Ada satu hal yang Minarwan tak libatkan dalam ulasan di bawah, yaitu komposisi 
magma antara Merapi dan Semeru. Propagasi energi gempa Yogya 27 Mei 2006 jelas 
akan lebih cepat sampai ke Merapi dibandingkan ke Semeru berdasarkan jaraknya. 
Tetapi saat getaran ini sampai ke dapur magma kedua gunungapi itu, terjadilah 
perbedaan respon karena perbedaan komposisi magma kedua gunungapi ini. Kedua 
gunungapi ini komposisinya berbeda, silakan cek katalog gunungapi 
(Kusumadinata, 1979).
 
Lagipula, Merapi terkenal punya sumbat lava di lubang kepundannya hasil erupsi 
sebelumnya yang membuat ia tak segera merespon getaran gempa Yogya padahal 
jaraknya hanya 50 km; lalu respon itu baru muncul bersamaan dengan respon 
reaktivasi Semeru pada hari yang bersamaan meskipun Semeru jaraknya enam kali 
lebih jauh dari episentrum gempa. Silakan cek untuk lebih detailnya di 
publikasi Walter et al. (2007) : Volcanic activity influenced by tectonic 
earthquakes : static and dynamic stress triggering at Mt Merapi - Geophysical 
Research Letters 34, L05304.
 
Menurut hemat saya, jangan hanya selesai di cluster analysis statistics yang 
hanya melihat jarak dan magnitude gempa dengan semua reaktivasi yang 
disebabkannya (mud volcano, magmatic volcano, liquefaction, dsb.). Lihatlah 
masalahnya satu demi satu secara individual. Bila kita hanya melihat statistik 
saja tanpa menelitinya lebih jauh, maka kita akan sulit mengerti mengapa kedua 
gunungapi yang jaraknya berbeda enam kali lipat terhadap episentrum gempa 
tersebut bisa merespon gempa itu pada saat yang bersamaan.
 
Begitu juga halnya dengan cluster analysis Manga dan Brodsky (2006) atau 
Mellors et al. (2007) yang menampilkan plotting antara magnitude gempa dan 
jarak reaktivasi semburan fluida (mud volcano, volcano, liquefaction, dan 
sejenisnya) yang diakibatkannya, plotting ini selalu dipakai oleh Richard 
Davies dan Mark Tingay untuk mengatakan bahwa gempa Yogya tak mungkin memicu 
Lusi sebab lokasi Lusi terlalu jauh dari episentrum gempa Yogya dan gempa Yogya 
terlalu kecil magnitudenya untuk bisa memicu Lusi. Mereka mengatakan itu saja, 
hanya berdasarkan plotting, tak melihatnya lebih jauh secara individual 
bagaimana gempa Yogya itu, bagaimana Lusi itu.
 
Coba cek publikasi Mellors et al. (2007) - Correlations between earthquakes and 
large mud volcano eruptions - Journal of Geophysical Research 112, B04304. Saya 
kebetulan bertemu Robert Mellors saat dia diundang UGM untuk merayakan ulang 
tahun ke-50 Geologi UGM tahun lalu. Saya menanyakan plotting korelasinya itu, 
dan dia mengatakan itu hanya statistik. Ada hal-hal yang tak bisa didekati oleh 
ploting itu, yang dia katakan adalah : 1. robustness of the correlation, 2. the 
exact triggering mechanisms, 3. magnitude thresholds and triggering distances, 
dan 4. possibility of delayed triggering.
 
Tolong diperhatikan butir no. 3; seberapa besar magnitude gempa baru bisa 
memicu mud volcano dan seberapa jauh mud volcano itu dari episentrum gempa 
adalah hal yang tidak diketahui. Juga butir no. 4 berhubungan dengan ulasan 
Minarwan di bawah tentang lag time 11 bulan letusan Pinatubo setelah gempa - 
itu dipertanyakan.
 
Tentang pendapat/skenario Minarwan bahwa slab yang berhubungan dengan gempa 
menyebabkan reaktivasi volkanisme, saya tak sependapat. Gempa di slab (artinya 
gempa dalam) lebih akan merambat ke bagian updip slab tersebut menuju 
overriding plate-nya sebab gempa di slab ada di lingkungan astenosfer dan 
rheology upper mantle tersebut tentu lebih rendah dibandingkan slabnya sendiri, 
maka propagasi gaya gempa akan merambat ke bagian updip slab. Dapur magma 
umumnya masih di lower crust (kontinen/kerak akresi), jauh di atas slab; maka 
gempa di slab tak akan merektivasi dapur magma itu sehingga volkanisme tak akan 
terpengaruh oleh slab earthquake. Kasus gempa Yogya adalah gempa di overriding 
plate, jadi tak ada hubungan sama sekali dengan slab-nya yang tenggelam di 
bawah Jawa Tengah. Gempa di overriding plate akan mempropagasikan gayanya 
secara lateral, tetapi akan lebih mengarah ke satu azimuth bergantung pola 
rupture-nya. Dalam kasus gempa Yogya, propagasi gaya
 itu lebih ke arah timur dan timurlaut (silakan cek aftershocks-nya)  dan 
mengganggu keseimbangan semua fluida plumbing system atau venting system yang 
berada di wilayah sapuan gaya gempa itu. Venting system adalah struktur2 bawah 
permukaan atau di permukaan yang setting geologinya siap mengalirkan fluida ke 
permukaan.
 
Itulah juga yang menjadi alasan mengapa mud volcano Bledug Kuwu tak 
terbangunkan saat gempa Yogya terjadi, tetapi Lusi yang saat itu dalam keadaan 
critical (lihat data seismiknya) bisa saja terpicu. Bledug Kuwu adalah mud 
volcano tua (paling tidak ia sudah ada pada zaman Ratu Sima memerintah wilayah 
utara Jawa Tengah sekarang sekitar 600-700 AD sebab cerita rakyat tentang 
Bledug Kuwu sudah berkembang saat itu). Mud volcano yang tua akan punya masa 
dormant seperti gunungapi juga. Membangkitkan mud volcano yang dormant akan 
memerlukan energi yang lebih besar dibandingkan mud volcano yang siap meletus 
atau dalam keadaan critical.
 
Sebuah pertanyaan : bagaimana menerangkan turunnya muka air secara mendadak di 
sumur-sumur penduduk di Kalang Anyar, Pulungan dan Gunung Anyar setelah gempa 
Yogya terjadi dan bersamaan (simultan) dengan awal semburan-semburan lumpur di 
sekitar sumur Banjar Panji-1 ?  Lokasi kampung-kampung yang saya sebutkan itu 
40 km di sebelah timurlaut Lusi. Apakah itu juga karena UGBO (underground blow 
out) Banjar Panji-1 ? Tentu tidak.
 
Saya mudah menjawabnya. Kalang Anyar, Pulungan, Gunung Anyar adalah 
gunung2lumpur tua (lihat publikasi saya tentang gununglumpur tua zaman Jenggala 
dan Majapahit di Proceedings IAGI 2007 dan IPA 2008). Lokasi gunung2 ini tak 
sembarangan, sampai ke Bangkalan Madura dari Gunung Penanggungan ia dihubungkan 
sesar mendatar Watukosek. Di Bangkalan Madura di ujung sesar ini ada gunung 
lumpur Socah, Sening dan Bugag.  Lusi berlokasi di atas sesar ini. Pada hari 
sesar Watukosek dibangkitkan kembali, crital venting system di Lusi meletus, 
dan venting system sumur2 penduduk di Pulungan, Kalang Anyar dan Gunung Anyar 
meletus.
 
Lusi punya causes dan trigger. Causes-nya sudah jelas ada dan memenuhi hukum 
geologi bernama "perturbation of elisional venting system"; triggernya 
reaktivasi Sesar Watukosek. Apakah UGBO Banjar Panji-1 (bila ada) bisa 
mereaktivasi Sesar Watukosek sampai 40 km jauhnya ?
 
Tanpa causes, UGBO Banjar Panji-1 (bila ada) sehebat apa pun tak akan 
menyebabkan bencana seperti yang kita lihat sekarang. Coba pindahkan lokasi 
sumur Banjar Panji-1 di Pegunungan Selatan, lalu ia mengalami UGBO, semburan 
lumpur yang terjadi tak akan sehebat sekarang. Mengapa ? Pegunungan Selatan tak 
memenuhi hukum "perturbation of elisional venting system". 
 
Trigger utama nya (causa prima) yang sekarang harus kita permasalahkan, yaitu 
apa yang menggerakkan Sesar Watukosek. Apakah problem mekanik sumur Banjar 
Panji-1 ? Apakah gempa Yogya 27 Mei 2006 ? Di Yogya pada hari yang sama, Sesar 
Opak dari Parangtritis sampai Klaten dikoyak kembali gempa tersebut dan menebar 
bencana. Energi gempa itu lari ke timur mengaktifkan Semeru 2-3 hari kemudian 
dan lari ke timurlaut melewati perairan Ujung Pangkah, terukur interupsi 
energinya mengganggu rekaman seismik yang pagi itu baru dimulai oleh sebuah 
company. Sesar Watukosek ada di jalan sapuan propagasi gaya itu, kalau ia 
teraktifkan saat itu sangatlah mungkin Semua venting system yang critical yang 
berlokasi di sesar ini telah terganggu, termasuk subsurface Banjar Panji-1, 
termasuk sumur-sumur penduduk di gunung2lumpur Pulungan, Kalang Anyar, Gunung 
Anyar. 
 
Dalam kasus Lusi, sebagai geologist, lihatlah dengan mata terbuka ke segala 
arah, ke ruang dan waktu masa lalu maupun ke masa sekarang; jangan 
hanya menukikkan pandangan ke Banjar Panji-1.
 
Pendapat saya di atas tidak dipengaruhi oleh politik, jajak pendapat di Afrika 
Selatan, keputusan DPR, Lapindo, BPMIGAS, dan rekan-rekan milis yang selalu 
"panas" ketika berdiskusi apa penyebab Lusi. Semuanya didasarkan atas data, 
analisis dan sintesis; serta diskusi dengan teman2 yang sependapat maupun yang 
kontra.
 
salam,
Awang
 

--- Pada Rab, 3/3/10, MINARWAN <minarw...@gmail.com> menulis:


Dari: MINARWAN <minarw...@gmail.com>
Judul: Re: [iagi-net-l] Uneg-uneg..LUSI
Kepada: iagi-net@iagi.or.id
Tanggal: Rabu, 3 Maret, 2010, 3:45 AM


Pak Bambang,

Kebetulan saya bisa mengakses paper Harris dan Ripepe (2007) dan
membacanya sekilas. Ada beberapa hal yang saya amati:

1. Ketidaksamaan waktu antara gempa sebagai perntrigger dan hasil
berupa peningkatan aktivitas gunung berapi di beberapa tempat lain.
Misalnya untuk Merapi dan Semeru katanya sekitar 72 jam (jarak
episenter gempa ke Merapi hanya 50 km tetapi jarak dari episenter
gempa ke Semeru adalah 300 km). Selain itu, gempa yang konon
mentrigger letusan Pinatubo lag timenya sampai 11 bulan, padahal jarak
episenter dengan gunung itu adalah 100 km.

2. Ada pula sebuah gempa kecil di Mount Wrangell yang konon
berlangsung sekitar 1 jam dari gempa Aceh (Simeulue) Desember 2004
padahal jaraknya adalah 11.000 km.

Sebenarnya, mungkin, kalau hendak dikaitkan dengan gempa, maka
intensitas gempa secara logika akan mempengaruhi cepat rambat getaran
untuk sampai ke dapur magma dan ini sulit kita bandingkan antara gempa
yang satu dengan gempa yang lain. Namun agak aneh jika getaran dari
sebuah gempa yang sama kok bisa sampai ke dua tempat yang berbeda,
yang satu berjarak 50 km dan satunya 300 km.

Di sini saya hendak memberikan sebuah skenario lain yang menyebabkan
aktivitas kedua gunung tersebut. Jika kita amati lagi dengan
menggunakan skala yang lebih luas/besar, sebuah gempa di Pulau Jawa
dapat terjadi karena pelepasan energi yang tertahan di zona subduksi
di selatan Jawa sana. Saat terlepas, seharusnya slab lempeng yang
subduksi akan lebih aktif  dan membuat aktifitas dapur magma meningkat
sehingga gunung api yang ada diatasnya juga lebih aktif.

Sayang sekali, tidak ada usaha dari Harris dan Ripepe (2007) untuk
melihat kemungkinan lain atau menghilangkan peluang dari skenario lain
dalam memberikan alasan mengapa Merapi dan Semeru tiba-tiba aktif
selama 9 hari dari tanggal 30 Mei 2006. Yang mereka lakukan hanyalah
menyambungkan dua fakta dan saya pikir ini berkaitan dengan apa yang
mereka teliti dan yakini.

Sekedar sumbang pendapat.

Salam
mnw



2010/3/2 Bambang P. Istadi <bambang.ist...@energi-mp.com>:
> Pak Bosman yang baik,
>
> Saya tidak pernah mengatakan gempa sebagai penyebab LUSI, yang kami
> amati adalah kondisi sumur, yaitu adanya loss circulation disumur dengan
> rate yang cukup signifikan dalam ruang dan waktu yang hampir bersamaan
> dengan gempa. Selang beberapa menit setelah gempa Jogya, sumur mengalami
> loss dengan rate 300 bbl/jam, lalu diikuti dengan total loss circulation
> siang harinya setelah beberapa kali after shock. BMG dalam tabel
> laporannya mengatakan "magnitude offscale" entah artinya seberapa
> kuatnya gempa ini. Apakah ini suatu kebetulan? Coincidence atau adanya
> keterkaitan? Wallahu Alam,...
>
> Dilain pihak, Harris and Ripepe dalam papernya, GEOPHYSICAL RESEARCH
> LETTERS, VOL. 34, L02304, doi:10.1029/2006GL028251, 2007. Menunjukan
> peningkatan aktifitas Gunung Merapi dan Semeru yang jaraknya lebih jauh
> dari Jogya disaat lahirnya LUSI. Harris and Ripepe mengaitkan kenaikan
> aktifitas gunung-gunung ini dengan gempa Jogya.
>
> BTW, good luck dengan program S2nya pak.
>
> Wass.
> Bambang
>



-- 
- when one teaches, two learn -
http://www.geotutor.tk
http://www.linkedin.com/in/minarwan

--------------------------------------------------------------------------------
PP-IAGI 2008-2011:
ketua umum: LAMBOK HUTASOIT, lam...@gc.itb.ac.id
sekjen: MOHAMMAD SYAIFUL, mohammadsyai...@gmail.com
* 2 sekretariat (Jkt & Bdg), 5 departemen, banyak biro...
--------------------------------------------------------------------------------
Ayo siapkan diri....!!!!!
Hadirilah PIT ke-39 IAGI, Senggigi, Lombok NTB, 29 November - 2 Desember 2010
-----------------------------------------------------------------------------
To unsubscribe, send email to: iagi-net-unsubscribe[at]iagi.or.id
To subscribe, send email to: iagi-net-subscribe[at]iagi.or.id
Visit IAGI Website: http://iagi.or.id
Pembayaran iuran anggota ditujukan ke:
Bank Mandiri Cab. Wisma Alia Jakarta
No. Rek: 123 0085005314
Atas nama: Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI)
Bank BCA KCP. Manara Mulia
No. Rekening: 255-1088580
A/n: Shinta Damayanti
IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/
IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi
---------------------------------------------------------------------
DISCLAIMER: IAGI disclaims all warranties with regard to information posted on 
its mailing lists, whether posted by IAGI or others. In no event shall IAGI or 
its members be liable for any, including but not limited to direct or indirect 
damages, or damages of any kind whatsoever, resulting from loss of use, data or 
profits, arising out of or in connection with the use of any information posted 
on IAGI mailing list.
---------------------------------------------------------------------




      Berselancar lebih cepat. Internet Explorer 8 yang dioptimalkan untuk 
Yahoo! otomatis membuka 2 halaman favorit Anda setiap kali Anda membuka 
browser. Dapatkan IE8 di sini! 
http://downloads.yahoo.com/id/internetexplorer

Kirim email ke