KARENA PADA zaman itu memang adanya cuman pakeyan semcam itu, bukan
karena pilihan, maka semua perempuan Yahudi termasuk Maria memake
pakeyan tsb.

Muslimah sebenarnya 'ngefans', ikut2an perempuan Yahudi. Amit2. Apa yg
bener2 asli Islami, ya?

Gabriela Rantau
--- In zamanku@yahoogroups.com, "tawangalun" <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> Biasanya kalau ngefans pada artis lalu mode rambut atau cara
> berpakaiannya ditiru oleh penggemarnya.
> La Bunda maria itu rambutnya ditutup dan bajunya brukut,kok mode tsb
> tdk ditiru umatnya (Kristen),malah yang ngefans jadinya kok Muslimah
> ki piye?
> Ada yang ngefans LadY Di lalu rambutnya niru Lady Di.Cobalah Pak Romo
> wanita Kristen suruh ngefans sama Bunda Maria kayak Muslimah itu.
>
> Shalom,
> Tawangalun.
>
> - In zamanku@yahoogroups.com, Romo maryo rm_maryo@ wrote:
> >
> >
> >
> > ·   SP Maria adalah teladan umat beriman; sejak ia
> > menerima panggilan untuk menjadi Bunda Penyelamat Dunia dengan
> berkata:”Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan;
> > jadilah padaku menurut perkataanmu itu.”(Luk 1:38), ia
senantiasa
> bersatu dengan Penyelamat Dunia
> > sampai di kayu salib, “dekat salib Yesus
> > berdirilah ibuNya”. Maka ada pepatah dalam bahasa Latin
“per
> Mariam ad Iesum” (=melalui Maria menuju
> > Yesu), yang kiranya layak menjadi permenungan kita, seperti
> dilakukan oleh
> > murid terkasih, Yohanes, yang ‘menerima
> > dia (SP Maria) di dalam rumahnya’. Jika kita cermati memang
cukup
> banyak
> > orang melalui atau dengan berdevosi kepada SP Maria menjadi semakin
> dekat dan
> > mesra dengan Tuhan (cukup banyak umat di desa-desa atau
pelosok-pelosok
> > memanfaatkan waktu menjelang perayaan ekaristi dengan berdoa
> rosariyo, dalam
> > doa-doa bersama di lingkungan untuk berbagai kepentiingan senantiasa
> ada doa
> > rosariyo bersama, dst..). Ensiklik atau surat-surat pastoral dari
> Kepausan/Paus
> > senantiasa diakhiri dengan ajakan untuk berdevosi kepada SP Maria.
> Maka marilah
> > kita berdevosi dan meneladan SP Maria, teladan
> > cintakasih keibuan. “Sambil mencontoh Bunda Tuhannya, Gereja
> dengan kekuatan
> > Roh Kudus secara perawan mempertahankan keutuhan imannya, keteguhan
> harapannya,
> > dan ketulusan cintakasihnya” (Vatikan II, LG no 64). Gereja
adalah
> kita
> > semua yang beriman atau percaya kepada Yesus Kristus, sebagai
> anggota Gereja
> > kita dipanggil untuk mempertahankan
> > keutuhan iman, keteguhan harapan dan ketulusan cintakasih. Rasanya
yang
> > baik menjadi permenungan atau refleksi kita saat ini adalah
> mempertahankan ketulusan cintakasih; cintakasih
> > sebagai ajaran utama dan pertama dari Yesus Kristus. Cintakasih yang
> tulus dan
> > utuh disimbolkan dengan cincin yang bulat dan tanpa batas atau ujung
> pangkal
> > sebagaimana dianugerahkan kepada suami dan isteri ketika saling
> menerimakan
> > sakramen perkawinan atau para suter ketika mengikrarkan kaul kekal
> dalam hidup
> > membiara. Cintakasih tulus berarti tanpa syarat, saling mencintai
dengan
> > segenap hati, segenap jiwa, segenap akal budi dan segenap tubuh atau
> kekuatan
> > baik dalam untung maupun malang,
> > dalam suka maupun duka, seperti seorang ibu yang mengasihi
> anak-anaknya..
> >
> > · Â
> > “Dalam hidup-Nya sebagai manusia, Ia telah
> > mempersembahkan doa dan permohonan dengan ratap tangis dan keluhan
> kepada Dia,
> > yang sanggup menyelamatkan-Nya dari maut, dan karena kesalehan-Nya
> Ia telah
> > didengarkan. Dan sekalipun Ia adalah Anak, Ia telah belajar menjadi
> taat dari
> > apa yang telah diderita-Nya,dan sesudah Ia mencapai
kesempurnaan-Nya, Ia
> > menjadi pokok keselamatan yang abadi bagi semua orang yang taat
> kepada-Nya” (Ibr 5:7-9). “Belajar
> > menjadi taat dari apa yang telah diderita-Nya”, itulah
kiranya
> yang layak
> > dan baik menjadi permenungan atau refleksi kita. Jika kita setia
> pada panggilan
> > dan tugas perutusan kita masing-masing, kiranya kita tidak akan
> terlepas dari
> > aneka derita. Hendaknya jika harus menderita karena kesetiaan pada
> panggilan
> > dan tugas perutusan bersyukur dan berterima kasih karena dengan
> demikian kita
> > memperoleh kesempatan untuk belajar menjadi taat. Taat rasanya erat
> kaitannya
> > dengan keutamaan ‘tepat janji’ yaitu “sikap
> > dan perilaku yang menunjukkan keterikatanÂ
> > yang bertanggungjawab terhadap apa yang telah disetujui, baik pada
diri
> > sendiri maupun bersama orang lain. Ini diwujudkan dalam perilaku
> yang selalu konsisten
> > dengan apa yang telah dinyatakan, baik melalui kata-kata,
> perencanaan, niat
> > maupun iktikad. Perilaku ini diwujudkan dalam hubungannya dengan
> diri sendiri,
> > keluarga, dan masyarakat atau bangsa” (Prof Dr. Edi Sedyawati
/edit :
> > Pedoman Penanaman Budi Pekerti Luhur, Balai Pustaka
â€"JakartaÂ
> 1997, hal 28). Orang yang taat dan tepat
> > janji akan ‘menjadi pokok keselamatan
> > yang abadi bagi semua orang yang taat kepadaNya’. Marilah
kita
> taat dan
> > tepat janji atas apa yang pernah kita ikrarkan atau yang ditugaskan
> kepada kita
> > dengan berpegang pada sabda ini: “Ia,
> > yang memulai pekerjaan yang baik di antara kamu, akan meneruskannya
> sampai pada
> > akhirnya pada hari Kristus Yesus.”(Fil 1:6)
> >
> >
> > Jakarta, 15 September 2008
> >
>

Kirim email ke