Hukum itu bukan pasar loak yang bisa di-tawar2, aturan sudah ada dan
sudah jelas, PK cuma bisa diajukan sekali saja.

Jadi sorry, jangan ngomong soal PK lagi karena prosedur2nya sudah
dilewati dan secara hukum semuanya sudah syah.

Juga soal retroaktiv tentang UU Terrorist tidak mungkin bisa
menangguhkan hukuman mati.  Karena sewaktu vonis mati ini dibacakan
hakim landasannya bukan cuma UU terrorist melainkan UU pidana
pembunuhan kriminal juga dilanggarnya yang merupakan pembunuhan massal
berencana sehingga hukuman matinya jadi dua kali.

Mereka dihukum mati berdasarkan UU Pidana pembunuhan berencana.
Mereka juga dihukum mati berdasarkan UU terorist.

Jadi, kalo mau menangguhkan hukuman mati berdasarkan UU terrorist yang
tidak boleh dilakukan retroaktif bisa saja, namun hukuman mati
berdasarkan pelanggaran UU pidana pembunuhan berencana tetap dilanjutkan.

Nanti, setelah mereka semua dieksekusi mati, dan ternyata ada
kesalahan dalam retroaktiv UU terorist, bisa saja UU terrorist ini
dicabut dari keputusan hukuman matinya, namun pelanggaran pidana
pembunuhan berencana yang hukumannya juga mati tidak bisa dicabut lagi
karena UU itu sudah berlaku sejak berdirinya negara ini.

Itulah sebabnya, MA menjatakan, apapun yang mau diberlakukan, eksekusi
jalan terus dan tidak bisa PK menangguhkan hukuman mati karena PK itu
tidak berlaku dalam UU pidana ini.  Dan isi PK itu pun sudah jelas
hanya memprotest UU terrorist yang retroaktiv.

Ny. Muslim binti Muskitawati.


















--- In zamanku@yahoogroups.com, "mediacare" <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> Baru sekali ini dengar nama Rudi Satrio sebagai pakar hukum.
> 
> 
>   ----- Original Message ----- 
>   From: teddy sunardi 
>   Sent: Tuesday, November 04, 2008 6:00 PM
>   Subject: [mediacare] Ahli Hukum Pidana: Negara Salah Bila Nekat
Eksekusi Amrozi Cs
> 
> 
>  
http://www.detiknews.com/read/2008/11/03/171831/1030547/158/ahli-hukum-pidana-negara-salah-bila-nekat-eksekusi-amrozi-cs
> 
> 
> 
>   Ronald Tanamas - detikNews
> 
>    
>   Jakarta - Keluarga terpidana mati bom Bali Amrozi cs mengajukan
peninjauan kembali (PK), namun Kejagung memutuskan eksekusi terhadap
ketiga bomber itu akan tetap jalan terus. Benarkah sikap Kejagung? 
> 
>   Pakar hukum pidana Universitas Indonesia (UI) Rudi Satrio
mengkritik sikap Kejagung. Menurut Rudi, tidak ada preseden sebelumnya
eksekusi mati tetap dilakukan saat masih ada upaya hukum yang ditempuh
terpidana ataupun keluarganya.
> 
>   "(Bila nekat melakukan eksekusi) Negara telah membunuh yang
bersangkutan, dan negara telah bersalah," kata Rudi dalam perbincangan
dengan detikcom pertelepon, Senin (3/11/2008). 
> 
>   Berikut wawancara Ronald Tanamas dari detikcom dengan pakar hukum
pidana Universitas Indonesia Rudi Satrio:
> 
>   Keluarga Amrozi cs mengajukan PK. Apakah pengajuan PK semestinya
bisa membatalkan eksekusi Amrozi cs?
> 
>   Kalau kita bicara proses hukum yang ada, maka PK tidak menunda
eksekusi. Dengan kata lain eksekusi harus tetap dilaksanakan baik
untuk eksekusi hukuman mati atau eksekusi penjara. 
> 
>   Namun kalau eksekusi mati maka PK tidak bisa menghentikan
eksekusi, kalau hukuman pada umumnya PK tidak menghentikan eksekusi
dalam artian hukuman.
> 
>   Maksudnya?
> 
>   PK untuk hukuman mati tidak bisa digunakan karena bisa
menghentikan eksekusi tersebut. Namun PK untuk hukuman penjara bisa
dilakukan sehingga bisa membuat tersangka pelaku kejahatan bisa
menghirup udara bebas.
> 
>   Sikap kejagung yang menyatakan eksekusi akan jalan terus meski ada
PK apakah tepat?
> 
>   Pada dasarnya Kejaksaan Agung melakukan eksekusi dalam kasus
Amrozi itu salah. Harusnya dilihat secara detail dasar hukum yang
dilaksanakan untuk melakukan eksekusi tersebut.
> 
>   Kenapa?
> 
>   Penjatuhan hukuman mati kepada terpidana bom Bali I menyalahi
prinsip retroaktif atau pemberlakuan surut satu undang-undang.
Maksudnya kasus bom tersebut dilakukan pada 12 Oktober 2002, sedangkan
UU teroris disahkan pada tanggal 18 oktober 2002,
>   maka khusus untuk kasus ini berlaku surut undang-undang.
> 
>   Seharusnya tidak ada dasar hukum untuk melakukan eksekusi
tersebut. Hal ini bisa dilihat dalam pasal 1 ayat 1 KUHP, bisa dilihat
juga di UU Mahkamah Kontitusi Nomor 013 Tahun 2003 yang kesimpulannya
mengatakan terlarang mempergunakan perpu
>   pemberantasan terorisme untuk bom Bali I. 
> 
>   Alasan kedua, Kejaksaan tidak mencantumkan KUHP pasal 340 KUHP
yang digunakan semata perpu tindak pemberantasan teroris saja.
> 
>   Apakah ada preseden sebelumnya terpidana tetap dieksekusi meski
proses hukum masih ditempuh?
> 
>   Tidak ada sama sekali. Normal pemikiran saya hal itu tidak akan
dilaksanakan.
> 
>   Apa risikonya bila tetap dieksekusi?
> 
>   Negara telah membunuh yang bersangkutan, dan negara telah
bersalah. Terpenuhilah target bahwasanya Indonesia yang mempunyai
teroris telah membasmi semua teroris dengan kemudian memberikan
pemberitaan eksekusi tersebut di-ekspose sehingga diketahui oleh dunia.
> 
>   Artinya terpidana itu menjadi tumbal dari negara?
> 
>   Hahahahahaha, bisa saja demikian.
> 
>   Siapa yang meminta target ini kepada negara ?
> 
>   Australia dan Amerika, karena mereka akan memberi bantuan segala
kemudahan yang dibutuhkan oleh negara ini jika teroris tidak ada.
> 
>   Kenapa Kejaksaan ngotot untuk tetap melakukan eksekusi tersebut
dan kenapa baru
>   dilaksanakan sekarang?
> 
>   Itu sah-sah saja. Itu salah satu cara untuk menunda hukuman
tersebut dan mungkin saja mencari celah agar masyarakat kita tidak
kritis dengan memunculkan image yang keliru melalui media mengenai
teroris tersebut.
> 
>   Apakah seharusnya negara memberikan surat pemberitahuan kepada
keluarga yang terpidana mengenai eksekusi tersebut?
> 
>   Harus ada pemberitaan dahulu kepada keluarga dan waktu untuk
mengabari keluarga adalah H-3 dari waktu eksekusi.
> 
> 
> 
>   (ron/iy)
>


Kirim email ke