Two thumbs up .. Solusinya memang memperbaiki kekeliruan yang ada sambil terus melangkah ke depan, dan bukannya ber-romantisme ria dengan masa lalu .. apalagi keindahan masa lalu yg semu .. hehehehe
Salam Syafei --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "Herni Sri Nurbayanti" <nurbaya...@...> wrote: > > Maksud saya memang amandemen UUD 1945, pak. Kebingungan bapak itu berakar > dari proses amandemennya yang memang sudah salah. Dimana letak kekuasaan DPR > dalam pembentukan hukum sebenarnya? Kalau liat UUD 1945 dan doktrin hukum > pada umumnya soal tata urutan peraturan perUUan, konstitusi tentu diletakkan > jauh lebih tinggi derajatnya dengan UU. Untuk perubahan konstitusi pun, > prosedurnya beda. Tidak bisa kita secara otomatis melimpahkan wewenang itu ke > DPR yg so called, wakil rakyat. Perlu referendum, persetujuan rakyat. > > Idealnya, memang membentuk komisi konstitusi, untuk menghindari pengaruh2 > kepentingan politis dlm prosesnya. Kalau dilihat pengalaman negara2 lain pun, > demikian. Dimana-mana begitu, tapi Indonesia kan lain. Selalu mau tampil beda > :) Tapi ide ini digagalkan dan DPR (tepatnya MPR kala itu) mengambil alih > proses ini. Sudah jadi pengetahuan umum, bahwa anggota DPR itu bukan wakil2 > rakyat, tapi wakil2 partai politik dan entah kepentingan apalagi yg mereka > bawa. Ya tidak heran, proses amandemen pun menjadi sangat politis. > > Sistem kenegaraan kita pun menjadi "aneh" di beberapa tempat. Contoh paling > jelas, posisi DPD. Saya sendiri dan banyak yg lainnya juga tidak puas dng > proses amandemen. Dari kalangan masyarakat sipil pun tidak puas, bahkan sejak > usul pembentukan komisi konstitusi tidak diterima. Bisa bapak liat di > dokumen2 koalisi komisi konstitusi. Tapi bahwa ketidakpuasan ini lantas > dijadikan alasan utk kembali ke masa sebelum reformasi, itu persoalan lain, > pak. > > Siapapun pasti punya kritik thd proses pembaruan/reformasi, yang mungkin bisa > dibilang sejak amandemen itu dimulai. Dan di tataran bawah, rakyat lebih > pusing lagi... karena ekonomi makin memburuk, dan politisi busuk makin banyak > di semua tingkatan. Mereka tidak paham utk apa institusi2 baru yg terbentuk > ini? Jangankan rakyat, wong wartawan aja ada yg masih ndak ngerti, MK itu > fungsinya apa. Bisa jadi kesalahan penggiat NGO juga, terlalu banyak bergaul > dng para elit, lupa mensosialisasikan ini ke masyarakat sampai ke level yang > paling bawah. > > Tapi kemudian pertanyaannya, apakah solusinya lantas kembali ke UUD 1945, > dalam pengertian kembali ke struktur yg dulu, dimana kekuasaan terbesar ada > di eksekutif yg otoriter dan "stabilitas politik" serta "stabilitas ekonomi" > jadi cara kita bernegara dan berdemokrasi? Saya rasa tidak. Bayangan akan the > good old times, dimana padi masih hijau, rakyat rukun, tentram, dan sejahtera > serta tidak ada rusuh-rusuh politik karena pemimpinnya punya kemampuan utk > mengendalikan situasi politik tapi di saat yang sama juga ramah dan > mengakomodasi rakyat kecil (hayo, ini iklan capres yg mana? hehe) > > Jadi, gagasan utk kembali ke UUD 1945 adalah kembali ke masa itu, pak. Kalau > soal mana yg orisinilnya sih kan bisa dilihat buku P4 jaman dulu, yg masih > ada di lapak-lapak pasar senen :) Atau, P3DI DPR pasti punya bahannya. > > Saya punya banyak kritik thd DPR yg sekarang, bapak bisa liat di catatan2 yg > kami keluarkan tiap tahun (dan oktober nanti insya Allah catatan utk DPR > periode 5 thn ini), tapi utk mengembalikan DPR menjadi institusi yg sekedar > meng-iya-kan apa kata eksekutif, wah.. ntar dulu. Mungkin terlalu phobia, > tapi bukan tidak mungkin, ketakutan saya ini bisa terjadi... bila mengingat > konstelasi politik di DPR sekarang dan kemungkinan relasi > legislatif-eksekutif nanti. Daftar anggota DPR kan sudah beredar, dan sudah > banyak yg mulai memetakan konstelasi politik di DPR 5 thn ke depan spt apa. > Tinggal satu puzzle yg kurang utk melengkapi pemetaan itu, capres-cawapres. > > > Jadi memang perdebatan capres-cawapres bukan soal jilbab, baju, golput > ataupun apalah itu, tapi apa yg akan menjadi Indonesia lima tahun mendatang. > > Sekedar pikiran sederhana saya saja. Just my 2 cents. > > Wassalam, > Herni > > > --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "achmad chodjim" <chodjim@> wrote: > > > > Mbak Herni, > > > > Meski tak ada hubungannya dengan PDIP dan Gerindra, saya termasuk yang > > memperjuangkan UUD 1945. Babak belurnya NKRI sejak krisis reformasi adalah > > karena MPR reformasi telah menghancurkan UUD 1945. > > > > Apa tidak perlu amandemen? Sangat diperlukan! Tetapi, amandemen itu bukan > > mengubah UUD 1945, melainkan menambahkan pasal-pasal yang kurang dan pasal > > tambahan itu dilampirkan. Dengan cara itu, bangsa Indonesia akan bisa > > mengontrol isi undang-undang yang dibuatnya pada tingkat orisinalitasnya, > > dan bisa mengontrol pasal-pasal yang ditambahkan. Dengan cara itu, bangsa > > Indonesia bisa mengamandemen amandemen yang keliru. > > Sekarang ini orang kebingungan apa isinya UUD 1945 yang asli itu. Dan, dalam > amandemen sebanyak 4 kali itu, penjelasan UUD 1945 lha koq dihilangkan? > Ingat, penjelasan UUD 1945 itu termasuk dalam UUD 1945 agar mereka yang > mengamandemen tidak salah tafsir dan punya pijakan historis. > > Wassalam, > chodjim > > > > > > > > ----- Original Message ----- > > From: Herni Sri Nurbayanti > > To: wanita-muslimah@yahoogroups.com > > Sent: Monday, June 01, 2009 7:30 PM > > Subject: [wanita-muslimah] Re: Neolib > > > > > > > > > > > > Kalo gak salah, yg disasar itu peralihan bisnis militer, mbak. Tapi emang > > informasi soal reformasi di dunia militer minim sekali. > > > > Belum lagi, belum tentu institusinya mau direformasi. Di antara > > institusi2 negara, mungkin yg paling terbuka buat perubahan adalah MA, > > terlepas dari segala kekurangan yg ada dalam prosesnya. Kejaksaan, > > misalnya... mengalami hambatan, mungkin baru tahun 2007an bisa efektif > > masuk, itupun terbatas. Ada pintu2 tertentu yg bisa dimasuki. Di menegpan? > > Reformasi birokrasi diartikan secara sempit: renumerasi :-(. > > Dan ini jadi kartu domino, akan merembet juga ke seluruh pemda. Bayangkan > > menggelembungnya anggaran, mending kalau memang efektif. > > > > Yg dianggap berhasil, paling MK dan KPK.. tapi kan ini institusi baru. > > Masa iya, kita mau bikin institusi baru terus? :) > > > > Di legislatif, ada DPD tapi itupun jadi anak bawang aja. Konstelasi > > politik di DPR sendiri berubah2. Dan dari segi struktur organisasi, DPR > > cukup gembung.. Pamdalnya aja bisa ratusan... itu baru pamdal. Kapasitas > > ditingkatkan, tapi apakah produktivitas juga naik? Liat aja jumlah RUU usul > > inisiatif DPR ada berapa dan kinerjanya 5 thn ini. > > > > Belum lagi, kalau PDIP dan Gerindra maju dan berkuasa, visi mereka kan > > kembali ke UUD 1945, yang berarti mengembalikan semua proses perubahan > > selama 10 thn ini (bila dihitung dari 1998) ke titik nol lagi :-( Saya gak > > tau dng Hanura, bisa jadi visinya sama (?). > > > > Jadi memang negara dalam keadaan genting... atau sayanya yg pesimis? :) > > > > salam, > > Herni > > > > --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "Mia" <aldiy@> wrote: > > > > kita semua neolib...:-( SBY-budi dibilang neolib padahal kampanyenya > > sarat dengan block grant / bantuan langsung - yang kalo saya liat sendiri > > di lapangan success ratenya rendah. neolibnya itu mungkin karena gampang > > terima pinjaman asing untuk block grant itu (?). neolib apa ini namanya... > > > > emangnya kita dan media berani mempermasalahkan militer dan tokoh2nya > > yang bermasalah? > > > > > > sekarang kita berani menyidangkan perkara korupsi2, walaupun masih > > pilih2 bulu, paling tidak sudah ada political will. > > > > > > tapi kiprah militer di politik? masih barang haram untuk dibongkar, > > padahal mestinya itu masuk good governance juga, prioritas sesudah korupsi > > finansial. kita semua masih terpesona dengan militer, beraninya dengan > > sesama sipil. > > > > > > reformasi di militer blum kedengaran tuh. fokusnya supaya elitnya > > konsentrasi ke keamanan wilayah/border, terutama kelautan, operasional, > > maintenance & equipment - jangan networking ke politik dan personal > > business melulu. berbarengan, mesti ada program capacity building di > > politisi sipil supaya nggak nyeret2 elit militer ke politik. > > > > > > salam > > > Mia > > > > > > --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "ariel" <ariela4ever@> wrote: > > > > > > > > > > > > saya setuju dengan pendapat penulis, Budiono yg jadi sasaran tembak > > isu Neolib kurang piawai dalam memberikan argumen, semestinya ybs mencontoh > > jawaban Miranda, koleganya di BI, yg mengatakan kepada DPR "teorinya saja > > saya tidak paham, selama 42 tahun saya belajar ekonomi saya tidak tahu > > neoliberal, jadi maaf saya tidak bisa jawab", simpel walau agak berbau > > retorik. Untuk detilnya serahkan saja ke Sri Mulyani yang belakangan ini > > sibuk pasang badan dan berakrobat dengan data2 hutang luar negeri. > > > > > > > > menurut saya, untuk menembak Budiono bisa lewat isu BLBI, dan untuk > > Wiranto dan Prabowo dengan isu kerusuhan Mei 98. Tapi sepertinya ke tiga > > pasangan tsb enggan membawa-bawa isu dari jaman Orba, mungkin karena dapat > > menjadi bola liar yang balik menyerang mereka semua. > > > > > > > > pemilu kali ini memang lucu, yang jadi isu utama variannya sangat > > luas mulai dari neolib, ekonomi kerakyatan, sampai ke jilbab, namun sudah > > lebih baik dibanding pemilu 2004, setidaknya tidak ada capres yg mengatakan > > "capres paling ganteng atau paling cantik" :-) > > > > > > > > salam, > > > > -ariel- > > > > --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "Ary Setijadi Prihatmanto" > > <ary.setijadi@> wrote: > > > > > > > > > > > > > > > Adam Smith, Keynes sama Hayek juga, kalo kebetulan orang Indonesia > > dan menemukan konsep2nya jaman sekarang, mungkin namanya "teori ekonomi > > kerakyatan" > > > > > ;-)) > > > > > > > > > > "Devil is in the detail" > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > [Non-text portions of this message have been removed] > > >