Sebuah Desa di sebelah utara Kota Pati, di pinggiran pesisir kecamatan Trangkil. Beliau terlahir dari pasangan K.H. Abdul Qadir dengan Ibu Nyai Hj. Arum. Sejak kecil beliau sudah dikenal masyarakat luas sebagai sosok anak cerdas, jujur serta ramah pada sesamanya. Beliau adalah figur berbudi luhur dan bisa ngemong masyarkat. Sehinga tak heran jika penduduk disekelilingnya begitu kagum dan bangga kepadanya. Dan perjuangan dakwah semasa hayatnya mengantarkan beliau menjadi sosok kharismatik di dalam masyarakat. Karir Pendidikan Sejak kecil, Kyai Suyuthi sudah serius belajar agama melalui orang tuanya sendiri. Belajar dengan orang tua sendiri membuat dia merasa tidak cukup untuk menimba ilmu. Sehingga kemudian untuk mempertajam pengetahuannya beliau merasa perlu menimba ilmu di Pesantren. Setelah berumur 15 tahun, atas restu orang tua dan keluarganya beliau mengaji di Pondok Pesantren Mamba’ul Ulum Jamseran Solo. Di pesantren ini beliau diasuh oleh Kyai H. Idris selama tiga tahun. Meskipun tergolong santri yang relatif muda, namun beliau mampu berkontestasi dengan teman-temannya dan tergolong santri yang berkualitas. Pada tahun 1923-1924, beliau melanjutkan belajarnya di pondok Pesantren Kasingan Rembang, dan diasuh oleh Bapak K.H. Kholil dan K.H. Mas’ud selama 2 tahun. Selanjutnya pada tahun 1924-1926 beliau melanjutkan mengaji di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, Jatim, di bawah bimbingan K.H. Hasyim Asy’ari (pendiri NU). Pada tahun 1926-1927, beliau melanjutkan mengaji di Pondok Pesantren Sampang Madura dan diasuh oleh K.H. Munawir selama dua tahun. Di Madura ini di samping belajar dan mengaji beliau juga menghafal al-Qur’an. Akhirnya pada tahun 1927, beliau berangkat ke Makkah untuk mengaji sekaligus menunaikan ibadah haji. Beliau berada di Makkah kurang lebih sekitar 5 tahun. Selama masa itu beliau juga turut membantu untuk mengajar di pondokan yang beliau tempati. Pada tahun 1931 sepulang dari Makkah, beliau kembali mengaji di Pondok Pesantren Sedayu Gresik Jatim dan diasuh oleh K. H. Munawir selama 3 tahun hingga tahun 1933. Setelah sekian lama berekspedisi dari pesantren ke pesantren, pada tahun 1933-1937, beliau kembali lagi mengaji di Pondok Pesantren Tebuireng dan diasuh langsung oleh K.H. Hasyim Asy’ari selama empat tahun. Karena kecerdasan dan kualitas ilmunya, maka beliau mendapat kepercayaan dari K.H. Hasyim Asy’ari untuk membantu mengajar, bahkan sering ditunjuk mewakilinya dalam pertemuan-pertemuan tokoh ulama. Membangun Pesantren, Mengurus Umat Setelah berpetualang di berbagai Pondok Pesantren, beliau pulang dengan hasrat yang tinggi membangun pendidikan masyarakat desanya. Tanpa menunggu lama, beliau mulai mengajar para santri dan masyarakat di sekitar desa kelahirannya. Boleh dibilang, saat itu pendidikan masyarakat sekitar masih minim termasuk pendidikan agama belumlah begitu maju. Kondisi masyarakat yang seperti itu, justru semakin membakar spirit beliau untuk mengamalkan ilmu yang diperoleh selama ini. Hari demi hari jumlah santri yang menimba ilmu dengan beliau bertambah banyak. Rumah beliau yang dijadikan tempat mengaji pun tak mampu menampung para santrinya. Dengan kondisi seperti itu, akhirnya beliau mendirikan pondok pesantren dan madrasah sebagai wadah yang bisa menampung para santri dari berbagai penjuru. Karena yang mengaji dengan beliau tak terbatas hanya dari desa Guyangan. Sehingga eksistensi bangunan pondok pesantren dan madrasah tentu sangat krusial sebagai infrastruktur yang menunjang jalannya proses pendidikan. Akhirnya sekitar tahun 1932-1940 di masa penjajahan Belanda hingga penjajahan Jepang beliau mendirikan madrasah. Madrasah tersebut diberi nama Mambaul Ulum (sumber Ilmu). Bangunan pondok pesantren dan madrasah tersebut terletak di komplek masjid Desa Guyangan. Karena situasi yang tidak kondusif saat itu, akhirnya aktivitas pendidikan di madrasah tersebut terbengkelai. Namun, hal tersebut tidak mengurangi tekad beliau dalam mengajar walau dalam keadaan yang serba sederhana. Sampai akhirnya pada masa kemerdekaan tepatnya pada awal tahun 1950 dengan dibantu rekan-rekan dan santri senior, madrasah tersebut bangkit kembali dengan berubah nama menjadi Madrasah Raudlatul Ulum (MRU). Banyak harapan yang ingin beliau realisasikan melalui pendidikan di madrasah ini. Beliau mendambakan generasi bangsa ini memiliki moralitas dan budi pekerti yang baik serta menjadi manusia yang berkualitas. Madrasah ini diharapkan mampu menjadi media untuk memberantas kebodohan. Secara tidak langsung Kyai Suyuthi menginginkan agar pendidikan Islam memiliki visi untuk mencetak manusia yang kreatif dan produktif, karena manusia yang seperti inilah yang kemudian ditunggu kehadirannya baik secara individual maupun sosial. Sehingga dunia pendidikan harus mampu mencetak
[zamanku] (Tokoh Nusantara) KH. Mukhtar Syafa'at, Banyuwangi - Jawa Timur
KH. Mukhtar Syafa'at, Banyuwangi – Jawa Timur [image: mukhtar syafaat.bmp] Salah satu ulama terkemuka di Banyuwangi ini terkenal dengan sikap dan perilaku yang menjadi panutan umat. Dialah KH Mukhtar Syafa'at, pendiri sekaligus pengasuh Pondok Pesantren Darussalam, Blokagung, Jajag, Banyuwangi. Suatu waktu, Kyai Dimyati (putra KH Ibrahim) mengalami jadzab (“nyleneh”). Ia mengusir Syafa’at dan kedua sahabatnya yang bernama Mawardi dan Keling. Ketiganya adalah santri yang dibencinya. Saat Kyai Syafa’at sedang mengajar, Kyai Dimyati (Syarif) melemparinya dengan maksud agar Syafa’at meninggalkan pondok. Akhirnya Syafa’at meningalkan Pondok Pesantren Jalen Genteng yang diikuti oleh salah satu santri yang bernama Muhyidin, santri asal Pacitan ke kediaman kakak perempuannya Uminatun yang terletak di Blokagung. Perjuangan beliau dimulai dari musholla milik kakaknya. Mula-mula beliau mengajarkan Al Qur’an dan beberapa kitab dasar kepada para pemuda masyarakat sekitar, dan diikuti oleh para santri yang dulu pernah belajar di Pondok Pesantren Jalen. Beberapa bulan berikutnya musholla tersebut tidak dapat lagi menampung para santri yang ingin belajar kepadanya. Melihat kondisi yang demikian, Kyai Syafa’at merasa prihatin sehingga berkeinginan untuk pindah ke luar daerah Blokagung. Namun oleh Kyai Sholehan dilarang dan bahkan kemudian dinikahkan dengan seorang gadis bernama Siti Maryam, putri dari bapak Karto Diwiryo Badul Hadi. Setelah menikah, beliau pindah ke rumah mertuanya. Di tempat yang baru ini juga sudah ada mushollanya dengan ukuran 7 x 7 meter. Dalam kurun waktu satu tahun, jumlah santri yang belajar bertambah banyak sehingga musholla ini juga tidak cukup untuk menampung santri. Kemudian muncullah ide untuk mendirikan sebuah masjid yang lebih besar untuk keperluan sholat dan belajar. Beliau memerintahkan para santri untuk mengumpulkan bahan bangunan untuk keperluan pendirian masjid. Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 15 Januari 1951. Dalam perkembangan selanjutnya tanggal inilah yang dijadikan sebagai peringatan berdirinya Pondok Pesantren Darussalam Blokagung. Dalam mendirikan pondok pesantren ini beliau dibantu oleh temanya Kyai Muhyidin dan Kyai Mualim. Itulah sekilas latar belakang KH Muktar Syafa'at Abdul Ghafur seorang ulama dan guru panutan umat. Ia lahir di dusun Sumontoro, Desa Ploso Lor, Kec Ploso Wetan, Kediri, 6 Maret 1919. Ia adalah putra keempat dari pasangan suami-isteri KH Abdul Ghafur dan Nyai Sangkep. Kalau dilihat dari silsilah keturunan, KH Mukhtar Syafa’at merupakan salah seorang keturunan pejuang dan ulama, dari silsilah ayahnya, KH Mukhtar Syafa’at putra dari Syafa’at bin Kyai Sobar Iman bin Sultan Diponegoro III (keturunan prajurit Pangeran Diponegoro) dan garis ibu, yaitu Nyai Sangkep binti Kyai Abdurrohman bin Kyai Abdullah (keturunan prajurit Untung Suropati). Sejak usia kanak-kanak (4 tahun), Syafa’at telah menunjukkan sikap dan perilaku cinta terhadap ilmu pengetahuan dan berkemauan keras mendalami agama Islam. Setiap sore hari, ia tekun mengaji ke mushola terdekat yang saat itu diasuh oleh Ustadz H. Ghofur. Dari sinilah ia mulai belajar membaca Al-Qur’an. Pada tahun 1925 (usia 6 tahun), Syafa’at kemudian mengaji ke Kyai Hasan Abdi selama 3 tahun di desa Blokagung, Tegalsari, Banyuwangi. Selepas dikhitan pada tahun 1928, ia kemudian melanjutkan ke Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang yang saat itu diasuh oleh KH. Hasjim Asy’ari. Di pesantren ini, ia seperti umumnya santri-santri lain mendalami ilmu-ilmu agama Islam seperti Ilmu Nahwu, Shorof, Fiqih, Tafsir Al-Qur’an dan Akhlaq Tasawuf. Setelah 6 tahun menimba ilmu di Pondok Tebuireng, pada tahun 1936 ia diminta pulang oleh ayahnya agar saudaranya yang lain secara bergantian dapat mengenyam pendidikan pesantren. Permintaan tersebut ditampiknya secara halus, karena ia ingin mendalami dan menguasai ilmu-ilmu pesantren. Atas saran salah satu kakaknya, yakni Uminatun (Hj. Fatimah) pada tahun 1937 ia akhirnya meneruskan studi ke Pondok Pesantren Minhajut Thulab, Sumber Beras, Muncar, Banyuwangi yang diasuh KH. Abdul Manan. Selama menjadi santri di ponpes Minhajut Thulab, Syafa’at sering jatuh sakit. Setelah satu tahun, ia akhirnya pindah lagi ke Ponpes Tasmirit Tholabah yang diasuh oleh KH Ibrahim. Di pondok ini selain belajar, ia juga dipercaya oleh KH Ibrahim untuk mengajar ke santri lain. Di Pondok ini juga, Syafa’at mulai mengkaji ilmu-ilmu tasawuf, seperti belajar kitab Ihya Ulumiddin karya Syeikh Imam Al-Ghozali. Pemahaman ini tidak sebatas pelajaran teori saja, namun juga ia praktekan secara langsung seperti saat mandi, shalat fardhu, dan berhubungan dengan lain jenis. Saat mandi, ia tidak pernah menanggalkan seluruh pakaiannya, dan tidak pernah melihat auratnya. Selain itu, selama di Ponpes Tasmirit Tholabah ia senantiasa shalat berjamaah di masjid. Padahal, ia termasuk kriteria “santri kasab”, yaitu santri yang mondok sambil bekerja kepada masyarakat sekitar. Selama masih menuntut ilmu dan
[zamanku] (Tokoh Nusantara) Teungku H. Abdul Aziz Bin Shaleh, Bireun - NAD
ABON SAMALANGA Teungku H. Abdul Aziz Bin Shaleh, Lahir Belajar dan Berjuang untuk Dayah [image: tgk abdul aziz.jpg] Tgk Abdul Aziz Bin M Shaleh, merupakan tokoh yang cukup berpengaruh bagi masyarakat Aceh. Salah satu perannya adalah, Dayah Ma’hadal Ulum Diniyah Islamiyah Mesjid Raya (MUDI Mesra) Samalanga, Kabupaten Bireun, sehingga mencapai kemajuan yang amat pesat. Kemajuan kini diteruskan oleh pengurus sesudah dayah beliau. Pimpinan MUDI Mesra yang baru mengembangkan pendidikan dayah menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) tanpa meninggalkan pola pendidikan dayah yang kini memiliki santri sekitar 3.000-an. Tgk. H. Abdul Aziz Bin M. Shaleh. Beliau adalah salah seorang ulama kharismatik Aceh yang sering disapa dengan Abon Samalanga atau lebih dikenal dengan panggilan Abon ‘Aziz Samalanga atau Abon Mesjid Raya Samalanga. Beliau lahir di desa kandang Samalanga Kabupaten Aceh Utara (Kini-Kabupaten Bireuen) pada bulan ramadhan tahun 1351 H / 1930 M. Abon diasuh dan dibesarkan di Jeunieb bersama kedua orang tuanya, ayahandanya pernah menjabat kepala kantor Agama (KUA) Jeuniub dan juga merupakan salah seorang pendiri Dayah ‘Atiq Jeuniub sehingga Abon dari masa kecilnya sudah mulai belajar ilmu pendidikan agama di dayah tersebut dan Abon pada waktu itu tinggal di Jeuniub. Ketika usia Abon telah matang, Abon menikahi seorang gadis di desa Mideun Jok Samalanga yang merupakan putri gurunya sendiri yang merupakan pimpinan Dayah Lembaga Pendidikan Islam (LPI) Dayah Ma’hadal Ulum Diniyah Islamiyah Mesjid Raya (MUDI Mesra) Samalanga pada waktu itu sehingga Abon dikaruniai 4 anak, yaitu Alm. Hj. suaibah, hj shalihah, Tgk H Thaillah dan Hj Masyitah. Abon memulai belajar pada pendidikan formal pada tahun 1937, Abon memasuki sekolah Rakyat (SR) dan menamatkan pendidikan dasarnya pada tahun 1944. Dari tahun 1944 beliau belajar pada orang tuanya selama 2 tahun, kemudian pada tahun 1946 beliau pindah belajar ke Dayah LPI MUDI Mesjid Raya Samalanga yang pada waktu itu dipimpin oleh Tgk Haji Hanafiah (Tengku Abi) lebih kurang selama 2 tahun. Pada tahun 1948 Abon melanjutkan pendidikannya ke salah satu dayah yang dipimpin oleh Teungku Ben (Teungku Tanjongan) di Matangkuli Kabupaten Aceh Utara. Di dayah ini Abon belajar pada tengku Idris Tanjongan sampa dengan tahun 1949 dan pada tahun tersebut beliau kembali ke Dayah LPI MUDI Mesjid Raya Samalanga untuk mengabdikan diri menjadi guru di dayah tersebut. *Mengabdi untuk Dayah*** Setelah Tgk. H. Abdul Aziz Bin M. Shaleh mengabdi menjadi guru. Beberapa tahun kemudian, tepatnya 1951 Abon melanjutkan pendidikannya ke Dayah Darussalam Labuhan Haji Kabupaten Aceh Selatan yang dipimpin oleh Alm. Teungku Syeikh Muhammad Wali Al-Khalidi yang lebih di kenal dengan panggilan Abuya Mudawali. Abon belajar di Dayah Darusalam lebih kurang selama tujuh tahun, dan pada pada tahun 1958 Abon kembali lagi ke Dayah LPI MUDI Mesjid Raya Samalanga untuk mengembangkan ilmunya. Pada tahun tersebut pimpinan Dayah LPI MUDI Mesjid Raya Samalanga meninggal dunia, sehingga Abon diangkat menjadi pimpinan Dayah tersebut. Abon Aziz Samalanga memulai karirnya sebagai pimpinan dayah dari tahun 1958 sampai dengan tahun 1989. Semenjak dayah LPI MUDI Mesjid Raya berada dibawah pimpinannya, banyak perubahan terjadi didalamnya, terutama menyangkut tentang kurikulum pendidikan yang semula tidak terlalu fokus pada ilmu-ilmu alat (bantu) ilmu manthiq, ushul, bayan, ma’ani dan lain-lain. Akan tetapi kurikulum pendidikan pada masa kepemimpinannya lebih sangat menonjol adalah dalam bidang ilmu manthiq sehingga Abon digelar dengan Al-manthiqi. Abon sangat disiplin dan punya semangat yang luar biasa dalam mengajar, sehingga kadang-kadang dalam keadaan beliau sakit merasa sehat untuk mengajar, dan selalu meamanahkan kepada murid-muridnya untuk belajar-mengajar (beut-seumubeut). Dalam pengajarannya, Abon sangat membenci faham wahabiyah sehingga beliau tidak pernah bosan dalam mengurai kesesatan faham tersebut. *Kemajuan Pesat*** Pada masa kepemimpinan Abon, kemajuan dayah MUDI Mesra semakin meningkat pesat, jumlah santri dari ratusan menjadi ribuan, bangunan fisik dayah pun juga berkembang sesuai dengan perkembangan zaman yang terus maju. Selain dari aktifitas Abon di dayah, Abon juga membuka pengajian mingguan di Jeunieb (lebih dikenal dengan Balee Hameh) setiap seminggu sekali. Di samping aktivitas dakwah melalui majelis pengajian, Abon juga ikut pembangunan fisik, seperti membangun jalan ke kebun di Desa Gle Mendong Samalanga dan menggarap sawah yang telah terlantar bertahun-tahun bersama-sama dengan murid-muridnya serta membantu masyarakat sekitar. Semuanya, ia lakukan untuk hidupnya perekonomian masyarakat. Abon juga pernah memberi dukungan kepada partai politik, partai PERTI, Abon memilih partai tersebut karena di latar belakangi atas faham Ahlussunnah wal Jama’ah. Ada satu pesan yang sangat sering diamanahkan kepada murid-muridnya yaitu belajar-mengajar (beut-seumubeut) di mana
[zamanku] (Tokoh Nusantara) KH. Muhammad Ishomuddin Hadzik (Gus Ishom), Jombang - Jawa Timur
KH. ISHOMUDDIN HADZIK Gus Ishom Mengenalkan Kembali Karya-karya KH HAsyim Asy'ari [image: ishom.jpg] Muhammad Ishomuddin Hadzik atau yang biasa di panggil Gus Ishom merupakan cucu Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari dari pasangan Chodidjah Hasyim–Muhammad Hadzik Mahbub. Lahir di Kediri, 18 Juli 1965 M dan selanjutnya sejak kecil akrab dipanggil Gus Ishom. Sejak kecil, Ishom telah diperkenalkan kepada kehidupan pesantren yang sarat dengan pendidikan agama. Pada usia yang tergolong anak-anak, Ishom telah menunjukkan ketertarikan kepada ilmu-ilmu agama. Pada usia 7 tahun, setiap bulan Ramadhan, Ishom kecil selalu melakukan tarawih dimasjid Pondok Pesantren Tebuireng dan selalu berada dibelakang imam. Di luar bulan Ramadhan, Ishom kecil juga shalat maghrib berjamaah dimasjid Pondok Pesantren Tebuireng dan selalu berada dibelakang imam. Pada saat itu, shalat jamaah sering dipimpin oleh KH. Muhammad Idris Kamali, menantu Hadratus SSyeikh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari. Setiap selesai berdoa’ tak lupa kyai Idris demikian panggilan sehari-hari, selalu meniup kening Ishom kecil sambil diiringi dengan doa barakah. Pada waktu bersekolah di SDN Cukir I, sosok Ishom kecil telah menonjol di antara teman-temannya. Dari segi pelajaran, nilai yang didapat selalu diatas teman-temannya. Pada saat memasuki bangku sekolah lanjutan, Ishom yang telah beranjak remaja, memilih pagi hari untuk bersekolah di Madrasah Tsanawiyah Salafiyah Syafi’iyah Tebuireng dan siang harinya di SMP A. Wahid Hasyim. Setelah lulus Madrasah Tsanawiyah Salafiyah Syafi’iyah Tebuireng, Ishom memutuskan untuk menuntut ilmu agama di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri. Di bawah bimbingan langsung KH. Mahrus Aly, Gus Ishom yang telah beranjak remaja semakin mendapat bekal ilmu agama dan kitab kuning semaikin banyak. Ketertarikannya kepada kitab kuning ditambah riyadhah yang kuat, membuatnya semakin lancar dalam menuntut ilmu. Otak yang cerdas, pikiran yang cemerlang menjadikannya mudah dalam memahami tentang suatu hal. Gus Ishom menghabiskan waktu 11 tahun menimba ilmu di pondok pesantrten Lirboyo Kediri, termasuk ketika menjadi santri kilat Ramadhan diberbagai pesantren lainnya. Tahun 1991, Gus Ishom pulang kembali ke Tebuireng untuk mengamalkan apa yang telah dipelajari selama nyantri di Pondok Pesantren Liboyo Kediri serta pesantren lainnya. Sikap rendah hati, alim, tidak neko-neko membuat Gus Ishom banyak mendapat simpati masyarakat sekitar walaupun baru pulang dari pondok pesantren. Kealimannya dalam hal kitab kuning, membuat Gus Ishom bersentuhan langsung dengan karya sang kakek Hadratus Syeikh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari. Beberapa kitab karya Hadratus Syaikh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari diterbitkan dan dibacanya pada bulan Ramadhan di Masjid Pondok Pesantren Tebuireng Jombang yang diikuti oleh ribuan peserta sehingga kitab-kitab karya Hadratus Syaikh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari dikenal oleh masyarakat luas. Selain telah menerbitkan sebagian kitab karya kakeknya, Gus Ishom juga menulis beberapa kitab yaitu: 1. Audhohul Bayan Fi Ma Yata’allq Bi Wadhoifir Ramadhan. 2. Miftahul Falah Fi Ahaditsin Nikah. 3. Irsyadul Mukminin. Tidak hanya dalam urusan ilmu agama, gus Ishom cukup memahami tentang masalah sosial, budaya serta politik. Cukup sering tulisannya menghiasi berbagai halaman media massa semisal harian Surya, Jawa Pos, Republika dan lain-lain. Pengalaman menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Jombang, merupakan bukti ketajamannya di dunia kiprah politiknya. Selain menulis kitab dan beberapa artikel di media massa, Gus Ishom juga merupakan seorang muballigh yang handal. Lisan yang fasih, bahasa yang lugas serta ilmu yang tinggi, membuat setiap ceramah yang disampaikan olehnya selalu menarik untuk disimak. Tidak banyak orang bisa menulis kitab, artikel, cerpen dan berpidato. Gus Ishom merupakan sosok serba bisa yang diharapkan menjadi kader NU yang mumpuni. Pada akhir tahun 2002, ketika bulan ramadhan gus Ishom mengalami sakit pada bagian betis yang diduga oleh dokter sebagai gejala asam urat akut. Berbagai pengobatan dilakukan, akan tetapi tidak membawa hasil. Akhirnya ketika sakit yang semakin parah, gus Ishom dirujuk ke Surabaya dan disanalah diketahui bahwa gus Ishom menderita kanker yang tergolong langka dan telah mencapai stadium III. Pengobatan melalui kemoterapi dan berbagai upaya alternatif telah dilakukan. Akan tetapi Sang Maha Kuasa, Allah Robbul ‘Alamiin memiliki kehendak lain. Seperti terkena hallintar, pandangan mata ini berkaca-kaca, seakan tak percaya, tatkla mendengar wafatnya KH Ishomuddin Hadizq (Gus Ishom). Hari sabtu, 26 Juli 2003, tepat pukul 06.30 WIB, beliau dipanggil ke pangkuan Sang Ilahi. Sosok kiai muda yang begitu anggun mempesona. Seorang “darah biru” keturunan Kiai Moh Hasyim Asy’ari (pendiri dan Ra’is Akbar NU) dari putrinya Hj Khodijah. Gus Ishom yang lahir pada 18 Juli 1965 (genap berusia 37) adalah salah satu dari cucu KH Hasyim yang mewarisi kewibawaaan,