Saya ulang lagi yang pernah saya bilang di sini tahun2 lalu. Di Islam, tidak ada kewajiban bagi isteri untuk melakukan masak, bersih2 rumah, nyuci2, dsb.
Kalau isteri melakukan hal2 itu, Allah akan memberikan reward atas perbuatan baiknya. Si suami justru berhutang budi kepada isteri yang mau mengerjakan hal2 domestik. Tugas isteri hanya mengurus anak (-anak). Laki2 Indonesia pada tinggi resistensinya terhadap ajaran Islam spt yg saya katakan di atas. Budaya kita mengajarkan bahwa pekerjaan domestik adalah urusan perempuan. Kilas balik ... Seumur hidup saya tak pernah melihat Bapak memegang sapu. Untuk itu dari sejak kecil, saya dipersiapkan untuk jadi upik abu. Nyuci piring, nyapu, ngepel, beli minyak tanah ke warung pake jerigen yang beratnya minta ampun. Sementara my male siblings pada asyik ngelayap maen ketapel, maen gundu sampai maghrib. Coba kalau saya punya saudara perempuan, bisa gotong royong berdua ngerjakan urusan rumah. Ibu sudah capek memasak dan bekerja sebagai guru. Dulu waktu anak saya masih kecil, sekolahnya siang jam 13.00 sampai jam 18.00. Jadi pagi2 setelah siapkan sarapan & baju suami, saya masih sempat nyemir sepatu suami & membersihkan kaca matanya. Teman saya, sambil mesam-mesem kasih komentar: Kok mau-maunya sih, mbak? Saya bingung juga mendengarnya, bukankah ini tugas isteri? Meski suami tidak meminta. Toh saya sudah berhenti bekerja sejak mengikuti suami ke luar negeri. Ngapain lagi kalau bukan ngerjakan yang beginian? Malah saya merasa beruntung karena sudah terlatih dari sejak kecil. Umur 8 tahun sudah masuk dapur, wajah kebledhosan minyak goreng waktu menggoreng krupuk. Jari tangan mengelupas kena uap panas waktu mengangkat kukusan saat memasak nasi. Setelah anak saya sudah gede, sekolahnya pagi. Saya siapkan sarapan dan bekal makan siang utk mereka. Tak sempat lagi nyemir sepatu, paling2 bersihkan kaca mata. Sebab sayapun juga harus bersiap diri ngantar anak ke sekolah. Apalagi suami berangkat pagi sekali, untuk menghindari macet yg bisa bikin telat sampai kantor. Telat tiba di kantor is a huge shame. Dari pengalaman berpindah-pindah negara, ternyata nggak jauh beda yang dialami kaum wanita. Saya dengar keluhan para karyawati di kantor suami. Capek pulang dari bekerja, eh .. di rumah masih harus menyapu, memasak, dsb. Sedang suami mereka enak2 nonton TV menunggu hidangan makan malam siap. Malah ada yang sering dipukulin suami, sampai wajahnya bengeb2. Dia kabur ke rumah ibunya, tapi toh lusanya sudah balik lagi ke suaminya. Saya sampai gemas juga dg wanita itu, kok masih saja bertahan dengan suami macam itu. Dua tahun lalu, anak saya ada Easter break, 2 minggu, maka saya berlibur dan bertemu kembali dg mereka. Ngobrol ngalor ngidul, termasuk urusan domestik rumah. Mereka ternganga-nganga, saat saya bilang bahwa suami saya yang membersihkan 4 kamar mandi dan mem-vacuum carpet.T Tak menyangka si mantan boss mereka kok mau ngerjakan hal2 itu di rumah. Teman saya yang orang Kanada, pernah ngiri pada saya, karena suaminya tak mau tahu dengan urusan rumah. OK, akhir kata, saya tidak setuju pendapat mas Werkuwer di bawah ini. Suami saya juga mengerjakan domestic chores sebagaimana diajarkan dalam Islam, dan yg dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Kalau rumah tangga saya dicap tidak Islami, saya protes :-D Salam, Flora ---------------------------------- Re: Muslimah Feminists: 'Islam must not be used to discriminate agai Posted by: "werkuwer" mnug2...@yahoo.com werkuwer Mon Feb 16, 2009 9:34 pm (PST) ini jelas keluarga yg ndak islami. mana ada laki-laki mengerjakan tugas-tugas domestik dalam ayat? --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "Ari Condro" <masar...@...> wrote: > > Kenapa sih bukan suaminya yg tugas cuci piring ? Ane yg bagian cuci piring tuh di rumah. Ini warisan dari kebiasaan bokap. > > Ebes malah lebih ekstrim lagi, yg ngepel, cuci pakaian dan bikin minum, yg ngerjain ebes sendiri. Padahal ebes ini tentara lho. Yg identik dengan maskulin. > > Ane aja malu sama tingkat kerajinan bokap. > > > salam, [Non-text portions of this message have been removed]