Iya, jika mau berbicara masalah ketatanegaraan dan hubungannya dengan DPR/Wakil Rakjat Djelata :-) maka itu berawal dari sistim partai yang terlalu banyak (terlalu over). Dimana jika diibaratkan dengan membagi kue, maka kuenya cuma 10 kok yang diundang 30. Ya, berantem jadinya. Tapi syukurlah sekarang yang lulus sensor hanya 9 parpol lagi. Itu bagus, karena tidak terlalu banyak sumber konflik, titipan aspirasi rakyat dan titipan jatah uang negara untuk dibagi-bagi.
Sepertinya threat bank century ini sudah cukup panjang dan banyak benang merah yang diambil dari berbagai opini dan kontroversi tersebut. Ya, tinggal menyimpulkan dan memutuskan tindakan realnya saja. Karena masalah bank century ini juga lagu lama, motif dan kronologisnya hampir sama dengan kasus BLBI silam. Yang penting saat ini adalah bagaimana menghadapi persaingan pasar bebas. Apakah produsen lokak mampu bertahan dan menang di negara sendiri atau sebalIknya. Selain itu, masih banyak SDA yang belum berproduksi (bukan hanya sekedar eksploitasi atau eksplorasi saja). Ya, perlu program berkelanjutan untuk memanfaatkan SDA dalam negeri yang ada untuk pemenuhan kebutuhan/demand domestik. Syukur-syukur jika memiliki kualitas dan kuantitas untuk di eksport. Nb: Menjadi kaya itu tidak salah, selama ia sejalan dengan norma-norma yang ada. Salam Nazar On.Tbo-Jbi --- In AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com, prastowo prastowo <sesaw...@...> wrote: > > Ini jelas menyedihkan dan menyesatkan. Menyedihkan karena wakil rakyat yang > terpilih tidak mempertanggungjawabkan jabatan itu bagi publik, yakni > kemampuan teknis yang memadai, dlm hal ini pemahaman sistem ketatanegaraan > dan fungsi/peran lembaga2 negara. > Menyesatkan karena beranalogi tidak sebagaimana mestinya. Ada lagi kan > pengamat dan tokoh yang menganalogikan dana Rp 6,7 T dengan kerupuk, atau > biaya gempa Padang, dll. Komentator yang tidak profesional karena > sebagus-bagusnya kritik, adalah yang didasari pada kalkulasi yg objektif dan > fair. > > salam