Buat temen-temen yang tidak bisa akses web, saya unduhkan artikel lengkapnya:
   
    Ideologi Transnasional Berbahaya, yang Mana?
   
   
  Menarik mencermati pendapat Ketua Umum PBNU, KH Hasyim Muzadi, bahwa gerakan 
politik transnasional telah membuat NKRI menjadi tempat ‘bal-balan” (main bola) 
pihak asing yang menghasilkan konflik lintas agama, interen Islam dan 
separatisme dan lain-lain di Indonesia (Republika, 7 Juli 2007). Lebih lanjut 
ia menyatakan, gerakan politik semacam ini telah menurunkan kredibilitas Negara 
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam menjaga kedaulatan dan perlindungan 
rakyat (NU Online, 9 Juli 2007).
  Sebelumnya pengasuh Pesantren Mahasiswa Al-Hikam, Malang, Jawa Timur itu 
mengusulkan agar pemerintah ’memotong’ masuknya ideologi transnasional itu, 
sebab katanya, liberalisme dari Barat maupun Islam ideologis dari Timur 
sama-sama merusak.
  
Ideologi Transnasional, Tak Terelakan
  Persentuhan Indonesia dengan ideologi transnasional adalah hal yang tak 
terelakan. Bukan hanya ideologi, Indonesia juga bersentuhan dengan hal lain 
baik itu berupa agama, seni, budaya, bahasa, bahkan juga makanan yang bersifat 
transnasional. Lima agama yang diakui (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha) 
juga Konghu Cu, semuanya berasal dari luar Indonesia. Makanan seperti bakso, 
bakmi dan sejenisnya aslinya dari Cina. Istilah kertas, kursi, rakyat, majelis, 
dewan, perwakilan, keadilan dan sebagainya merupakan serapan dari bahasa Arab. 
Diskotik, nite-club, musik rock, dan sejenisnya jelas dari Barat. Termasuk pula 
gagasan-gagasan sistem politik seperti demokrasi, bahkan istilah republik juga 
berasal dari Barat. 
  Posisi geografis Indonesia yang berada di persilangan dua benua dan dua 
samudera, yang membuat arus orang dan informasi mengalir deras, memang sangat 
memungkinkan hal itu terjadi. Maka tidak heran bila banyak unsur transnasional 
yang masuk dan mewarnai perikehidupan politik, ekonomi, sosial dan budaya 
Indonesia. Tak berlebihan bila dikatakan cukup sulit untuk mencari sosok 
‘Indonesia yang benar-benar asli Indonesia”. Setiap kita menyebutkan satu 
’tradisi’ di Indonesia, hampir pasti ia memiliki akar ke budaya luar atau 
setidaknya dipengaruhi unsur luar Indonesia. 
  Bukan soal posisi geografis yang membuat Indonesia menjadi tempat hampiran 
semua agama dan ideologi transnasional, tapi lebih karena semua agama dan 
ideologi itu memang memiliki watak ekspansif dan karenanya akan berkembang 
menjadi sesuatu yang bersifat transnasional. Berkembangnya agama-agama ke 
berbagai wilayah jauh diluar tempat lahirnya, juga sejarah perkembangan 
imperialisme dan kolonialisme Barat dan komunisme di berbagai negara, termasuk 
Indonesia, membuktikan hal itu. 
  Masuknya Islam ke Indonesia juga tidak bisa dilepaskan dari watak 
’transnasional’ Islam. Adalah Sultan Muhammad I dari kekhilafahan Utsmani yang 
pada tahun 808H/1404M pertama kali mengirim para ulama (kelak dikenal sebagai 
Walisongo) untuk berdakwah ke pulau Jawa. Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim - 
ahli tata pemerintahan negara dari Turki, Maulana Ishaq dari Samarqand yang 
dikenal dengan nama Syekh Awwalul Islam, Maulana Ahmad Jumadil Kubra dari 
Mesir, Maulana Muhammad al-Maghrabi dari Maroko, Maulana Malik Israil dari 
Turki, Maulana Hasanuddin dari Palestina, Maulana Aliyuddin dari Palestina, dan 
Syekh Subakir dari Persia. Periode berikutnya, antara tahun 1421-1436 M datang 
tiga ulama ke Jawa menggantikan yang wafat. Mereka adalah Sayyid Ali 
Rahmatullah putra Syaikh Ibrahim dari Samarkand (yang dikenal dengan Ibrahim 
Asmarakandi) dari ibu Putri Raja Campa-Kamboja (Sunan Ampel), Sayyid Ja’far 
Shadiq dari Palestina (Sunan Kudus), dan Syarif Hidayatullah dari Palestina
 cucu Raja Siliwangi Pajajaran (Sunan Gunung Jati). Mulai tahun 1463M makin 
banyak ulama keturunan Jawa yang menggantikan yang wafat atau pindah tugas. 
Mereka adalah Raden Paku (Sunan Giri) putra Maulana Ishaq dengan Dewi 
Sekardadu, putri Prabu Menak Sembuyu, Raja Blambangan; Raden Said (Sunan 
Kalijaga) putra Adipati Wilatikta Bupati Tuban; Raden Makdum Ibrahim (Sunan 
Bonang); dan Raden Qasim Dua (Sunan Drajad) putra Sunan Ampel dengan Dewi 
Condrowati, putri Prabu Kertabumi Raja Majapahit (Rahimsyah, Kisah Wali Songo, 
tanpa tahun, Karya Agung, Surabaya). 
  Keeratan hubungan khilafah Utsmani dan umat Islam di Nusantara digambarkan 
oleh Snouck Hourgroye, “Di kota Makkah inilah terletak jantung kehidupan agama 
kepulauan Nusantara, yang setiap detik selalu memompakan darah segar ke seluruh 
penduduk muslimin di Indonesia.” Bahkan pada akhir abad 20, Konsul Turki di 
Batavia membagi-bagikan al-Quran atas nama Sultan Turki. Di Istambul juga 
dicetak tafsir al-Quran berbahasa Melayu karangan Abdur Rauf Sinkili yang pada 
halaman depannya tertera “dicetak oleh Sultan Turki, raja seluruh orang Islam”. 
(Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, 1986). 
  Watak transnasional ini wajar saja mengingat Islam memang agama bagi seluruh 
manusia di dunia (rahmatan lil ‘alamin). Organisasi Islam di Indonesia pun 
tidak bisa dilepaskan dari ciri ’transnasional’-nya. Sebagian pendiri 
organisasi Islam di Indonesia seperti KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan, 
juga ribuan ulama lainnya belajar di Timur Tengah. Bisa dipahami, sebab pusat 
Islam sejak kelahiran hingga zaman keemasannya memang ada di Timur Tengah. 
  Oleh karena itu, membicarakan ideologi semestinya bukan pada apakah ia 
berasal dari luar atau tidak; transnasional atau bukan karena faktanya semua 
ideologi yang ada memang bersifat transnasional. Tapi yang lebih penting adalah 
apakah ideologi itu membawa kemashlahatan atau kebaikan bagi rakyat atau tidak. 
Secara historis, “ideologi” Islam memang pernah berjalan di Indonesia. Ini 
ditandai dengan keberadaan kesultanan-kesultanan di berbagai wilayah yang 
menerapkan syariah Islam secara praktis. Menurut A.C Milner, Aceh dan Banten 
merupakan kesultanan Islam di Nusantara yang paling ketat melaksanakan hukum 
Islam sebagai hukum negara (Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam 
Indonesia, Rajawali Press, 2005). Di kesultanan Demak sudah ada jabatan qadhi 
yang waktu itu dijabat oleh Sunan Kalijaga. Di bidang ekonomi, Sultan Iskandar 
Muda mengeluarkan kebijakan mengharamkan riba dan menetapkan penggunaan 
deureuham atau dirham sebagai mata uang Aceh yang pertama. 
  
Ideologi Transnasional Berbahaya, yang Mana?
  Bila secara historis Islam telah terbukti memberikan sumbangsih yang 
luarbiasa kepada negeri ini, termasuk dalam perlawanan terhadap penjajah 
Belanda melalui tokoh-tokoh seperti Pangeran Diponegoro, Tjut Nyak Dien, HOS 
Cokroaminoto dan lain-lainnya, lantas ideologi transnasional mana, yang 
berbahaya dan karenanya harus diwaspadai, yang dimaksud oleh Kyai Hasyim? Kita 
yakin, yang dimaksud bukanlah ideologi Islam. Sebab, bila itu yang dimaksud 
tentu tidak sesuai dengan fakta sejarah - sebagaimana dijelaskan di muka - 
maupun fakta kekinian. 
  Fakta yang ada sekarang membuktikan bahwa ideologi kapitalisme global yang 
juga memiliki watak transnasional, bukan sekedar dikhawatirkan akan mengancam, 
tapi malah benar-benar telah merusak dan mengobok-obok Indonesia. Kejahatan 
ideologi ini sudah dimulai sejak masa kolonialisme, dimana baik atas nama 
korporasi maupun negara (Barat), mereka menjajah dan mengeksploitasi kekayaan 
alam Indonesia. Kerusakan yang ditimbulkan luar biasa besar. Bukan hanya 
merampas kekayaan alam, penjajah juga menistakan bahkan juga membunuh ribuan 
rakyat Indonesia. Maka tidak mengherankan bila masih lekat dalam memori hampir 
semua rakyat Indonesia, bahwa Belanda adalah negara penjajah. 
  Dengan perjuangan yang tak kenal menyerah, akhirnya Indonesia berhasil 
merdeka. Tapi ternyata, penjajahan tidaklah berhenti. Lepas dari penjajahan 
militer, Indonesia harus berhadapan dengan berbagai rekayasa untuk tetap 
berlangsungnya penjajahan ekonomi, budaya dan lainnya. Bung Karno menyebut 
neo-imperialisme. Kini, melalui perangkat institusi internasional seperti Bank 
Dunia, IMF, Pasar Bebas, penjajahan dalam bentuk lain terhadap Indonesia terus 
berlanjut. Hutang luar negeri dan investasi asing terbukti tidak 
sungguh-sungguh diberikan untuk membantu, tapi untuk tetap menjajah. Akibatnya, 
meski Indonesia sangat kaya, tapi penduduknya terpaksan harus hidup dalam 
kemiskinan miskin karena kekayaan alam yang melimpah itu (emas, migas, dan 
lainya) yang semestinya bisa dinikmati oleh rakyat malah dihisap oleh negara 
penjajah melalui perusahaan kaki tangannya di negeri ini. 
  Secara politik, Indonesia juga tidak luput dari cengkeraman hegemoni global 
negara-negara adi daya. Dulu, di masa perang dingin, Indonesia harus mengikuti 
strategi global Barat membendung komunisme. Setelah berakhir, Indonesia tetap 
harus tunduk pada negara Barat (AS dan sekutunya) dalam apa yang mereka sebut 
perang global melawan terorisme. Tidak jelas siapa yang dimaksud teroris karena 
apa yang mereka lakukan di Irak dan Afghanistan, juga di Palestina, sejatinya 
jauh lebih dahsyat daripada yang dilakukan oleh orang-orang yang mereka tuduh 
sebagai teroris. Bukan hanya itu, atas nama HAM, Demokrasi, dan Pluralisme, 
negara penjajah juga terus melakukan intervensi yang mendorong disintegrasi. 
Buah yang nyata adalah lepasnya Timor Timur. Bukan tidak mungkin, Papua, juga 
Aceh dan Ambon bakal menyusul. Tanda-tanda ke arah sana sangat nyata.
  Sikap asal menolak ideologi transnasional adalah tidak tepat. Apalagi bila 
yang dimaksud adalah (ideologi) Islam. Sikap yang benar adalah bahwa kita harus 
menolak ideologi yang jelas-jelas telah menimbulkan kerusakan pada negeri ini; 
menyengsarakan rakyatnya dan bakal menghancurkan persatuannya. Itulah ideologi 
transnasional kapitalisme global yang dikomandani oleh AS. Kejahatan ideologi 
ini dengan sangat gamblang diuraikan oleh Vedi R Hadiz dalam Empire and 
Neoliberalism in Asia (2006). Intinya, AS semakin mengupayakan sebuah disain 
kebijakan berskala global, utamanya di bidang politik dan ekonomi, yang dapat 
memberikan jaminan bahwa dominasi atas planet ini tetap berada dalam genggaman 
AS, tidak peduli apakah kebijakan global itu menyengsarakan rakyat di banyak 
negara atau tidak.
  Dengan demikian, menganggap ideologi Islam transnasional sebagai ancaman 
selain ahistoris, tapi juga tidak obyektif. Untuk Indonesia, justru penerapan 
syariah Islam-lah yang akan memperkuat bangsa dan negara ini, sebagaimana 
dahulu dengan semangat Islam juga para pejuang melawan penjajah. Penerapan 
syariat Islam tidak akan pernah membubarkan negara dan bangsa ini, justru akan 
memperkuatnya karena Indonesia merupakan bagian dari negeri Islam. Syariat 
Islam mengharamkan ada bagian dari negeri Islam yang akan memisahkan diri atau 
melakukan disintegrasi. Sejarah membuktikan justru Islamlah yang menjadi faktor 
utama mengapa bangsa Indonesia bisa bersatu hingga seperti sekarang ini. 
Upaya-upaya disintegrasi muncul bukan oleh dorongan semangat Islam, tetapi 
karena faktor lain di luar Islam. Sudah diketahui secara umum bahwa pihak-pihak 
asing memainkan peran penting untuk melepaskan Timor Timur dari Indonesia 
seperti yang sekarang juga mereka mainkan di Papua, Maluku, Poso, dan
 Aceh. Gejala disintegrasi semakin menguat ketika pemerintah juga gagal 
mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyatnya, sementara dominasi asing 
di lapangan ekonomi dan politik makin menjadi-jadi. [Muhammad Ismail Yusanto; 
Jurubicara Hizbut Tahrir Indonesia]
  Wallahu’alam bi al-shawab

  15 Responses “Bahaya Ideologi Transnasional”    
   Amin RH Says: 
July 19th, 2007 at 2:01 pm   Tuduhan Islam - sebagai ideologi transnasional - 
akan merusak bangsa ini,rentan menimbulkan disintegrasi jelas salah alamat, 
bahkan masuk kategori bertentangan dengan realitas yang ada. Seperti, orang 
mengingkari kalau matahari sebagai pusat tata surya ! oleh karena itu, saya 
sepakat sekali apa yang ditulis oleh ust. ismail. Kepada semua pembaca, saya 
sarankan untuk mengcopy artikel ini lalu menyebarkannya ke tokoh-tokoh umat. 
Insyaallah akan sangat bermanfaat
  
   zamain Says: 
July 19th, 2007 at 3:42 pm   ingatlah, islam juga agama transnasional. kalo mau 
jauh dari ide-ide transnasional, ikuti aja animisme dan dinamisme atau kalau 
pingin lebih bersih lagi dari ide transnasional, hidup aj di luar planet bumi, 
gitu aja kok repot.
  
   dian Says: 
July 20th, 2007 at 3:32 pm   islam sebagai ideologi transnasional,yes!coz islam 
bukan hanya milik muslim satu negara tapi milik dunia,baik muslim dan non 
muslim,dan melintasi belahan bumi di dunia.jika mau jujur,tidak hanya islam 
saja,tapi juga ideologi komunisme dan kapitalisme sebagai ideologi 
transnasional.tapi lihat hasilnya.komunisme sudah hancur.kapitalisme sedang 
sekarat alias di ambang kehancuran.dan dua ideologi ini sama bahayanya karena 
tak bersandar pada wahyu Allah tapi pada hawa manusia.sedang islam,jelas tidak 
berbahaya dan terbukti dalam sejarah peradaban selama 13 abad membawa 
kemaslahatan bagi semesta alam.apa lagi yang di ragukan?
  jika mau jujur lagi,jika islam transnasional di tuduh memecah belah NKRI dan 
memicu disintegrasi bangsa,nasionalisme lah yang mencerai beraikan NKRI.timor 
leste yang lepas,papua dengan OPM,maluku dengan RMS,dan aceh dengan GAMnya yang 
bakal menyusul timor leste.nasionalisme lah yang memecah NKRI karena sikap elit 
kita yang memang ‘tidak nasionalis’,tidak mau mendengar jerit tangis rakyat,dan 
akhirnya membuat rakyat negeri ini tak percaya dengan slogan omong kosong 
demokrasi,dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat, yang di usung para elite 
politik di setiap pemilu atau pilkada.jangan salahkan rakyat apalagi islam 
sebagai pembawa malapetaka bagi negeri ini yang kaya tapi rakyatnya hidup 
miskin jauh dari aspek ekonomi,pendidikan,dan kualitas hidupnya dalam seluruh 
aspek kehidupan.sebaliknya,jika islam transnasional diterapkan,kondisi 
sebaliknya akan terjadi i.e.manusia akan hidup damai sejahtera di bawah naungan 
khilafah islamiyah.
  
   Thoriq Says: 
July 21st, 2007 at 8:10 am   sangat disayangkan, statemen spt ini keluar di 
saat seluruh elemen umat ini sedang berjuang menuju persatuan, ukhuwah… tetapi 
kebenaran pastilah akan tiba kemenangannya…
  
   umu salamah Says: 
July 21st, 2007 at 2:56 pm   Kenapa yang lebih banyak dipersoalkan ideologi 
transnasional dari Islam ? Padahal Bahaya kapitalisme trans-nasional bukan lagi 
akan mengancam, tapi sudah menelan jutaan korban rakyat. Kemiskinan, kebodohan, 
kemaksiatan, krimalitas, dijualnya aset negara, korupsi, semuanya akibat 
kapitalism. Saran saya seharusnya, pak Kyai lebih mempersoalkan hal tersebut. 
Wassalam
  
   bahrun solo Says: 
July 22nd, 2007 at 12:21 pm   dilihat dari sejarah, penggunaan istilah 
indonesia (indo+nation) sangat tidak adil sebagai istilah negara ‘pribumi’. 
Namun itu tidak dipermasalahkan. Karena ummat Islam paling jelas pengorbanannya 
dalam upaya pengusiran penjajah di negri ini. Kini setelah sekian lama, ummat 
Islam terlupakan dengan semangat hijaz dan semangat pengembalian khilafah, 
justru ummat Islam sendiri yang takut menegakkan khilafah. Ada apa ini???
  
   abusalma Says: 
July 23rd, 2007 at 2:26 pm   Kalau benar begitu, KH. Hasyim As’Ary pun penganut 
ideologi Islam transnasional. Wali songo juga demikian. Kita dan Pak Hasyim 
Muzadi harus berterima kasih kepada Sultan Muhammad 1 (Pemimpi Ideologi 
Transnasional saat itu) yang telah mengirimkan dai2 transnasional seperti 
Syaikh Ahmad Subakir (di kalangan NU dikenang sebagai wali babat tanah 
Jawa)yang mengajarkan Islam kepada penduduk Jawa penganut Hindu. Bila bukan 
jasa dai transnasional itu, mungkin di depan nama kita bukan Muhammad, Hasyim 
dan Abdul. Tetapi barangkali Nyoman, I Gusti, Ken Arok dsb. Terima kasih Wahai 
para leluhur kami, Syaik Malik Ibrahim, Syaik Jumadil Kubro (di makamkan di 
Nganjuk) seorang dai transnasional yang ditugaskan khalifah Utsmani di tlatah 
Kerajaan Kediri.
  
   iman Says: 
July 23rd, 2007 at 7:41 pm   Sejatinya Ummat Islam adalah para pedjuang 
Transnasional….. dengan dakwah dan Jihad!
  
   Ali Abu Lu'lu' Says: 
July 23rd, 2007 at 11:54 pm   Basysyiri almunafikina bi annalahum azaban alima, 
Alladzina yattakhizunal kafirina auliya’a min dunilmu’minin….. beritakan kabar 
gembira kepada orang-orang munafik bagi mereka azab yang pedih, adalah mereka 
orang-orang yang menjadikan pelindung mereka adalah orang-orang kafir dan 
meninggalkan kaum muslimin…
  
   Mumin Setiawan Says: 
July 28th, 2007 at 1:29 pm   Al Islam sebagai Dien, sekaligus sebagai Idiologi 
yang paling baik dan benar. Hal ini dibuktikan dengan ukhuwah yang telah 
dibangun pada masa kolonialis, sehingga Negeri ini menjadi berdaulat. Namun 
kesalahan besar telah dilakukan ” bapak Negeri ini ” kenapa Islam dan khilafah 
tidak dijadikan dasar negeri ini.
  
   Pakne Faiza Says: 
July 30th, 2007 at 11:15 am   Hati-hati ada skenario perpecahan umat Islam yang 
dicoba diputar ulang.Antara NU dengan HTI,antara PKS dengan Muhammadiyah.Kalo 
dulu NU dengan Muhammadiyah (masih ingat kan?).Saya kira, sudah saatnya kita 
menjadi orang yang dewasa,sabar dan mau berfikir.
Kalo ada pepatah “Dua gajah bertarung,pelanduk mati ditengahnya”,maka ini 
terbalik “Dua pelanduk bertarung,maka gajah akan menginjak kedua pelanduk itu 
biar mampus sekalian”.
Disini ada Amerika yang jelas mengadu domba dan akan mengobrak-abrik negeri 
yang kita cintai ini,Indonesia.
Maka tidak ada yang melindungi negeri Indonesia ini kecuali dengan tegakknya 
Daulah Khilafah Rasyidah Ala minhaji Nubuwah yang akan dengan menengadahkan 
dadanya untuk melawan Amerika,melindungi seluruh rakyat Indonesia dengan segala 
perbedaan SARA-nya.
Amerika paham betul bagaimana menghancurkan dan menjajah negeri ini,yaitu 
dengan mengeleminasi dua pilar bangsa ini yaitu umat Islam dan TNI.TNI sudah 
dipisahkan antara TNI dan Polri.Islam …?terlalu gampang untuk diadu domba.
Ingat pepatah simbah(mungkin temennya daripada eyang kakung)yang berbunyi:
Saiki jaman edan,sakbeja-bejane wong edan,isih beja wong kang eling lan 
waspada.(sekarang jaman edan,seberuntung-beruntungnya orang edan masih 
beruntung orang yang ingat dan waspada).
Mungkin kita dituntut untuk ingat pada Allah dan waspada terhadap segala bahaya 
yang mengintai kita termasuk Amerika dan antek2nya tentunya.
Wallahu a’lam.
  
   Muslim ITS Says: 
July 31st, 2007 at 12:16 pm   Umat Islam jangan mudah terprovokasi oleh 
segilintir orang yang tidak ingin umat islam di negeri ini bersatu dan kuat.
  Bagi provokator yang menginginkan adu domba umat islam, cepatlah bertaubat 
sebelum ajal tiba.
  Waspadalah sekenario Amerika sang zionis untuk memecah ukhuwah umat islam di 
Indonesia.
  
   haritsah gresik Says: 
August 4th, 2007 at 2:09 pm   Engkang kawulo mulyaaken romo kyai haji Hasyim 
Muzadi,
afwan yai, sejatinya saya telah menjadi warga NU selama 22 tahun. Alhamdulillah 
saya pernah mondok di lingkungan pesantren Langitan Tuban meski hanya belajar 
di bulan Ramadhan. kulo ngaos kalayan romo yai Faqih, sa’meniko kawulo 
mirengaken pengaosan injing meniko bab Daulah.
Yang bisa saya dapat poinnya adalah memang indonesia saat ini telah di jajah 
oleh bangsa asing secara halus, bukan secara fisik, sehingga qita yang terlena 
dengan kenikmatan duniawi, tidak terasa dengan efek dari penyuntikan virus 
jajahan itu. Sa’meniko yai Faqih dawuh, “indonesia lan negeri2 islam sa’ndonyo 
bakal lepas teko jajahan Asing, nanging umat islam kabeh bersatu kalyan ikatan 
agomo islam lan kokoh dipimpin pemimpin islam ing siji negoro”.
dawuhipun yai Faqih sa’meniko terus-menerus kulo fikir lan kulo coba mados 
jawabanipun.
Alhamdulillah yai Hasyim, saaya sekarang sudah menmukan jawabannya. ikatan itu 
memang ikatan AQIDAH ISLAM yang ikatan itu sifatnya adalah transnasional,paten, 
gabisa di tawar-tawar lagi.Pemimpin itu adalah seorang KHALIFAH yang akan 
memimpin kaum muslim seluruhnya di dunua dalam bingkai NEGARA KHILAFAH.
sebagai warga sesama muslim,saya pribadi dengan sepenuh hormat mengundang Yai 
HAsyim untuk hadir dan mensukseskan agena KONFERENSI KHILAFDAH INTERNASIONAL, 
AHAD 12 AGUSTUS, GELORA BUNG KARNO,08.00-SELESAI.
MUDAH-MUDAHAN KITA ADALAH WARGA NU YANG MENDAPAT RIDHO DARI ALLAH, TERBUKA HATI 
KITA MENERIMA KEBENARAN INI.
MARI YAI KITA HADIR DAN KERAHKAN SEMUA WARGA KITA
ALLAHU AKBARR!!!!!!!!
  
   salim at-tolaki Says: 
September 3rd, 2007 at 9:10 am   perlu kita pertanyakan kalau seorang pimp.sala 
satu kel. islam terbesar di indonesia ngga faham mana ideologi yang merusak dan 
yang tidak. ironis jika keyakinan kita kita anggap adalagi virus yang merusak 
dan sangat penomenal jika kita menuduh tanpa fakta yang jelas aku hanya ingin 
pertaNYAKAN APAKAH BENAR - BENAR TDK FAHAM ATAU ITU ADALAH PERNYATAAN PESANAN 
WAALLAHU ALAM
madah-mudan allah memaafkan dan mengampuni dosa kita semua
  
   Adidhar Says: 
September 8th, 2007 at 4:05 pm   Alhamdullillah. Dah jelas semuanya

  

Yoga Hanggara <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
          Klik:
http://www.hizbut-tahrir.or.id/index.php/2007/07/19/bahaya-ideologi-transnasional/


                         


e-mail: [EMAIL PROTECTED]  
  blog: http://mediacare.blogspot.com  
   

       
---------------------------------
Catch up on fall's hot new shows on Yahoo! TV.  Watch previews, get listings, 
and more!

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke