Menyelami sebuah danau kecil di sebuah pulau kecil bernama Satonda adalah
seperti melihat awal kehidupan di planet Bumi. Minggu lalu, kami berempat belas
dari BPMIGAS, bersama dua dosen geologi dari UGM (Pak Agus Hendratno dan Pak
Salahuddin Husein) dan seorang pejabat sekaligus geologist dari Pemerintah
Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) (Pak Heryadi Rachmat) mendatangi pulau di
seberang kaki Gunung Tambora, Sumbawa ini.
Mengapa kami jauh-jauh dari Jakarta mendatangi pulau kecil yang gambarnya belum
tentu ada di setiap atlas anak sekolah ini ? Untuk mencapainya saja dibutuhkan
angkutan udara, darat, dan laut selama 18 jam.
Target utama kami adalah ingin mempelajari “stromatolit” – struktur terumbu
gampingan berlaminasi yang tersusun oleh mikroba bakteri dan ganggang (suka
disebut sebagai sembulan mikrobialit). Stromatolit mendominasi lautan di planet
Bumi pada kurun PraKambrium. Ia adalah bentuk pertama struktur kehidupan yang
masif. Organisme mikroba prokariotik yang melakukan fotosintesis ini telah
membuat atmosfer Bumi pada PraKambrium yang miskin oksigen menjadi berangsur
kaya oksigen. Tragisnya, semakin kaya oksigen, kehidupan multisel semakin
berkembang di lautan PraKambrium, dan organisme multisel inilah yang memakan
bakteri dan ganggang pembuat stromatolit. Maka, memasuki masa Paleozoikum Atas,
struktur stromatolit hampir tidak pernah ditemukan lagi. Lalu mengapa tiba-tiba
stromatolit ini muncul di danau modern (Kuarter) Satonda ?
Jawaban pendeknya adalah karena air Danau Satonda secara kimiawi menyerupai
lautan PraKambrium. Semakin dalam menyelam, seolah pintu ke kurun PraKambrium
semakin terbuka lebar. Tidak pada setiap zaman geologi hadir hewan karang
(scleractinian coral) pembentuk terumbu karang seperti pembangun
reservoir-reservoir migas Miosen di Indonesia dan terumbu karang yang indah di
wilayah tropis. Pada masa Paleozoikum Bawah (Kambrium-Ordovisium-Silur),
terumbu gampingnya adalah bukan terumbu karang, tetapi terumbu stromatolit yang
disusun mikroba bakteri dan ganggang. Nah, karena telah terjadi kecenderungan
bahwa eksplorasi migas mulai bergerak ke masa Paleozoikum Bawah, kami dari
BPMIGAS memandang perlu mendatangi analog modern lingkungan
PraKambrium-Paleozoikum Bawah yang telah tersedia secara unik di sebuah pulau
volkanik kecil bernama Satonda. Di sana kami mempelajari lingkungan pembentukan
stromatolit dan kemungkinannya sebagai reservoir migas. Kami berharap
bahwa setelah mempelajarinya, kami akan dapat membangun model prediksi di mana
di Indonesia dapat berkembang terumbu stromatolit Paleozoikum Bawah, sekaligus
kemungkinannya sebagai reservoir migas.
Dari Jakarta, kami berangkat hari Kamis 4 Desember menggunakan Garuda GA 430
pukul 11.15. Kami tiba di Bandara Selaparang, Mataram pukul 14.00 WITA. Setelah
bergabung dengan Pak Agus dan Pak Udin (UGM) dan Pak Heryadi Rachmat (Pemda
NTB) di Mataram, rombongan melintasi jalan tengah Pulau Lombok menuju
Kahyangan, nama pelabuhan penyeberangan ke Pulau Sumbawa yang terletak di bibir
pantai timur Pulau Lombok. Di sepanjang perjalanan, tubuh gunungapi Rinjani dan
endapan piroklastikanya membuat lahan Lombok menjadi subur. Kapal ferry yang
akan membawa kami ke Sumbawa penuh dengan mobil pribadi, truk, dan bus yang
akan menyeberang. Pukul 19.00, bus yang kami sewa baru dapat giliran
menyeberang. Sebagian dari kami ada yang tidur di dek yang bersusun, ada juga
yang ngobrol-ngobrol dan bercanda di geladak kapal sambil menikmati angin laut
yang berhembus di atas Selat Alas – selat yang memisahkan Lombok dan Sumbawa.
Pukul 21.00, kapal berlabuh di Pototano, lalu
bus dengan kecepatan tinggi memacu jalannya menuju kota Sumbawa Besar. Di luar
gelap dan hujan turun rintik-rintik. Pukul 23.00 kami tiba di sebuah hotel di
dekat dermaga penyeberangan ke Pulau Satonda. Meskipun cukup melelahkan,
sebagian besar dari kami tak dapat tidur sampai pukul 02.00; padahal pukul
05.30 esoknya kami harus bersiap-siap menyeberang ke Satonda.
Jumat 5 Desember pagi hari sambil sarapan kami mendapatkan cerita dari dua
teman kami yang kamarnya diganggu ”penunggu” hotel ini (hm..). Ranjangnya
diangkat dan dimiringkan, pintu pagarnya digoyang-goyang, pintu digedor-gedor,
dll. Antara sadar dan tidak, teman itu bercerita apakah ada gempa semalam. Kami
bingung menanggapinya sebab tak ada seorang pun yang merasakan gempa semalam.
Pukul 06.15 kami memulai perjalanan laut menuju Satonda menyeberangi Teluk
Saleh dan Selat Batahai yang sangat indah. Suasana laut yang begitu biru dan
teduh karena terlindung oleh Pulau Moyo dari gelombang Laut Flores di sebelah
utara, membuat kami yang umumnya ngantuk karena kurang tidur menjadi semangat.
Semua kawan ingin merasakan terpaan angin laut pagi hari, maka kami duduk di
puncak anjungan kapal atau di geladak depan kemudi. Sejauh mata memandang
adalah laut biru dan biru. Awan putih berarak di langit yang juga biru. Di
kejauhan nampak Pulau Moyo yang dibentengi
terumbu karang modern yang terangkat. Siapa yang menyangka kalau di tepi pulau
ini ada sebuah resort internasional yang memasang tarif 1000 USD per malam dan
pernah dikunjungi Lady Diana semasa hidupnya. Pukul 10.15 kami tiba di depan
Pulau Satonda. Kapal membuang jangkar beberapa ratus meter dari bibir pantai
agar tak kandas. Dengan perahu motor kami diantar menginjak Pulau Satonda.
Hampir empat jam kami gunakan mengeksplorasi pulau ini. Dari luar, pulau ini
tak berbeda dengan pulau-pulau lain di sekitarnya. Siapa yang menyangka, begitu
kami masuk ke dalamnya mengikuti jalan setapak naik dan turun, tiba-tiba kami
disuguhi pemandangan yang spektakular : Danau air asin Satonda yang berwarna
hijau kebiruan dikelilingi tebing berhutan lebat yang dibangun oleh lava dan
tuf. Danau ini baru terbuka kepada ilmu pengetahuan ketika pertama kali
ditemukan tahun 1984 melalui ekspedisi Snellius II. Buat penghuni di sekitarnya
tentu saja danau ini sudah diketahui keberadaannya seumur penghunian di wilayah
ini, tetapi ia baru diketahui sangat berharga untuk ilmu pengetahuan setelah
ekspedisi Snellius II. Ternyata, Danau Satonda adalah satu dari hanya sekitar
lima tempat di Bumi yang menyerupai lautan PraKambrium. Di Indonesia, ia
diketahui satu-satunya.
Begitu mendekati bibir danau, kami disuguhi singkapan stromatolit Kuarter di
atas permukaan danau yang tentu saja organismenya sudah mati dan membangun
struktur terumbu masif. Gambaran kasat mata, terumbu stromatolit ini menyerupai
terumbu karang yang dibangun scleractinian coral, tetapi ia sama sekali tak
mengandung koral. Kesan kemiripannya berasal dari semen dan matriks
gampingannya. Perbedaan yang segera bisa terlihat adalah struktur laminasi yang
bisa ditemui di beberapa bagian singkapan. Keunikan stromatolit Danau Satonda
adalah bahwa ia bersatu tempat lingkungan dengan endapan piroklastika berupa
lava andesit basaltik dan tuf. Tidak mengherankan sebab Danau Satonda
sesungguhnya adalah danah kawah gunungapi.
Kesan bahwa ini merupakan miniatur laut pada Kurun PraKambrium akan diperoleh
bila kita melakukan snorkeling dan menyelam. Seorang teman kebetulan membawa
kamera digital bawahair, maka sambil melakukan snorkeling foto-foto bawahair
diperoleh. Perahu motor yang mengantar kami dari kapal tadi diangkut banyak
awak kapal melalui jalan setapak naik turun menuju danau. Baru kali itu saya
melihat perahu berat diangkut ramai-ramai naik-turun bukit. Tadinya memang kami
akan menggunakan perahu karet, tetapi sobek saat diturunkan dari kapal. Dengan
perahu itu, sebagian dari kami mengelilingi seluruh kawasan danau mengamati
stromatolit yang tersingkap maupun yang masih hidup mulai dari kedalaman
sekitar 5 meter. Bagaimana makhluk hidup di danau ini ? Sepi sekali. Hanya
stromatolit, ganggang hijau yang mengambang sampai permukaan, keong gastropoda
kecil berwarna hitam yang tak lebih besar dari ujung pinsil, dan ikan-ikan
sebesar teri berwarna hitam. Itu saja yang
sempat kami saksikan. Air danau adalah air asin, air laut. Hasil penelitian
para ilmuwan yang pernah mendatangi danau ini dan menyelaminya sampai dalam
(sayangnya seluruhnya adalah ilmuwan asing), kimia air ini sangat basa
(alkalin) dengan salinitas yang semakin tinggi semakin dalam. Kondisi ini
ekstrim untuk kehidupan normal saat ini, sehingga yang bisa bertahan hidup
hanya organisme yang cocok dengan kondisi itu atau yang telah mengalami
perubahan evolusi (spesiasi terhadap lingkungan). Karena stromatolit berlimpah
pada kurun PraKambrium, maka lautan pada kurun itu dipikirkan juga sebagai
lautan yang alkalin mirip analognya sekarang (”the present is the key to the
past”). Diskusi tentang stromatolit PraKambrium dan lingkungannya serta kimia
air laut Satonda dapat dilihat di bawah.
Bagaimana peluang stromatolit sebagai reservoir migas ? Sangat baik – istimewa.
Dari contoh-contoh singkapannya di Danau Satonda kami melihat bahwa
porositasnya sangat berkembang baik secara primer melalui batas-batas struktur
laminasinya, maupun sekunder melalui diagenesis ganggang dan struktur
bakterinya. Secara mineralogi, kedua mikroba ini disusun oleh Mg-Ca dan
aragonitik, sehingga mudah terdisolusi mengembangkan porositas. Maka, kalau di
Indonesia ditemukan lapisan terumbu stromatolit di Paleozoikum Bawah,
potensinya sebagai reservoir akan baik.
Setelah puas meneliti Danau Satonda, kami kembali mengikuti jalan setapak naik
dan turun menuju bibir pantai yang berhubungan dengan laut lepas tepi Laut
Flores. Di jalan pulang kami berpapasan dengan sekitar sepuluh turis asing
(Amerika) anak-anak dan dewasa, lelaki dan perempuan, yang hendak berenang di
Danau Satonda. Hm, tempat seterpencil Satonda masih juga diketahui mereka.
Tentu saja, sebab Satonda adalah salah satu aset pariwisata Sumbawa di samping
Tambora. Dan, ia pun aset penting ilmu pengetahuan. Beberapa turis asing ini
berbaik hati saat pulang ikut mengangkat perahu motor kami dari Danau Satonda.
Di pantai Satonda yang berhubungan dengan laut lepas Laut Flores, kami
melakukan snorkerling dan pemandangannya sungguh luar biasa. Betapa indahnya
terumbu-terumbu karang yang masih hidup itu, dengan berbagai bentuk dan warna,
berkedip dan berdenyut atau melambai bergerak-gerak oleh godaan air laut.
Sementara itu puluhan jenis ikan karang yang warnanya sangat indah dan kontras
berenang-renang di antara bunga karang. Ini tak berbeda dengan pemandangan
terumbu karang di Kepulauan Seribu, atau di Bunaken, atau di Taka Bone Rate,
atau di Raja Ampat, dan di tempat-tempat lain.
Bandingkan, dalam jarak yang tak sampai satu km, kehidupan di dalam Danau
Satonda yang juga diisi air laut, dengan kehidupan di tepi pantai Satonda,
sangat jauh – ibarat tanah dengan langit. Kehidupan di Danau Satonda sangat
sepi dan suram, sementara di tepi pantai Satonda sangat ramai dan ceria. Apa
yang menyebabkannya ? Kimia air laut dan lingkungan geologi kedua wilayah
berjarak tak sampai satu km itu sangat jauh. Saya baru percaya bahwa Danau
Satonda benar-benar merupakan analogi lautan PraKambrium yang alkalin,
kehidupan bersel tunggal, sepi, didominasi stromatolit, evolusi awal kehidupan
setelah membandingkan dua kontras ini. Boleh dibilang bahwa dalam jarak tak
sampai satu km dari Danau Satonda ke pantai Pulau Satonda kita melangkah dari
kurun PraKambrium ke Resen –suatu perjalanan 1000 juta tahun.
Pukul 14.30 kami melanjutkan perjalanan ke kaki Gunung Tambora yang pernah
meletus secara katastrofik pada tahun 1815 dan sampai saat ini menduduki
peringkat teratas di dunia dalam letusan gunungapi dalam sejarah manusia. Konon
gunung ini pernah setinggi 4200 meter, membuat gunungapi tertinggi di seluruh
kawasan Hindia Timur (Indonesia sekarang). Indeks letusan gunungapi ini
menduduki angka 7 – itu adalah angka tertinggi, dengan energi empat kali lebih
besar dari energi letusan Krakatau 1883 yang menduduki indeks angka 6. Letusan
Tambora ini pernah membuat dunia tanpa musim panas sehingga kelaparan dan
penyakit melanda di mana-mana di seluruh dunia. Gunung di ujung utara Sumbawa
inilah biang bencana saat itu. Sore itu kami akan mengamati urutan endapan
piroklastikanya yang tersingkap di pantai bernama Pantai Kenanga.
Setelah sampai di seberang Pantai Kenanga, beberapa dari kami kembali diantar
menggunakan perahu motor. Kami mendarat di bibir pantai dan segera disambut
pasir besi berwarna hitam yang panas. Pasir besi ini adalah penyaring air laut
yang baik. Penduduk setempat menggali tak sampai satu meter di pinggir pantai
akan menemukan air tawar. Di tebing pantai kami mengamati singkapan
piroklastika letusan Tambora 1815. Letusan Tambora yang hebat berlangsung empat
bulan dari April – Juli 1815. Setiap letusan mengirimkan endapan
piroklastikanya, sebagian ke wilayah ini dan terawetkan. Beberapa batang pohon
yang telah mengarang dan menyerpih tertanam di dalam tuf. Tuf dan batu apung
banyak menyusun singkapan, mencirikan bahwa magma asam diletuskan dengan
kekuatan yang besar. Batang-batang pohon itu dulunya mesti berasal dari hutan
di lereng Tambora yang diserbu awan panas dengan gelombang kecepatan
hempasannya mencabut pepohonan dan membakarnya kemudian
mencampuradukkannya dengan abu gunungapi sampai kemudian tersingkap menjadi
kesatuan. Arang dari pohon ini baik kalau ditera umurnya menggunakan
pentarikhan umur absolut menggunakan karbon-14.
Pengamatan hari ini berakhir pukul 16.00, kami kemudian menempuh perjalanan
laut selama empat jam kembali ke hotel di Sumbawa Besar, menyeberangi Teluk
Saleh. Dari kejauhan kami mengamati terumbu koral Kuarter yang terangkat
membentengi pulau-pulau di dekat Selat Batahai. Terumbu koral terangkat ini
adalah suatu bukti bahwa pulau-pulu ini masih terangkat didesak dari bawah oleh
mekanisme Sesar Flores yang terkenal itu. Malam hari di atas pukul 19.00 langit
gelap di atas anjungan dan geladak kapal berhiaskan semburat bintang-gemintang
yang sangat indah – sebagian badan galaksi Bima Sakti yang semburatnya di
langit membentuk jalur sejajar dengan arah kapal bisa saya lihat, juga rasi
bintang paling mudah diamati di langit : Orion – yang dicirikan sabuk
bertatahkan tiga bintang di ikat pinggang sang pemburu itu. Pukul 20.00 kami
sampai di hotel dan tentu saja segera makan malam setelah kegiatan melelahkan
tetapi sangat menyenangkan hari ini. Sampai pukul
22.30 kami masih melanjutkan diskusi, mereview apa yang kami lihat hari ini.
Sampai pukul 24.00 saya bersama Pak Heryadi Rachmat masih berdua di loby hotel
menyusun bahan presentasi tentang potensi migas NTB untuk disajikan esok
harinya kepada para pejabat Pemda NTB.
Sementara itu, di sebuah kamar/bungalow hotel yang ditempati seorang teman yang
malam sebelumnya diganggu “penunggu” hotel, sampai pukul 03.00 ternyata masih
mengalami gangguan. Seorang teman yang memiliki kemampuan supranatural soal
“alam” ini membenarkan bahwa memang ada gangguan itu. Tetapi hanya
menakut-nakuti, bukan untuk yang lain. Di tempat terpencil seperti ini, saya
pikir wajar saja kalau itu terjadi.
Sabtu 6 Desember 2008 pagi hari kami sarapan di hotel sambil bersiap pulang
kembali ke Lombok. Pukul 08.00 kami mulai melakukan perjalanan menuju Pototano,
pelabuhan penyeberangan Sumbawa-Lombok. Pukul 10.30 kami tiba di sana.
Pemandangan sungguh indah buat seorang geologist walaupun gersang sebab banyak
bukit gundul baik di darat maupun di laut. Saat perjalanan pergi pada Kamis
malam kami tak melihatnya sebab saat itu gelap dan sedikit hujan. Pukul
11.00-13.00 kami menyeberangi Selat Alas. Tiba di Pelabuhan Kahyangan, Gunung
Rinjani yang perkasa kembali kami lihat. Tak jauh dari pelabuhan, kami berhenti
di sebuah bukit tandus yang disebari bongkah andesit basaltik hasil letusan
Rinjani. Keunikannya adalah bahwa piroklastika di bukit ini bersatu tempat
dengan batugamping terumbu – mencirikan bahwa tumpahan piroklastika masuk ke
dalam laut yang ditumbuhi karbonat terumbu.
Pukul 15.00 kami berhenti di sebuah objek wisata Narmada –sebuah istana
Kerajaan Lombok-Karangasem yang didirikan tahun 1775. Yang menarik dari Narmada
adalah bangunan/arsitektur kolam-kolam airnya yang luar biasa, kelihatan sangat
kokoh dan indah. Tentu pada saat dibangun, telah menggunakan keahlian lokal
dalam merancang dan membangunnya. Pukul 16.30 kami tiba di Senggigi dan
menginap di sebuah hotel di kawasan pantai paling terkenal di Lombok ini.
Malam hari dari pukul 19.00-23.15 kami mengadakan acara di tepi pantai Senggigi
berupa makan malam, hiburan, presentasi teknis, dan pemutaran film – sebuah
ramuan acara yang unik menggabung hiburan yang santay dan presentasi teknis
yang serius. Beberapa tamu turis asing pun ikut menikmati acara kami itu di
meja-meja dekat restoran. Saat makan malam, hujan mulai rintik-rintik turun.
Wah...padahal panggung dan meja-meja telah disusun rapih. Pawang hujan pun
dipanggil, dan dengan kekuatan magisnya yang tak bisa dipahami terlihat mega
mendung mulai beringsut ke Mataram. Lalu bulan pun kembali terlihat dan langit
cerah sampai acara usai. Di Mataram sementara dikabarkan turun hujan (hm..).
Sekitar 15 orang pejabat dari Pemda NTB hadir dan larut bersama kami dalam
acara-acara yang telah disusun. Presentasi teknis ada dua, yaitu : (1)
mengenalkan fungsi dan peranan BPMIGAS di Indonesia ditambah dengan gambaran
eksplorasi migas secara umum, dan (2) menunjukkan
ringkasan dan hasil kegiatan ekspedisi atau ekskursi kami ke Pulau Satonda,
dan potensi migas wilayah Lombok-Sumbawa. Acara berakhir dengan pemutaran film
koleksi Pak Heryadi Rachmat tentang : erupsi Tambora, penelitian Satonda, dan
letusan Gunung Rinjani.
Minggu 7 Desember 2008 pukul 14.20 kami meninggalkan Lombok kembali menuju
Jakarta dengan Garuda GA 433.
Ekspedisi/ekskursi yang kami lakukan, dibantu oleh UGM dan Pemda NTB, serta
melibatkan perusahaan jasa event organizer di Jakarta, dan perusahaan jasa
pariwisata di Lombok telah berjalan dengan sukses, lancar dan selamat. Target
yang kami rancang jauh-jauh hari semuanya tercapai. Buat seorang geologist
seperti saya, pekerjaan lapangan adalah suatu kemutlakan, juga bermanfaat untuk
kawan-kawan nongeologi, mereka mengenal bagaimana geologi dan pekerjaan seorang
geologist.
Perjalanan ini juga mendapatkan liputan yang cukup luas dari media-media lokal
maupun nasional. Seorang wartawan Kantor Berita Antara bahkan mengikuti kami
sejak Mataram sampai Satonda. Beberapa berita telah diturunkan di TV maupun
surat kabar. Meskipun demikian klarifikasi harus dilakukan sebab ada beberapa
mispersepsi dalam pemberitaan.
Semoga catatan ini bermanfaat.
Salam,
awang
LAMPIRAN
[iagi-net-l] Stromatolit Satonda, Sumbawa : "Time Tunnel to Pra-Cambrium Seas"
Awang Satyana
Sat, 03 Nov 2007 08:26:05 -0800Seorang rekan geologist bertanya tentang
stromatolit di pulau kecil Satonda utara Sumbawa. Pulau sekecil Satonda yang
belum tentu muncul pulaunya atau namanya di atlas2 anak sekolah, memiliki arti
yang begitu besar sebab langka sekali tempat seperti Satonda di Bumi ini -
yaitu memiliki stromatolit, terumbu paling tua yang telah muncul sejak Archean.
Kurang apalagi keistimewaan geologi Indonesia ? Semoga berguna. salam,
awang Ribuan-ratusan juta tahun sebelum binatang2 bersel banyak (metazoans)
pembangun kompleks terumbu muncul, sekelompok organisme marin prokariotik
(golongan bakteri dan alga biru-hijau dengan sel yang intinya belum jelas
terpisah di dalam sitoplasma) diketahui telah mampu membangun struktur2
batugamping terumbu yang masif. Struktur2 masif ini ternyata dapat melewati
ribuan-ratusan juta tahun masa pelapukan/perusakan , sehingga struktur2 ini
kini masih dapat ditemui membangun beberapa
unsur bentang alam di Amerika Utara, Afrika, Asia, dan Australia. Struktur2
terumbu awal ini dikenal sebagai Stromatolit, terbentuk dalam suatu lingkungan
oseanografik yang memerlukan kondisi tertentu. Stromatolit adalah struktur
organo-sedimen (simbiose antara ganggang-sedimen gampingan) yang dihasilkan
oleh setumpuk besar lembaran2 coccoid cyanobacteria (dikenal juga sebagai
ganggang biru-hijau, bakteri biru-hijau, myxophyceae atau chyanophyta) ,
melalui pemerangkapan sedimen gampingan, pengikatan, dan/atau pengendapan.
Proses pembentukan stromatolit ini banyak dibahas di dalam Walter (1976
Stromatolites, Elsevier, Amsterdam; buku sangat tebal hampir 800 halaman
membahas A sampai Z tentang stromatolit) ; Walter (1983 Archean stromatolites
: evidence of the Earths earliest benthos, dalam buku Earths Earliest
Biosphere, Princeton Univ. Press). Menurut Bates dan Jackson (1987, eds.
Glossary of Geology, American Geological Institute),
istilah stromatolit diusulkan oleh Kalkowsky pada 1908 sebagai stromatolith
(kemudian menjadi stromatolite/ algal stromatolite; sedangkan stromatolith
dipakai Foye 1916 untuk tubuh intrusi magma retas lempeng sill yang menjemari
dengan batuan sedimen) Stromatolit muncul untuk pertama kalinya pada suatu
waktu antara Archean tengah-Archean akhir (sekitar 3000 juta tahun yang lalu
-Ma atau 3 Ga giga years ago/milyar tahun yang lalu). Menjelang awal
Proterozoikum (2,5 Ga) mereka berkembang dalam lingkungan yang luas. Fosil
stromatolit paling tua ditemukan di Zimbabwe baratdaya (2800-3100 Ma menurut
Stokes et al., 1978 Introduction to Geology, Prentice Hall). Tulisan Pellant
dan Phillips (1990 - Rocks, Minerals, and Fossils of the World Little, Brown
and Co. ) menyebutkan bahwa stromatolit dapat berkembang seawal 3800
Ma. Stromatolit merupakan organisme pembangun terumbu yang dominan selama
Pra-Kambrium (meliputi Archean dan Proterozoikum) dan
berlanjut sampai sekitar 600 Ma (memasuki Kambrium pada 570 Ma). Sejak itu,
terjadi penurunan kelimpahan stromatolit. (Fagerstorm, 1987 The evolution of
reef communities, John Willey and Sons). Stromatolit masih ditemukan sepanjang
Paleozoik, Mesozoik, dan Tersier, dengan kelimpahan yang semakin menurun
(Fagerstrom, 1987). Di samping sebagai pembangun terumbu tingkat awal,
stromatolit juga telah memainkan peranan penting dalam membentuk komposisi
kimiawi atmosfer. Cyanobacteria pembentuk stromatolit adalah makhluk yang
berfotosintesis. Seperti kita tahu, produk fotosintesis adalah oksigen. Maka,
pembentukan stromatolit dengan sendirinya telah mengoksigenasi atmosfer awal
Bumi yang miskin oksigen pada Archean dan Proterozoikum menjadi mempunyai
oksigen yang cukup. Dengan hadirnya oksigen, maka mulailah berkembang fauna2
bersel tunggal yang membutuhkan oksigen, diperkirakan itu terjadi pada
pertengahan Proterozoikum (1500 Ma). Pada ujung
Proterozoikum atau memasuki Kambrium, tingkat oksigen sudah 10 % daripada
tingkatnya sekarang, maka mulailah metazoa marin berkembang (Gross, 1990
Oceanography : a view of the Earth, Prentice Hall). Pada awal Kambrium, dalam
evolusi makhluk hidup terjadi apa yang disebut dengan Ledakan Kambrium
(Cambrian Explosion). Ini adalah ledakan kelimpahan fauna metazoan. Kelimpahan
metazoan ini menciptakan persaingan, dan fauna prokariotik pembangun
stromatolit di pihak yang kalah, sehingga telah menurunkan perkembangan
stromatolit secara signifikan. Namun, Stromatolit adalah bentuk yang tahan
banting, ia telah ditemukan dapat berkembang sampai sekarang (Resen) di
beberapa bagian dunia di tempat yang sangat spesifik, yang terkenal adalah yang
berkembang di Shark Bay (Teluk Hiu) di Australia barat, di utara Perth. Karena
Indonesia sebagian besar disusun oleh formasi batuan berumur muda, stromatolit
hampir tidak pernah ditemukan dalam catatan fosil Indonesia.
Stromatolit dapat melewati masa kepunahan besar (masal) pada ujung Perem dan
ujung Kapur, tetapi kalau mereka dapat berkembang sampai Resen, maka mereka
akan membutuhkan lingkungan yang sangat khusus yang secara umum merupakan
lingkungan yang berbahaya buat makhluk hidup lainnya. Maka, mereka akan hidup
di lingkungan yang cocok buatnya tetapi tak cocok buat makhluk lain, tanpa
saingan, tak mengherankan mereka bisa bertahan sampai Resen. Sedikit sekali di
dunia stromatolit Resen dapat berkembang sebab kekhususan lingkungan yang
menjadi prasyaratnya. Stromatolit Resen terbaik yang banyak dipelajari para
ahli adalah terumbu stromatolit Hamelin Pool, laguna hipersalin (super asin) di
Shark Bay, Australia Barat (foto stromatolit ini sering muncul di buku2 teks
sains kebumian), Lake Van di Anatolia,Turki, yang merupakan danau berkadar soda
terbesar, dan di sebagian Bahama Banks, perairan Amerika Tengah. Bahwa
Indonesia ternayata punya stromatolit (Resen)
baru diketahui pada tahun 1984 melalui ekspedisi gabungan Indonesia-Belanda ke
Indonesia Timur melalui kapal marin Snellius II (Tomascik et al., 1997, The
Ecology of the Indonesian seas, vol. II, Periplus; dan Monk et al., 1997, The
ecology of Nusa Tenggara and Maluku, Periplus). Sekelompok ilmuwan dalam
ekspedisi tersebut menemukan perkembangan stromatolit di sebuah pulau kecil
bernama Satonda, sebuah pulau kecil bekas gunungapi di sebelah utara Sumbawa.
Di gunungapi Satonda (sebut saja begitu) terbentuk danau kawah yang disebut
Danau Motitoi. Di tepi danau ini ditemukan sebaran luas terumbu gampingan
stromatolit. Danau Motitoi adalah danau kawah berkadar alkalin (soda), dalam
maksimumnya 69 meter, luasnya 77 hektare. Terima kasih atas publikasi dari
Kempe dan Kazmierczak (1990 Chemistry and stromatolites of the sea-linked
Satonda crater lake, Indonesia : a Recent model for the Precambrian sea ?,
Chemical Geology 81, p. 299-310) dan Kempe dan
Kazmierczak (1993 Satonda crater lake, Indonesia : hydro-geochemistry and
biocarbonates, Facies 28, p. 1-32) sehingga masyarakat keilmuan lain di luar
Ekspedisi Snellius II dapat mengetahui penemuan penting ini. Penyelidikan
menunjukkan bahwa stromatolit Satonda bermula pada 4000 tahun yang lalu dan
merupakan stromatolit yang diproduksi oleh cyannobacteria. Pembentukan terumbu
biogenik yang tidak biasanya ini dimungkinkan oleh kondisi hidrologi dan
biogeokimia yang unik di danau kawah Motitoi. Secara hidrologi, danau ini punya
perlapisan massa air yang unik. Terbentuk chemocline (batas oksigen dan H2S)
yang tegas pada kedalaman 24-26 meter. Terumbu stromatolit Danau Motitoi
terbentuk melalui interaksi empat organisme pembangun terumbu. Kelompok
organisme ini merupakan pengendap aragonit (mengandung magnesium seperti
koral), yaitu coccoid cyanobacteria, ganggang koral merah Lithoporella sp., dan
sekelmpok foram nubecullinid. Di samping itu, terdapat
kelompok spesies yang tak berlimpah berupa ganggang merah gampingan mengerak
Peyssonnelia sp. yang bahan rangkanya terutama terdiri atas kristal-kristal
aragonit luar sel yang tak terlalu terkompaksi. Bakteri biru hijau
(cyannobacteria) Danau Motitoi menurut Kazmierczak dan Kempe (1990 Modern
cyannobacterial analogs of Paleozoic stromatoporoids, Science 250, p.
1244-1248) dari kelompok Pleurocapsa, yaitu cyannobacteria yang bereproduksi
melalui multiple fiission (pembelahan banyak). Tetapi, Pleurocapsa ini juga
dapat melakukan binary fission (pembelahan ganda) (Delaney, 1990
Cyannobacteria, dalam Clayton dan King, eds, Biology of Marine Plants, Longman
Cheshire) dan jenis inilah yang merupakan penyusun utama terumbu stromatolit
Satonda Dua ganggang gampingan yang ditemukan di Danau Motitoi merupakan
komponen struktur sangat penting terumbu stromatolit Satonda (Tomascik et al.,
1997). Ini tak mengherankan sebab Corallinaceae dan
Peyssonneliaceae (Rhodophyta) merupakan kelompok pembangun terumbu yang
memiliki fungsi utama melakukan penyemenan atas sedimen terumbu. Pembentukan
stromatolit terumbu Satonda di Danau Motitoi ditemukan terbatas pada lapisan
permukaan sampai kedalaman batas oksigen/H2S (24-26 meter). Pembentukan terumbu
terutama ditemukan dari permukaan sampai kedalaman 12 meter di mana bakteri
biru-hijau berkembang secara dominan bersama ganggang kerang (coralline algae)
Lithoporella sp. Dan ganggang dari genus Peyssonnelia yang kurang
dominan. Keterdapatan stromatolit Resen di Satonda dalam danau kawah Motitoi
yang alkalin mendukung hipotesis Soda Ocean (Kempe dan Dagens, 1985 An
early soda ocean ? Chemical Geology 53, p. 95-108; Kempe, 1991 De oerocean,
een sodazee, Natuur en Techniek 59, p. 206-215) yang menyatakan bahwa laut
Pra-Kambrium bersifat alkalin dan sangat dijenuhi oleh mineral karbonat.
Menurunnya alkalinitas laut dan kejenuhan karbonat
dapat menerangkan lenyapnya stromatoporoids pada ujung Paleozoikum. Hal
menarik buat kita para ahli geologi adalah pembentukan habitat Satonda yang
unik, yaitu terdapatnya danau kawah gunungapi (Danau Motitoi) yang diisi air
laut. Dinding kawah Danau Motitoi curam berupa tebing setinggi 300 meter di
atas muka laut, terbuat dari lapisan tuf, lapili, dan bom volkanik, dan
ditemukan beberapa retas tiang (dike intrusion). Depresi kawah Satonda
diperkirakan terbentuk oleh runtuhan di atas dapur magma gunungapi Satonda
akibat letusan 10.000 tahun yang lalu sehingga membentuk kawah. Ke arah
selatan, dinding kawah pada suatu waktu kemudian merosot ke arah laut, sehingga
tebing kawah di sini hanya setinggi 13 meter di atas muka laut (dari sisi
inilah Danau Motitoi mudah dicapai). Struktur dinding yang merosot ini
membentuk sistem pertelukan sehingga laut menjorok memasuki wilayah kawah. Air
laut masuk ke danau kawah, menggantikan air tawar yang semula ada.
Peristiwa marine flooding ini terjadi pada 3150 ribu tahun yang lalu,
berdasarkan peneraan karbon-14 pada lapisan gambut yang luas yang ditemukan di
bawah lapisan karbonat. Penggalian di tepi danau menemukan lapisan-lapisan
moluska dan gastropoda serta fauna marin lainnya. Saat laut mundur pada suatu
waktu, lapisan2 ini menjadi lapisan penghalang dan kemudian menjadi pemisah
permanen danau kawah Satonda dari laut terbuka. Saat ini Danau Motitoi telah
kehilangan semua aksesnya ke laut di dekatnya. Akibatnya, air asin Satonda
memiliki alkalinitas, pH, dan kejenuhan mineral karbonat yang lebih tinggi
daripada laut di sekitarnya. Kondisi ini telah menghilangkan kemungkinan
terdapatnya mikrobiota marin pada umumnya, tetapi sebaliknya ditemukan secara
berlimpah struktur2 seperti terumbu gampingan yang disusun oleh ganggang merah,
serpulids, foram, dan yang paling menakjubkan adalah ditemukannya
lembaran-lembaran insitu cyannobacteria yang mengandung kalsit.
Morfologi dan struktur mikro terumbu Satonda memiliki mikrobialites (deposit
organo-sedimen gabungan struktur lembaran organik yang termineralisasi) yang
mirip dengan stromatolit kurun Archean dan Proterozoikum atau stromatoporoids
Paleozoikum (Kazmierczak dan Kempe, 1992 Modern cyannobacterial counterparts
of Paleozoic Wetheredella and related problematic fossils, Palaios 7, p.
294-304). Pulau Satonda dan danau kawahnya oleh karena itu, merupakan
laboratorium paleo-oseanografik yang sangat menarik yang berkembang pada saat
Resen. Mikrobialit penyusun stromatolitnya mirip dengan mikrofosil stromatolit
Pra-Kambrium dan Paleozoikum, yang terjadi pada lingkungan laut hipersalin,
alkalin, miskin biota, tetapi kaya mikrobialit gampingan. Danau Motitoi
memiliki ciri-ciri laut Pra-Kambrium dan Paleozoikum ini. Menyelam di Danau
Motitoi, Pulau Satonda ibarat memasuki mesin atau terowongan waktu yang membawa
orang dari Resen ke ratusan-ribuan jutaan tahun
yang lalu saat Paleozoikum bahkan Pra-Kambrium. Maka, pulau sekecil Satonda
yang belum tentu muncul atau bernama di banyak atlas anak sekolah, ternyata
punya status keilmuan yang sangat besar. salam,awang