Bagi yang bingung menyikapi fenomena pernikahan beda agama, berikut ada tulisan 
menarik semoga bisa menjadi bahan renungan :

Salam
Abdul Mu'iz

Pernikahan Beda Agama
Ditulis oleh Komaruddin Hidayat
Jumat, 01 Mei 2009 14:46


TULISAN ini tidak hendak memasuki perdebatan teologis, apakah pernikahan beda 
agama diperbolehkan ataukah tidak, melainkan sekadar menyajikan catatan 
psikologis problem yang muncul dari pasangan suami-istri yang berbeda agama.

Berulang kali saya kedatangan tamu yang sekadar berkonsultasi mengenai 
kehidupan rumah tangga mereka yang menghadapi problem akibat perbedaan 
keyakinan agama,yang kemudian berimbas kepada anak-anak mereka. Ada juga yang 
datang dengan status masih berpacaran dan bersiap memasuki jenjang pernikahan.

Di antara kasus itu adalah memudarnya rumah tangga yang telah dibina belasan 
tahun, namun semakin hari serasa semakin kering, akibat perbedaan agama. Pada 
mulanya, terutama sewaktu masih pacaran,
perbedaan itu dianggap sepele, bisa diatasi oleh cinta. Tetapi lama-kelamaan 
ternyata jarak itu tetap saja menganga.

Bayangkan saja, ketika seorang suami (yang beragama Islam) pergi umrah atau 
haji, adalah suatu kebahagiaan jika istri dan anak-anaknya bisa ikut 
bersamanya. Tetapi alangkah sedihnya ketika istri dan
anak-anaknya lebih memilih pergi ke gereja. Salah satu kebahagiaan seorang ayah 
muslim adalah menjadi imam salat berjamaah bersama anak istri.

Begitu pun ketika Ramadhan tiba, suasana ibadah puasa menjadi perekat batin 
kehidupan keluarga. Tetapi keinginan itu sulit terpenuhi ketika pasangannya 
berbeda agama. Di sisi istrinya, yang kebetulan beragama Kristen misalnya, 
pasti akan merasakan hal yang sama, betapa indahnya melakukan kebaktikan di 
gereja bersanding dengan suami. Namun itu hanya keinginan belaka.

Ada seorang ibu yang merasa beruntung karena anak-anaknya ikut agama ibunya. 
Kondisi ini membuat ayahnya merasa kesepian ketika ingin berbagi pengetahuan 
dan pengalaman beragama. Di zaman yang semakin plural ini pernikahan beda agama 
kelihatannya semakin bertambah. Terlepas dari persoalan teologis dan keyakinan 
agama, perlu diingat bahwa tujuan berumah tangga itu untuk meraih kebahagiaan. 
Untuk itu kecocokan dan saling pengertian sangat penting terpelihara dan tumbuh.

Bahwa karakter suami dan istri masing-masing berbeda, itu suatu keniscayaan. 
Misalnya saja perbedaan usia, perbedaan kelas sosial, perbedaan pendidikan, 
semuanya itu hal yang wajar selama keduanya
saling menerima dan saling melengkapi.

Namun, untuk kehidupan keluarga di Indonesia, perbedaan agama menjadi krusial 
karena peristiwa akad nikah tidak saja mempertemukan suami-istri, melainkan 
juga keluarga besarnya. Jadi perlu dipikirkan matangmatang ketika perbedaan itu 
mengenai keyakinan agama.Problem itu semakin terasa terutama ketika sebuah 
pasangan beda agama telah memiliki anak.

Orang tua biasanya berebut pengaruh agar anaknya mengikuti agama yang 
diyakininya. Kalau ayahnya Islam, dia ingin anaknya menjadi muslim. Kalau 
ibunya Kristen dia ingin anaknya memeluk Kristen. Anak yang mestinya menjadi 
perekat orang tua sebagai suami-isteri, kadang kala menjadi sumber 
perselisihan. Orang tua saling berebut menanamkan pengaruh masing-masing. 
Mengapa agama menjadi persoalan?

Karena agama ibarat pakaian yang digunakan seumur hidup. Spirit, keyakinan, dan 
tradisi agama senantiasa melekat pada setiap individu yang beragama,termasuk 
dalam kehidupan rumah tangga. Di sana terdapat ritual-ritual keagamaan yang 
idealnya dijaga dan dilaksanakan secara kolektif dalam kehidupan rumah tangga. 
Contohnya pelaksanaan salat berjamaah dalam keluarga muslim, atau ritual 
berpuasa. Semua ini akan terasa indah dan nyaman ketika dilakukan secara kompak 
oleh
seluruh keluarga.

Setelah salat berjamaah, seorang ayah yang bertindak sebagai imam lalu 
menyampaikan kultum dan dialog, tukar-menukar pengalaman untuk memaknai hidup. 
Suasana yang begitu indah dan religius itu sulit diwujudkan ketika pasangan 
hidupnya berbeda agama. Kenikmatan berkeluarga ada yang hilang. Jadi, sepanjang 
pengamatan saya, secara psikologis pernikahan beda agama menyimpan masalah yang 
bisa menggerogoti kebahagiaan. Ini tidak berarti pernikahan satu agama akan 
terbebas dari masalah.

Namun perbedaan agama bagi kehidupan rumah tangga di Indonesia selalu dipandang 
serius. Ada suatu kompetisi antara ayah dan ibu untuk memengaruhi anak-anak 
sehingga anak jadi bingung. Namun ada juga yang malah menjadi lebih dewasa dan 
kritis.

Pasangan yang berbeda agama masing-masing akan berharap dan yakin suatu saat 
pasangannya akan berpindah agama. Seorang teman bercerita, ada seorang suami 
yang rajin salat, puasa, dan senantiasa berdoa agar istrinya yang beragama 
Katolik mendapat hidayah sehingga menjadi muslimah.

Dengan segala kesabarannya sampai dikaruniai dua anak, istrinya masih tetap 
kokoh dengan keyakinan agamanya. Tapi harapannya belum juga terwujud dan bahkan 
perselisihan demi perselisihan muncul. Akhirnya suami dan istri tadi 
masing-masing merasa kesepian di tengah keluarga. Ada suatu kehangatan dan 
keintiman yang kian redup dan perlahan menghilang.

Ketika semakin menapaki usia lanjut, kebahagiaan yang dicari tidak lagi materi, 
melainkan bersifat psikologis-spiritual yang sumbernya dari keharmonisan 
keluarga yang diikat oleh iman dan tradisi
keagamaan. Ketika itu tak ada, maka rasa sepi kian terasa. Cerita di atas tentu 
saja merupakan kasus, tidak bijak dibuat generalisasi. Namun pantas menjadi 
pelajaran.

Ketika masih berpacaran lalu menikah dan belum punya anak,cinta mungkin 
diyakini bisa mengatasi semua perbedaan. Tetapi setelah punya anak berbagai 
masalah baru akan bermunculan. Memang ada satu dua pernikahan pasangan berbeda 
agama yang kelihatannya baik-baik saja. Cuma kebetulan yang datang pada saya 
yang bermasalah.

Bayangkan, bagi seorang muslim, ketika usia semakin lanjut, tak ada yang 
diharapkan kecuali untaian doa dari anaknya. Dan mereka yakin doa yang 
dikabulkan adalah yang datang dari keluarga yang seiman. Dampak psikologis 
orang tua yang berbeda agama juga akan sangat dirasakan oleh anaka-naknya.

Mereka bingung siapa yang harus diikuti keyakinannya. Terlebih fase anak yang 
tengah memasuki masa pembentukan dan perkembangan kepribadian di mana 
nilai-nilai agama sangat berperan. Kalau agama
malah menjadi sumber konflik, tentulah kurang bagus bagi anak.(*)

Tulisan ini pernah dimuat di Koran Seputar Indonesia, Jumat 1 Mei 2009

--- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, Ari Condro <masar...@...> wrote:
>
> kalo kisah teman saya rada lucu tapi miris juga.
> 
> cowok muslim married sama cewek kristen.  awalnya si cewek mau ikutan
> agama misoa, convert jadi muslim.  ndilalah, pas udah punya anak dua,
> jalan 3 tahun perkawinan, si cewek balik ke kristen.  si cowok rada
> mendelu juga sih, tapi gimana lagi.  huahahaha ... :))
> 
> 
> 
> 2009/8/24 ritajkt <rita...@...>:
> >
> >
> > --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "monyongsexy" <monyongsexy@>
> > wrote:
> >>
> >> Tadi pas sahur sambil mendengarkan Quraish Shihab di Metro. Beliau
> >> mengatakan kawin beda agama boleh hanya untuk Laki Muslim menikahi Wanita
> >> non-muslim alasannya Laki kadang memaksa bahkan mengancam, dikhawatirkan
> >> kalau Wanita muslim menikah dengan Laki Non-muslim nanti diancam untuk
> >> meninggalkan agamanya.
> >>
> >> Padahal saat ini banyak wanita ahli beladiri. Apakah kalau wanita seperti
> >> itu kalau non-muslim tidak boleh dinikahi atau kalau muslim boleh menikah
> >> dengan laki non-muslim? sebab dia jelas tidak akan takut diancam oleh pihak
> >> laki.
> >>
> >> Bahkan saat ini banyak suami takut istri. Apakah itu menunjukkan bahwa
> >> kawin antara wanita Muslim dengan laki non-muslim bisa dipertimbangkan?
> >>
> >
> > saya juga nonton Pak, dan jg punya pertanyaan yang kurang lebih sejenis,
> > walau berbeda sedikit. Yakni alasan dibolehkannya pria Muslim menikahi wanta
> > ahli kitab karena memakai konsruk sosial di jaman dahulu dimana suami
> > menjadi pemimpin keluarga dalam segala segi sehingga agama suami akan
> > otomatis diikuti oleh istri dan anak-anaknya. Sedangkan di jaman sekarang,
> > perempuan sudah tidak se-dependen jaman dulu pada suaminya sehingga, menurut
> > pak Quraish, perkawinan pria Muslim dan nonMuslim jadi berbeda bobotnya (dan
> > sebaiknya dihindari, begitu kan tausiyahnya semalam ya Pak Mony yg seksi?)
> >
> > Lha nonton itu saya langsung pengen nanya, kalo gitu, hal yg sebaliknya juga
> > terjadi dong sama perempuan Muslimah dan calon suami yang lelaki non Muslim?
> > Karena di jaman ini perempuan sudah tidak sedependen pd suaminya sebagaimana
> > ditakutkan sebagai alasan pelarangan itu, maka tentunya alasan pelarangan
> > perkawinan muslimah dan lelaki non Muslim otomatis bisa ditinjau ulang dong
> > yah?
> >
> > eng ing enggg :))
> >
> > 
> 
> 
> 
> -- 
> salam,
> Ari
>


Kirim email ke