1. yang ideal tentulah menikah seagama atau seiman.
2. karena sesuatu hal seseorang mengambil keputusan menikah beda agama, maka 
tinggal menimbang dan memprediksi dampak positif dan negatifnya. Termasuk 
dampak emosi dan spiritualnya.
3. setiap keputusan pasti mengandung resiko, Sedih terus kalau dipertahankan 
sementara kalau berpisah masih cinta dan berat berpisah. Sebaiknya menempuh 
jalur shalat istkharah berkali-kali agar decision yang dihasilkan mantab.

Salam
Abdul Mu'iz

--- Pada Sel, 25/8/09, Ari Condro <masar...@gmail.com> menulis:

Dari: Ari Condro <masar...@gmail.com>
Judul: Re: [wanita-muslimah] Re: Perkawinan Beda Agama
Kepada: wanita-muslimah@yahoogroups.com
Tanggal: Selasa, 25 Agustus, 2009, 8:25 AM






 




    
                  kalau udah terlanjur, gimana ?

cerai ? udah ada anak dua lho, jie hehehe :))



2009/8/25 muizof <mui...@yahoo. com>:

>

>

> Bagi yang bingung menyikapi fenomena pernikahan beda agama, berikut ada

> tulisan menarik semoga bisa menjadi bahan renungan :

>

> Salam

> Abdul Mu'iz

>

> Pernikahan Beda Agama

> Ditulis oleh Komaruddin Hidayat

> Jumat, 01 Mei 2009 14:46

>

> TULISAN ini tidak hendak memasuki perdebatan teologis, apakah pernikahan

> beda agama diperbolehkan ataukah tidak, melainkan sekadar menyajikan catatan

> psikologis problem yang muncul dari pasangan suami-istri yang berbeda agama.

>

> Berulang kali saya kedatangan tamu yang sekadar berkonsultasi mengenai

> kehidupan rumah tangga mereka yang menghadapi problem akibat perbedaan

> keyakinan agama,yang kemudian berimbas kepada anak-anak mereka. Ada juga

> yang datang dengan status masih berpacaran dan bersiap memasuki jenjang

> pernikahan.

>

> Di antara kasus itu adalah memudarnya rumah tangga yang telah dibina belasan

> tahun, namun semakin hari serasa semakin kering, akibat perbedaan agama.

> Pada mulanya, terutama sewaktu masih pacaran,

> perbedaan itu dianggap sepele, bisa diatasi oleh cinta. Tetapi lama-kelamaan

> ternyata jarak itu tetap saja menganga.

>

> Bayangkan saja, ketika seorang suami (yang beragama Islam) pergi umrah atau

> haji, adalah suatu kebahagiaan jika istri dan anak-anaknya bisa ikut

> bersamanya. Tetapi alangkah sedihnya ketika istri dan

> anak-anaknya lebih memilih pergi ke gereja. Salah satu kebahagiaan seorang

> ayah muslim adalah menjadi imam salat berjamaah bersama anak istri.

>

> Begitu pun ketika Ramadhan tiba, suasana ibadah puasa menjadi perekat batin

> kehidupan keluarga. Tetapi keinginan itu sulit terpenuhi ketika pasangannya

> berbeda agama. Di sisi istrinya, yang kebetulan beragama Kristen misalnya,

> pasti akan merasakan hal yang sama, betapa indahnya melakukan kebaktikan di

> gereja bersanding dengan suami. Namun itu hanya keinginan belaka.

>

> Ada seorang ibu yang merasa beruntung karena anak-anaknya ikut agama ibunya.

> Kondisi ini membuat ayahnya merasa kesepian ketika ingin berbagi pengetahuan

> dan pengalaman beragama. Di zaman yang semakin plural ini pernikahan beda

> agama kelihatannya semakin bertambah. Terlepas dari persoalan teologis dan

> keyakinan agama, perlu diingat bahwa tujuan berumah tangga itu untuk meraih

> kebahagiaan. Untuk itu kecocokan dan saling pengertian sangat penting

> terpelihara dan tumbuh.

>

> Bahwa karakter suami dan istri masing-masing berbeda, itu suatu keniscayaan.

> Misalnya saja perbedaan usia, perbedaan kelas sosial, perbedaan pendidikan,

> semuanya itu hal yang wajar selama keduanya

> saling menerima dan saling melengkapi.

>

> Namun, untuk kehidupan keluarga di Indonesia, perbedaan agama menjadi

> krusial karena peristiwa akad nikah tidak saja mempertemukan suami-istri,

> melainkan juga keluarga besarnya. Jadi perlu dipikirkan matangmatang ketika

> perbedaan itu mengenai keyakinan agama.Problem itu semakin terasa terutama

> ketika sebuah pasangan beda agama telah memiliki anak.

>

> Orang tua biasanya berebut pengaruh agar anaknya mengikuti agama yang

> diyakininya. Kalau ayahnya Islam, dia ingin anaknya menjadi muslim. Kalau

> ibunya Kristen dia ingin anaknya memeluk Kristen. Anak yang mestinya menjadi

> perekat orang tua sebagai suami-isteri, kadang kala menjadi sumber

> perselisihan. Orang tua saling berebut menanamkan pengaruh masing-masing.

> Mengapa agama menjadi persoalan?

>

> Karena agama ibarat pakaian yang digunakan seumur hidup. Spirit, keyakinan,

> dan tradisi agama senantiasa melekat pada setiap individu yang

> beragama,termasuk dalam kehidupan rumah tangga. Di sana terdapat

> ritual-ritual keagamaan yang idealnya dijaga dan dilaksanakan secara

> kolektif dalam kehidupan rumah tangga. Contohnya pelaksanaan salat berjamaah

> dalam keluarga muslim, atau ritual berpuasa. Semua ini akan terasa indah dan

> nyaman ketika dilakukan secara kompak oleh

> seluruh keluarga.

>

> Setelah salat berjamaah, seorang ayah yang bertindak sebagai imam lalu

> menyampaikan kultum dan dialog, tukar-menukar pengalaman untuk memaknai

> hidup. Suasana yang begitu indah dan religius itu sulit diwujudkan ketika

> pasangan hidupnya berbeda agama. Kenikmatan berkeluarga ada yang hilang.

> Jadi, sepanjang pengamatan saya, secara psikologis pernikahan beda agama

> menyimpan masalah yang bisa menggerogoti kebahagiaan. Ini tidak berarti

> pernikahan satu agama akan terbebas dari masalah.

>

> Namun perbedaan agama bagi kehidupan rumah tangga di Indonesia selalu

> dipandang serius. Ada suatu kompetisi antara ayah dan ibu untuk memengaruhi

> anak-anak sehingga anak jadi bingung. Namun ada juga yang malah menjadi

> lebih dewasa dan kritis.

>

> Pasangan yang berbeda agama masing-masing akan berharap dan yakin suatu saat

> pasangannya akan berpindah agama. Seorang teman bercerita, ada seorang suami

> yang rajin salat, puasa, dan senantiasa berdoa agar istrinya yang beragama

> Katolik mendapat hidayah sehingga menjadi muslimah.

>

> Dengan segala kesabarannya sampai dikaruniai dua anak, istrinya masih tetap

> kokoh dengan keyakinan agamanya. Tapi harapannya belum juga terwujud dan

> bahkan perselisihan demi perselisihan muncul. Akhirnya suami dan istri tadi

> masing-masing merasa kesepian di tengah keluarga. Ada suatu kehangatan dan

> keintiman yang kian redup dan perlahan menghilang.

>

> Ketika semakin menapaki usia lanjut, kebahagiaan yang dicari tidak lagi

> materi, melainkan bersifat psikologis-spiritua l yang sumbernya dari

> keharmonisan keluarga yang diikat oleh iman dan tradisi

> keagamaan. Ketika itu tak ada, maka rasa sepi kian terasa. Cerita di atas

> tentu saja merupakan kasus, tidak bijak dibuat generalisasi. Namun pantas

> menjadi pelajaran.

>

> Ketika masih berpacaran lalu menikah dan belum punya anak,cinta mungkin

> diyakini bisa mengatasi semua perbedaan. Tetapi setelah punya anak berbagai

> masalah baru akan bermunculan. Memang ada satu dua pernikahan pasangan

> berbeda agama yang kelihatannya baik-baik saja. Cuma kebetulan yang datang

> pada saya yang bermasalah.

>

> Bayangkan, bagi seorang muslim, ketika usia semakin lanjut, tak ada yang

> diharapkan kecuali untaian doa dari anaknya. Dan mereka yakin doa yang

> dikabulkan adalah yang datang dari keluarga yang seiman. Dampak psikologis

> orang tua yang berbeda agama juga akan sangat dirasakan oleh anaka-naknya.

>

> Mereka bingung siapa yang harus diikuti keyakinannya. Terlebih fase anak

> yang tengah memasuki masa pembentukan dan perkembangan kepribadian di mana

> nilai-nilai agama sangat berperan. Kalau agama

> malah menjadi sumber konflik, tentulah kurang bagus bagi anak.(*)

>

> Tulisan ini pernah dimuat di Koran Seputar Indonesia, Jumat 1 Mei 2009

>

> --- In wanita-muslimah@ yahoogroups. com, Ari Condro <masar...@.. .> wrote:

>>

>> kalo kisah teman saya rada lucu tapi miris juga.

>>

>> cowok muslim married sama cewek kristen. awalnya si cewek mau ikutan

>> agama misoa, convert jadi muslim. ndilalah, pas udah punya anak dua,

>> jalan 3 tahun perkawinan, si cewek balik ke kristen. si cowok rada

>> mendelu juga sih, tapi gimana lagi. huahahaha ... :))

>>

>>

>>

>> 2009/8/24 ritajkt <rita...@... >:

>> >

>> >

>> > --- In wanita-muslimah@ yahoogroups. com, "monyongsexy" <monyongsexy@ >

>> > wrote:

>> >>

>> >> Tadi pas sahur sambil mendengarkan Quraish Shihab di Metro. Beliau

>> >> mengatakan kawin beda agama boleh hanya untuk Laki Muslim menikahi

>> >> Wanita

>> >> non-muslim alasannya Laki kadang memaksa bahkan mengancam,

>> >> dikhawatirkan

>> >> kalau Wanita muslim menikah dengan Laki Non-muslim nanti diancam untuk

>> >> meninggalkan agamanya.

>> >>

>> >> Padahal saat ini banyak wanita ahli beladiri. Apakah kalau wanita

>> >> seperti

>> >> itu kalau non-muslim tidak boleh dinikahi atau kalau muslim boleh

>> >> menikah

>> >> dengan laki non-muslim? sebab dia jelas tidak akan takut diancam oleh

>> >> pihak

>> >> laki.

>> >>

>> >> Bahkan saat ini banyak suami takut istri. Apakah itu menunjukkan bahwa

>> >> kawin antara wanita Muslim dengan laki non-muslim bisa dipertimbangkan?

>> >>

>> >

>> > saya juga nonton Pak, dan jg punya pertanyaan yang kurang lebih sejenis,

>> > walau berbeda sedikit. Yakni alasan dibolehkannya pria Muslim menikahi

>> > wanta

>> > ahli kitab karena memakai konsruk sosial di jaman dahulu dimana suami

>> > menjadi pemimpin keluarga dalam segala segi sehingga agama suami akan

>> > otomatis diikuti oleh istri dan anak-anaknya. Sedangkan di jaman

>> > sekarang,

>> > perempuan sudah tidak se-dependen jaman dulu pada suaminya sehingga,

>> > menurut

>> > pak Quraish, perkawinan pria Muslim dan nonMuslim jadi berbeda bobotnya

>> > (dan

>> > sebaiknya dihindari, begitu kan tausiyahnya semalam ya Pak Mony yg

>> > seksi?)

>> >

>> > Lha nonton itu saya langsung pengen nanya, kalo gitu, hal yg sebaliknya

>> > juga

>> > terjadi dong sama perempuan Muslimah dan calon suami yang lelaki non

>> > Muslim?

>> > Karena di jaman ini perempuan sudah tidak sedependen pd suaminya

>> > sebagaimana

>> > ditakutkan sebagai alasan pelarangan itu, maka tentunya alasan

>> > pelarangan

>> > perkawinan muslimah dan lelaki non Muslim otomatis bisa ditinjau ulang

>> > dong

>> > yah?

>> >

>> > eng ing enggg :))

>> >

>> >

>>

>>

>>

>> --

>> salam,

>> Ari

>>

>

> 



-- 

salam,

Ari


 

      

    
    
        
         
        
        








        


        
        

__________________________________________________
Apakah Anda Yahoo!?
Lelah menerima spam?  Surat Yahoo! memiliki perlindungan terbaik terhadap spam  
http://id.mail.yahoo.com 

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke