Oii Om'Ma yg gagah berani....  Anak TK pun pasti ngerti maksude : Kalo Al'quran 
menyebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW itu Nabi Penutup berarti tidak ada Nabi 
setelah beliau, Allah sendiri lho yang bilang dalam Al-quran..  Pake dong otake 
& penalarannya... 
  --
  Masyarakat muslim Indonesia umumnya menolak kehadiran dan perkembangan 
Ahmadiyah di daerahnya. Kasus penolakan ini bisa dilihat, misalnya, di Sumatra 
Timur tahun 1935, Medan (1964), Cianjur (1968), Kuningan (1969), Nusa Tenggara 
Barat (1976), Kalimantan Tengah, Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, 
Surabaya/Jawa Timur, Parung/Bogor (1981), Riau (1990), Palembang, Sumatra 
Barat, Jakarta, termasuk Timor Timur ketika masih bergabung dengan NKRI. Sikap 
penolakan itu terus berlanjut dengan intensitas yang berbeda, tergantung pada 
tingkat ekslusivitas dan agrivitas kegiatan Ahmadiyah setempat.
   
  Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa tahun 1980 bahwa Ahmadiyah 
adalah jamaah di luar Islam, sesat dan menyesatkan. Fatwa ini ditindaklanjuti 
dengan hasil Rapat Kerja Nasional MUI, 4-7 Maret 1984 yang merekomendasikan 
agar pihak yang berwenang meninjau kembali Surat Keputusan Departemen Kehakiman 
RI No. 13, tanggal 13 Maret 1953, tambahan Berita Negara No. 26, tanggal 31 
Maret 53 tentang status badan hukum Ahmadiyah.
  Jauh sebelumnya, Konferensi organisasi-organisasi Islam sedunia yang diadakan 
di Makkah Al-Mukarramah, Rabiul Awwal 1394/1973 antara lain merekomendasikan 
bahwa Ahmadiyah adalah suatu sekte yang sangat menghancurkan, menjadikan Islam 
sebagai semboyan untuk menutupi maksud jahatnya. Golongan Ahmadiyah adalah 
kafir dan keluar dari Islam, sebab Ahmadayah memikiki kepercayaan bahwa 
pemimpinnya mengaku nabi, teks Al-Quran diubah-ubah, dan jihad itu tidak ada. 
  Oleh karena itu organisasi Islam sedunia meminta agar pemerintah-pemerintah 
Islam melarang setiap kegiatan pengikut Mirza Gulam Ahmad, dan menganggap 
mereka sebagai golongan minoritas non-muslim, serta melarang mereka untuk 
jabatan yang sensitif di dalam negara.
   
  ini artikel lengkapnya di PERSIS : http://persis.or.id/qs/?p=35...
  tg Debat, sejarah, Penolakan dari jaman Jebot  thp ahmadiyah..
   
  Persis Dan Ahmadiyah
  Tahun 1930-an, Tuan Hassan melakukan perdebatan dengan tokoh Ahmadiyah 
Indonesia ketika itu, Abubakar Ayyub. Sejak awal memang Persis menetang 
Ahmadiyah, sebab ajarannya menyeleweng dari ajaran Islam. Penyelewengannya yang 
terutama adalah pengakuannya terhadap Murza Gulam Ahmad sebagai nabi setelah 
Nabi Muhammad Saw, dan mengaku adanya kitab suci setelah Al-Quran, yaitu 
Tadzkirah yang diturunkan kepada Murza Gulam Ahmad. Inilah penyelewengan yang 
sangat fatal. Bila mengaku ada nabi lagi setelah Nabi Muhammad Saw dan ada 
kitab suci setelah Al-Quran, kelompok itu jelas keluar dari Islam, tidak 
termasuk golongan muslim.
  Dalam buku “Riwayat Hidup A. Hassan”, H. Tamar Djaja menceritakan debat A. 
Hassan dengan tokoh Ahmadiyah itu. Dalam perdebatan itu, A. Hassan mengemukakan 
sebuah “hadis” yang dikutif dari kitab Murza, yang berbunyi: “Di hari 
Rasulullah Saw meninggal, bumi berteriak, katanya: “Ya Allah, apakah badanku 
ini akan Engkau kosongkan daripada diinjak oleh kaki-kaki nabi sampai hari 
kiamat?” Maka Allah berfirman kepada bumi itu: “Aku akan jadikan di atas 
badanmu manusia yang hatinya seperti nabi-nabi.” 
  Abubakar Ayyub lalu menanyakan tentang riwayat hadis ini, dan A. Hassan 
menjawabnya tidak tahu, sambil berkata: “Apakah tuan suka hadis ini? Bila tuan 
suka silahkan pakai, bila tidak silahkan tolak.”
  Abubakar Ayyub menolak “hadis” yang disampaikan oleh A. Hasan itu, karena 
tidak jelas siapa periwinya, dari mana diambilnya, dan di kitab apa 
tertulisnya. Pengikut Ahmadiyah yang hadir ketika itu bersorak, merasa bangga 
dengan tokohnya yang akan menang berdebat dengan waktu singkat, sebab A. Hassan 
tidak bisa menerangkan riwayat hadis yang dibacakannya. Mereka bersorak, dan 
Ayyub pun merasa dirinya menang. Namun kemudian A. Hassan mengatakan bahwa 
hadis itu terdapat di kitab Mirza, Tuhfah Baghdad, halaman 11. saat itupun 
pengkit Ahmadiyah diam seribu bahasa. 
  Giliran A. Hassan yang menyuruh Abubakar Ayyub agar bertanya kepada nabinya 
(Mirza) tentang riwayat hadis itu dan dari mana diambilnya, serta tanyakan 
pula, bagaimana bumi bisa bicara kepada manusia, sebab hadis itu bukan hadis 
nabi, mengingat bumi berteriak setelah Rasulullah wafat. Jadi, tegas A. Hassan, 
tentu ada orang lain yang mendengar omongan bumi, dan jawaban Allah itu pun 
orang lain yang mendengar. Siapa dia? Tanyakan kepada “nabi” Mirza.
  Abubakar Ayub ketika itu sebetulnya sudah kalah total, tetapi ia masih 
berkelit dengan mengatakan bahwa hadis itu, bisa jadi terdapat dalam kitab 
“Kanzul Ummi,” masih kitabnya Ahmadiyah, namun ia bahkan melemahkan dirinya 
dengan mengaku tidak membawa kitab tersebut, jadi tidak bisa dilihat.
  Selanjutnya A. Hassan menegaskan bahwa dengan adanya “hadis” itu sudah cukup 
menunjukkan kepalsuan Mirza. Lagi pula, kata A. Hassan, hadis yang dibawakan 
oleh Mirza itu dengan jelas menyebutkan bahwa nabi (setelah Nabi Muhammad) 
tidak ada lagi. Yang ada hanya orang-orang yang hatinya seperti nabi. 
  “Kalau perkataan yang begini terang, tuan mau putar-putar lagi, saya minta 
diadakan juri. Saya heran, apa sebab Ahmadiyah takut diadakan juri. Juri tidak 
akan makan orang!” tegas A. Hassan.
  Dari perdebatan ini jelas bahwa sebenarnya Abubakar Ayyub tidak memilki 
hujjah (dalil) yang kuat untuk membela Mirza Gulam Ahmad sebagai seorang nabi. 
Meski demikian ia tidak tunduk dan menjadi pengikuti Islam yang baik. Ia tetap 
menjadi pengikut Ahmadiyah. Memang Abubakar Ayyub dikenal sebagai orang yang 
pandai memutarbalikkan fakta demi untuk mempertahankan keyakinannya kepada 
Ahmadiyah.
  Hal itu terlihat ketika A. Hassan tak menyebut rawi hadis dan kitab yang 
memuatnya, keluarlah ejekan dan cemoohan. Namun kektika A. Hassan menyebutkan 
bahwa hadis itu tertera di kitab Tuhfah Baghdad terbitan Punjab Press Sialkot, 
Muharram 1311 H, Abubakar Ayyub dan pengikut Mirza lainnya pucat pasi, tetapi 
mereka tidak berubah keyakinan, tetap menjadi pengikuti Mirza.
  Sedikit tentang Ahmadiyah  Ahmadiyah didirikan oleh Mirza Gulam Ahmad tahun 
1989 di Qodyani, India. Mirza lahir di Qodyani, 13 Pebruari 1835 dan meninggal 
26 Mei 1908 di Lahore. Di kalangan Jemaat Ahmadiyah, Mirza Gulam Ahmad diyakini 
sebagai Imam Mahdi, Al-Masih Al-Mau’ud, nabi dan rasul.
  Sepeninggal Mirza (1908), kepemimpinan Ahmadiyah dilanjutkan oleh Hadzrat 
Hafid H. Hakim Nuruddin selaku khalifah I hingga tahun 1914. selanjutnya secara 
berturut-turut dipilih khalifah II, Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad (1914-1965), 
khalifah III, Hadzrat Hafid Nasir Ahmad (1965-1982), dan khlaifah IV, Hadzrat 
Mirza Taher Ahmad (1982- hingga sekarang). Ahmadiyyah meyakini, jabatan 
khalifah harus ada hingga hari kiamat, dan kedudukan kekhalifahan Ahmadiyah 
berpusat di London, Inggris.
  Ahmadiyah masuk ke Indonesia tahun 1922, dibawa oleh seorang mubaligh 
Ahmadiyah yang bernama Khawajah Kamaluddin. Dia berhasil menarik beberapa orang 
dari Perguruan Sumatra Thawalib, di antaranya Ahmad Nuruddin. Selanjutnya, 
Ahmad Nuruddin dan teman-teman mendapat kesempatan melanjutkan studi di Lahore 
dan Qadian, dan atas permohonan Ahmad Nuruddin dan kawan-kawan, seorang 
mubaligh Ahmadiyah, Maulana Rahmat Ali diutus ke Indonesia tahun 1925. 
  Awalnya, jemaat Ahmadiyah di Indonesia bernama Anjungan Ahmadiyah Qadian 
Departemen Indonesia, kemudian diganti menjadi Jemaat Ahmadiyah Indonesia 
(JAI). Dalam perkembangannya, Ahmadiyah terbagi dua aliran, yaitu JAI yang 
berdiri tahun 1925, dan Gerakan Ahmadiyah Lahore Indonesia (GAI) yang berdiri 
tahun 1929. JAI terdaftar sebagai Badan Hukum di Dfepartemen Kehakiman RI, 13 
Maret 1953 dan dimuat dalam Tambahan Berita Negara RI, 31 Maret 1953.
  Dari sejak awal kemunculannya, Ahmadiyah ditentang oleh kaum muslimin 
Indonesia yang mayoritas beraliran Sunni, sebab ajarannya dinilai menyimpang 
dari ajaran Islam. Penyelewengannya yang esensial adalah, penganut Ahmaddiyah 
mengaku ada nabi dan rasul setelah Nabi Muhammad Saw, yaitu Mirza Gulam Ahmad; 
memiliki kitab suci sendiri, yaitu “Tazkirah” yang kesuciannya diakui sama 
dengan Al-Quran; serta mengaku ada tanah suci selan Makkah dan Medinah, yaitu 
Qadyani, dan Rabwah.
  Penyelewengan lainnya adalah wahyu tetap turun sampai hari kiamat; surga 
mereka di Qadian (India) dan Rabwah (Pakistan) yang dikenal dengan nama Bahesti 
Maqbarah (pekuburan ahli surga), karenanya “kavling surga” di dua tempat itu 
dijual kepada masyarakat dengan harga yang sangat mahal; wanita Ahmadiyah 
diharamkan menikah dengan laki-laki di luar Ahmadiyah, tetapi laki-laki 
Ahmadiyah boleh menikah dengan wanita bukan Ahmadiyah; tidak boleh bermakmum 
kepada yang bukan Ahmadiyah; dan mempunyai sistem penanggalan sendiri, dengan 
nama bulan: 1. Suluh, 2. Tabligh, 3. Aman, 4. Syahadah, 5. Hijrah, 6. Ikhsan, 
7. Wafa, 8. Zuhur, 9. Tabuk, 10. Ikha, 11. Nubuwah, 12. Fatah. Nama tahunnya 
adalah Hijri Syamsyi (HS).
  Dalam kitab Tadzkirah, Mirza Gulam Ahmad menerangkan bahwa ia menerima wahyu 
dari Tuhan, salah satunya adalah bahwa Tuhan telah memberi barkah kepadanya. 
Namun wahyu yang diterimanya itu dicampur dengan potongan ayat-ayat Al-Quran, 
seperti yang tercantum dalam Tadzkirah: 43; Haqiqatul Wahyi: 70, dan 
Al-Istifta: 79: “Wahai Ahmad, Allah telah memberi barkah kepadamu. Dan bukan 
kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar (Tuhan) 
Yang Maha Pemurah, yang telah mengajarkan Al-Quran.”
  Kalimat pertama: “Wahai Ahmad, Allah telah memberi barkah kepadamu,” adalah 
wahyu dari Allah kepada Mirza Gulam Ahmad, sedangkan kalimat kedua, “Dan bukan 
kamu yang melempar ketika kamu melempar dan seterusnya …” adalah terjemahaan 
firman Allah yang tertera dalam Al-Quran surat Al-Anfal ayat 17. Namun bagian 
awal dan akhir ayat tersebut tidak ditulis dengan lengkap. Ratusan ayat 
Al-Quran lainnya dibajak oleh Mirza Gulam Ahmad yang diakuinya sebagai wahyu 
yang diturunkan Allah kepadanya setelah dicampuri dengan ucapan dia kemudian 
dihimpun dalam “kitab suci” Tadzkirah. 
  Oleh karena itulah maka Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa 
tahun 1980 bahwa Ahmadiyah adalah jamaah di luar Islam, sesat dan menyesatkan. 
Fatwa ini ditindaklanjuti dengan hasil Rapat Kerja Nasional MUI, 4-7 Maret 1984 
yang merekomendasikan agar pihak yang berwenang meninjau kembali Surat 
Keputusan Departemen Kehakiman RI No. 13, tanggal 13 Maret 1953, tambahan 
Berita Negara No. 26, tanggal 31 Maret 53 tentang status badan hukum Ahmadiyah.
  Jauh sebelumnya, Konferensi organisasi-organisasi Islam sedunia yang diadakan 
di Makkah Al-Mukarramah, Rabiul Awwal 1394/1973 antara lain merekomendasikan 
bahwa Ahmadiyah adalah suatu sekte yang sangat menghancurkan, menjadikan Islam 
sebagai semboyan untuk menutupi maksud jahatnya. Golongan Ahmadiyah adalah 
kafir dan keluar dari Islam, sebab Ahmadayah memikiki kepercayaan bahwa 
pemimpinnya mengaku nabi, teks Al-Quran diubah-ubah, dan jihad itu tidak ada. 
  Oleh karena itu organisasi Islam sedunia meminta agar pemerintah-pemerintah 
Islam melarang setiap kegiatan pengikut Mirza Gulam Ahmad, dan menganggap 
mereka sebagai golongan minoritas non-muslim, serta melarang mereka untuk 
jabatan yang sensitif di dalam negara.
  Penolakan Kaum Muslimin  Masyarakat muslim Indonesia umumnya menolak 
kehadiran dan perkembangan Ahmadiyah di daerahnya. Kasus penolakan ini bisa 
dilihat, misalnya, di Sumatra Timur tahun 1935, Medan (1964), Cianjur (1968), 
Kuningan (1969), Nusa Tenggara Barat (1976), Kalimantan Tengah, Sulawesi 
Selatan, Kalimantan Barat, Surabaya/Jawa Timur, Parung/Bogor (1981), Riau 
(1990), Palembang, Sumatra Barat, Jakarta, termasuk Timor Timur ketika masih 
bergabung dengan NKRI. Sikap penolakan itu terus berlanjut dengan intensitas 
yang berbeda, tergantung pada tingkat ekslusivitas dan agrivitas kegiatan 
Ahmadiyah setempat.
  Upaya penolakan terhadap Jemaat Ahmadiyah diwujudkan dalam berbagai bentuk 
aksi, seperti mengirim surat pernyataan keberatan dan keresahan akan kehadiran 
Ahmadiyah kepada Pemerintah Daerah dan Pusat serta mempublikasikannya dalam 
berbagai media massa. Bahkan dengan berdemo, seperti di Parung, Bogor, 
masyarakat muslim menentang perkembangan Ahmadiyah dengan mnyegel tempat 
kegiatan mereka. Persis mempunyai cara sendiri dalam menolak Ahmadiyah, yaitu 
dengan cara berdebat
   
  
ma_suryawan <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
          Rye Woo,

--- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, Rye Woo <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

>Begitupula dg kasus Ahmadiyah yg jelas2 mempercayai bahwa MGA itu 
Nabi, inikan jelas menyimpang dari ajaran yg dibawa oleh Rosululloh.. 

Ajaran Rasulullah s.a.w. mana yang mengatakan bahwa adanya Nabi 
setelah Nabi Muhammad s.a.w. jelas menyimpang?

Buktikan dan kita bahasa di sini. Sanggup?

Salam,
MAS



                           

       
---------------------------------
Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile.  Try it now.

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke