Hehe...di Yogya kalo Pak Sultan batuk yang lain juga ikutan 
batuk...Yang bikin saya pingin tau ttg komunitas Kauman itu, ternyata 
mereka dulu penasehat spiritual Kraton yah? Tapi sejak ada pergerakan 
siapa tuh namanya pendiri Muhammadiyah di Kauman?  One single person 
could inspire the whole community and go neck to neck dengan pihak 
Kraton. Masalahnya Sultan sekarang kurang greget lakonnya, jadi yang 
ngikutin juga bingung..

Sama sekali nggak ada masalah kalo kita menyambut sebaik2nya dana 
luar untuk AiDS dan kemanusiaan, bahkan untuk pemberdayaan parpol 
khususnya untuk perempuan aku sama sekali nggak keberatan.   Sikap 
orang Indonesia itu sudah betul tentang pengaruh luar, keramahan dan 
kemampuan kita dalam mengadopsi nilai2 dan budaya luar yang 
universal, itu kan modal dalam mengelola keragaman, dan dalam konteks 
global menjadi asset penting.

TAPIIII... dan ini tapi pake huruf besar, bukan berarti kita lupa 
dengan persoalan dan karateristik lokal kita, dan nggak membangun 
kepercayaan di antara kita sendiri.  Nilai universal itu mesti dalam 
daftar irisan kita yang akan makin melebar, tapi warna lokal kita 
nggak boleh pudar. Nggak bolehnya bukan soal nasionalism tapi masalah 
urusan fitrah manusiawi.

Masalah DB misalnya, yang tentu terkait dengan keharmonisan 
lingkungan seperti sampah, got, tata letak, dll.  Kita lupa bahwa 
manusia2 Indonesia adalah BORN ENVIRONMENTALIST.  Kita punya 
kecenderungan inheren dengan keharmonisn lingkungan, apabila 
tercerabut maka kita akan kehilangan sebagian dari diri kita, dan 
kurang berfungsi.  Contoh banget: Bandung.

Sebagian pejabat dan tokoh tampil cantik tentang isu lingkungan 
(mumpung lagi KTT Bali), tapi mereka memahaminya secara politis saja, 
bahkan sering artifisial, dalam arti nggak nyambung ke bawah dan ke 
implementasinya.  Padahal, masyarakat Indonesia itu semua lahir 
sebagai 'aktivis lingkungan'.

Aku kasih contoh saja. Saya bukan aktivis lingkungan, sungguh, wong 
keahlian saya mengelola keuangan kok. Tapi saya percaya bahwa saya 
adalah salah satu born environmentalit yang berusaha membawa ini 
mencuat dalam kesadaran yang utuh, dan saya mengharap yang sama dari 
orang2 lain karena itu alamiah dan realistis saja.

Tapi ada gap yang demikian besar di antara kita, kalangan atas dan 
bawah tentang persepsi lingkungan ini.  Aku setel dimana-mana di 
kantor (cluster elit) di rumah di tetangga (cluster menengah-bawah) 
video Al Gore Inconvenient Truth itu.  Apa mereka ada perhatian?  
nggak! katanya pelem kok ngobrol mlulu...:-(  Aku canangkan sekian % 
setiap proyek untuk penanaman pohon dan taat lingkungan, tapi apakah 
kita patuh itu?  Nggak...itu sama sekali bukan prioritas di kesadaran 
kita.   

Aku sampe kluarin hadis, nabi tuh di jaman perang wanti2 jangan 
nebang pohon, apalagi kita sekarang...pada manggut2 tapi tetep saja 
dilewatin kapan bisa.  Mungkin orang juga pada nyaris bosen aku 
ngomongin kearifan lokal nya baduy dalam kalo soal lingkungan. 

Apa itu bukan persoalan moral?  Iyalah, kita tahu memasuki resiko 
lingkungan yang dahsyat, tapi nggak mo partisipasi apa-apa, bahkan 
mengkhianati kearifan lokal kita sendiri.

Sementara di kalangan sebagian elit isu lingkungan jadi sekedar tanda 
tangan atau semacam 'pakta'. Sebel juga berhadapan dengan institusi 
atau orang yang sama yang terdepan dalam isu lingkungan seperti KTT 
ini, tapi pas di lapangannya malah memble, bahkan menyingkirkan 
ketaatan lingkungan itu sendiri.  Dimana moralnya?  Pasti jawabannya 
ini soal prioritas.  Tapi prioritas kalau nggak menyemati persoalan 
resiko lingkungan itu kan moral hazzard namanya. 

Ini akibat dari menindaklanjuti isu lingkungan HANYA dari perspektif 
gerakan politik yang elit dan luar, sementara kita nggak mengukuhkan 
akar kita sendiri.

Namun tentu saja, keadaan berubah. Ada cluster2 di masyarakat di 
sekeliling kita yang sudah bergerak menata lingkungan, dan kebanyakan 
dimotori ibu2 perempuan2 yang memang akrab lingkungan dari sononya.  
Cluster atau irisan ini akan makin membesar, kalau arahnya betul, dan 
akan diadopsi oleh para elit (bapak2), yang dengan bangganya 
menandatangani pakta lingkungan....

salam
Mia

--- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "donnie ahmad" 
<[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> Satu hal yang menarik dari fenomena AIDS yang tidak ditemui pada 
penyakit
> atau fenomena sosial lainnya adalah bertemunya semua komunitas 
masyarakat
> (dengan segala identitasnya) dalam satu tempat dan peristiwa.  
Contohnya ya
> kemarin pas Hari AIDS.  Kembali di jogja, hari minggu pagi, hampir 
semua
> komunitas (birokrat seperti pak Sultan dan kepala dinas terkait, 
waria, psk,
> masyarakat marginal lainnya, mahasiswa dan pelajar, rektor, 
agamawan, bahkan
> anak TK yang ikut drum band) tumplek bleg jadi satu dan saling
> berkomunikasi.  Kalaupun ada yang berpretensi negatif, sepertinya 
hanya
> tertahan dalam diri, karena semua orang mencoba berempati.  Saya 
pikir ini
> kok seperti blessing in disguise, karena kesadaran terhadap bahaya 
AIDS
> meningkatkan kesadaran sosial kita.
> Masalah stigma dan diskriminasi jelas selalu ada, meskipun akan 
berubah
> berdasarkan semakin umumnya penyakit tersebut, tidak akan kita 
hilangkan.
>  Bahkan di Afrika Selatan dimana proporsi HIV di populasi umum ada 
yang
> mendekati 40% stigma tetap ada bahkan presiden mereka sempat 
ignorance
> terhadap penyakit ini, tapi toh akhirnya realitas akan memaksa 
orang untuk
> sadar dan bertindak.  Masalahnya tinggal kesadarannya itu cukup 
terlambat
> atau tidak.  Di Indonesia saya pikir kesadaran itu cukup ada 
(bahkan ada
> mantan menag yang juga aktivis AIDS), tinggal pada tataran praktis
> intervensi masih banyak kontroversi terutama antara pengusung 
gerakan moral
> normatif vs pengusung pemutusan rantai penularan praktis.
> 
> kenapa AIDS dan bukan DB, saya rasa terkait dengan politik 
ditingkat global
> dimana  AIDS merupakan ancaman negara dunia 1 juga sementara DB 
hanyalah
> ancaman negara tropik yang notabene adalah dunia 3, dan 
dikategorikan
> sebagai neglected disease.
> 
> Donnie
> 


Kirim email ke