Kebeneran oge majalah Tempo minggu ieu, aya artikel perkara Douwes Dekker nu 
ngarang Max Havellar, roman nu nyaritakeun "kakejeman" pangawasa pribumi 
(bupati Lebak nu masih dulurna bupati Cianjur) ka rahayatna. Kumaha reaksi 
turunan Bupati Lebak, nu ngarasa difitnah ku Dekker, kumaha tempoan 
sejarahwan kana roman ieu, nyanggakeun, lumayan keur lenyepaneun (tapi 
ketang ceuk kuring ...hehehe):

Jejak Dekker di Tanah Lebak
(Majalah Tempo, 14 Juni 2010)

KAMPUNG Ciseel, Desa Sobang, Kabupaten Lebak, belum dilalui listrik dan 
hanya bisa dijangkau sepeda motor. Namun di sanalah antara lain cerita yang 
ditulis oleh Douwes Dekker alias Multatuli itu mengambil tempat.

Selasa pekan lalu, pukul empat sore, hujan mengguyur kampung itu. Di depan 
sebuah rumah berukuran 5 x 2,5 meter, dua puluhan pasang sandal jepit 
berbagai warna dengan noda tanah cokelat berserakan. Para pemiliknya sedang 
asyik berdiskusi. Duduk di lantai, masing-masing menggenggam sebuah buku: 
Max Havelaar.

Itulah pertemuan mereka yang ke-12. Setiap minggu, anak-anak-sebagian besar 
duduk di bangku SMP, ada juga yang masih SD-mendiskusikan buku itu. Mereka 
bertanya satu-dua kata atau kalimat yang tidak dipahami. Si pemandu diskusi, 
Ubaidillah Muchtar, menjelaskan dengan telaten. Kadang ia harus menggunakan 
bahasa Sunda untuk menjelaskan kata yang dimaksud.

Diskusi pun tidak sepenuhnya serius. Ada anak di bawah sepuluh tahun yang 
memilih membaca buku lain di ruangan itu. Ketika seorang kawan mereka buang 
gas, tawa pun memecah keheningan. "Agak sulit untuk mengajak mereka serius 
terus," kata Ubaidillah, yang mengelola Taman Baca Multatuli di rumah itu.

Pada saat diskusi, sebuah buku merah diedarkan. Di lembarannya, mereka 
mengisi daftar hadir dan menulis pesan-kesan diskusi. "Aku sangat bangga 
pada Max Hapelar"; "Saya suka buku ini tapi saya tida suka sama Adipati. I 
love riding grup (maksudnya reading group)"; atau "Kalau saya jadi bupati, 
saya ngga akan jahat sama rayat". Begitulah pesan-pesan yang tertulis di 
situ.

Ubaidillah, guru asal Sawangan, Depok, menghabiskan tiga hari dalam sepekan 
di Sobang. Ia mengatakan Max Havelaar adalah roman pertama yang dibaca di 
dusun itu. Ia merasa perlu mengenalkan buku itu karena di Lebak tak ada 
sekolah yang memperkenalkan atau membahas karya Eduard Douwes Dekker itu. 
"Ini peninggalan Multatuli yang layak mereka ketahui," katanya. Diskusi 
berlangsung dua jam, hingga azan magrib memanggil.

Tak mudah mencari jejak Multatuli di Lebak. Satu-satunya "peninggalan" yang 
tersisa hanyalah sebuah tembok di Rumah Sakit Umum Daerah Adjidarmo, yang 
terletak di Rangkasbitung. Tembok itu masih kukuh. Lebarnya 6 meter, 
tingginya 5 meter, melampaui atap genting rumah di sekitarnya. Tebalnya 
mencapai 60 sentimeter, tapi tak mulus lagi. Sebagian kapur dan semen yang 
melindunginya terkelupas sudah, sehingga tampaklah batu bata merah yang 
menyusun tembok itu. Cat kremnya pun kusam, dikotori grafiti vandal 
bertulisan "Rambo" dan "Bontot" di bagian tengah. Rumput liar yang di-sertai 
serakan sampah plastik mengelilinginya. Entah sejak kapan dan bagaimana 
caranya, satu pohon kersen tumbuh di bagian kiri atas tembok.

Dinding itu kini bersatu dengan tembok yang lebih baru. Meski sama-sama 
kusam, mereka membentuk rumah kecil di area rumah sakit, kontras dengan 
bangunan baru tiga lantai yang mengelilinginya. Tak ada yang tahu kapan 
rumah asli diruntuhkan. "Sejak saya kecil, bangunannya sudah seperti itu," 
kata Kepala Dinas Pemuda, Olahraga, dan Budaya Kabupaten Lebak, Syaifullah 
Saleh, yang kini berusia 43 tahun.

Meski rumahnya telah runtuh, Multatuli tetap diabadikan di Lebak. Ia menjadi 
nama jalan sepanjang satu kilometer, nama sekolah dasar (meskipun Max 
Havelaar tak pernah dipelajari di sekolah ini), apotek, dan gedung utama 
kantor pemerintah Lebak. "Dia orang besar, tokoh dunia," kata Syaifullah.

Namun ketokohan Multatuli ini tak sepenuhnya diterima. Keturunan Raden 
Adipati Karta Natanagara, yang dituding Multatuli dalam Max Havelaar sebagai 
bupati pribumi nan kejam, menilai pengabadian Multatuli terlalu berlebihan. 
Raden Adang Bachtiar Sastranagara, keturunan kelima sang bupati, mengatakan 
bahkan gedung Multatuli berdiri di wilayah yang dibangun Natanagara. Dan 
pengabadian nama Multatuli itu akhirnya semakin menorehkan stigma bagi kakek 
buyutnya. "Seolah-olah Multatuli itu pahlawan dan leluhur saya penjahat," 
kata Adang.

Pada saat Max Havelaar tiba di negeri ini, keluarga Natanagara memang dibuat 
kalang-kabut. Adang menceritakan kakeknya, Raden Nur Sastranagara marah 
besar membaca tuduhan Multatuli. Paman Adang sempat membuat surat penolakan 
kepada pemerintah daerah ketika film Max Havelaar diputar di Lebak pada 
1970-an. Meski tak ada penghinaan langsung dari masyarakat terhadap 
keturunan Natanagara, Adang mengaku sampai sekarang perasaannya selalu tak 
enak setiap mendengar nama Multatuli.

Iroh Siti Zahroh, istri Adang yang juga kerabat jauh Natanagara, 
menyayangkan buku Multatuli diterima begitu saja sebagai sejarah. Padahal 
Max Havelaar adalah roman yang tak lepas dari khayalan pengarangnya, kadang 
khayalan itu bisa dilebihkan sesuai dengan selera pengarangnya. Menurut 
Iroh, tuduhan Multatuli fitnah belaka. Kerja paksa seperti disebutkan Dekker 
sebenarnya bantuan masyarakat terhadap bupati yang mau menyambut saudaranya 
yang menjadi Bupati Cianjur. Saat itu, kata Iroh, sangat wajar masyarakat 
mengabdi pada Natanagara yang keturunan ningrat. Iroh bercita-cita membuat 
buku tandingan Max Havelaar dari sisi Natanagara. Seluruh keluarga sudah 
mendukungnya meski belum mulai disusun. "Semoga saja terwujud," ujarnya.

Sejarawan Bonnie Triyana mengatakan Max Havelaar sebagai karya sastra sangat 
sah. Multatuli menggunakan personifikasi untuk tokoh-tokohnya, yang juga 
digunakan Pramoedya Ananta Toer dalam novel-novelnya. Seperti karya 
Pramoedya, Max Havelaar juga mengundang kontroversi. Bahkan di Belanda ada 
yang menganggap Dekker sebagai penipu. Bonnie menduga Dekker dipengaruhi 
pemikiran liberal-radikal yang saat itu berkembang di Belanda, menentang 
kolonialisme. Saat itu kaum ini masih minoritas.

Memang tak tertutup kemungkinan Multatuli melebih-lebihkan cerita. Apalagi 
ada rentang waktu empat tahun setelah ia kembali ke Belanda lalu melahirkan 
Max Havelaar. Bonnie sendiri tak yakin semua data yang disampaikan merupakan 
hasil penelusuran Multatuli. Pasalnya, dia hanya menjabat asisten residen 
selama tiga bulan. "Minimal butuh enam bulan atau setahun untuk bisa 
mendapat cerita seperti itu," kata lulusan sejarah Universitas Diponegoro 
yang sering menulis soal Max Havelaar ini.

Lepas dari kontroversinya, Bonnie melanjutkan, Max Havelaar menjadi roman 
utama yang mempengaruhi perjuangan bangsa ini. Kartini dan Soekarno, 
misalnya, ikut membaca Max Havelaar. "Roman ini menjadi inspirasi 
kemerdekaan bangsa ini," ujarnya.

Tangan Siti Alfiah, 17 tahun, masih memegang Max Havelaar. Sejak pertama 
berkenalan dengan novel ini, Siti langsung tertarik dan mengagumi Max 
Havelaar, yang suka menolong masyarakat Lebak. Hampir setiap diskusi ia 
hadir. Gadis berkerudung ini mengaku kecewa jika tak bisa mengikuti diskusi.

Siti baru saja lulus SMP dan akan melanjutkan sekolah di Cipanas, sekitar 10 
kilometer dari Ciseel, dan tak mungkin ditempuh pulang-pergi karena kondisi 
jalan yang sangat rusak. Ia ingin bisa pulang pada saat diskusi. Di Ciseel, 
keinginan Multatuli agar bukunya dibaca banyak orang kesampaian. Ada Siti 
Alfiah dan kawan-kawan dalam kelompok diskusi itu yang mengaguminya.
Pramono (Lebak) 

Kirim email ke