Pak Nazar yth, Saya pikir sangat sayang jika kita berhenti pada praduga yang itu-itu saja seperti BLBI tempo hari. Hal semacam ini muncul karena kurang paham sebagian besar warga kita akan peran 'uang' dalam artian yang sebenarnya yakni sebagai alat transaksi belaka. Sebagian besar masih melihat uang tak ubahnya sebagai 'emas permata' bak hiasan yang mahal harganya.
Hal ini bisa dimaklumi mengingat sebenarnya kita dalam peralihan dari masyarakat gotong royong yakni bertukar barang dan jasa tanpa tanda uang menjadi masyarakat yang segala sesuatunya ditransaksikan dengan perantara uang. Kegagalan memaknai uang pada era Soekarno/Suharto tercermin dari kemampuan bangsa ini menahan nilai rupiah yang pada saat merdeka yakni pada 7 Maret 1946 : Devaluasi rupiah sebesar 29,12%. Semula US$ 1 = Rp 1,88 menjadi US$ 1 = Rp 2,6525 sampai akhirnya 1 US $ menjadi sekitar Rp. 10.000,- Kegagalan itu telah menyeret begitu banyak anak bangsa kehilangan kepercayaan bahwa naiknya jabatan, bertambahnya pengalaman akan sampai pada suatu tingkat kesejahteraan. Hal ini tak lain karena naiknya gaji termakan oleh inflasi dan devaluasi mata uang rupiah. Sehingga banyak jalan pintas ditempuh hanya untuk sampai taraf kehidupan yang sebenarnya 'wajar' untuk pengalaman dan jabatan tertentu dengan cara dan pola yang salah yakni ambil bagian dalam pola korup. Selepas era orde baru terlihat bahwa kita mampu menahan rupiah dan juga menekan inflasi dibawah dua digit seraya menambah cadangan devisa. Harga dilepas mengikuti harga global. Kita mulai belajar menggunakan uang dengan benar. Namun banyak pihak yang sangat mengkhawatirkan kondisi semacam ini. Mereka menolak pencabutan Subsidi, mereka juga menolak Bantuan Tunai Langsung yang semua itu sebenarnya akan kembali menjerumuskan kita memaknai 'uang' secara salah. Dengan berlindung dibalik peraturan, mereka bergerak untuk menolak SMI dan Budiyono yang dianggap 'Neolib'. Kasus Century hanyalah salah satu upaya kearah itu. Jadi marilah kita tidak terjebak seolah menjamin simpanan nasabah penyimpan dan membayarnya ketika bank bermasalah adalah suatu kesalahan/kerugian. Adanya LPS memang ditujukan untuk itu, bahwa ada kasus pidana dibalik itu, yaitulah yang harus diusut tuntas bukan diselesaikan secara politik namun secara hukum. Salam RM --- In AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com, "nazarjb" <suratna...@...> wrote: > > Iya, jika mau berbicara masalah ketatanegaraan dan hubungannya dengan > DPR/Wakil Rakjat Djelata :-) maka itu berawal dari sistim partai yang terlalu > banyak (terlalu over). Dimana jika diibaratkan dengan membagi kue, maka > kuenya cuma 10 kok yang diundang 30. Ya, berantem jadinya. Tapi syukurlah > sekarang yang lulus sensor hanya 9 parpol lagi. Itu bagus, karena tidak > terlalu banyak sumber konflik, titipan aspirasi rakyat dan titipan jatah uang > negara untuk dibagi-bagi. > > Sepertinya threat bank century ini sudah cukup panjang dan banyak benang > merah yang diambil dari berbagai opini dan kontroversi tersebut. Ya, tinggal > menyimpulkan dan memutuskan tindakan realnya saja. Karena masalah bank > century ini juga lagu lama, motif dan kronologisnya hampir sama dengan kasus > BLBI silam. > > Yang penting saat ini adalah bagaimana menghadapi persaingan pasar bebas. > Apakah produsen lokak mampu bertahan dan menang di negara sendiri atau > sebalIknya. Selain itu, masih banyak SDA yang belum berproduksi (bukan hanya > sekedar eksploitasi atau eksplorasi saja). Ya, perlu program berkelanjutan > untuk memanfaatkan SDA dalam negeri yang ada untuk pemenuhan kebutuhan/demand > domestik. Syukur-syukur jika memiliki kualitas dan kuantitas untuk di eksport. > > Nb: Menjadi kaya itu tidak salah, selama ia sejalan dengan norma-norma yang > ada. > > Salam > Nazar > On.Tbo-Jbi >