Dipublikasikan pada *Radio Netherlands Worldwide* (http://www.rnw.nl)

------------------------------
Inggris Yes, Indonesia No?
Oleh *Redaksi Indonesia*
Dibuat *3 Agustus 2010 10:57*

*Bahasa menunjukkan bangsa. Sepertinya semangat itu sekarang sudah banyak
dilupakan, terutama oleh beberapa sekolah swasta elit di kota-kota besar.
Sebuah artikel yang muncul di New York Times dua hari lalu menegaskan hal
itu.
*
Mereka memaparkan kisah tentang *Miss* Indonesia tahun lalu yang berayah
seorang Indonesia dan beribu seorang Amerika. Ketika menjawab pertanyaan
juri yang dilontarkan dalam bahasa Indonesia, ia memerlukan penerjemah,
padahal ia besar di Jakarta. Bagian terparah dari cerita ini tentu saja, ia
menang. Juri terkesan dengan kemampuannya berbahasa Inggris.

Penulis jadi ingat lelucon sejenis. Anak-anak Inggris itu hebat karena
kecil-kecil sudah pandai berbahasa Inggris. Dalam kasus nona tadi, bahasa
ibunya adalah bahasa Inggris, bahkan secara harafiah. Oleh karena itu yang
seharusnya dinilai dalam kategori kemahiran menyerap bahasa adalah
kemampuannya berbahasa Indonesia yang merupakan bahasa keduanya.

Namun penilaian atas hal itu sendiri seharusnya merupakan penilaian nomor
kesekian setelah penilaian tentang bagaimana mungkin seorang Indonesia yang
tumbuh di Indonesia tidak lancar berbahasa Indonesia? Kemampuan bersaing
dalam globalisasi memang penting tetapi itu ajang pemilihan *Miss *Indonesia,
bukan ajang pencarian nona paling mirip Lady Di.

Dari kasus itu dapat terlihat sindrom parahnya penghargaan atas bahasa
Indonesia oleh juri pemilihan *Miss *Indonesia tahun lalu. Benar bahwa
Inggris adalah *lingua franca *dalam pergaulan internasional sehingga
penguasaannya adalah sebuah keharusan bagi mereka yang ingin aktif dalam era
globalisasi akan tetapi penguasaan itu tidak seharusnya melupakan penguasaan
bahasa Indonesia.

Yang menyedihkan, sindrom ini diderita juga oleh sekolah swasta yang tidak
memasukkan bahasa Indonesia dalam kurikulumnya. Dari sini dapat ditarik
kesimpulan yang lebih menyedihkan lagi yaitu bahwa sindrom ini telah mewabah
di kalangan orang tua dengan ekonomi menengah ke atas yang memasukkan
anak-anaknya ke sekolah-sekolah swasta tersebut. Jadi, cerita tentang *Miss
*Indonesia itu hanyalah puncak dari sebuah gunung es masalah pengakuan dan
penghargaan terhadap bahasa dan budaya Indonesia, oleh orang Indonesia, yang
tinggal di Indonesia.

Cita-cita proklamasi kita adalah menciptakan masyarakat Indonesia yang
merdeka, adil dan makmur. Jika bahasa menunjukkan bangsa maka kemerdekaan,
keadilan dan kemakmuran bangsa manakah yang dituju oleh sebuah sistem
pendidikan di bumi Indonesia yang menolak mengajarkan bahasa Indonesia?
Bahasa dan budaya bukanlah harga yang layak dibayar untuk sebuah peningkatan
daya saing.

Departemen Pendidikan harus meluruskan penyimpangan ini. Penguasaan bahasa
dan budaya sendiri dan penyerapan budaya asing untuk meningkatkan daya saing
dalam globalisasi dapat berjalan beriringan, seperti yang dengan tepat
disampaikan oleh bunyi iklan sebuah jamu, “Orang pintar minum Tolak
Angin”**.

**) Orang pintar minum Tolak Angin adalah kalimat iklan Jamu Tolak Angin,
sebuah merek produk PT Jamu Jago. Penulis sama sekali tidak memiliki
afiliasi dengan PT Jamu Jago. Penggunaan iklan tersebut semata untuk
keperluan penjelasan maksud induk kalimat terkait.
*
Pengirim: Elpiwin Adela**
*
 *Artikel ini diikutsertakan dalam sayembara Cita-cita Proklamasi. Demi
menjaga keaslian, artikel diterbitkan tanpa proses editing dari redaksi.
Dalam beberapa kasus, Ranesi hanya mengubah judul untuk keperluan teknis.
Isi dan format di luar tanggung jawab Ranesi.
*

*
*
 ------------------------------
*URL sumber:* http://www.rnw.nl/article/inggris-yes-indonesia-no
 *Links:*
 *Images:*
[i1] http://www.rnw.nl/data/files/images/lead/kamus%20latin.jpg
[i2] http://www.rnw.nl/

Kirim email ke